25 Oktober 2008

DEMOKRASI

Pernahkah engkau membayangkan, seperti apakah rupa kita beberapa tahun kemudian? Seperti apakah hidup kita satu, lima atau sepuluh tahun ke depan? Dapatkah kau membayangkannya? Membalik kenanganku pada masa lampau, mengenang segala harapan dan semangat yang dulu pernah kumiliki, maka aku kini merasa betapa ganjilnya semangat menggebu-gebu, semangat tak mau kalah, semangat untuk bertarung menghadapi segala sesuatu yang nampak berbeda dengan jalan pemikiranku. Usia telah membuatku takluk. Pengalaman hidup membuatku sadar, bahwa pada akhirnya aku harus mengadakan kompromi terhadap orang lain, terhadap situasi lingkungan dan terhadap kondisiku sendiri. Hidup, pada akhirnya, adalah bukanlah sebuah medan peperangan. Hidup, ternyata adalah medan pemahaman terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi orang-orang lain yang berbeda denganku.

Demikianlah, hidup dimulai dengan, bukan kita saja yang ada dan punya hak ada di dunia ini. Hidup adalah kebersamaan yang diciptakan bagi semua. Untuk semua. Dan demi semua. Dari titik inilah, toleransi dimulai. Kesadaran bahwa kita tak sendirian, dan karena itu, menyeragamkan segala sesuatu sesuai dengan jalan pemikiran kita adalah hal yang mustahil. Dari pengalaman sejarah, kita belajar bahwa, untuk sesaat kita mungkin mampu memaksa orang lain dengan kekerasan dan ancaman untuk takluk dan mengikuti keinginan kita. Tapi hal itu takkan pernah akan abadi sifatnya. Akan tiba saatnya, keseragaman yang dipaksakan pecah menjadi kekacau-balauan yang bahkan jauh lebih buruk dari pada keadaan perbedaan yang dibebaskan terjadi. Dan seringkali juga, pemaksaan kehendak untuk keseragaman itu bukan berasal dari niat baik untuk semua, tetapi hanya demi kepentingan untuk berkuasa.

Dari sisi inilah, kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, misalnya tentang pro dan kontra sesuatu hal, bukan menjadi suatu jalan buntu bagiku. Sebaliknya, sikap pro dan kontra ini haruslah diterima sebagai sikap untuk kita menerima perbedaan itu sambil mencari pemecahan masalah tersebut. Bukan ditutup-tutupi atau bahkan dipaksa untuk ditutupi agar tidak bersuara sehingga seakan-akan nampak situasi yang aman dan kondusif. Padahal ada bara dalam sekam. Dengan mengizinkan tiap orang bersuara sesuai dengan pemikirannya, suatu saat kelak, kita bisa menemukan butir-butir pemikiran yang tak terduga-duga. Saat ini kita memang masih dalam proses belajar untuk saling mengeluarkan pendapat masing-masing, namun suatu saat nanti, saya yakin bahwa pada akhirnya kita akan menyadari dan menemukan saling pemahaman satu sama lain. Jadi selama sikap pro dan kontra tidak dibarengi sikap pemaksaan dengan kekerasan, biarlah berkembang dengan sendirinya.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...