02 Januari 2008

GEREJA DAN MANUSIANYA

    Kabut. Dingin. Di kejauhan, samar-samar memanjang punggung gunung, yang membentang dari ujung ke ujung horison. Jejeran pepohonan, bunga-bunga aneka warna, semak dan rerumputan hijau, diselingi bunyi percik air dan deru kendaraan kami. Jejeran rumah dan pondok sederhana, tidak saling merapat, seakan berlarian meninggalkan kami. Atau kami yang meninggalkan mereka. Satu dua gedung gereja, nampak berdiri megah di sudut-sudut jalan yang strategis. Berdiri, megah, menjulang angkuh, di antara rumah dan pondok sederhana yang mengapit kedua sisinya. Inilah gambaran perjalananku dari Rantepao menuju ke Batutumonga. Suatu pemandangan yang indah sekaligus ilusi yang membentuk bayang-bayang khayal dalam kenangan. Samar. Dingin. Kabut.

    Kemegahan dan keindahan gedung gereja yang kami lewati, yang terselip di antara rumah dan pondok sederhana, mendadak mendatangkan tanya dalam hatiku. Betapa kadang, kebanggaan kita dalam beriman ditampakkan dalam bangunan fisik semata. Bahwa, bukan jiwa dan rohani, tetapi batu bata dan semen yang menentukan keimanan kita. Kemegahan gedung gereja yang berjejer di antara kesederhanaan rumah dan pondok seakan berjarak, memisahkan situasi nyata dengan angan, ketidak-pedulian pada suasana sekitarnya. Tetapi, barangkali inilah hakikat kemanusiaan kita yang lemah. Kita ingin dihormati, dan jarang atau tidak mau menghormati. Kita ingin kelihatan, tanpa ingin melihat. Kita senang berbicara, tanpa mau mendengarkan. Kita senang dipahami, tanpa mau memahami. Dan kita bangga akan keberadaan kita tanpa mau menyadari keberadaan sesama dan lingkungan kita yang memiliki kebanggaan mereka sendiri. Praktis, sama seperti keberadaan gedung gereja yang berdiri di antara rumah dan pondok sederhana itu, kita semua lupa bahwa, bukan bentuk dan bahan, melainkan jiwa dan karya yang menjadikan kita sebagai anak-anak Tuhan. Sebab itu, sesungguhnya, gereja bukanlah bangunan, melainkan nurani kasih Tuhan yang nampak dari nurani dan kasih dari karya dan perbuatan kita.

    Kendaraan kami merambat pelan, dan udara dingin yang masuk dari jendela yang terbuka mulai menghamburkan aroma alam yang sejuk dan wangi. Kabut mulai menipis. Punggung gunung di kejauhan kelihatan kian jelas. Beberapa petani berjalan berjejeran sambil menenteng sekop, pacul dan pe'da. Jalanan kian berkelok, mendaki curam, menuju ke puncak bukit. Jauh tinggi di langit, matahari pagi nampak tertutup awan putih. Sekeliling jalan yang kami lalui hanyalah berupa bukit-bukit hijau dari semak yang berbunga indah diselingi jejeran perdu yang tumbuh jarang-jarang. Tidak nampak rumah dan pondok. Bahkan kian naik ke atas, kian senyap pula suasana yang melingkupi kami. Dan kian senyap alam di seputar, kian diam pula pikiran ini. Aku hanya memandang, tanpa berpikir, menikmati panorama luas di depan. Dari tepi jurang yang amat curam, membentanglah keindahan alam ini. Suatu geliat rasa damai memenuhi hatiku. Dan seseorang berkata, cantik sekali. Tak ada apapun yang mampu menandingi pengalaman pribadi ini. Tehnologi bisa merekam semua ini, tetapi rekaman itu hanyalah pemandangan fisik, dan bukan suasana. Sejuknya udara yang dingin menyegarkan jiwa. Dapatkah itu diserap dalam handy-cam yang kami bawa?

