03 Juli 2008

LAHIR-HIDUP-MATI

Saat-saat kita memasuki ulang tahun kelahiran kita, saat-saat kita menyadari betapa jangka hidup kita telah semakin jauh meninggalkan waktu awal kita dan menyadari masa depan yang kian menyempit, apakah yang layak kita renungkan? Akankah kita menangisi kebebalan kita? Kegagalan untuk menggapai segala cita dan harapan yang telah kita tata di masa-masa muda kita? Atau keharuan dan kegembiraan karena kita ternyata telah berhasil menjalani hidup ini apa adanya, sesuai dengan apa yang telah kita pikirkan, dan selaras dengan apa yang telah kita inginkan? Apapun juga yang kita rasakan saat hari-hari awal kian jauh kita lewati, dan masa-masa baru segera menghadang di depan, kita harus menyadari betapa waktu semakin sempit bagi kita untuk berguna. Ya, waktu telah menjadi sesuatu yang layak kita syukuri sekaligus layak pula kita telusuri, seakan meniti satu demi satu tangga kehidupan yang kian dekat ke akhir.

Maka demikianlah, saat aku mengenang kembali masa lalu di saat memasuki ulangtahun kehidupanku di bumi ini, aku harus berhenti sejenak untuk memikirkan apa yang telah kulakukan selama ini. Gagalkah aku? Berhasilkah aku? Sedihkah aku? Senangkah aku? Atau semuanya mengalir begitu saja tanpa arti apa-apa? Hidup, datang dan pergi, bertiup bagai angin yang kadang semilir menyejukkan dunia, tetapi tak jarang pula berhembus dengan kencang dan menimbulkan bencana. Hidup, kita berkembang atas keputusan-keputusan kita dalam menjalaninya, dan atas tanggung-jawab yang berani kita pikul tanpa perlu mengurbankan siapapun atas segala apa yang kita alami, sebab hidup kita berdasarkan pada apa yang telah kita pikirkan, kita buat dan kita jalani sendiri. Kita bukanlah orang lain. Aku bukanlah kalian. Walau aku bisa bersama kalian. Aku tetap aku. Walau aku bersamamu.

Demikianlah, saat waktu untuk mengenang kembali masa-masa yang telah lewat tiba, saat waktu untuk memikirkan kembali masa-masa datang yang akan segera tiba, tepat di hari ulang tahun kita ini, marilah kita coba untuk berhenti sejenak. Marilah kita coba untuk melupakan kesulitan dan kemudahan yang sedang kita alami, kita berhenti untuk berbuat apa-apa, demi untuk menyusun kembali potongan-potongan hidup yang selama ini telah kita kerjakan, telah kita yakini sebagai kebenaran, dan terkadang membuat kita harus bertarung untuk mempertahankan apa yang kita anggap benar. Kita. Diri kita. Ambisi kita. Nafsu kita. Kebenaran kita.

Kita menarik nafas panjang dan menikmati nikmatnya udara yang masih sanggup memenuhi paru-paru kita. Kita menikmati panorama dunia, taman-taman bunga, gedung-gedung yang tinggi menjulang, gubuk-gubuk liar yang kumuh, puncak-puncak gunung dan tanah-tanah tandus, bumi kita yang permai namun juga merana. Kita merasai kesendirian kita. Sebab hidup, pada akhirnya adalah mutlak kesendirian. Hidup, pada akhirnya hanya kita saja, hanya aku saja, hanya diri pribadi saja yang harus mengalami semua itu. Dan tak pernah bisa kita wakilkan. Kematian akan datang, esok atau lusa atau kelak, adalah persuaan kita sebagai pribadi tanpa mampu kita wakilkan, apapun kekuatan-kekuasaan-kekayaan yang kita kita miliki saat ini. Ya, kita ini praktis lahir dan hidup sebagai diri kita sendiri dan kelak akan mati mutlak dengan kesendirian pribadi kita.

Inilah renunganku saat meninggalkan tahun lama dan memasuki tahun baru kehidupanku. Ulang tahun, indah tetapi juga menyedihkan. Namun, aku harus tetap tersenyum, sebab jika tidak, apa kata dunia?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...