04 September 2012

KATA

Hidup bukan kata. Namun sering kata menentukan hidup. Ada orang yang sedemikian terikat dengan kata, sehingga menganggap bahwa apapun yang telah tertulis adalah kebenaran mutlak. Sehingga dia mau dan dapat berbuat apa saja demi kata. Kata-kata yang tertulis, yang kita anggap bersumber dari hal yang mutlak benar, tidakkah dia mengalir melalui manusia yang memiliki pengalaman sendiri dalam menapak kehidupannya? Bagaimana kita dapat memastikan suatu kebenaran saat kita sendiri menyadari kelemahan kita sebagai manusia yang rapuh dan sering tak berdaya ini? Bukankah kita sering menyembunyikan ketak-berdayaan kita, dengan berpura-pura berdiri kokoh dan teguh memaksakan kebenaran kita sendiri, justru karena kita ragu terhadapnya? Hidup memang bukan kata. Tetapi mengapa kita sering memaksakan kata itu terhadap hidup?

Bandara Sultan Hasanuddin, suatu pagi. Puluhan, atau bahkan ratusan manusia nampak berseliweran, berkelompok atau hanya sendirian, di depanku. Ratusan wajah yang praktis terasa asing, jauh dan tak kukenali. Aku merasakan jejak-jejak kehidupan yang membaur, tersembunyi di balik wajah-wajah itu, di balik pikiran dan perasaan mereka. Siapakah mereka? Dari mana mereka datang? Dan akan menuju ke manakah mereka? Dari sudut pandang mereka, aku memikirkan juga mengenai diriku. Siapakah aku? Kenalkah aku seutuhnya mengenai diriku? Mungkin dan pasti aku mengetahui asalku, dan akan kemana diri ini, tetapi mengapa aku harus berasal dari situ? Dan mengapa aku harus menuju ke sana? Tidakkah, sama seperti mereka, sering aku sendiri tak tahu mengapa aku harus bergerak dalam perjalanan panjang kehidupan ini? Dan jika demikian, mengapa aku harus memastikan bahwa asal dan tujuanku adalah suatu kepastian mutlak yang, sering, kuanggap sebagai suatu kebenaran mutlak pula? Siapakah aku? Siapakah kita?

Pengalaman membuat kita sadar, betapa seringnya kita menggapai-gapai tujuan yang sering kita sendiri tak mengenalnya. Tujuan yang sering kita tak tahu untuk apa kita harus menuju ke sana. Dan jika demikian, seharusnya kita sadar bahwa kita adalah jiwa-jiwa rapuh yang berusaha untuk tegar, dan karena itu berupaya untuk memegang sesuatu yang kita bayangkan sebagai kebenaran tanpa mau bersusah payah untuk merenungkan apakah sesuatu itu sendiri. Kita bahkan menganggap bahwa sesuatu itu mutlak benar sehingga tanpa sadar kita menyamakan diri kita dengan sesuatu itu. Namun, bukankah itu hal yang sia-sia? Bukankah itu membuat diri kita terperosok dalam gua yang sempit dan gelap serta melupakan betapa dunia di luar kita sesungguhnya amatlah beraneka warna dan penuh keindahan. Sementara kita mengira bahwa hanya apa yang kita alami dalam kegelapan gua tersebut sebagai satu-satunya hal yang benar dan kemudian ingin memaksa dan menyeret sekeliling kita dalam keseragaman kegelapan yang sama, kita melupakan betapa indahnya kebebasan warna-warni panorama dunia.

Maka menyaksikan wajah-wajah yang ada di depanku, sosok-sosok yang terlibat dalam percakapan entah apa, tiba-tiba aku tahu bahwa, hanya dalam perbedaan pengalaman saja kita dapat saling berbagi, saling bertutur dan saling bersenda gurau. Sebab, jika kita semua punya imajinasi yang sama, apakah yang harus kita bagikan? Apakah yang harus kita tuturkan? Dan bagaimana bisa kita terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan sambil tertawa gembira jika kita tidak menyadari perbedaan diantara kita? Bukankah karena kita berbeda, maka hidup menjadi jauh lebih menyenangkan? Di tengah ruang tunggu bandara yang teramat luas dan sejuk ini, aku menyadari bahwa kata bisa membuat kita bersahabat dan bersaudara tetapi hanya dalam pengalaman saja yang membuat kehidupan ini indah dan bermakna. Kita memang hidup dengan kata, tetapi bukan kata yang menentukan kehidupan kita. Bukan kata.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...