27 September 2010

EKSPRESI


Sering terjadi, suatu peristiwa membuat kita bertanya-tanya. Mengapa ini terjadi? Mengapa harus terjadi? Dan mengapa mesti kita yang mengalaminya? Kita tidak sadar mengenai penderitaan yang ada dihadapan kita, karena kita terkurung dalam diri kita saja. Terperangkap dalam perasaan dan pikiran kita saja dan karena itu, tak mampu atau enggan untuk melihat apa yang telah terjadi di luar dari diri kita sendiri. Kita merasa bahwa pengalaman, kesedihan maupun beban kitalah yang terberat di dunia ini. Penderitaan, rasa sakit dan kekecewaan kita semata yang ada di dunia ini sebab kita jarang menyadari bahwa orang-orang lain yang ada di seputar kita punya perasaan dan pemikiran sendiri mengenai hidup ini. Mereka memiliki penderitaan dan beban sendiri dalam menjalani hidupnya.

Sebuah kehidupan terbentuk dari pengalaman kita, mulai sejak kita sadar dan mampu untuk merasakan serta berpikir tentang apa saja yang kita alami. Kita menyaksikan hujan yang mendera bumi, kita melihat banyak peristiwa, baik yang kita saksikan sendiri mau pun yang dapat kita dengar dan baca, namun terlebih-lebih kita menjalani hidup dalam lingkup kecil lingkungan kita. Maka hidup kita amat tergantung dalam cara kita memandang apa yang telah kita rasakan sendiri. Mampukah kita untuk mengolahnya, merenungkannya dan merasakan betapa pengalaman kita hanyalah sebuah noktah sekecil debu di antara samudera pengalaman manusia secara keseluruhan di dunia ini? Bahwa secuil peristiwa yang menerpa kita semata hanya colekan kehidupan yang mungkin memukul kita seakan hantaman raksasa tetapi hanya sontekan kecil dalam kehidupan secara keseluruhan?

Demikianlah, sambil berdiri menantikan malam yang segera tiba, aku melihat sepasang manusia yang sedang terpana sambil memandang panorama keindahan cahaya terakhir sang surya sebelum tenggelam ke dalam peraduannya di balik samudera luas. Malam akan segera tiba bersama kegelapan dan kekhawatiran kita padanya. Tetapi justru sebelum kegelapan menguasai langit, terpancarlah semburat cahaya yang menakjubkan seakan memberikan hadiah terindahnya buat kehidupan sebelum dia berlalu. Dan kita tahu bahwa, selewat malam, langit kembali akan menjadi cerah di saat fajar menyingsing esok hari. Pengalaman ini selayaknya membuat kita berenung, bahwa harapan tak pernah akan hilang dan perasaan duka, sakit dan kekecewaan kita tak pernah akan abadi selamanya. Segala sesuatu ada waktunya. Segala sesuatu ada masanya. Waktu bergerak dan kita ikut bergerak bersamanya. Tak ada yang tetap, baik kesedihan maupun kegembiraan kita. Tak ada yang mutlak abadi. Memang demikianlah hidup ini.

Jadi, bagaimanakah kita bisa mengatakan bahwa luka yang sedang kita alami sekarang takkan pernah tersembuhkan? Mengapa kita sering memastikan bahwa bencana yang sekarang menerpa kita akan demikian selamanya? Tidakkah kejadian saat ini hanya ekspresi sesaat dari pengalaman kita yang akan berlanjut terus dengan segala perubahannya? Siapa yang dapat menyangka bahwa perasaan sakit yang sedang kita alami sekarang kelak mungkin dapat menjadi bahan lelucon yang menyenangkan hati? Dan kita sadar ketika kita merenungkan kembali pengalaman kita di masa lalu, kesedihan yang pernah kita alami, rasa putus asa yang dulu menghantui kita, saat ini ternyata semua tidak berarti apa-apa sama sekali. Dan demikianlah hidup ini berjalan. Ada senja hari, ada kegelapan malam, namun akan hadir pula fajar yang akan menyingsing dengan keindahan cahayanya. Semuanya silih berganti mengisi kehidupan ini. Tangis dan tawa takkan abadi adanya. Takkan abadi.

