13 Februari 2008

RENUNGAN TOBAT

Saya akan menuturkan satu kisah kecil dari buku karangan Paulo Coelho, The Alchemist. Kisahnya dimulai dari seorang saudagar yang mengirimkan putranya untuk menemui seorang bijak agar dapat mempelajari makna dari kebahagiaan. Maka sang putra pun berkelana, menyeberangi gurun selama empat puluh hari hingga dia tiba di muka gerbang suatu istana yang indah di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu bermukim. Tanpa menemui orang bijak itu dahulu, sang putra memasuki beranda istana dan menyaksikan aneka ragam kegiatan: para pedagang yang datang dan pergi, kumpulan orang yang sedang ngobrol di sudut-sudut ruangan, orkestra mini yang sedang memainkan musik lembut dan pada tengah ruangan terdapat sebuah meja panjang yang dipenuhi oleh makanan lezat dari antero penjuru dunia. Si orang bijak nampak berdiri mengobrol dengan setiap orang dan sang putra harus menanti selama dua jam sebelum akhirnya beraudensi.

Maka orang bijak itu mendengarkan dengan tekun alasan kedatangan sang putra tetapi kemudian menyatakan bahwa dia tak sempat untuk mengajarkan makna rahasia kebahagiaan. Tetapi dia menyarankan sang putra untuk mengelilingi istananya dan kembali kepadanya dalam waktu dua jam.

"Sambil menikmati istanaku, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku." Katanya, dan disodorkannya sebuah sendok berisi dua tetes minyak zaitun. "Sambil kamu keliling, bawalah sendok ini tanpa menumpahkan isinya." Maka sang putra pun mulai naik turun tangga istana dengan mata tetap pada sendok itu karena khawatir isinya kan tumpah. Setelah dua jam selesai berkeliling, dia kembali menemui orang bijak itu.

"Nah," tanya orang bijak itu, "Apakah kamu menikmati keindahan yang ada dalam istanaku: taman-tamannya, permadani Persia yang menghias balairung dan kandel kristal yang bergantungan di ruang makanku?" Sang putra merasa malu dan mengaku tidak memperhatikan apapun karena ia hanya mengawasi minyak pada sendok yang dipegangnya agar tidak tumpah seperti yang dipercayakan orang bijak itu padanya.

"Kembalilah dan perhatikanlah istanaku yang menakjubkan ini" kata orang bijak itu lagi, "Kamu tidak dapat mempercayai orangnya bila rumahnya tidak kami kenali." Dengan demikian, sang putra kembali menjelajahi istana itu sambil memegang sendok tadi. Tetapi kali ini matanya menikmati keindahan karya seni yang terdapat di dalam istana itu: lukisan pada langit-langit, kepermaian taman-taman yang ditumbuhi aneka warna bunga-bungaan, lukisan yang mengagumkan pada tembok. Dia mengagumi segala hal yang ada di sana. Sekembalinya dia pada orang bijak tersebut dia lalu mengungkapkan secara rinci segala hal yang telah disaksikannya.

"Tetapi mana minyak zaitun yang telah kupercayakan kepadamu?" tanya si orang bijak itu. Sang putra lalu memandang pada sendok yang masih digenggamnya tetapi yang isinya telah kosong dan sendok itu pun kering. "Baiklah, hanya ada satu nasihat yang yang kuberikan kepadamu" kata orang bijak itu, "rahasia kebahagiaan adalah melihat segala hal tanpa melupakan dirimu sendiri. Demikian pula sebaliknya, jangan hanya terpaku pada dirimu sendiri dan melupakan segala hal yang terjadi di seputarmu."

