23 Januari 2008

BOROBUDUR

Hari raya Waisak menjelang senja. Aku berdiri di puncak stupa candi Borobudur sambil menikmati keindahan alam dan memandang pada ribuan orang yang menyemut di kaki dan pada tangga menuju ke puncak candi. Menakjubkan! Langit senja yang jingga masih sisakan kecerahan siang hari. Hawa dingin menyusup ke dalam tubuhku. Dengan terpesona kuserap seluruh lukisan alam itu ke dalam jiwaku. Kemegahan, kebesaran dan keabadian masa lampau menerobos kesadaranku. Apakah sang waktu itu? Manusia, generasi ke generasi telah tuntas, tetapi buah tangan mereka masih mencetak satu kenangan: bahwa hidup bukan sekedar ilusi. Candi yang dibangun pada abad ke 8 oleh keluarga raja-raja Sjailendra telah dan tetap bertahan melintasi jaman hingga ke abad 21 ini. Suatu situs lambang kekuatan iman mereka tetapi sekaligus pertanda kenisbian usia manusia.

Berdiri di stupa tertinggi candi Borobudur dan merasakan kekerdilan diri sendiri, kukenang impian masa lalu sejarah manusia. Maka tiba-tiba aku teringat pada sebuah sajak yang ditulis oleh Bertolt Brecht (1898-1956) "Pertanyaan seorang buruh yang membaca ": Siapa yang membangun kota Thebe, dengan tujuh pintu gerbangnya?, Dalam buku-buku tercatat hanya nama raja-raja, apakah mereka yang mengangkut batu?. Sejarah memang telah mencatat nama raja-raja Sjailendra dalam prasasti yang digali oleh para antropolog. Tetapi siapakah nama para buruh yang bekerja? Siapakah nama para tukang dan kepala tukang yang bekerja? Bahkan siapakah perancang dan arsitek candi tersebut hingga mampu bertahan dari abad ke abad? Untuk nama-nama mereka sejarah tinggal bisu. Demikianlah, dari masa ke masa sejarah hanya menuliskan nama-nama pemilik "kekuatan, kekuasaan dan kekayaan". Tidak lebih. Tetapi haruskah kita bersedih karena itu?

Di zaman modern sekarang ini pun sejarah tetap bernada sama. Pada bangunan-bangunan, pada gedung-gedung, pada monumen-monumen, pada apa saja yang didirikan dan dibangun hanya ada prasasti: "gedung ini diresmikan oleh……". Memang, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari kata Pengkhotbah. Tetapi kita toh tak harus sedih karena itu sebab kesedihan hanya bentuk lain dari kesia-siaan juga. Bagaimanapun waktu tetap melaju ke depan dan kita tetap harus berkarya, apapun bentuknya, agar hidup kita bisa bermakna. Agar hidup kita tidak tersia-sia.

Catatan ini kutulis saat meresapi kemegahan bangunan candi ini. Dan merasakan aroma kehidupan yang membumbung tinggi dari ribuan pengunjung yang hari itu menyemut di seputar Borobudur. Pengunjung dengan beragam maksud. Ada yang sedang berdoa, ada yang sedang menikmati kemegahan masa lampau. Ada pula yang sedang sibuk menjajakan dagangannya. "Saat Caesar mengalahkan Gallia, bukankah sekurang-kurangnya, seorang koki dibawanya?" tulis Bertolt Brecht pula. Demikian pula saat ini kukenang para buruh dan tukang yang telah membangun candi ini. Berapa banyakkah yang telah dikorbankan demi terlaksananya pembangunan candi yang sedemikian megah ini. Dan kini menjadi salah satu keajaiban dunia. Tidakkah pada akhirnya kita semua patut meneladani pekerjaan mereka. Karena pada akhirnya tidak sia-sialah pekerjaan itu. Tidak sia-sialah segala pengorbanan itu. Walau mungkin mereka membangunnya bersama penderitaan. Dan kini nama-nama mereka tidak lagi diingat oleh sejarah.

Aku meninggalkan Borobudur saat malam tiba. Dengan langkah-langkah kecil kususuri lorong di antara ratusan kedai para penjual souvernir. Tiga belas abad telah lewat tetapi apa yang telah dibangun dulu masih saja memberikan karunia kehidupan bagi manusia-manusia sekarang ini. Biarpun tanpa nama, pengurbanan para pekerja masa lalu tetap akan dikenang selama-lamanya. Bagaimana pun juga, para pekerja itu akan dan telah mendapatkan upahnya bersama monumen ini. Semoga kita pun demikian adanya.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...