Maka apa pun yang sedang terjadi saat ini, apa pun yang sedang kita alami sekarang, duka atau suka, pengalaman itu adalah ekspresi dari sang hidup. Dan kita perlu bersyukur, bukannya mengeluh. Karena hal itu membuktikan bahwa kita masih hidup. Kita masih ada di dunia ini. Dan masih mampu untuk menikmati keindahan alam yang sedemikian permai ini. Asalkan kita mau menengok ke luar dari diri kita. Asalkan kita mau menyadari bahwa kita tidak sendirian di dunia ini. Asalkan kita tetap sadar bahwa kita memiliki banyak hal selain dari duka dan sengsara saja. Belajarlah dari pengalaman. Renungkanlah jejak-jejak kehidupan ini. Dan percayalah bahwa selalu ada harapan di depan kita. Selalu ada harapan, sama seperti selalu akan ada fajar selewat gelapnya malam......

Tonny Sutedja

25 September 2010

PANTAI JIMBARAN – BALI

Kemesraan ini ingin kukenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu
Kemesraan oleh Iwan Fals dkk

Suatu panorama menawan membentang di depan mata. Saat matahari surut, di ufuk horisontal langit terpantul warna jingga dengan lapisan tipis awan mengambang di atasnya. Udara menyejuk dan kegelapan malam perlahan tiba. Aku menyaksikan pemandangan ini sambil menghirup hawa laut yang menguap dari samudera lepas di depanku. Terasa betapa damai memenuhi jiwa dan rasaku. Dan sambil perlahan mendengarkan senda gurau para sahabat yang duduk di meja panjang yang membentang sambil menunggu makan malam disajikan, aku mendengarkan sayup-sayup debur ombak yang nampak berlarian menuju pasir pantai. Seakan ingin memeluknya. Seakan ingin memeluknya.

Aku sedang berada bersama bekas teman-teman sekolahku yang saat itu sedang berkumpul, merayakan 30 tahun kelulusan kami dari SMA. Udara terasa nyaman, dan hawa persahabatan dan persaudaraan menyelimuti kami dengan tawa ria. Dengan kisah-kisah masa lalu, yang kadang dulu terasa menakutkan bahkan memalukan namun kini ditanggapi dengan kegembiraan dan penuh canda. Perjalanan waktu seakan membeku. Dan kami sadar betapa semua keresahan, kejengkelan bahkan rasa sakit hati di masa silam nampak hanya sia-sia saja sekarang. Kata orang, waktu akan mengobati segala duka dan luka, dan memang demikianlah adanya. Memang demikianlah adanya.

Hidup memang merupakan suatu perjalanan yang berubah terus menerus. Kekecewaan, kekesalan atau bahkan kemarahan dan rasa sakit hati kita saat ini, tidak pernah akan abadi. Sementara kelak, yang tersisa hanya rasa kerinduan pada masa kini, yang kelak, sudah lama kita tinggalkan atau malah mungkin telah kita lupakan untuk dikenang kembali. Bahkan terkadang aku berpikir, bukankah justru saat-saat sulit dan memalukan di masa lalu justru membuat hidup menjadi lebih bermakna di masa kini? Tanpa pengalaman pahit, tanpa pengalaman kesedihan dan kesengsaraan, masa lalu takkan meninggalkan apa-apa sama sekali bagi kita. Takkan menyisakan apa-apa bagi kita semua.

Demikianlah kehidupan berlangsung dan kami yang masih memiliki kesempatan untuk bersua, untuk berkumpul bersama dan saling membagikan pengalaman hidup, akan mampu pula untuk menyadari keterbatasan kami serta menghargai sahabat-sahabat masa lalu kami. Sahabat yang bahkan tak lagi kita ingat sampai saatnya kita bertemu dalam reuni yang indah ini. Di sinilah kami berada, saling berbagi, saling menikmati rangkulan persahabatan dan saling menghargai waktu yang telah silam di masa lalu. Hidup ternyata selalu meninggalkan jejak-jejak panjang yang indah, sepahit apapun masa lalu kita. Yang lewat, biarlah lewat dan sekarang kami berkumpul untuk saling bertutur tentang betapa lucunya sikap kami di saat masa remaja masih bersama kami.

Hidup itu indah, teman. Bahkan seperih apapun keadaanmu saat ini. Siapa yang akan tahu apa yang mungkin kita temui di masa depan? Siapa yang dapat memastikan apa yang bisa didapatkannya di masa mendatang? Siapa? Di saat reuni ini, sadarlah kami semua, betapa tak masuk akalnya rasa sakit hati, ketakutan serta kemarahan bahkan keputus-asaan kami di masa lalu. Lalu kami percaya pula bahwa, apa pun kondisi yang sedang kami alami saat ini, semuanya kelak mungkin akan berbuah manis. Semuanya kelak, mungkin bahkan dapat kita jadikan sebagai lelucon yang membuat gelak tawa kegembiraan. Kita semua manusia dengan ketidak-pastian dan karena itu dengan banyak kemungkinan yang tak terbayangkan untuk saat ini. Hidup itu indah, teman, mari tersenyum dan menghadapi hidup hari ini dengan penuh tekad dan harapan, bahwa masa depan bisa jadi indah. Bisa jadi indah.

