23 Januari 2008

RIWAYAT SEBUAH KOMUNITAS

    Dua puluh tahun yang lalu satu demi satu kelompok keluarga berdatangan ke suatu komunitas baru yang terletak di pinggiran kota. Mereka berada dalam kehidupan yang setara, ekonomi yang relatip lemah dan berkelompok dalam satu area yang relatip sulit terjangkau. Dengan segala situasi dan kondisi tersebut mereka berjuang untuk hidup, bersatu-padu dalam segala hal, menciptakan suatu harmoni kehidupan yang akrab dan terikat satu dengan yang lain. Dalam persekutuan yang demikian erat mereka menjadi satu kelompok yang solid. Mereka membentuk tim olahraga yang seringkali merebut kejuaraan yang diadakan, membina tim koor yang menjadi tenar kemana-mana dan telah menciptakan suatu ikatan kekerabatan yang sedemikian menyenangkan nampak di mata orang-orang luar.

Tetapi waktu berlalu dengan cepat. Secara perlahan-lahan beberapa dari antara kelompok keluarga itu berhasil keluar dari kesulitan-kesulitan ekonominya dan mulailah satu dua rumah bagus berdiri pada komunitas tersebut. Motor butut menjadi mobil yang mentereng dan posisi-posisi mereka pun mulai berubah di mata masyarakat sekelilingnya. Perubahan-perubahan tersebut mulai menciptakan perbedaan dan perbedaan tersebut secara perlahan kemudian membuat perpecahan diantara kelompok yang dulu demikian solid tersebut. Komunitas itu mulai berubah. Hubungan antar keluarga dan bahkan antar manusia mulai renggang dan retak. Terjadi pengelompokan-pengelompokan pergaulan sesuai dengan kesetaraan ekonomi. Yang sanggup memiliki video-game pasti akan memilih teman yang juga mampu memiliki alat yang sama. Yang sanggup menikmati hiburan-hiburan yang mahal pun akan bersahabat dengan keluarga yang sama mampunya dengan mereka. Dalam hal ini tak ada yang dapat dipersalahkan karena memang demikianlah suatu komunitas tercipta. Kalangan mampu akan dan selalu ingin menyatu di kawasan mewah bersama dengan kelompok yang sama karena mereka dapat berada di sana sesuai dengan kesanggupan mereka. Komunitas tercipta berdasarkan keadaan ekonomi masing-masing. Dan tentunya mereka masing-masing ingin mencari orang-orang yang dapat diajak ngobrol bersama mengenai hal-hal sehari-hari yang mereka alami dan rasakan.

Maka kini komunitas yang pada masa lampau demikian kompak, akrab dan saling menyatu lalu renggang dan terpecah, baik disadari karena ambisi pribadi-pribadi tertentu maupun yang sama sekali tak disadari karena perbedaan pada kemampuan. Melihat pada situasi yang lazim terjadi pada komunitas kita belakangan ini maka sudah sepantasnya masing-masing kita mencari solusi yang tepat agar perpecahan tidak menjadi batu sandungan bagi kita sendiri.

    Pertama-tama marilah kita meninjau pada diri kita sebagai manusia dan mencari akar-akar psikologi perasaan kita sendiri. Secara umum kita, sebagai manusia, ingin diakui bahwa kita ini ada. Dalam upaya menyatakan keberadaan kita itu, kita lalu berjuang dengan segala upaya agar kita mampu berada. Maka saat kita akhirnya menghadapi seseorang yang kita kenal kurang berada dari kita sendiri maka akan terjadilah dua kemungkinan ekstrem: atau keberadaan kita sedemikian kuatnya hingga muncul sikap 'boss' atau keberadaan orang itu sedemikian lemahnya hingga kita bersikap 'iba'. Demikian pula sebaliknya, bila kita menghadapi pihak yang lebih berada dari kita sendiri akan muncul kembali dua sisi sifat: atau keberadaan orang itu sedemikian kuatnya hingga kita merasa 'iri' atau keberadaan kita menjadi sedemikian lemah hingga kita merasa 'rendah diri'. Maka seringkali akan terjadi kontradiksi, bila sikap 'iri' dihadapi dengan sikap 'iba' akan mudah menerbitkan perasaan 'tersinggung' dan bila sikap 'boss' diterima dengan sikap 'rendah diri' akan menjadi sumber keangkuhan walau sering tidak kita sadari. Kombinasi dari benturan atas sikap-sikap tersebut akan menimbulkan akibat-akibat yang seringkali menjadi amat serius bila tidak tertangani dengan baik. Berdasarkan pada tinjauan sifat di atas maka pada saat terjadi konflik, komplikasi yang timbul akan berbeda pada tiap individu tergantung dari sisi mana ia memandang dirinya dan dari sudut mana pula ia memandang orang lain: dari permusuhan yang tajam hingga pada sikap merendahkan diri berlebihan.

    Solusi yang dapat diambil pada saat kita menghadapi situasi demikian tidaklah mudah tetapi salah satunya adalah dengan cara kita lebih memahami diri kita sendiri serta memahami orang lain yang kita hadapi. Cobalah untuk berpikir "menurut cara orang itu" sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Kadang-kadang kita sendiri akan terkejut ketika 'tahu' apa perasaan orang tersebut karena ternyata bahwa bila kita berada pada posisinya kita ternyata akan melakukan hal yang sama. Karena itu, "janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil (Yoh 7:24)" demikianlah sabda Yesus, Tuhan kita. Jadi bila kita menerima sikap orang-orang tertentu apa adanya maka kita akhirnya akan mengetahui atau paling tidak kita akan merasakan latar belakang atas sikapnya tersebut. Tetapi jika kita sendiri, secara sempit terkurung pada diri kita, pada pola hidup kita, pada kemauan kita belaka maka kita selalu akan gagal untuk memahami orang lain. Begitulah kurang lebih akar-akar psikologi yang kita semua hadapi.

Maka komunitas-komunitas kita, terutama yang amat beragam tingkat ekonomi, pendidikan dan pola hidupnya saat ini sering harus mengalami krisis. Karena itu tidak mengherankan bahwa banyak di antara pribadi-pribadi yang kebetulan lemah akan terjerumus ke dalam narkoba, hiburan sesat maupun ke dalam pertengkaran-pertengkaran keras bahkan seringkali berdarah karena kita semua ingin lari dari kenyataan-kenyataan hidup yang sedemikian keras membelit dan malah kadang-kadang membuat orang ingin memberontak dari segala ketidakadilan duniawi. Komunitas itu kini terluka maka sudah selayaknyalah kita semua bertanggung jawab untuk mengobatinya sebab "bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit (Mat 9:12)". Dan jika komunitas yang kita huni saat ini sedang sakit maka itu berarti bahwa kita yang menjadi unsurnya pun sedang sakit. Karena itu marilah kita mengobati diri kita sendiri agar dengan kesembuhan kita, komunitas kita juga dapat tersembuhkan karena efek penyembuhan diri kita akan juga berpengaruh pada orang-orang yang kita hadapi seputar kita. Kita mencoba untuk pertama-tama saling memahami satu sama lain, saling memaafkan dan melupakan pada apa yang telah terjadi dan kemudian memperbaharui diri kita. Demikianlah kita akan menjadi tangan Kristus, kita menjadi kaki Kristus dan bahkan menjadi telapak kaki Kristus karena dalam Dialah kita semua menyatu dalam satu tubuh, tubuhNya yang kudus. Semoga demikian adanya.

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...