    Di sini, saat kutuliskan pengalaman itu, tiba-tiba kurasakan betapa berharganya suatu pengalaman. Kita tak akan pernah bisa menyerap suatu pemahaman tanpa pernah mengalami situasi yang sebenarnya. Dan kita selalu akan gagal menikmati suatu panorama indah jika hanya memandang dari balik potret ataupun film tanpa pernah ikut berada bersama si pembuat potret atau film itu. Maka hidup pun sama dengan itu. Kita yang menghindar dari gejolak batin, dan selalu berlindung di balik tembok tebal kedirian kita, tidak akan pernah berhasil menyelami makna kehidupan yang sebenarnya. Maka kita, yang tidak ikut mengalami penderitaan dan kebahagiaan orang per orang, tidak pernah dapat menyelami pengalaman batin mereka. Kita, yang hanya tahu berdiri di luar, tidak pernah dapat masuk ke dalam realitas yang sesungguhnya. Dan karena itu, sering kita tidak mampu memahami orang lain karena perspektip kita memang berbeda. Maka di tengah keluasan alam indah yang bisa kulihat, tersadarlah aku bahwa apa yang membentang di depanku saat ini, hanya sekerat kecil dari keluasan alam raya ciptaan Tuhan. Hanya sekerat kecil. Tetapi sekerat kecil ini ingin kurenungkan dengan kebesaran yang tak terukur. Maka bagaimana pula bisa kukenali seluruh keluasan duniaNya?

    Maka berdiri di tepi tebing curam, menikmati aroma bau harum alam dan kesejukan udara sambil memandang keindahan panorama di depanku, tiba-tiba aku merasa damai dengan diriku sendiri. Diri yang kecil ini tak sanggup dan tak mungkin sanggup menyaingi kebesaran alam ciptaanNya. Diri yang kecil ini hanya bisa mengalami dan menikmatinya. Tetapi sayangnya, bahwa kita selalu saja ingin dan berambisi untuk menciptakan dan membangun sesuatu yang kelihatan agung, besar, megah dan mewah tanpa pernah menyadari bahwa apa yang kita bangun itu sesungguhnya semua tak berarti di depan keagungan alam yang sedemikian luas dan tak terbatas ini. Bahkan kadang bangunan yang kita dirikan mengusik keharmonisan lingkungan sekitar sehingga kelihatan ganjil dan terpisah dari kenyataan yang ada. Kita senang menghindari kenyataan dengan membangun tembok-tembok tebal. Kita lari karena kita takut dan tak berani menghadapi hidup. Kita lupa bahwa kita adalah mahluk yang berjiwa, bukan hanya daging dan tulang belaka. Demikian pula, gereja adalah kita semua, sebagai sesama mahluk yang berjiwa, dan bukan sekedar statistik daging dan tulang. Oleh sebab itu, gereja tidak perlu kita banggakan dalam bentuk bangunan tetapi dalam kebersamaan jiwa-jiwa beriman yang sama-sama menyadari kekerdilan kita, sebagai manusia yang lemah dan tidak berdaya di depan kebesaran seluruh dunia ciptaanNya. Sebab itu, gereja harus nampak sebagai nurani kasih Tuhan dalam karya dan perbuatan kasih kita sebagai umatNya, dan bukan hanya dalam bentuk bangunan fisik belaka.

    Demikianlah, gereja dan alam raya adalah satu. Gereja dan alam, beserta kita yang memenuhi alam raya ini, tetap percaya bahwa jika Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kita sebagai umat ciptaanNya sendiri. Dan bukannya kita yang mendandani Dia dengan segala kebesaran, kemegahan maupun kemewahan karena jika itu yang kita perbuat, sesungguhnya kita hanya mendandani kehormatan kita sendiri saja. Ya, kita hanya mendandani kehormatan kita saja jika hanya itu yang kita lakukan sambil melupakan bahwa sesungguhnya yang pantas kita buat adalah perbuatan karya kasih. Bukan perbuatan membangun gedung, tetapi perbuatan membangun jiwa. Jiwa kita. Jiwa sesama kita. Jiwa seluruh alam raya ciptaanNya.

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...