13 Desember 2009

SEMUA ADA WAKTUNYA

Semua ada waktunya. Semua ada saatnya. Mungkin besok. Atau beberapa hari kemudian. Atau minggu depan. Atau bulan depan. Tak seorang pun bisa tahu kapan. Kita harus menunggu. Tetapi semua ada masanya. Yang kita perlukan hanya semangat. Dan kesabaran. Semangat dan kesabaran. Agar jika kesempatan tiba, kita dapat meraihnya dengan sukacita. Dengan penuh rasa syukur. Seharusnya demikianlah hidup ini kita jalani. Demikianlah kesulitan ini harus kita lalui. Dengan menempuh waktu yang sering terasa tanpa ujung. Namun percayalah, penantian kita takkan abadi. Penantian kita akan berbuah manis. Pada saatnya kelak. Pada akhirnya kelak.

Siang menjelang petang. Lelaki muda itu berdiri termanggu di lantai lima Mall megah itu. Dia memandang ke bawah, ke lalu lalang manusia yang lewat seakan tak pernah letih. Manusia-manusia yang penuh kesibukan, walau dia sendiri tak tahu apa yang mereka sedang kerjakan. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Dan hatinya berselimutkan kesedihan. Dia merasa tak berdaya. Dia merasa tak berguna. Hampa dan putus asa. Semangatnya telah sirna dalam gelapnya masa depan yang tak dikenalnya sama sekali. "Aku tak punya harapan lagi.." bisiknya dalam hati. "Aku tak diberi kesempatan untuk hidup. Untuk berbuat sesuatu sesuai dengan bakatku..." Dia mengenang seorang gadis manis yang lincah, kekasih hatinya, yang telah meninggalkannya. Dia mengingat segala lamaran kerja yang telah dikirimkannya tetapi ternyata sebagian besar telah dikembalikan setelah disisipi selembar ucapan terima kasih atas perhatiannya dan menyusul penolakan halus.

"Ah, aku ini manusia tanpa daya. Aku ini orang yang tak diperlukan dan tak berguna sama sekali...." bisik hatinya pilu. "Apa lagi yang harus kulakukan? Tak ada. Tak ada lagi alasan bagiku untuk hidup. Tak ada lagi kesempatanku untuk berbuat sesuatu bagi keluargaku, bagi kekasihku, bagi masyarakat, bagi dunia ini. Aku ini manusia yang tergusur. Dan semua telah melupakan aku..." Hatinya pedih, amat pedih. Kekecewaan dan rasa putus asa telah menutupi segala kemampuannya untuk menyalakan secercah harapan. Semangatnya telah padam. Dia mengatup kedua matanya. Jemarinya menggenggam pagar tangga Mall dengan erat. Dia menarik nafas panjang. Dan didorongnya tubuhnya ke bawah dengan keras. Melepaskan pegangan tangannya dan membiarkan tubuhnya melayang, melayang ke bawah, lalu menghempas ke bumi setelah sekejap melentik dengan keras ke atas sekali. Sejenak, dia pun diterpa rasa sakit yang menusuk pada dadanya. Paru-parunya seakan meledak, dan mati rasa menyergap kedua kakinya.

Ada teriakan manusia. Teriakan histeris dan penuh rasa kaget. Ada banyak wajah yang mengerumuninya. Wajah-wajah yang asing. Ada tangan-tangan yang menyentuh tubuhnya dengan sangat lembut. Dia merasakan letupan-letupan nyeri yang timbul tenggelam di sekujur tubuhnya. Dia merintih kesakitan. Tetapi pikirannya tetap sadar di tengah segala hiruk pikuk lantai dasar Mall itu. Lalu pakaiannya mulai terasa basah. Basah oleh darahnya sendiri yang menyembur dari luka di dadanya. Luka akibat tulang rusuk yang patah dan melenting keluar menembus kulitnya. Kemudian samar-samar dia merasa tubuhnya diangkat ke atas tandu dan dibawa ke sebuah mobil ambulans. Lalu suatu kegelapan menyelubungi kesadarannya. Dia pingsan.

Beberapa saat kemudian, dia tersentak sadar saat merasakan suatu tikaman nyeri menembus dalam paru-parunya. Dia mengaduh kesakitan. Lalu, samar-samar dia mengenal satu suara yang memanggili namanya. Suara yang terasa amat jauh, namun amat akrab di telinganya. Suara yang rasanya amat dikenalnya, tetapi anehnya, dia tak bisa mengingatnya kembali sekarang. Suara siapakah? Adakah itu suara dari seseorang yang pernah mencintainya? Adalah itu suara dari seseorang yang dekat padanya, tetapi telah lama dilupakannya. Adakah itu suara dari seseorang yang menyayanginya, tetapi tak pernah disadarinya? Bahwa saat dia tenggelam dalam duka lara, dan dengan pikiran yang tak mampu lagi dikendalikannya, ternyata ada orang-orang yang masih mengharapkannya tetapi tak pernah dia kenali? "Ah, ibu... ibuku......"

Wanita tua itu memeluk tubuh anaknya dan berteriak histeris. Tubuhnya yang kurus nampak semakin ringkih tak berdaya. Suaranya tersendat-sendat, keluar dari antara isak tangisnya. "Anakku, anakku... mengapa kau lakukan itu? Mengapa? Tak tahukah engkau? Ya, tak tahukah engkau, bahwa hanya beberapa saat lalu, kau telah menerima surat panggilan kerja, anakku. Surat panggilan untuk bekerja. Ya, mengapa kau harus melakukan hal ini, nak? Bagaimana dengan ibumu sekarang? Bagaimana dengan aku, nak. Lihatlah, aku tua tetapi aku masih tegar merawatmu, menjagamu dan tetap siap untuk menghidupimu. Mengapa ini semua harus terjadi justru pada saat seharusnya kau bisa bergembira karena telah diterima untuk bekerja? Mengapa, nak ......"

Lelaki muda itu mendadak tersentak. "Aku diterima kerja? Aku punya pekerjaan? Ah, penantianku tidak sia-sia ternyata. Tetapi ah, sudah terlambat sekarang. Sudah terlambat......" Dia merasakan suatu tikaman nyeri di dalam jantungnya. Tikaman nyeri penyesalan yang sekarang sudah tak berguna sama sekali. Tak berguna sama sekali. Bagaikan hantaman godam, dia tiba-tiba merasakan suatu beban yang berat luar biasa di dadanya. Dengan susah payah dia mencoba untuk menghirup udara, tetapi rasa nyeri membuat dia tersentak. Tangannya mencengkeram keras tiang ranjang di ruang ICU itu. Lalu gelap pun tiba. Gelap pun tiba. Lelaki muda itu pun berlalu......

Semua ada waktunya. Semua ada masanya. Yang kita butuhkan hanyalah menunggu. Menunggu dengan sabar. Tanpa kehilangan semangat. Karena kita memiliki harapan. Kita tetap memiliki harapan. Jangan menyerah. Jangan pernah menyerah, kawanku...

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...