Malam telah turun bagai tirai yang menutupi langit bersama kegelapannya. Namun pelita telah mulai dinyalakan, dan kami pun bersantap sambil berdoa bagi kesehatan, keselamatan dan kebahagiaan dalam kemungkinan terburuk pun yang dapat kita alami. Dan itulah yang bisa kita jalani dengan penuh semangat. Kita jangan patah semangat. Kita takkan patah semangat. Sebab hidup itu indah. Dan senja yang lain akan tiba. Besok. Takkan pernah usai. Hingga akhir masa. Hingga akhir masa.

Tonny Sutedja

KATA

Hidup bukan kata. Namun sering kata menentukan hidup. Ada orang yang sedemikian terikat dengan kata, sehingga menganggap bahwa apapun yang telah tertulis adalah kebenaran mutlak. Sehingga dia mau dan dapat berbuat apa saja demi kata. Kata-kata yang tertulis, yang kita anggap bersumber dari hal yang mutlak benar, tidakkah dia mengalir melalui manusia yang memiliki pengalaman sendiri dalam menapak kehidupannya? Bagaimana kita dapat memastikan suatu kebenaran saat kita sendiri menyadari kelemahan kita sebagai manusia yang rapuh dan sering tak berdaya ini? Bukankah kita sering menyembunyikan ketak-berdayaan kita, dengan berpura-pura berdiri kokoh dan teguh memaksakan kebenaran kita sendiri, justru karena kita ragu terhadapnya? Hidup memang bukan kata. Tetapi mengapa kita sering memaksakan kata itu terhadap hidup?

Bandara Sultan Hasanuddin, suatu pagi. Puluhan, atau bahkan ratusan manusia nampak berseliweran, berkelompok atau hanya sendirian, di depanku. Ratusan wajah yang praktis terasa asing, jauh dan tak kukenali. Aku merasakan jejak-jejak kehidupan yang membaur, tersembunyi di balik wajah-wajah itu, di balik pikiran dan perasaan mereka. Siapakah mereka? Dari mana mereka datang? Dan akan menuju ke manakah mereka? Dari sudut pandang mereka, aku memikirkan juga mengenai diriku. Siapakah aku? Kenalkah aku seutuhnya mengenai diriku? Mungkin dan pasti aku mengetahui asalku, dan akan kemana diri ini, tetapi mengapa aku harus berasal dari situ? Dan mengapa aku harus menuju ke sana? Tidakkah, sama seperti mereka, sering aku sendiri tak tahu mengapa aku harus bergerak dalam perjalanan panjang kehidupan ini? Dan jika demikian, mengapa aku harus memastikan bahwa asal dan tujuanku adalah suatu kepastian mutlak yang, sering, kuanggap sebagai suatu kebenaran mutlak pula? Siapakah aku? Siapakah kita?

Pengalaman membuat kita sadar, betapa seringnya kita menggapai-gapai tujuan yang sering kita sendiri tak mengenalnya. Tujuan yang sering kita tak tahu untuk apa kita harus menuju ke sana. Dan jika demikian, seharusnya kita sadar bahwa kita adalah jiwa-jiwa rapuh yang berusaha untuk tegar, dan karena itu berupaya untuk memegang sesuatu yang kita bayangkan sebagai kebenaran tanpa mau bersusah payah untuk merenungkan apakah sesuatu itu sendiri. Kita bahkan menganggap bahwa sesuatu itu mutlak benar sehingga tanpa sadar kita menyamakan diri kita dengan sesuatu itu. Namun, bukankah itu hal yang sia-sia? Bukankah itu membuat diri kita terperosok dalam gua yang sempit dan gelap serta melupakan betapa dunia di luar kita sesungguhnya amatlah beraneka warna dan penuh keindahan. Sementara kita mengira bahwa hanya apa yang kita alami dalam kegelapan gua tersebut sebagai satu-satunya hal yang benar dan kemudian ingin memaksa dan menyeret sekeliling kita dalam keseragaman kegelapan yang sama, kita melupakan betapa indahnya kebebasan warna-warni panorama dunia.

