16 Januari 2009

GAZA

"Mengapa Tuhan membiarkan perang di Palestina terjadi?" demikian tanya seorang anak kecil kepadaku lewat SMS. "Ya, mengapa Tuhan membiarkan kekerasan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan kita? Mengapa manusia bertindak sebagai jagal bagi sesamanya? Jika Tuhan ada, bagaimana IA bisa membiarkan pembantaian, bahkan sering atas nama-NYA? Mengapa?" Ah, nak, aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan ini. Aku tidak tahu. Karena aku sendiri sering menanyakan hal yang sama terhadap diriku. Pertanyaan yang sama.

Ketika kusaksikan bom berdentuman di pemukiman dan teriakan kesakitan para korban, ketika aku membaca penderitaan manusia-manusia yang lemah dan tak berdaya, ketika aku mendengarkan kabar-kabar yang mengiriskan hati tentang tubuh yang remuk bertebaran akibat ledakan, aku pun selalu merasa bimbang pada kemampuan kita untuk memiliki cinta kasih. Ah, jelas kita memilikinya, namun nampaknya cinta kasih itu tertuju hanya pada mereka-mereka yang dekat pada kita, mereka-mereka yang kita kenali, mereka-mereka yang se paham dengan kita. Di luar itu, kita saling terasing satu sama lain. Saling terasing.

Dalam banyak hal, kita hanyalah nafsu untuk saling menguasai, nafsu untuk membalas, nafsu untuk tidak terkalahkan, nafsu untuk menghancurkan yang berbeda dengan kita. Kita tak pernah memikirkan para korban yang berjatuhan karena nafsu kita. Kita hanya memikirkan ambisi saat kita mampu menaklukkan lawan kita. Karena semua yang lain, semua yang berbeda, semua yang tidak sama dengan kita adalah musuh. Ya, dan kita sering menyamakan pemikiran kita, nafsu kita, ambisi kita dengan kehendak Tuhan. Maka kita berjuang untuk menghancurkan, saling menghancurkan, karena kita merasa bahwa kita adalah pembela-NYA. Dan jika kita mati, kita percaya bahwa IA akan menerima kita, IA akan memberi kita kebahagiaan surgawi. Tetapi benarkah itu, nak? Benarkah itu?

Ah, aku tak tahu jawabannya, nak. Aku sungguh tak tahu. Kita dilahirkan, kita ada, kita hidup, kita bergelut dengan segala macam hasrat, nafsu, ambisi dan kekuatan kita. Tetapi seharusnya kita juga memiliki nalar dan nurani untuk menentukan kebaikan apa yang harus kita wariskan kepada dunia. Kebaikan nak, bukan kehancuran. Tetapi lihatlah ke seputarmu. Saksikanlah kekejaman yang bisa kau tahu tetapi mudah-mudahan tak kau alami sendiri. Karena ada ribuan anak, bahkan mungkin jutaan anak telah terlibat langsung sebagai korban dalam proses hancur menghancurkan. Karena segala upaya atas nama politik, agama, bisnis, kelompok maupun hanya untuk pribadi orang-orang tertentu, telah membuat kita kehilangan kemanusiaan kita. Kehilangan daya pikir kita. Kehilangan cinta kasih kita. Bahkan kita telah kehilangan Tuhan.

Orang-orang itu nak, mengatakan bahwa Tuhan berada di belakang mereka. Ya, Tuhan berada di belakang mereka. Tak tahukah bahwa seharusnya Tuhan berada di depan kita? Memimpin jalan kita dan bukannya kita yang memimpin jalan-NYA? Mengapa Tuhan membiarkan perang di Palestina terjadi, tanyamu. Mengapa? Itu karena anggapan manusia, nak. Anggapan manusia melulu. Bahwa merekalah yang istimewa. Merekalah yang paling patut untuk hidup. Merekalah orang-orang pilihan. Lain dari itu, tak pantas dibiarkan ada. Lebih pantas untuk dimusnahkan. Ah, nak bersedihlah jika ingin, tetapi hidup nampaknya memang demikian. Memang demikian.

Maka bagimu, bagiku, bagi kita, sesungguhnya pertanyaan itu muncul bukan untuk dijawab dengan argumentasi panjang, bukan dengan kata-kata indah menyejukkan hati, bukan dengan mengutip ayat-ayat tertentu. Bagi kita nak, ialah memperjuangkan bagaimana agar kita dapat menghasilkan upaya untuk mengurangi penderitaan sesama kita. Kita toh harus mengakui keterbatasan kita untuk mengatur pemikiran seseorang karena jika itu kita lakukan, lalu apa bedanya kita dengan mereka yang mau mengatur pikiran dan kehidupan orang lain dan karena itu merasa tak bersalah untuk menghukum bahkan membantai sesamanya? Bukankah begitu nak?

Hidup seringkali terasa pahit, mengecewakan dan sering kita bertanya-tanya tentang peran Tuhan dalam segala kekacauan dan kemelut kehidupan kita. Dimana DIA? Dimana? Ah, nak, Tuhan ada di dalam hatimu. Di dalam hatiku. Di dalam hati setiap orang. Hanya jauh lebih sering tak kita kenali. Karena segala hasrat, ambisi, nafsu, kebencian, dendam, telah membuat IA tenggelam jauh ke belakang. Jauh ke belakang. Jauh............

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...