08 Maret 2008

SEBUAH RENUNGAN MENJELANG PASKAH

Malam dengan hujan mengguyur. Dan kilat. Dan petir. Dan angin. Jalanan sepi saat aku melintas di perempatan jalan sungai saddang dan veteran di kotaku. Tiba-tiba aku melihat, seorang anak gadis kecil sedang diseret oleh seorang pria kekar dengan menarik rambutnya. Dan tangan pria itu sesekali melayang memukuli wajah gadis cilik yang menangis meraung-raung. Aku terpana melihat peristiwa itu. Ada beberapa kendaraan lewat, menyaksikan kejadian itu, dan berlalu tak peduli. Termasuk seorang anggota polisi bermotor yang hanya melihat sejenak lalu lewat juga. Dan nampaknya tak ada yang peduli dengan gadis cilik itu. Samar-samar aku mendengar bentakan pria kekar itu, "Mana uang, kenapa begitu sedikit yang kau dapat. Bagaimana kita bisa makan bila hanya 500 rupiah saja yang kau dapat......?"

Malam dengan hujan mengguyur. Dan dingin menusuk tulang. Namun jauh lebih dingin lagi dalam sanubariku. Untuk makan, kewajiban siapakah menyediakannya? Apakah kewajiban dara kecil itu, ataukah kewajiban orang dewasa? Dimanakah tersimpan hati nurani kita saat itu? Mengapakah kekerasan seringkali dilakukan atas nama hak kita sebagai orang yang merasa lebih berkuasa? Dengan rasa sakit dalam hatiku, aku melihat peristiwa malam itu sebagai awal segala kekerasan di dunia kita. Ya, kelak bukankah dara kecil yang belum mengenal dunia ini akan melakukan hal yang sama terhadap mereka-mereka yang lebih lemah pula? Dimanakah keadilan saat itu? Dan dimana pula kebenaran yang sering kita dengungkan dalam tiap kesempatan? Kemanakah perginya kepekaan kita sebagai manusia? Kemana?

Melintas di perempatan jalan sungai saddang dan veteran malam itu, membuatku tiba-tiba teringat akan segala kitab dan bacaan mengenai cinta kasih terhadap sesama yang telah kubaca. Teringat akan segala petuah dan nasehat tentang kebenaran dan keadilan yang wajib kita lakukan di dunia ini. Terkenang pula aku akan kalimat-kalimat mengancam akan pembalasan Tuhan bila kita tidak melaksanakan kehendakNya di dunia ini. Ya, aku teringat semuanya dengan perasaan penuh ironi dan kesakitan di dalam hatiku. Manusia, ah manusia, siapakah engkau? Hidup dalam kenyataan jauh, ya jauh lebih menantang pemikiranku daripada segala buku teori tentang bagaimana untuk bisa hidup sejahtera dan aman.

Dan akupun ternyata tidak berhenti untuk mencegah kekerasan itu. Aku takut akan resikonya. Aku takut untuk mencampuri apa yang tidak terkait dengan hidupku sendiri. Maka dengan perasaan perih, aku lewat saja dan meninggalkan kejadian itu jauh di belakangku. Berusaha melupakan kejadian-kejadian nyata dalam dunia untuk segera sembunyi dalam ruang kamarku yang terang, aman dan nyaman. Sambil membaca buku-buku tentang cinta kasih dan upaya untuk meraih keberhasilanku sendiri. Aku pun menjadi manusia yang biasa. Menjadi manusia yang tak juga berhasil untuk menemukan makna keberadaanku di dunia ini. Aku hidup dalam perlindungan kekuasaan, kekayaan dan kekuatan sendiri. Aku.

Menjelang hari raya Paskah ini, aku membaca iklan tentang panggilan untuk menonton bersama film The Passion of Christ. Film yang menampakkan kebengisan manusia terhadap manusia lain yang jauh lebih lemah. Manusia yang tanpa kekuatan, kekuasaan apalagi kekayaan sehingga dapat dengan mudah dipaksa untuk mati. Sebuah film tentang Kristus yang menderita. Namun kekerasan yang dipaparkan adegan demi adegan mengkhawatirkan aku pada sebuah kata, balas dendam. Pada akhirnya, kita hanya manusia dan sebagai manusia, kita cenderung melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan hanya karena contoh yang juga seharusnya tidak dicontoh. Film menarik yang menuturkan penderitaan manusia Yesus, penderitaan yang sesungguhnya denga rela dipanggul-Nya demi menanggung dosa-dosa manusia, membuat kita memandang para pelaku dengan rasa marah. Dan ingin membalas. Pada saat itu juga kekerasan menampakkan dirinya dalam bentuk kemarahan kita terhadap prilaku mereka yang telah menyiksa Kristus. Padahal, bukan itu maksud Yesus sendiri. Bukan, bukan itu. Dia yang telah bersabda "Kasihilah sesamamu manusia" tak akan pernah menerima tindakan balas dendam yang penuh kemarahan dan karena itu merasa sah untuk melakukan kekerasan terhadap sesama kita. Sesama kita semua. Siapa pun dia.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...