Maka menyaksikan wajah-wajah yang ada di depanku, sosok-sosok yang terlibat dalam percakapan entah apa, tiba-tiba aku tahu bahwa, hanya dalam perbedaan pengalaman saja kita dapat saling berbagi, saling bertutur dan saling bersenda gurau. Sebab, jika kita semua punya imajinasi yang sama, apakah yang harus kita bagikan? Apakah yang harus kita tuturkan? Dan bagaimana bisa kita terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan sambil tertawa gembira jika kita tidak menyadari perbedaan diantara kita? Bukankah karena kita berbeda, maka hidup menjadi jauh lebih menyenangkan? Di tengah ruang tunggu bandara yang teramat luas dan sejuk ini, aku menyadari bahwa kata bisa membuat kita bersahabat dan bersaudara tetapi hanya dalam pengalaman saja yang membuat kehidupan ini indah dan bermakna. Kita memang hidup dengan kata, tetapi bukan kata yang menentukan kehidupan kita. Bukan kata.

Tonny Sutedja

23 September 2010

PURNAMA DI LANGIT KELAM


Ada sunyi. Ada cahaya purnama. Ada keindahan yang terasakan namun tak terucapkan. Bulan menyampaikan rindunya pada bumi yang menanti dalam kelam malam. Sebuah musik alam. Sebuah pancaran harapan. Dan sosok-sosok yang bergerak, bergegas untuk menjumpai apa yang ingin diraihnya. Kita adalah sosok-sosok yang bertautan namun lelap dalam kesunyian masing-masing. Kita bagaikan cahaya purnama yang menyinari langit malam namun sering tak menyadari cahaya yang kita sembahkan bagi dunia. Kita adalah cahaya, terasakan namun tak terucapkan.

Bergerak dalam hening, kita mencari namun sering menemukan betapa sianya segala apa yang kita hasratkan itu. Kita hidup dalam duka dan suka, mengusahakan yang terbaik tetapi sering terperangkap dalam keinginan yang bahkan kita sendiri tak menyadari kegunaannya. Kita ingin. Kita mencari. Kita menemukan. Namun betapa banyaknya yang bisa kita hasratkan sehingga kadang kita melupakan untuk apa semua keinginan itu. Kita adalah rembulan yang perlahan akan berubah diri, dari cahaya purnama ke kegelapan untuk bangkit kembali menjadi purnama, berputar dalam siklus abadi, hingga kelak kita akan sirna dari alam nan indah ini.

Keberadaan kita. Kesadaran kita. Kepastian kita. Nyata tetapi juga semu. Bagaikan cahaya purnama yang dapat kita saksikan keindahannya malam ini, namun tak mampu kita tuturkan dengan kata-kata tanpa kita alami sendiri. Ah, demikian pula hidup ini. Derita. Sukacita. Tangis. Gelak tawa. Hanya dapat kita rasakan sendiri. Mutlak sendiri. Apa yang tersimpan dalam hati kita, dapatkah kita bagi kepada orang lain yang dengan sepenuh hati mampu memahami apa yang kita rasakan? Tidakkah senantiasa terjadi pencampuran antara kisah yang kita tuturkan dengan pengalaman mereka yang mendengarkan atau membaca penuturan kita?

Ada keheningan. Ada cahaya. Ada langit yang bercahaya dengan purnama dan bintang yang berkelap-kelip jauh di atas. Dan udara sejuk yang memeluk kulit tubuh kita. Sesuatu bergejolak dalam hati kita. Sesuatu yang mampu kita rasakan namun tak dapat kita utarakan. Sesuatu yang mutlak milik kita sendiri. Maka di saat-saat seperti ini, sungguh bahasa kehilangan kemampuannya. Kita adalah sosok yang sepi sendiri, jauh di dalam tersuruk dalam keberadaan kita yang sunyi dan terkadang hampa. Terkadang hampa. Namun bukankah kita tetap ada dan bersinar bagi sesama? Sadar atau tidak, kita terlihat, nyata dan tak mungkin dihilangkan. Tak mungkin disirnakan begitu saja.

Purnama di langit kelam. Sendirian mengarungi langit. Dan jauh, jauh melintas samudra semesta, berkelap-kelip milyaran bintang-bintang dan planet. Demikianlah, kita ada sendirian tetapi tidak sendiri. Kitalah purnama kehidupan yang terkadang bersinar terang dan terkadang pula redup dan tak terlihat, tetapi kita ada. Dan selalu ada. Hingga akhir tiba. Hingga akhir tiba.