Kini, ada satu kisah lagi yang telah saya lupa judulnya tetapi kalau tidak salah penulisnya adalah Leo Tolstoy, pengarang terkenal dari Rusia. Kisah ini bertutur tentang seorang pahlawan perang yang amat disegani tetapi merasa frustrasi melihat kekerasan pertempuran lalu menjadi seorang rahib dengan ambisi untuk memperbaiki moral dunia. Sebagai seorang rahib, dia bersikap amat keras dan suaranya sedemikian menggelegar hingga dia menjadi seorang yang amat tersohor. Dia menekan, memaksa dan terkadang bahkan melakukan kekerasan untuk mengubah sikap orang lain. Dia bersikap menjadi setengah dewa. Tetapi pada akhirnya dia kembali menjadi kecewa dan merasa kalah. Orang-orang memang mengikuti kata-katanya dengan seruan yang keras. Mereka berseru: "Jangan membunuh" sambil menikam lawannya. Mereka berteriak: "Jangan berzinah" sambil berplesiran di lokalisasi pelacuran. Mereka berdoa untuk orang-orang papa sambil memeras mereka agar kekayaan mereka terus bertambah. Demikianlah, dengan perasaan muak dan patah rahib itu kembali ke keluarganya yang selama ini dilalaikannya. Dia kembali kepada istri dan tiga orang anaknya, dua putra dan satu putri. Dia lalu bertekad untuk merubah moral keluarganya yang telah ditinggalkannya sekian lama demi hal-hal yang, menurutnya, lebih besar. Hasilnya, dari ketiga orang anaknya itu, satu putranya menjadi pemberontak, satu menjadi penurut seperti kelinci tanpa memiliki kemampuan apa-apa dan putrinya lari meninggalkan dia karena tak mampu terbebani dengan aneka aturan yang ditetapkannya. Maka dengan kelelahan dia pun hidup dengan istrinya yang selama ini setia mendampinginya dan senantiasa mendukungnya. Lalu, pada suatu ketika dia tiba-tiba jatuh cinta pada seorang anak dari sahabatnya sendiri. Dengan gigih dia melawan godaan hatinya,, tetapi pada akhirnya dia gagal dan mulai berselingkuh dengan gadis yang patut menjadi cucunya itu. Kisah ini berakhir dengan satu solilokui panjang tetapi intinya adalah: untuk mengubah dunia, pertama-tama kita harus
mengubah diri kita sendiri lebih dahulu.

Begitulah, dua kisah ringkas yang saya harap dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua dalam masa pertobatan ini. Sungguh tak mudah untuk memahami hidup ini karena jalannya tidak sesederhana yang sering kita inginkan. Sungguh tak mudah untuk memahami orang-orang, termasuk diri kita sendiri, tanpa dijejali dengan hasrat untuk mendakwa dan mengarahkannya menjadi lebih baik, selama apa yang lebih baik itu adalah keinginan kita sendiri. Manusia bukanlah batu-batu tanpa perasaan dan tanpa nalar, dia amat individual. Karena itu, untuk memahami orang lain, pertama-tama kita mesti memahami diri kita sendiri. Karena itu, tekad untuk berguna bagi orang lain mesti berawal pada fungsi diri kita sendiri. Apakah kita sungguh-sungguh ingin berbuat tanpa pamrih? Ataukah ada yang ingin kita capai dengan perbuatan itu? Apakah kita bekerja untuk Tuhan atau hanya demi ambisi kita sendiri? Jika kita memang ingin bekerja demi Tuhan maka pertama-tama kita harus mampu memaafkan orang-orang lain, baik segala tindakan maupun pikiran dan perkataannya. Marilah kita selalu mengawali renungan kita dengan doa yang diajarkan oleh Tuhan sendiri: "Ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah
kepada kami" karena "Jikalau kami tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu.: (Mat. 6:15). Marilah kita, seperti kata Yohannes Pembaptis tentang diri Yesus: "Ia harus
makin besar tetapi aku harus makin kecil." (Yoh. 3:30). Marilah kita sama berharap agar dengan tobat kita bersama, kelak kita kan mendampingi Dia sebagai sahabat sejati seperti yang diinginkanNya, dan bukan lagi sebagai hamba (Yoh. 15:15). Karena itu dalam masa pertobatan ini, pertama-tama kita harus saling mengampuni dan dari dasar yang bersih kita menata hidup kebersamaan kita secara baru kembali. Kita mengampuni, kita memahami dan kita bekerja untuk kita semua dan bukan untuk hasrat, ambisi dan ilusi yang kita bentuk selama ini. Setuju?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...