21 Maret 2009

BOLANGI 2009

Udara panas membara. Matahari terik menusuk kulit. Aku melangkah di antara jejeran nisan yang bisu. Tak ada angin. Langit biru jernih. Aku membaca nama-nama yang tertera pada nisan-nisan yang beraneka gaya. Nama-nama yang dulu pernah ada. Hidup yang dulu pernah mewarnai waktu. Dan di sini, masa lampau tiba-tiba menyatu dengan saat ini. Apakah artinya keberadaanku sekarang? Jika pada akhirnya, kelak, aku – jasadku – jasadku, akan terpendam dalam diam dan sepi, siapakah aku sebenarnya? Mengapa sering aku merasa ngotot pada hal-hal yang kuanggap penting? Sungguhkah penting apa yang kutantang itu?

Duduk di depan nisan istriku, kutatap lautan nisan yang membisu dalam sunyi. Sayup-sayup kudengar suara lantunan doa dari para peziarah di siang nan terik ini. Seekor kambing merumput dengan santai. Tak peduli pada lalulalang kami, mengais di ilalang yang menguning kering akibat terpaan udara panas. Dengan perasaan galau, kutatap kehidupan satu dua yang melintas, seakan waktu tak pernah merisaukan jiwa. Seakan hidup akan abadi dalam perjalanan waktu. Ah, siapakah aku? Bukankah aku hanya hinggap sejenak di kehidupan ini, untuk kelak akan lalu dalam ketak-berhinggaan?

Panas terik menyiram bumi. Beberapa pohon kemboja merunduk lesu. Dan dalam keheningan ini, kuhadapi hidupku dengan penuh tanda tanya. Apa yang sedang kucari? Apa yang sedang kupikirkan? Apa yang sedang kualami? Hidup mengalir dengan pasti dan aku tahu pasti, betapa singkatnya keberadaanku dalam waktu yang telah berjalan ber-abad-abad ini. Dan akan menuju ke abad-abad kemudian. Aku berdoa. Aku berharap. Aku memohon. Namun betapa sepi menikam rasa. Sepinya hidup ini.

Nama. Apa artinya itu? Siapakah dia yang pernah ada? Masihkah dia tersimpan dalam sejarah? Atau waktu telah menggusur kenangan dalam lupa yang berkepanjangan? Akan menuju kemanakah kita kelak? Kutatapi sebuah makam yang penuh ditumbuhi semak belukar. Ilalang yang telah menutup seluruh bentuk makam itu menenggelamkan nisan-nya hingga nama yang dulu pernah ada lenyap dalam rimbunan semak yang menguning, lesu dan tak berdaya lagi. Tiba-tiba aku berpikir, mungkinkah nama itu dahulu telah demikian gigih berjuang melawan sesuatu dalam kegairahan untuk hidup? Lantas kemanakah dia pergi sekarang? Apakah artinya semua itu bagiku sendiri? Mengapa hanya sunyi yang menjawabnya? Mengapa hanya sunyi? Mengapa?

Dengan perlahan, kutaburkan bunga di atas makam yang kini diam ini. Perasaan kehilangan, perasaan sepi, perasaan tak berdaya menusuk jiwaku. Pada akhirnya, toh, aku pun akan menyerah dalam menghadapi waktu. Tubuhku yang hanya sekedar sebentuk daging akan menua, melemah dan takluk juga. Dan kesini jugalah akhirnya aku menuju. Dengan segenap kepasrahan, menyadari keterbatasanku, aku merasakan udara siang ini yang demikian terik ini, dengan semacam semangat baru. Jika pada akhirnya tubuh ini akan kembali dalam pelukan sang bumi, jika pada akhirnya waktu akan berlalu dan melupakanku, keberadaanku sekarang, saat ini, takkan kusia-siakan hanya dengan mengeluh atau memberontak. Aku ada saat ini. Aku hidup sekarang. Aku mereguk segalanya dalam suatu kepastian. Sebab, tak kemana kelak aku menuju, kecuali ke akhir dimana segalanya akan kuserahkan dalam istirahat abadi di pelukan sang bumi.

Daun-daun gugur. Bumi diam. Langit biru. Sosok-sosok bergerak. Hidup, wahai hidup, apa pun yang kau alami saat ini, sesungguhnya kehidupan itu indah. Rasakanlah. Nikmatilah. Alamilah. Dan suatu pengalaman adalah bagian dari sejarah yang kelak mungkin terlupakan oleh catatan-catatan dunia, namun tetap akan abadi dalam catatan-catatan pribadi sesosok insan. Bahwa sesungguhnya kita telah ada. Bahwa sesungguhnya kita telah hidup. Apapun akhirnya nanti, sadarilah bahwa semuanya takkan abadi, kita telah menggenggam suatu perjuangan untuk punya arti. Keberadaan kita kini merupakan andil bagi kehidupan di dunia ini. Andil bagi kehidupan dunia kini. Dan bersamanya, kitalah yang sadar bahwa kita telah ada dan akan ada selamanya. Ada dalam sepi. Ada sendiri. Tapi ada. Ada.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...