Tonny Sutedja

MANUSIA GEROBAK

Hujan jatuh rintik dalam selimut gelap malam. Dua sosok tubuh, seorang ibu dan seorang dara cilik nampak duduk di atas trotoar di samping sebuah gerobak yang berukuran cukup besar. Cuaca dingin menusuk tulang. Jalan raya ramai dan macet. Kendaraan berseliweran, ribut membunyikan klakson seakan ingin saling menguasai kesunyian yang mencekam jiwa. Ciputat, Jakarta, ibukota negara yang dipenuhi bangunan beton: tegak angkuh seakan ingin menggusur siapa pun yang tak ingin takluk kepadanya. Hidup terasing di sini. Tenggelam dalam gerimis malam. Hujan jatuh rintik.

Aku berada bersama beberapa teman, di dalam sebuah mobil SPV yang sejuk berpendingin udara, diam terperangkap dalam kemacetan lalu lintas. Seorang temanku bercerita tentang ibu dan anak yang nampak di samping jendela mobil kami. “Manusia gerobak” katanya. “Jika malam tiba, mereka tidur dalam gerobak yang setiap hari mereka bawa untuk menghidupi diri. Tanpa kediaman tetap. Mengembara dari satu trotoar ke trotoar lain”. Mendadak, aku merasakan kesepian mencekam jiwaku. Bisakah hidup demikian dikatakan hidup yang normal. Tetapi apakah makna normal bagi kita? Tidakkah normal sungguh tergantung pada apa yang kita sendiri alami? Yang kita sendiri rasakan dan nikmati? Tetapi, dapatkah kita beralih hidup menjadi seperti manusia gerobak itu? Dapatkah?

Menembus malam dalam lautan cahaya yang bersinar gemerlap di ibukota negara ini, aku lelap dalam perenungan tentang makna derita, kemiskinan dan kesengsaraan yang sedang dinikmati manusia-manusia geobak itu. Adakah artinya keberadaan dan kehadiran mereka di dunia ini? Adakah sesuatu yang patut untuk membanggakan mereka? Membuat mereka tersenyum gembira? Bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu-lagu indah tentang cinta, harapan dan kebahagiaan? Sebuah bangunan tinggi yang berdiri kukuh di depanku, nampak memajang iklan suatu produk dengan kalimat, Nikmatilah hidupmu, dalam bahasa asing. Ah, mengertikah mereka?

Setelah merayap dengan amat lamban, kami akhirnya tiba di sebuah mal raksasa, Citos. Dan kami kemudian duduk bersama, berkisah tentang apa saja, sambil menikmati hidangan lezat yang tersaji di depan kami. Bertutur dengan riang, seakan tak ada sesuatu pun yang mengusik hidup dan keberadaan kami di dunia ini. Merencanakan hari esok, dan sekan memastikan masa depan yang akan kami hadapi nanti. Tetapi, ah, siapakah kami? Pastikah masa depan itu? Pastikah kegembiraan dan kebahagiaan kami? Lamat-lamat sebuah lagu terdengar mengalun lembut, “..denting piano, kala jemari menari...” Ah, demikian lembutkah hidup ini? Tidakkah tak jauh di luar, di tengah keriuhan lalu lintas, di tengah cuaca dingin dan gerimis memasah, ada manusia-manusia gerobak yang diam tak berdaya karena tak memiliki apa-apa. Tak memiliki siapa-siapa. Dapatkah mereka dikatakan berbahagia? Dapatkah?

Hidup memang berjalan sebagaimana adanya. Keberadaan kita, dalam dunia luas ini, ternyata hanya demikian terbatas, sempit dan terkungkung dalam lingkungan pribadi kita saja. Setelah melaksanakan sebuah kegiatan amal, setelah merasa bahwa kita telah membagikan sebagian kegembiraan hidup kita buat mereka-mereka yang tak mampu setara dengan apa yang kita anggap kegembiraan kita, kita kembali lelap dalam dunia kita masing-masing. Dan di luar, ya tak jauh diluar gedung mal yang mewah, sejuk dan nampak gemerlap ini, ada banyak, sungguh banyak kehidupan lain yang sedang tertatih-tatih, lemah dan tak berdaya bahkan untuk tersenyum sekali pun. Namun, bagi mereka, itulah hidup yang normal. Bagi mereka, itulah hidup yang harus mereka jalani, entah terpaksa entah tidak, sebuah hidup yang bahkan untuk bermimpi pun kita tak sanggup jalani. Takkan sanggup kita jalani.

Jakarta, 5 September 2010
Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...