17 Mei 2008

BBM DAN PERJUANGAN TIM PIALA UBER


 

Matahari terik. Udara panas menyengat. Aku berada di barisan belakang antrian panjang sebuah Depot Pengisian Bensin, beberapa hari lalu. Di luar, jalanan macet karena sekelompok mahasiswa sedang melakukan demo menentang rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak, tepat di depan kampus. Mereka melakukan pemblokiran jalan sambil membakar ban bekas di tengah jalan raya. Sepasukan polisi nampak mengelilingi depan kampus sambil melihat segala kegiatan mereka. Suara hingar bingar dari klakson, asap knalpot dan dengung suara gas kendaraan terus menerus memenuhi udara. Aku melihat segala kekisruhan itu tanpa tahu harus berbuat apa. Ya, di sini, para mahasiswa melakukan demo untuk menolak keputusan yang akan menyusahkan rakyat tetapi sambil menyusahkan rakyat juga. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semua hal nampak seakan tidak sinkron? Aku, bersama puluhan atau malah ratusan kendaraan terjebak dalam ketidak-pastian kondisi dan hanya mampu menunggu. Dan menunggu. Kapankah segala hiruk pikuk ini dapat berlalu?

Akhir-akhir ini hidup memang terasa tidak menyenangkan. Rencana kenaikan BBM akan menyusahkan kita. Tetapi demo menolak kenaikan BBM pun kian menambah kesusahkan juga. Terjebak di tengah polusi kota, dan secara mendadak aksi saling lempar batu antara mahasiswa dan aparat keamanan, aku melihat banyak wajah-wajah pasrah yang tak bisa berbuat apa-apa. Selain sabar menunggu, semoga situasi dapat segera teratasi dan kembali normal. Namun, kapankah itu? Kita seakan berjalan dalam lorong gelap tanpa ujung. Kita seakan menempuh kekelaman tanpa tahu adakah secercah cahaya yang nampak di ujung perjalanan ini. Kita berjalan sambil meraba-raba, sambil menebak-nebak, tetapi juga saling menyikut dan menjegal satu sama lain, karena keyakinan kita hanya ada pada kebenaran yang kita pikirkan sendiri. Kita ingin menang, tetapi tak tahu apakah kemenangan itu. Mengapa semua ini harus terjadi?

Semalam, aku menyaksikan perjuangan tim Piala Uber. Gegap gempita penonton yang memberikan dukungan kepada para pemain kita. Maria Kristin, Vita Marissa, Lilyana Natsir, Adriyanti Firdasari dan kawan-kawannya telah memperjuangkan angka demi angka demi mencapai harapan yang kita inginkan bersama, kemenangan. Jatuh bangun. Keringat bertetesan membasahi lapangan. Segala daya dan tenaga terkuras untuk mencapai harapan itu. Namun, harapan tinggal harapan. Kita harus mengakui kekuatan pemain lawan. Kita kalah. Tetapi kekalahan itu dicapai dalam suatu perjuangan keras dan pantang menyerah. Maka penonton pun tetap gegap gempita. Tidak, kita kalah dalam hasil, tetapi tidak kalah dalam nilai juang. Maka disini, nilai hiruk pikuk bernada lain dari hiruk pikuk yang kutemukan di jalan raya, depan Depot Pengisian Bensin beberapa hari lalu. Di sini, hiruk pikuk terjadi karena kita mengakui bahwa nilai suatu perjuangan tidak terletak pada apa yang kita inginkan, tetapi pada apa yang telah kita upayakan.

Maka aku kira, hidup pun demikian adanya. Hidup adalah suatu proses panjang dalam waktu yang harus kita tempuh, bukan sambil mengharapkan keberhasilan yang cepat. Hidup bahkan mungkin saja akan mengalami kegagalan. Namun, intinya, hidup seharusnya tidak tergantung pada hasil, tetapi pada upaya dan proses yang kita lewati. Waktu kehidupan kita, yang seringkali terasa amat panjang ini, sesungguhnya hanya sebintik saja dalam rangkaian waktu alam semesta. Maka mengapa kita terus mengharapkan keberhasilan yang segera mungkin? Mengapa kita harus menikmati kesenangan dan kebahagiaan itu sendiri? Mungkin itu layak, tetapi lebih pantaslah bahwa segala upaya kita ditujukan, bukan pada keberhasilan kita sekarang, tetapi lebih pada keberhasilan perjalanan kehidupan kemanusiaan kita. Pada kebahagiaan anak cucu kita. Atau bahkan pada keberhasilan generasi yang jauh di depan kita kelak. Maka, jika pun kita gagal dalam perjuangan kita sekarang ini, kegagalan ini dapat menjadi arah pegangan buat anak cucu kita untuk berbuat jauh lebih baik lagi. Ya, semangat itulah yang harus kita miliki sekarang. Saat kesulitan demi kesulitan menerpa. Saat harga BBM terus meningkat dan produksi terus menurun. Saat beban hidup kian bertambah dan kian mahal. Saat segala sesuatu nampak kelam dan tanpa ada cahaya secercah pun di depan terowongan yang kita jalani ini. Kita harus hidup dan menata kehidupan ini kembali, dengan proses panjang, langkah demi langkah, kegagalan demi kegagalan, sehingga kelak semua itu dapat menjadi titik tolak keberhasilan kita demi kemenangan anak cucu kita. Bukankah semua ini layak kita jalani?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...