23 Januari 2008

TAK ADA JALAN KEMBALI

    Dia tersenyum sambil menekukkan jari-jarinya. Bayangan dari cermin memantulkan geraknya secara polos. Dia mengejapkan matanya, hidungnya yang pesek kembang-kembis. Dahinya dipenuhi kerutan. Cacat di alis matanya. Dia pandangi seluruh wajahnya. Dia temukan seluruh hidupnya. Bisiknya pada dirinya: "Ini aku. Ini aku. Perasaan dan seluruh perjalanan nasibku. Sungguh terpilah-pilah..."

    Dia lalu melompat. Membuka baju dan membusungkan dadanya. Tulang rusuknya terbayang bagai jeruji penjara. Penjara bagi jiwanya yang terkurung di sana. Jiwa yang terasa dalam detak jantungnya. Dia membuka seluruh pakaiannya. Tubuhnya terpampang secara polos di depan cermin. Dia tersenyum. "Hidup" katanya, "Apakah bedanya dengan mati?" Detakan jantungnya adalah pusat dunia. Dia meraba dadanya dan tiba-tiba merasa kagum. "Aku merasakan denyut jantungku, dan itu berarti aku hidup. Jika tidak lagi kurasakan dia berdenyut, artinya aku tak ada lagi" Dia pun berdiri dan tertawa ter bahak-bahak.

    Rumah itu telah terkepung oleh puluhan polisi. Beberapa polisi mengarahkan laras senapan langsung ke arah jendela di ruangan tempat dia saat ini berada. Mereka menanti. Dan penantian ini seakan tak berujung. Sebuah jalan lurus, monoton, membosankan. Sekaligus menegangkan. Mayor Joni bertumpu di atas sebuah drum minyak di teras rumah itu. Terus berseru-seru kepada dia: "Menyerahlah. Anda telah terkepung" Suaranya yang lentang bergema. Seakan ingin memberitahu seluruh dunia makna kekuasaan dan kekuatan. Dan kekuasaan serta kekuatan itu adalah suatu hukum yang seakan tanpa cela. Lingkaran kata yang sulit untuk memahami makna keberadaan sebuah kehidupan. Kebencian pada penantian membuatnya ingin meledakkan tembakan pertama. Tetapi di sana ada penyandera dan sandera. Ada pelaku dan korbannya. Ada pula harga diri yang menahannya, kekhawatiran akan dianggap tidak adil dan lancang telah menahan jari-jarinya hanya diam pada pelatuk senapannya. Maka kini, dia yang berada dalam rumah mau pun yang di luar saling menanti. Saling mengintai. Suatu permainan aneh dari insan-insan yang hidup. Berseru, menanti, membidik, menanti. Melingkar tanpa awal tanpa akhir. Melelahkan. Mencari suatu kesempatan saat keadaan mencair. Atau meledak dalam suatu ledakan yang tak tertahankan.

    Dia pun mengenakan pakaiannya. Berlambat-lambat. Seakan ingin menghentikan waktu. Dari pantulan cermin di belakangnya, pada dinding putih yang kokoh, tergantung sebuah salib. Sebuah salib dengan sebuah tubuh yang kurus tergantung padanya. Dia memandang salib itu. Berapa lamakah dia hidup? Berapa jauhkah dia bentangkan jarak antara kebenaran dan kejahatan? Bukankah selama ini dia telah mengisi jarak itu dengan percobaan untuk berbuat adil? Percobaan untuk menegakkan kebenaran? Tetapi mengapa semuanya nampak sia-sia? Apakah karena dia harus mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah? Ya, adilkah jika demi keadilan dia melakukan ketidak-adilan? Benarkah jika demi kebenaran dia melakukan ketidak-benaran? Tiba-tiba dia ingin menangis. Jalan nasib telah menancapkannya di sini. Suatu upaya yang gagal untuk membenahi kehidupan. Karena dia sendiri telah menghancurkannya. Tak ada lagi jalan kembali. Tak ada. "Persetan semuanya" desisnya. Dia mengusir perasaan yang lemah itu. Dia pun mengenakan jaket kumalnya. Dia bergerak ke pintu sambil menjinjing senapan yang telah dipersiapkannya. Dia menuju medan pembantaiannya sendiri. Dia meringis. Hatinya membatu. Ketidak-adilan telah membawanya kemari. Dia telah dihancurkan. Dan karena itu pun akan menghancurkan. Suatu pembalasan. Kini dia akan menuntaskan segalanya. Secara jantan. Secara tunai. Hingga impas.

    Di balik pintu, sang maut telah menantinya. Dia tahu itu. Tetapi apa yang perlu dikhawatirkan? Dia toh, telah banyak kali membuat orang menjumpai sang maut. Dan jika kali ini waktunya tiba, mengapa dia harus takut? Mati sekarang atau nanti, sama saja. Dunia telah menolaknya. Dunia telah mengucilkannya. Hidup hanya memperpanjang duka. Maka dia lalu mengangkat senapannya. Mengokangnya. Di luar hanya bayang-bayang yang ada. Di luar hanya bayang-bayang. Bayang-bayang.

