09 November 2009

TEMBOK BERLIN KOTA SORONG

Cahaya senja menaburkan warna-warna jingga di langit, di antara awan hitam yang ber-arak di atas lautan luas, serta gelombang lunak yang memukul pantai. Dan di tepi tembok penahan gelombang duduklah berpasang-pasangan para remaja yang menatap jauh ke ufuk barat. Deretan penjual bakso, ikan bakar dan lainnya memenuhi sepanjang pesisir ini dengan semarak tenda yang beraneka warna. Petang tiba dalam riuh kendaraan yang melintas di jalanan. Dan seorang ibu nampak sedang menyuapi seorang anak lelaki kecilnya sambil berbisik entah apa. Demikianlah sore itu, aku berdiri menikmati panorama kehidupan petang kota Sorong.

Jauh di tengah samudra, membayang samar-samar pulau buaya dan beberapa pulau kecil lainnya. Inilah sepenggal kehidupan di antara keluasan alam raya. Dan betapa kecilnya aku, hanya sebutir debu yang tak berarti sama sekali di antaranya. Menengok sejarah yang telah berjalan teramat panjang, apalah artinya sepenggal riwayat yang kita susuri ini? Namun, disini, tepat di tepian tembok berlin kota Sorong ini, aku melihat panorama alam dengan diriku sendiri. Aku ada. Dan aku menikmati serta memikirkannya. Mungkin, dalam kesendirianku, aku terpesona memandang keindahan warna senja di langit yang mulai mengelam sambil merenungkan kekerdilan diri, namun tetap terasa bahwa aku memusat dalam keberadaanku saat ini.

Wanita yang tadi menyuapi anak lelaki itu, kulihat memandang anak tersebut sambil sesekali berseru jika melihat dia menggaruk tanah. Dan anak itu hanya mengangguk perlahan namun tak juga menghentikannya kegiatannya. Dia terus menggali, membentuk tumpukan tanah menjadi bentuk yang terasa asing bagiku, lalu meratakannya kembali. Wanita itu kemudian hanya menatap sambil sesekali melarang tetapi kata-katanya seakan bergaung di lirih di tengah keriuhan deru kendaraan. Wajahnya yang cukup cantik nampak tenang, namun raut-raut kerut kulihat memenuhi dahinya. Dan nampaknya wanita itu menyimpan suatu kegelisahan dalam pikirannya. Suatu kegelisahan yang tak terucapkan dengan kata-kata.

Jauh di tengah laut, sebuah biduk kecil nampak kesepian terombang-ambing gelombang. Beberapa ekor camar melayang lepas dan sesekali satu dua ekor nampak seakan mengambang di atas biduk itu. Dunia tenang, seakan mengambil istirahat setelah pergulatan dalam udara yang terik dan gerah sepanjang hari ini. Dan kota Sorong mulai berbenah menuju malam yang menjelang tiba. Aku menyerap suasana itu tanpa kata. Tanpa hasrat untuk berkata-kata. Dan memang, ada banyak hal dalam kehidupan yang kita jalani ini, takkan bisa dijelaskan hanya dengan kata. Ada banyak hal yang hanya bisa dijalani dan dialami. Serta diresapi. Keindahan, kesunyian, kerinduan, kelembutan selalu membawa rasa damai dalam hati walau hanya sekejap. Dan itu cukup sebagai pengimbang segala kesibukan kita sepanjang hari yang dilintasi.

Waktu adalah milik kita. Dan ketika kusadari itu, aku mengenang mereka-mereka yang selalu merasa kekurangan waktu. Bagi mereka, waktu tak pernah cukup. Waktu tak pernah cukup, bukan karena mereka tak punya waktu, namun karena merasa tak pernah cukup kesempatan untuk terus meraih kekuasaan-kekuatan-kekayaan yang terus menerus membayangi kehidupan mereka. Waktu adalah milik kita. Kita bukan milik waktu. Sebagai pemilik, kitalah yang harus mengatur penggunaannya, dan bukan waktu yang mengatur kita. Sesekali, kita layak untuk berhenti. Layak untuk menikmati waktu yang kita miliki. Layak untuk melihat ke sekeliling kita. Sungguh, petang hari di pantai Sorong ini, aku menyaksikan kehidupan yang berjalan bersama keberadaanku sendiri. Kita ini memang sekecil debu, namun juga pusat kehidupan. Tanpa kita, tanpa keberadaan kita, bukankah tak ada hidup? Dan tak ada waktu? Ya, mungkin tetap ada hidup dan waktu, tetapi bukankah kita tak pernah akan mengetahui dan mengenalnya?

Malam menjelang tiba. Langit perlahan tenggelam dalam kekelaman. Dan makin banyak pula yang berdatangan memenuhi sepanjang pantai ini. Mereka datang bergerombol. Berpasangan atau hanya se orang diri. Tak ada yang peduli. Tak ada yang menghalangi. Hidup ada untuk dinikmati. Waktu ada untuk dijalani. Sebaik-baiknya. Dan wanita dengan anaknya tadi telah lama menghilang. Entah kemana, aku tak tahu. Mendadak aku merasa betapa kita, ya kita semua, sesungguhnya hanyalah pendatang di bumi yang indah ini. Kita semuanya hanyalah pendatang. Yang kita miliki hanyalah sang waktu. Waktu yang akan mengawal kita hingga akhir. Dan sebagai pendatang, kita tak pantas mengeluh. Sebab pada akhirnya, kita semuanya akan pulang kembali. Pulang kembali........

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...