02 Januari 2008

KEKUATAN PASKAH

    Minggu sore. Senja belum lagi tiba. Aku duduk di sebuah kafe, sendirian, sambil menyaksikan lalu lalang manusia. Bergerak entah ke mana. Sambil menghirup segelas kopi yang tersaji di depanku, aku mulai merenungkan persoalan-persoalan yang menghimpit jiwaku. Banyak, banyak masalah yang menanti untuk diselesaikan. Sementara jalan keluar seakan-akan buntu. Dengan gundah aku memandang jauh ke depan. Ke horison, persuaan langit dan laut, yang seakan tak berbatas. Langit biru jernih. Laut biru gelap. Dan matahari masih menampakkan kegarangannya. Membakar kulit.

    Dengan perlahan aku menyadari kesendirianku di tempat ini. Kesendirianku di tengah lalu lalang manusia. Manusia-manusia yang bergerak entah kemana. Seakan tanpa tujuan. Tiba-tiba aku menyadari betapa kehidupan yang luas dan beragam ini, cuma sekedar satu alam kecil dalam pikiranku. Satu alam yang kadang terasing dari sekelilingnya. Seorang anak perempuan kecil, menggelajut di punggung ibunya sambil bermain-main dengan asyiknya. Aku memandang wanita itu. Wanita yang sedang duduk bersimpuh sambil menadahkan tangannya ke para pelintas yang nampak acuh tak acuh. Wajahnya yang muram dengan raut yang tak terpahami. Apa yang sedang dipikirkannya? Adakah dia sedang mengkhawatirkan hidupnya? Hutang-hutangnya yang tidak terbayar di tengah penghasilan sebagai pengemis yang tak tentu? Ataukah dia hanya sedih mengingat bahwa malam sudah hampir tiba, sementara nafkah untuk pembeli makanan malam ini belum juga cukup?

    Seorang lelaki muda, berjalan dan melompati pagar pembatas trotoar. Tangannya menjinjing sebuah map lusuh. Wajahnya yang legam, akibat paparan sinar matahari, nampak tak terpahami juga. Apa yang sedang dipikirkannya? Kantor-kantor yang telah menolaknya dengan alasan tidak ada lowongan? Ataukah wajah istrinya atau orangtuanya di rumah yang sedang mengharapkan secercah cahaya bagi kehidupan mereka? Ataukah harapan untuk mempunyai sebuah rumah yang belum mampu dimilikinya sementara dia hanya mengharapkan sebuah lowongan sederhana dari selembar ijazah SMA yang telah usang? Apakah dia masih tetap mampu untuk terus berharap ataukah dia sedang merasa putus asa sehingga tak lagi bisa tersenyum?

    Seorang perempuan muda, di atas becak yang dikayuh perlahan, sedang menangis? Mengapakah wanita itu menangis? Apakah dia sedang merindukan seseorang? Ataukah dia sedang sedih karena harus melakukan sesuatu yang tidak diingininya tetapi tak mungkin ditolaknya? Ataukah dia merasa hancur karena ditinggalkan begitu saja oleh pria yang disayanginya yang telah mengambil seluruh tubuh dan hidupnya? Atau dia sedang kecewa karena terpaksa menolak cinta seseorang, bukan karena dia tidak mencintainya, tetapi karena persoalan intern keluarga? Atau, jangan-jangan dia baru saja mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Atau hanya sedang kecewa karena apa yang diinginkannya gagal dilaksanakannya.

    Dan pengendara becak itu, yang dengan keringat memenuhi dahinya, dengan nafas yang tersengal-sengal, apakah dia tidak memikirkan apa-apa? Ataukah dia sedang gembira karena memiliki penumpang yang nanti akan memberinya sekedar penghasilan untuk bertahan hidup sehari lagi? Tidak pedulikah dia pada wanita yang menangis di depannya? Ataukah dia bisa menyadari kesedihan wanita itu tetapi merasa tidak mampu untuk berbuat apa-apa karena hidupnya sendiri adalah kesedihan terus menerus? Anak Istri yang harus dibiayai untuk hidup. Untuk biaya sekolah anak-anak. Atau, jika dia masih bujangan, mungkin untuk ongkos rumah kontrakan atau rumah kost yang sampai saat ini belum terbayar. Sedang dia telah ditagih terus menerus. Dan dia belum sanggup membayarnya sebab penumpang lagi sepi.