    Waktu berjalan lambat. Amat lambat. Mayor Joni mengomel. Sang sasaran, penjahat itu berada di dalam kegelapan ruangan. Tak teraba. Dan dia sendiri di luar, bersama anak buahnya sendiri adalah sasaran juga. Dia terus mengomel dan berseru. Dia sadar bahwa tak ada gunanya segala tingkah lakunya itu. Tetapi tak kuasa dia hentikan. Karena untuk itulah dia di sana. Maka oleh kegamangannya sendiri, dia bangkit berdiri. Dia mengkhayalkan, bahwa sang buronan sedang berdiri di sana. Sang buronan yang akan membawanya ke ketenaran namanya. Telah berbulan-bulan dia mengejarnya. Mayor Joni telah menanti-nantikan kesempatan ini. Dan saatnya telah tiba. Sejak kemunculan bandit itu, dia terus diomelin oleh para pembesarnya. Bandit, perampok liar yang terus merampoki para tuan tanah yang kaya raya. Tuan tanah banci yang hanya dapat mengeluh jika kesenangannya terusik. Sementara jika kesenangan orang lain diusiknya, mereka hanya tertawa-tawa kesenangan. "Polisi yang tidak becus" demikian Mayor Joni sering mendengarkan kalimat itu dari mereka-mereka yang menjadi korban. Kini tibalah saat pembalasan dilaksanakan. Dan dia kian tak sabar untuk menanti.

    Dia lalu merayap pelan ke pendopo depan rumah itu. "Akan kuhabisi kau bangsat" desisnya. Dia bangkit mendadak dan berlari cepat mendekati jendela kamar tempat dia perkirakan sang sasaran berada. Mendadak terdengar bunyi letusan. Dengan pontang-panting Mayor Joni membuang dirinya, rata di atas tanah. Dia bergulingan dan terjun ke dalam selokan yang berlumpur pekat. Pakaiannya menjadi pekat dan bau tajam menusuk memenuhi hidungnya. Sebuah tembakan, dia gelengkan kepalanya. Lalu mengumpat. Tetapi kepengecutannya bangkit. Tubuhnya kini mulai berkeringat dingin. Lututnya gemetar. Dia terus terbenam dalam selokan yang bau itu. Tidak bergerak. Diam. Dan lagi-lagi menanti. Sementara itu, kepala-kepala lain yang tadinya nampak, kini semuanya mendadak lenyap. Mereka menjaga jiwanya sendiri. Maut terasa amat dekat.

    "Maut datang." Dia terlentang di lantai marmer ini. Batu pertama telah dilemparkan. Bukan oleh orang lain tetapi oleh dirinya sendiri. Karena dia sadar bahwa tak ada lagi jalan ke luar dari kemacetan ini. Dia mengenali sang maut lalu mulai berguyon padanya. Sebuah tembakan dilepaskannya. Keras menghantam perutnya. Peluru masuk ke lambung dan terus menembus ke luar, ke tembok di belakangnya. Tembok putih yang kini dipenuhi dengan bercak-bercak darahnya sendiri. "Maut datang." Saat perih menjadi tak terasa lagi. Saat duka tak lagi mengusik. Karena akal segera mati. Akal akan mati. Berganti sepi. Sepi. Hidupnya akan segera usai. Tetapi tak ingin dia tangisi semua yang telah terjadi. Tak ada penyesalan. Tak ada. Haknya di atas bumi ini telah terampas. Dan dia balik merampas. Hanya soal balas membalas. Dia tak pernah ragu dan tak ingin ragu sekarang. Tak ada jalan kembali. Segala hal telah terjadi. Segala hal telah berlalu. Kini dia ingin berhenti dan beristirahat dalam damai.

    Maka dengan gemetar, dia kembali mengangkat tangannya. Mengarahkan senapan itu langsung ke kepalanya. Sandiwara telah usai. Tabir akan segera turun. Sisa satu tarikan saja. Lalu segalanya lewat. Apa yang akan terjadi kemudian, tak seorang pun tahu. Tak seorang pun. Dia telah berlaku adil pada hidup ini. Biarkan mereka yang di luar menanti. Menanti hingga prosesi ini tuntas. Dia tak ingin menggembirakan hati mereka dengan menangkapnya hidup-hidup. Dan dia juga tak ingin mencederai siapa-siapa. Para sandera itu hanya dongeng yang dikarang-karang. Tak ada siapa-siapa yang bersamanya. Dia hanya sendiri. Mutlak sendiri.

    Kami berdiri di luar. Kami sama merenung. Apakah artinya hidup? Apakah artinya penderitaan? Dunia hanya sejumput debu. Dan debu itu sendiri tak pernah mengkhawatirkan nasibnya. Maka kami pun menyaksikan Mayor Joni yang menunggu di luar, tak berani masuk. Sementara kembali terdengar satu ledakan dan sang buronan tak lagi dapat ke mana-mana. Satu menanti dan ingin mengelaki maut. Satu menyongsong dan memeluki maut. Maka apa pula arti dari segala peristiwa ini, kelak, setelah para pemburu dan buruan saling bertemu? Kami tidak memahaminya, belum lagi.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...