27 Desember 2007

KELAHIRAN

Langit malam berkabut. Gerimis menetes lembut. Udara dingin menusuk tulang. Kami duduk berkumpul di depan altar sambil berdoa. Suara yang lirih memenuhi ruang kapel ini. Nyala lilin bergoyang-goyang tertiup angin. Suasana amat menyejukkan hati kami. Malam Natal. Malam kelahiran. Malam penyambutan seorang Anak Manusia yang rela mengurbankan diriNya bagi keselamatan kita semua. Dan karena itu telah menciptakan suatu aura kedamaian dalam hati kami. Aura yang sedemikian lembut sehingga mengalahkan kelembutan nyanyian “malam kudus” yang kami tembangkan bersama.
Setiap kelahiran serupa lilin yang menyala. Dan kita berharap agar sinar dari kehidupan yang telah kita nyalakan itu dapat bertahan selamanya dalam ingatan sejarah. Tetapi seberapa terangkah cahaya yang telah kita berikan bagi dunia? Mungkin tidak layak kita membandingkan diri dengan kehidupan dan perbuatan para kudus. Tetapi bagaimana pun, cahaya kita semua serupa kerlap-kerlip nyala lilin yang kecil, yang bila berkumpul bersama dapat menciptakan suasana terang dan hangat bagi dunia. Maka di tempat yang terpencil ini, jauh dari keramaian hiruk pikuk perayaan agung di kota besar, kami sama menyadari bahwa keberadaan kita sebagai manusia adalah serupa nyala lilin-lilin kecil yang selayaknya turut menerangi dan menghangatkan tubuhNya di dalam palungan ini. Kita semua adalah lilin yang menyala bagi kehadiranNya di dunia ini.
Maka malam ini kami mengenang lilin-lilin yang tidak sempat bernyala. Lilin-lilin yang padam, baik karena tiupan angin maupun karena sebab lain. Lilin-lilin yang terpaksa harus dipadamkan maupun yang tak diingini untuk bercahaya. Kemanakah perginya mereka kini? Bukankah Sang Bayi Kehidupan selalu membutuhkan cahaya kita semua? Sedemikian rapuhkah kita sehingga untuk bernyala pun kita tidak lagi mampu? Tengoklah, udara malam dingin menusuk tulang. Dan kelam membutakan alam. Tidak inginkah kita untuk berkurban meneranginya? Mengapakah kita enggan untuk menyala, menghanguskan diri demi kebahagiaan Dia yang terbaring di palungan? Sedemikian angkuhkah kita hingga tak setetes hidup yang rela kita berikan demi menerangi dan menghangatkan tubuh Sang Bayi Kehidupan?
Langit malam berkabut. Gerimis menetes lembut. Kami duduk melingkar, saling memandang. Sadar bahwa banyak hal yang dapat dilakukan. Bahwa terang yang kita berikan tak pernah cukup. Bahwa hingga lumerpun kita cuma menyumbang sedikit kehangatan dan terang bagi dunia. Tetapi toh, itu jauh lebih baik daripada kita membiarkan gelap menguasai diri. Dan biarpun besok pagi tiba mungkin tanpa kehadiran kita lagi, kita toh tahu bahwa terang yang kita berikan telah memberi rasa hangat kepada Dia yang kini telah bangkit dengan mulia. Dan kita pun akan berada dalam kemuliaanNya pula. Selamat Natal!
A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...