23 Januari 2008

SETELAH PESTA USAI

    Di dalam novelnya yang amat indah, "Tale of Two Cities", Charles Dickens (1812-1870) melukiskan suatu alur kehidupan di dalam pergolakan zaman, Revolusi Perancis 1776, secara amat indah. Suatu perjuangan menentang kekerasan dan kelaliman dengan pengorbanan diri yang tulus untuk cinta. Dengan menyentuh, di akhir film "Working Girl", layar menampakkan seorang wanita, yang sejak awal film tersebut dikisahkan berada dalam golakan emosional dan krisis kehidupan untuk mengejar karir dan karena itu nyaris kehilangan cintanya, memasuki ruangan dan menduduki kursi di hadapan meja kerjanya. Meja yang kini melambangkan statusnya yang tinggi. Sementara itu, perlahan-lahan kamera di tarik mundur, menampakkannya dari jendela dan terus menjauh hingga layar di penuhi dengan panorama gedung-gedung bertingkat dan jutaan penghuni sebuah kota. Dan sayup-sayup terdengarlah nada lagu: "let the river run". Maknanya bahwa apa yang barusan kita saksikan hanya satu episode dari jutaan riwayat lainnya yang pasti tak kalah ruwetnya.

    Maka, apakah manusia itu? Apa yang mesti dicapai dalam kehidupan ini? Dari manakah datangnya pemikiran-pemikirannya? Dan kemanakah akan pergi segala hasil upayanya? Inilah pertanyaan dasar saat kita dihadapkan pada kritis dalam perjalanan hidup kita sendiri. Dan seringkali bahkan kita takkan menemukan jawaban yang pasti. Yang muncul hanya perdebatan di dalam nurani kita sendiri. Tetapi tentu, pergulatan pemikiran itu tidak salah. Malah seringkali berguna sebab di dalam krisis tersebut, jika kita konsisten, akan muncullah simpul-simpul indah makna kehidupan ini. Di luar masalah percaya atau tidak, kita hidup bersama kebenaran yang amat lentur. Kebenaran yang tidak pasti. Kebenaran yang sungguh terbatas.

    Demikianlah catatan ini kutulis dalam hingar bingar kemeriahan pesta dengan wajah-wajah yang berseliweran, bertemu, berbincang, dan saling melempar gurauan sambil tertawa dengan gembira. Bagaimana pun, kurasakan topeng-topeng yang tak terlihat menutupi latar belakang sebuah riwayat. Bersama-sama kita menutupi rasa gelisah, kepahitan dan duka lara kita. Atau malah kejengkelan, kemarahan dan rasa frustrasi terhadap kenyataan yang terjadi. Atau mungkin juga kegembiraan kita dalam memanfaatkan acara yang meriah ini. Hanya, apabila kita berfikir jernih, akan nampaklah kebohongan yang besar dalam praktik hidup kita sehari-hari. Kita, yah kita hanya sebutir debu di dalam lautan luas debu di bumi ini. Kita, manusia yang kelihatan demikian kuat, tegar dan kadang kejam, hanya sebentuk 'bejana dari tanah liat' yang mudah retak dan pecah. Kita hanya mengalir seperti aliran sungai dalam sejarah. Lalu, siapakah kita sesungguhnya?

    Maka tidak bisa tidak, kita harus sadar bahwa pesta harus usai. Pesta akan selalu usai. Seringkali dengan suatu kesedihan bahwa hal-hal yang menggembirakan telah berakhir. Atau mungkin juga dengan suatu kegembiraan bahwa segala kerepotan ini toh berakhir juga. Dan kita pun dapat beristirahat dari segala hiruk pikuk ini. Namun, berakhirnya suatu pesta pasti akan membuat kita merenung sejenak. Demikian pula dengan kehidupan ini. Sebab kehidupan serupa dengan pesta yang harus kita jalani demi untuk menemukan kebenaran yang disembunyikanNya dalam wajah-wajah kita semua. Kita dengan topeng-topeng terselubung kita. Topeng-topeng derita dan kebahagiaan.

Tetapi apapun yang kita rasakan, kita punya satu pegangan. 'Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu' sabda Yesus kepada kita semua. Kepada-Nyalah kita dapat mengeluh tanpa khawatir ditinggalkan. Kerena itu, marilah kita mengikuti jejak satu-satunya orang kusta yang kembali kepada-Nya setelah disembuhkan (lih. Luk 17:11-19). Maka dengan demikian, Dia akan berkata kepada kita: "Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau." Yah, hanya itulah rahasia dari kehidupan kita semua. Marilah bersama-sama mengikuti jalan-Nya, marilah bersama-sama menjadi saudara Tuhan karena itulah yang dikehendaki-Nya. Marilah kita biarkan sungai kehidupan kita mengalir dengan penuh iman, pengharapan dan kasih padaNya. Di situlah akan kita temukan kebenaran yang sejati.

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...