10 Desember 2009

RETAK

"Saya tidak mengerti" katanya kepadaku. "Pernikahan kami sudah memasuki tahun yang ke empat dan seharusnya kami sudah saling mengenal satu sama lain. Tetapi, dalam setiap masalah, bahkan yang paling tak berarti pun, dia selalu melaporkannya kepada ibunya. Dan keluarganya pun selalu mau ikut campur dalam urusan kami. Ya, keluarganya selalu mengintervensi permasalahan kami yang terkadang hanya karena sesuatu yang sederhana dan seharusnya dapat kami selesaikan berdua saja, bisa menjadi tak terkontrol dan membesar. Itu yang membuat saya jengkel. Saya capek dan muak dengan semua itu...". Matanya nampak berkaca-kaca. Wajahnya yang gemuk, dan biasanya selalu menampilkan senyum dengan banyak seloroh ringan, kini nampak serius dan tegang.

Dia, temanku, seorang pria yang berusia 37 tahun. Percakapan ini kami lakukan di sebuah resto kecil dan sepi. Baru saja beberapa hari lalu dia "menghilang" sehingga sempat merepotkan keluarga dan bahkan teman-temannya, yang harus pontang panting mencari keberadaannya. Ternyata dia 'menyepi' di sebuah hotel untuk menenangkan diri setelah satu pertengkaran sengit dengan istri dan keluarga istrinya. Keluarga yang nampak dari luar seakan harmonis dan tidak memiliki persoalan. Mereka memiliki tiga orang anak yang sungguh manis dan cerdas. Dan tak seorang pun yang menduga bahwa ada 'ketegangan' yang terjadi di antara mereka.

Aku kenal mereka cukup lama. Saat-saat pacaran mereka cukup panjang dan penuh keriangan, karena sifat temanku ini yang periang. Aku memandang dia dan merenungkan, betapa ada hal-hal yang tak sepenuhnya bisa dipahami dalam kehidupan bersama. Saat-saat indah dimana hanya ada aku dan kau, ternyata melupakan kami dan kamu. Seorang individu tidak hadir sendirian. Dan sebuah keluarga diciptakan untuk menjadi kita, bukan hanya dari aku dan kau tetapi juga dan semestinya dari kami dan kamu. Dan jika ternyata kita hanya tahu tentang kau dan gagal mengenal kamu, akan terjadi banyak kejutan saat menjadi kita kelak.

Dapatkah kita mengenali sosok-sosok yang membentuk kepribadian seseorang? Mampukah kita untuk memahami, tidak hanya sifat pasangan kita, tetapi juga sifat keluarga pasangan kita? Saat-saat pacaran yang indah hanya mampu kita kenali hingga di ruang tamunya, dan kita takkan pernah tahu apa yang terjadi di balik kamar keluarganya. Dan ketika sebuah keluarga dibentuk, kita tidak hanya menerima dia sebagai pasangan hidup kita, tetapi juga mereka yang berada bersama dia. Dan dalam pengalamanku, ada banyak masalah, bahkan sebagian besar masalah, yang terjadi bukan karena sifat dan kepribadian pasangan yang telah saling memahami, tetapi karena adanya perbedaan sifat, tradisi dan kebiasaan keluarga yang melingkupinya. Dan itulah resiko sebuah pernikahan.

"Aku sadar bahwa kebiasaan mereka untuk saling membantu sangat luar biasa. Terkadang kami mengalami masalah finansial, dan keluarganya dengan sukarela dan tanpa pamrih selalu siap membantu. Tetapi haruskah soal-soal pribadi antara kami juga direcoki? Haruskah sampai masalah makanan dan dapur, bahkan kamar tidur kami juga diatur? Haruskah itu? Aku tak bisa menerimanya, ya jujur saja, tetapi aku pun tak mampu untuk menolaknya. Keluarganya sungguh baik dalam hal-hal tertentu, tetapi juga, menurutku, sungguh buruk untuk hal-hal lainnya. Aku capek. Aku memang capek... Tetapi apa yang harus kulakukan? Coba, apa yang harus kulakukan..." katanya dengan penuh rasa frustrasi dan kekesalan.

Aku melihat ke wajahnya yang lesu tanpa tahu harus menjawab apa. Apa yang dialaminya sekarang adalah sebuah tantangan sulit bagi kehidupan kebersamaan mereka, suami dan istri. Dan tidakkah istrinya juga harus menyadari tantangan itu? Menyadari bahwa ada sesuatu yang selayaknya menjadi rahasia mereka sendiri, dan tidak perlu dibuat melebar ke seluruh keluarga besar mereka. Tetapi aku sadar juga betapa sulitnya dia untuk melakukan hal itu, sebab sudah menjadi sifat istrinya yang amat dekat dengan ibunya untuk meluapkan isi hati kepada sang ibu. Dengan demikian, persoalan terjadi sebenarnya karena ada kesulitan komunikasi antara mereka. Dia telah gagal untuk membuat dirinya menjadi tempat curahan hati istrinya sendiri sehingga istrinya harus meluapkan perasaannya kepada orang yang dia rasa paling dekat kepadanya, ibunya sendiri.

Dan memang, banyak perkawinan retak hanya karena ketak-mampuan kita untuk menerima orang-orang lain di lingkungan pasangan kita. Kebersamaan dalam perkawinan memang bukan hanya ikatan dua individu yang bersatu menjadi keluarga kecil, tetapi juga dan terutama ikatan dua keluarga yang berbeda untuk saling terkait, saling menerima dan saling memahami. Jika itu tidak terjadi, jika itu gagal dipahami, terjadilah krisis. Aku tak mampu menjawab pertanyaan temanku ini. Aku hanya berharap bahwa dia, dan juga istrinya, mampu untuk menghadapi guncangan tersebut secara bersama-sama. Secara bersama-sama.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...