11 Januari 2008

TOPENG

    Suatu malam, dalam sebuah pesta aku melihat dua orang wanita asyik berbincang-bincang, tangan mereka erat bersalaman serta saling melempar senyum. "Teman akrab atau saudara yang lama tidak bersua" pikirku dalam hati. Beberapa saat kemudian, bersama seorang bapak, aku bertemu kembali dengan salah seorang wanita itu. Kami lalu ngobrol. Wanita itu berkata padaku tentang temannya tadi: "Uh, perempuan genit dia." Dan beberapa menit kemudian aku bersua dengan wanita yang satunya lagi. Katanya tentang wanita sebelumnya: "Norak, berpakaian semacam itu......" Begitulah, mereka yang baru saja tampak demikian akrab ternyata punya pandangan yang demikian tajam berbeda. Ah, hidup memang sebuah sandiwara. Kemunafikan manusia tersembunyi di balik topeng tingkah laku yang dibuat-buat. Ironi yang nyata dari sebuah kehidupan beradab yang kelihatan rapi, manis, indah, rukun tetapi ternyata konyol dan hampa.

    Demikian juga kita. Tidak jarang, saat kita membicarakan seseorang dan kebetulan dia muncul, kita langsung mengalihkan pembicaraan. Saling melempar senyum dan tawa. Kita memuji orang yang tadi, sebelum dia ada, kita cela dengan sinis. Kita semua ternyata memakai topeng. Yah, kita terpaksa hidup dengan topeng agar harmoni tercipta. Agar suasana nampak aman dan damai. Kita harus mengorbankan perasaan agar konflik tidak terjadi.

    Tetapi haruskah topeng itu dipergunakan terus menerus? Tidakkah pada akhirnya penumpukan kejengkelan yang mengendap dapat berakibat fatal, baik bagi diri kita sendiri maupun orang-orang lain di sekeliling kita? Hidup memang tidak sederhana. Keinginan kita mendominasi keadaan hidup kita. Dari saat kelahiran hingga sekarang, kita hidup bersama pengalaman-pengalaman. Namun pengalaman itu tidak punya arti tanpa upaya kita untuk merenungkannya. Sebab itu, jika kita menghadapi pilihan antara harus bertopeng atau tidak, haruslah kita memiliki kesadaran diri untuk memutuskannya. Tanggung jawab kita terhadap diri sendiri selalu terpaut dengan kepentingan orang lain. Sebab itu topeng diri harus dipergunakan sesuai dengan konteksnya. Jika merugikan banyak pihak maka selayaknya kita berkata dengan jujur agar kebenaran dapat disuarakan. Kita berpatokan jelas pada fakta. Dan realitas.

    Semoga kita layak untuk bersuara bersama tanpa harus mengorbankan kepentingan lain yang lebih luas. Semoga kita dapat menjadi terang bagi orang lain yang terlelap dalam ketidak-tahuan dan kegelapan. Semoga.

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...