27 Desember 2007

NILAI SEORANG MANUSIA

Orang yang lanjut usia kita hormati, tetapi bukan karena jumlah tahunnya yang banyak.
Sebab orang lanjut usia dalam arti sebenarnya ialah orang yang bijaksana dan hidup baik.
(Kebijaksanaan Salomo 4:8-9)

Dia duduk membelakangiku. Lewat jendela, jejeran pepohonan cemara nampak bergoyang dalam deru angin. Hari sudah hampir senja. Dan udara dingin perlahan menyelinap masuk. Langit lembayung tertutup awan. Lapis melapis. Beberapa ekor burung gereja nampak mengambang di antara ranting dan dedaunan cemara. Beberapa lagi melompat-lompat di atas tanah yang basah akibat gerimis siang tadi. Suasana sepi, sesepi hatinya yang baru saja menguakkan luka lamanya kembali. Luka.
Usianya baru saja mencapai dua puluh dua tahun. Tetapi aku merasa bahwa dia telah melangkahi waktu berabad-abad lamanya. Rambutnya yang panjang dan tergulung rapi tidak dapat menyembunyikan raut sedih di wajahnya. Ah, tiba-tiba aku berpikir tentang nilai seorang manusia. Hal yang sama tadi ditanyakannya. Tentang betapa kini dia tak lagi merasa punya nilai yang berarti dalam hidup ini. Baginya, segalanya telah nihil. Hidup, harapan, masa depan. Segalanya tidak lagi punya arti. Dia telah mati dalam hidup yang masih berlanjut ini. Gerimis kembali turun.
Apakah artinya sebuah kehidupan? Apakah maknanya penderitaan? Berpakah nilai seorang manusia? Dapatkah kita mengukurnya dengan nilai yang baku? Tentu saja tidak. Bahkan kita hidup bukan untuk dinilai atau menilai. Setiap orang, ya setiap orang hidup dengan dunianya sendiri. Seberapa dekat pun kita dengan seseorang, selalu ada ruang yang tak tertembus dalam lubuk hati dan pikirannya. Dan sebab itu, di bawah langit yang satu, dan di atas bumi yang satu pula, kita tak punya hak untuk menilai atau dinilai. Apa itu kebaikan, kejahatan, kesalahan dan kebenaran, segalanya tergantung pada kejujuran kita untuk menghadapi hidup. Maka semuanya tergantung pada keputusan kita untuk menghadapi hidup ini serta bertanggung-jawab dalam menjalaninya. Selain dari itu, hanya ada pandangan semu dan tak berarti. Sebab, apakah kebenaran itu? Bukankah kebenaran sesungguhnya terletak pada bagaimana kita mau menghadapi dan berani bertanggung-jawab atas segala apa yang telah terjadi dan menimpa kita. Dan nilai seseorang justru terletak pada bagaimana kita mengubah diri kita sendiri. Tidak untuk pasrah dan putus asa untuk hidup. Sebaliknya, kekalahan kita bisa bermakna banyak atas nilai kita sendiri jika kekalahan itu sendiri terjadi setelah kita telah berjuang mempertahankan kejujuran kita untuk hidup dan menghadapi hidup.
Tidak banyak orang yang mampu memutuskan secara benar menghadapi masa depannya. Bahkan semua orang pernah menghadapi kesalahan dan kegagalan dalam memutuskan sesuatu. Tidak ada yang salah dalam hal itu. Kita bukanlah mahluk yang sempurna. Tetapi bagaimana pun, setiap orang bisa dan mampu untuk menghadapi hidupnya sendiri. Mampu menghadapi kenyataan yang telah dan sedang terjadi. Dan tidak melarikan diri dari kenyataan hidupnya. Sebab penderitaan adalah milik semua orang yang hidup. Hanya dalam keberanian menghadapi dan menerima segalanya secara apa adanya sajalah kita bisa berdiri tegak dan mengangkat nilai kita sebagai seorang manusia. Bukankah di depan Tuhan, Sang Pencipta, kita semua memiliki nilai yang sama? Hanya, tentu saja, talenta yang diberikan kepada kita dapat berbeda-beda. Maka kemampuan kita dalam mempergunakan talenta itu saja yang akan dimintakan pertanggung-jawabanNYA kelak. Maka nilai seseorang manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. Dan tak seorangpun punya hak untuk memberikan nilai kecuali Dia yang menyayangi kita.
Sebab bukankah Yesus sendiri telah memberikan teladan yang menarik dalam menentukan nilai hidup ini? Yesus, yang sesungguhnya menurut pandangan manusia, telah gagal karena dijadikan terdakwa, divonis mati dan dengan tubuh yang nyaris telanjang, tergantung di atas kayu salibNya. Siapakah yang bisa menilai bahwa Dia telah berhasil melihat kenyataan yang pahit itu? Kalah dan tewas dalam usia yang masih teramat muda, sebagai terhukum pula. Bagaimanakah kita mampu menilai diri seorang manusia Yesus selain dari kekalahan dan kegagalan. Tidakkah tragis? Dia, yang Sang Putera yang amat disayangi dari Bapa yang Maha Kuasa, saat itu nampak memilukan. Lemah, tidak berdaya dan bahkan dengan sedih berseru: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani” (Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?). Betapa pahitnya hidup ini. Betapa tidak bernilainya harapan itu, karena pada akhirnya, tak ada yang sanggup membantuNya untuk tetap hidup. Yesus telah gagal. Dan mati dengan hina. Hina.
Tetapi, ah tidak! Ternyata kekalahan, kegagalan dan ketidak-berartian itu tidak berarti bahwa kita sungguh-sungguh telah kalah. Karena dalam kekalahan dalam menghadapi realitas itulah sesungguhnya yang telah memenangkan ke-Tuhan-an Kristus. Dia telah kalah di tangan manusia. Dia takluk di dalam dunia realitas. Tetapi justru karena itu, Dia bangkit dan hidup di dunia ke-Agung-an Bapa. Maka sahabatku, menilai seorang manusia janganlah dari sudut pandang manusia pula. Marilah kita menilai diri sendiri dengan lebih obyektip. Lebih utuh. Dengan berjuang menerima, menghadapi dan mengubah apa yang telah dan sedang kau alami saat inilah sesungguhnya terletak esensi hidupmu. Bahkan pun, jika kelak kau sungguh kalah, itu hanyalah penilaian dari dunia manusia yang penuh dengan kesalahan. Penilaian dari Tuhan akan lain. Akan lain sama sekali. Yakinlah.
Gerimis memasuki senja. Di luar, beberapa lampu mulai menerangi jalan yang basah. Pantulannya membiaskan warna-warni yang cemerlang dalam suasana yang mulai kelam. Tak ada sesuatu yang bergerak lagi di luar. Tak ada lagi kumpulan burung gereja yang tadi nampak. Angin pun diam. Dahan, ranting dan dedaunan cemara diam. Segalanya tenang. Dengan perlahan dia berbalik menghadapiku. Dengan seulas senyum tipis, dia berkata, Tuhan memberkatiku. Tuhan memberkati dunia ini. Tuhan memberkati segala-galanya. Dia membuat segalanya indah pada waktunya. Ya, segalanya indah pada waktunya.
Bukankah begitu?
A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...