23 Januari 2008

SEBUAH PETI KECIL

Sebuah peti. Kecil. Sederhana. Sesosok jasad di dalamnya. Dan jutaan manusia yang mengelilinginya. Ah, dapatkah kita mengatakan bahwa hidup itu tak berguna? Dapatkah kita mengatakan bahwa hidup ini layak disia-siakan? Dengan perasaan tergetar aku menyaksikan suatu panorama kemaha-ajaiban suatu kehidupan yang bermakna. Suatu peristiwa yang menggugah kesadaran kita untuk bertahan menerima apa yang selama ini kita jalani, sambil tetap teguh bertahan pada kebenaran yang diimani. Ya, satu peti yang amat sederhana berisi sebuah jenasah Paus Jihanes Paulus II diantara jutaan orang yang mengiringi pemakaman beliau selayaknya memicu semangat kita. Bahwa hidup ini pantas dijalani. Bahwa hidup ini harus dijalani.

"Jangan takut, tetapi berharaplah selalu pada kebaikan" demikianlah kalimat indah yang telah mengilhami perjalanan hidup Karol Josef Wojtyla. Suatu perjalanan hidup yang panjang. Delapan puluh empat tahun menempuh riak-riak gelombang sejarah yang sering menyakitkan. Waktu memang melintas bersama salibnya sendiri. Tetapi salib itu toh harus dipikul, tak peduli apa yang kita rasakan. Salib adalah tanda bahwa kita ini hidup dan selama kita tetap hidup, salib itu harus kita pikul. Sebab darinyalah kita belajar untuk menghargai kehidupan itu sendiri. Maka sungguh terasa bagiku, ada suatu pancaran kuat semangat iman yang menyala dari balik peti kecil dan sederhana itu. Suatu cahaya yang telah menarik hati jutaan umat manusia untuk tunduk pada kebenaran yang sejati. Bahwa inti dari kemanusiaan kita adalah manusia itu sendiri. Manusia yang selama hidupnya telah dituntun dan diserahkan untuk dipergunakan oleh cahaya Ilahi kudus. Cahaya Ilahi yang penuh kasih.

Sebuah peti kecil. Apakah memang pada akhirnya hanya sesederhana itu kita sebagai manusia? Menyaksikan jutaan wajah yang larut dalam kesedihan dan kerinduan pada sesosok wajah yang pernah hidup, tiba-tiba kita tahu bahwa ternyata hidup menyimpan suatu misteri tersendiri. Bahwa sungguh ada suatu tali hati yang kuat yang telah mengikat kita semua dalam memandang kehidupan sesama kita. Bahwa dunia ini terjalin menjadi satu dalam suatu ikatan yang kasat mata. Kasat mata namun toh, terasa keberadaannya dalam jiwa kita. Sebab itu, siapa pun yang berpikir bahwa hidup itu tak bermakna, siapa pun yang mengira bahwa hidup itu hanya sekedar kesia-siaan belaka dan hendak memusnahkan keberadaannya, haruslah merenungkan peristiwa yang menakjubkan itu.

Kita adalah sesama yang saling merasakan walau tak terlihat. Kita adalah sesama yang saling bertautan walau tak nampak. Kesedihan dan kegembiraan kita adalah kesedihan dan kegembiraan semua umat manusia. Walau sering tak kita sadari, saat kegetiran dan rasa putus asa menerpa, ada sesama kita yang juga merasakan hal yang sama di suatu tempat yang tak tersangka. Dan jika kita menindas dan membuat penderitaan bagi sesama, kita pasti dapat merasakan hal yang sama dalam nurani kita. Kita hanya sering lupa. Atau pura-pura lupa. Dan mengeraskan hati. Tetapi siapa yang dapat menyangkal kebenarannya?

Sebuah peti jenasah yang kecil dan sederhana di tengah jutaan umat menusia yang mengelilinginya telah merangkai satu ikatan kemanusiaan dalam cahaya cinta kasihNya. Dia yang telah menyerahkan seluruh hidupnya agar cahaya Ilahi dapat bersinar melalui dia, kini telah kembali ke rumahNya. Dan kita yang masih terus melanjutkan perziarahan kita di dunia ini pantas untuk menundukkan kepala. Dan bersyukur. Karena lewat dialah, kita kembali mengenal cahaya-cahaya iman yang selama ini meredup. Meredup tetapi tak padam. Tak pernah akan padam. Bapa Paus, selamat jalan. Doakanlah kami yang masih terus bergulat di dunia ini.........

Mengenang Paus Johanes Paulus II

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...