10 Mei 2008

DENY

Wajahnya menyiratkan raut kesedihan dan kepasrahan yang dalam. Kerut-kerut terukir halus di dahinya. "Kata orang, untuk berbahagia di dunia ini, janganlah tergantung pada orang lain. Aku setuju itu. Sudah dari masa remaja, aku tak pernah mau tergantung atau menggantungkan diri pada orang lain. Tetapi soalnya adalah, aku tidak tergantung pada orang lain, memang, tetapi semua orang tergantung pada diriku. Aku merasa harus mengangkat beban orang lain dan aku tak berdaya untuk melepaskan ketergantungan mereka dari hidupku. Aku tak bisa hidup hanya untuk diriku sendiri. Aku tak bisa melepaskan diri dari keterikatan orang padaku. Beban mereka, walau aku merasa keberatan, haruslah kupikul seorang diri. Maka aku harus selalu berusaha agar orang lain merasa senang. Walau pasti tidak akan menyenangkan diriku sendiri......" Dia menghela nafas dan menatap jauh ke depan.

Hidup memang tidak tergantung pada bagaimana kita memikirkannya. Hidup adalah pengalaman yang kita alami, kita saksikan dan kita rasakan sendiri. Kadang kita memandang seseorang dengan perasaan sinis saat kita menyaksikan atau sekedar mendengar apa-apa yang telah atau sedang mereka lakukan. Namun, yang pasti, dia bukanlah kita. Kita takkan pernah tahu dengan pasti apa yang sedang merundung mereka. Kita hanya melihat kulit luar, topeng wajah, suatu perbuatan, tanpa mampu mengetahui jejak-jejak di belakangnya. Manusia hidup bersama perjuangan batinnya sendiri. Manusia hidup dalam perasaannya masing-masing. Dan yang nampak mungkin, hanya segaris senyum di bibir atau tawa lepas tanpa arti apa-apa.

Demikianlah, dia setiap hari berdiri dan mengatur perparkiran di suatu kawasan pertokoan yang amat ramai dan padat. Dengan mengenakan t-shirt yang nampak kusam, dia berseliweran di antara deretan beraneka jenis mobil yang sedang terparkir sambil sesekali meniupkan sempritan murahan yang dibawanya. Hampir setiap bertemu dengannya, aku menyapanya dan dia membalasnya dengan senyuman ringan. Namun, di suatu siang yang amat terik, aku mendengar kabar kalau dia terlibat dalam perkelahian dan mengalami luka-luka serius akibat tikaman di bagian perutnya. Nampaknya perkelahian itu berhubungan dengan perebutan lahan parkir di pusat keramaian itu. Maka sore menjelang malam ini, aku menengoknya di sebuah rumah sakit tentara di kotaku.

Dia saat ini tinggal bersama ibunya yang sudah tua di sebuah rumah sederhana di tepi kanal. Bersama mereka juga hidup adik perempuannya bersama suami dan tiga orang anaknya. Iparnya, seorang pengangguran dan adik perempuan nya sendiri tiap hari sibuk mengurus ketiga anaknya yang masih kecil. Ayahnya, pensiunan tentara, sudah lama meninggal karena TBC. Maka semua beban keluarga di rumah kecil itu praktis berada di pundaknya. Pernah, sebelum mengenalnya dengan lebih baik, aku mendengar dari masyarakat sekeliling, bahwa dia adalah seorang bajingan dan menjadi kepala anak-anak nakal di kompleks tentara itu. Namun kemudian, saat kami berkenalan lewat ibunya, dan dia aktip membantu kami dalam suatu kegiatan sosial, ternyata aku menemukan sosok yang ramah walau agak keras, ringan tangan walau sedikit angkuh, cerdas dan tak pernah menolak pekerjaan yang kami rencanakan. Walau tak pernah mau dibayar sepeser pun, dia sibuk membantu kami dalam menjalankan proyek sosial kami.

Maka sore hari ini, saat menjenguknya, aku melihatnya duduk di sandaran ranjang rumah sakit, dengan tangan kanan yang terkulai bersama sebuah selang infus yang tergantung dekat kepalanya. Wajahnya beku dan terasa dingin saat aku menyampaikan salamku. Kami berbincang sejenak tentang hal-hal sederhana dan kemudian, saat aku bertanya mengapa dia harus terlibat dengan semua perselisihan dan perkelahian itu, dia pun menjawab dengan perasaan yang nampak sekali amat pahit, "Aku harus, demi uang, untuk hidup kami. Sebab kalau bukan aku, siapa lagi? Siapa yang akan memegang tanggung jawab atas mereka? Atas orang-orang yang aku sayangi? Siapa?"

Dengan sedih aku menatap wajahnya. Dengan pedih aku merasa betapa dunia ini terkadang amat tak adil. Inilah seorang bajingan di mata masyarakat namun seorang malaikat di mata keluarganya. Hidup memang seringkali hanya bisa kita pandang dari kulit luar saja. Kita, yang tiap hari bangun dengan santai lalu duduk membaca koran pagi sambil menikmati segelas kopi, dan sesaat kemudian merasa letih membaca berita-berita kekerasan yang ditampilkan setiap hari, mungkin sambil mengutuk para pelaku kekerasan itu, tak pernah memahami latar belakang sebelum kekerasaan itu terjadi. Hidup kita sering hanya terpaku pada peristiwa yang sedang terjadi, tetapi tak mampu memahami mengapa peristiwa itu sampai terjadi.

Keluar dari gedung rumah sakit ini, aku bertanya-tanya dalam hati. Dimanakah kita saat ada orang-orang yang membutuhkan kita? Pernahkah kita berpikir tentang kehidupan orang-orang lain? Tentang kesedihan orang-orang lain? Tentang nasib dan kesengsaraan orang lain? Tentang kelemahan orang lain? Atau kita hanya terpaku pada nasib, kemalangan dan kesedihan diri kita saja? Mengapa demikian banyak dari antara kita bahkan ingin melarikan diri dari nasib dan kemalangan kita tanpa pernah mau tahu kepiluan mereka-mereka yang tetap bertahan dalam menghadapi tanggung-jawabnya terhadap kehidupan ini? Ah, dia yang dianggap sampah masyarakat, ternyata jauh, ya jauh lebih kuat dari sebagian di antara kita yang hanya dapat mengeluh dan bahkan ingin mengakhiri hidup ini karena kita takut untuk memikul tanggung jawab kita atas kehidupan ini. Dia telah mengajarkan kepadaku, bahwa hidup ini, sepahit apapun, haruslah kita hadapi demi tanggung jawab kita terhadapnya.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...