30 Mei 2009

ALAMANDA ROOM, HOTEL IMPERIAL

Sabtu petang. Terselip di antara puluhan penonton, aku saksikan suatu pertunjukan keahlian memainkan piano, organ dan gitar di atas panggung. Musik mengalun, kadang lembut - kadang ceria, dari jemari yang dengan lincah memainkan nada-nada dengan ritmis. Wajah dan gerakan tubuh yang tersedot ke dalam alunan dengan hentakan-hentakan indah. Musik menampakkan kekuatannya dalam merengkuh perasaan ke alam bawah sadar kami. Suatu kekuatan yang mengalir lepas, bebas dengan sepenuh ekspresinya. Melayang. Mengalir. Larut.

Dalam nuansa itulah, tiap peserta yang tampil akan menampakkan kapasitasnya dalam memainkan dan menikmati irama yang dimainkannya. Ada yang kelihatan mengikuti secara eksak chord-chord yang baku, ada pula yang secara bebas membiarkan jiwanya lepas mengalir mengikuti rasa hati dan keindahan jiwanya tanpa merasa terikat pada lembaran chord. Saat tekanan pertama pada tuts piano diawali, saat itulah permainan dimulai dan tak mungkin lagi dihentikan hingga pertunjukan usai. Perasaan menyatu dalam gelombang irama yang naik turun mengikuti kata hati. Keindahan. Kenikmatan. Kebahagiaan. Menikmati diri sendiri dengan musiknya masing-masing.

Dalam suasana perasaan yang tenggelam dalam lautan nada tanpa kata, menikmati gelombang irama yang kadang cepat kadang lambat, aku tersadar betapa keindahan suatu lagu tergantung pada jedah-jedah kosong, saat musik berhenti sejenak sambil memberikan kesempatan kepada jiwa untuk meresapkan nada-nada yang baru lalu. Masa jedah yang tergantung pada perasaan dan intuisi masing-masing pemain. Masa jedah yang tergantung bagaimana mereka memberikan inspirasi atas nada-nada yang telah dimainkan. Kosong menentukan isi. Kosong melarutkan perasaan. Sebab nada-nada yang berlanjut terus tanpa jedah meletihkan pendengaran. Meletihkan jiwa. Dan meletihkan hidup.

Sabtu petang. Suasana di ruang yang cukup besar ini bergetar dalam hening. Alunan nada mengalir. Lembut dan Keras. Tinggi dan rendah. Mengalir mengikuti suasana hati dan jiwa para pemainnya. Mengalir ke dalam jiwa para penonton yang menikmati mereka dalam hening di pikiran. Dan saat-saat tertentu, ketika musik berhenti sejenak, terlarutlah denyut-denyut keindahan sebagai getaran-getaran yang menyentuh jiwa. Lirih menyentuh hati. Sebagaimana larik-larik puisi yang memerlukan keheningan jiwa, setiap alunan musik terhenti dengan gaung panjang dalam jiwa kita.

Dan mungkin demikian pula dengan kehidupan kita ini. Tak seorang pun yang mampu bertahan jika harus hidup terus menerus dalam kesibukan. Selalu ada saatnya kita membutuhkan momen-momen dimana kita berhenti dan meninggalkan sejenak keriuhan dan larut dalam perenungan pada kesendirian kita. Justru pada momen demikianlah kita dapat menikmati diri kita sendiri. Momen terindah bagi kita adalah saat kita mampu menyadari segala hal yang telah membuat kita gembira. Dan momen itu justru muncul saat kita sadar akan diri kita, sadar pada keberadaan kita, sadar dalam keheningan dan kesunyian kita.

Musik mengalun kembali. Jemari-jemari lentik itu mengawali tekanan pertama pada tuts dengan penuh perasaan lalu mengalir mengikuti nada dan kata hatinya. Saat itu, lenyaplah segala teori, lenyaplah segala apa yang ada di sekeliling, larut ke dalam nada yang mengalun indah dan bergelombang dengan penuh daya dan kekuatan yang mampu menghentak jiwa. Lalu tiba masanya hening sejenak datang seakan menyentak kesadaran kita untuk kembali dari alam mimpi sambil meresapkan segala apa yang telah lalu sebelumnya. Musik adalah kesadaran saat hening, bahwa dia telah berlagu dalam irama-irama indah. Demikian pula hidup, akan tersadari, saat berada di tengah perenungan saat hening kita nikmati dalam kesendirian. Betapa indahnya. Betapa menakjubkannya. Betapa.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...