    Sebuah mobil melintas. Dikendarai oleh seorang wanita muda, matanya tertutup kacamata hitam, nampak sedang berbicara lewat telpon selularnya. Apa yang sedang dibicarakannya? Sebuah komunikasi yang nyaris putus? Ataukah sebuah proyek baru yang memberi harapan? Atau hanya instruksi kepada pembantu atau anak-anaknya di rumah? Wajahnya berkerut. Adakah dia tidak bahagia di atas kendaraannya yang bagus itu? Adakah dia sedang memikirkan perselingkuhan suaminya? Atau dia hanya mengkhawatirkan anak-anaknya yang harus diasuh oleh seorang baby-sitter sementara dia sendiri tidak punya waktu lagi untuk mereka karena pekerjaan yang sedang menumpuk? Ataukah dia hanya sekedar bergosip ria dengan temannya tentang perceraian sepasang selebritis? Atau mungkin pula dia sedang bernegoisasi dengan para kreditornya.

    Aku memandang mereka. Aku memandang para pelalu-lalang di depanku. Dan tiba-tiba aku menyadari betapa banyak hal yang tidak kupahami. Dan tidak kukenali. Kehidupanku, di alam yang sedemikian luas ini, ternyata hanya sesempit diri dan pikiranku saja. Dengan masalah-masalahku, aku sering melupakan bahwa semua orang, siapapun dia, tidak mungkin hidup tanpa masalah. Bahwa mungkin, di sinilah terletak daya tarik kehidupan itu. Jika segala sesuatu dapat berjalan dengan lancar, jika semua keinginanku dapat terpenuhi dengan mudah, maka apakah artinya keinginan itu? Bukankah, saat aku berharap, artinya aku masih harus berusaha untuk memenuhi harapan itu? Dan dengan demikian, aku hidup tidak dengan kebosanan tetapi dengan keasyikan untuk memenuhi harapan itu?

    Minggu sore. Dari balik naungan sebuah kafe, di tepi pantai Losari, aku memandang ke lalu lalang puluhan atau ratusan manusia yang terus bergerak. Aku tidak lagi merasa sendiri dalam menjalani hidup ini. Walau masalah yang kumiliki, harus kuselesaikan sendiri, dan setiap insan memang harus mentuntaskan masalahnya sendiri, aku sadar bahwa aku bukan sendirian yang memiliki masalah. Aku hidup di dalam pikiranku, tetapi aku juga hidup di dalam alam raya yang luas ini sebagai bagian dari perjalanan panjang setiap insan untuk mengatasi dan menggunakan talenta-talentanya sendiri. Dengan upaya itulah, aku akan berguna bagi diriku. Dan aku dapat berguna bagi alam semesta. Tuhan menciptakan kita tidak untuk hanya mengeluhkan apa yang kita terima, tetapi untuk berjuang agar apa yang kita terima dapat kita ubah. Dapat kita perbaiki. Dapat kita jaga. Dan dengan demikian, hidup inipun akan punya makna. Kita bisa bersedih, tetapi pantang untuk menyerah kalah. Tuhan tidak menciptakan kita, lewat perantaraan orangtua kita, hanya untuk gagal. Sebab penciptaan kita sendiri berdasarkan pada gambaranNYA dan bagiNYA, semua itu baik adanya. Baik bagi Dia. Baik bagi kita. Baik bagi seluruh isi alam raya ini. Maka mengapa kita harus merasa gagal dan mengalah?

    Langit biru jernih. Beberapa ekor camar melayang lepas. Laut biru gelap. Beberapa perahu nelayan melaut. Jejeran palma. Insan-insan yang bergerak. Semuanya nampak indah. Semuanya nampak sempurna. Dan, walau masing-masing punya dunia sendiri dalam alam pikiran masing-masing, secara utuh, kita adalah insan yang dicintaiNYA. Maka mengapa takut untuk hidup? Toh, pada akhirnya, tubuh kita yang fana ini hanya sekedar daging dan tulang. Yang kelak, kapanpun Dia inginkan, dari debu akan kembali kepada debu. Kita semua akan mengalami hal itu. Tetapi jelas, itu bukan suatu kekalahan. Malah awal dari kecemerlangan kita sebagai manusia. Sebab, kehidupan adalah Paskah. Maka setiap kekalahan akan menjadi kemenangan. Jangan takut untuk hidup. Jangan pernah takut. Dan jika hari akhir tiba, percayalah bahwa ada suatu dunia lain, yang jauh, jauh lebih indah akan menanti kita. Sebab, itulah hadiah bagi kita yang tidak pernah takluk. Yang tidak pernah berhenti untuk berupaya. Yang tidak pernah putus asa dengan hidup. Dan selalu yakin pada kekuatan Paskah. Kekuatan Paskah Tuhan kita. Senja belum lagi tiba.

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...