12 September 2012

LAMBANG


Kau hendak mengenal Tuhan? Maka janganlah kau menjadi pemecah persoalan. Seyogyanya kau pandang sekelilingmu dahulu, dan di situ, kau akan melihat Tuhanmu, sedang bermain dengan anak-anakmu.”
(Sang NabiKahlil Gibran)

Bila kalian menggunakan pujian atau celaan untuk membeda-bedakan, itu berarti, kalian membuat berhala-berhala pujaan.”
(Musyawarah BurungFaridu’d-din Attar)

Pernahkah kita, yang meyakini keberadaan Tuhan, merenungkan mengapa demikian banyak warna di dunia ini? Mengapa demikian banyak perbedaan di antara kita? Mengapa harus ada kejahatan, keburukan dan penderitaan di sekeliling kita? Mengapa Dia, yang kita percayai sebagai sumber kebaikan sering terasa mengabaikan dan membiarkan kekacauan terjadi? Mengapa? Mungkinkah karena banyak dari antara kita yang lebih menyukai kata daripada makna?. Lebih menyayangi lambang daripada laku? Lebih mencintai diri kita daripada Sang Pencipta sendiri? Karena memang, jauh lebih sulit untuk beriman daripada beragama. Jauh lebih sulit untuk berpikir dan memahami daripada bertindak dan mengikuti apa saja yang dijejalkan kepada kita. Jauh lebih sulit untuk berpikir dan belajar daripada sekedar mengikuti perasaan dan ambisi kita.

Padahal, jika kita sadar bahwa kita semua hanyalah mahluk ciptaan yang setara, mahluk ciptaan yang mempunyai kelemahan dan kekuatannya masing-masing, mahluk ciptaan yang bukan hanya memiliki kemampuan untuk merasakan saja tetapi juga untuk belajar memahami, kita akan menyadari bahwa kita semua seharusnya mengenal dunia ini sama seperti kita sendiri mengenal diri kita. Tetapi toh, betapa seringnya kita juga tak mampu untuk mengenal dan memahami diri kita sendiri. Jika demikian, mengapa kita bisa merasa tahu dan mengenal sesama kita? Bahkan merasa tahu dan memahami Sang Pencipta? Sebab, bukankah jika kita merasa tahu dan menahami Sang Pencipta kita, seharusnya kita juga sadar dan paham mengapa Dia membuat begitu banyak perbedaan diantara ciptaan-Nya sendiri. Tidakkah demikian?

Jadi, jika Sang Pencipta membuat demikian banyak perbedaan, itu semua pasti bukan ketidak-sengajaan karena jika demikian, artinya Dia tidak mampu untuk membuat segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak. Keaneka-ragaman diantara kita sesungguhnya adalah anugerah yang dikaruniakan kepada kita agar kita semua mampu menyadari kehidupan ini. Walau keseragaman nampak seakan baik dan sesuai dengan harapan kita, itu tidaklah berarti bahwa keseragaman sesuai dengan keinginan-Nya. Sebagai ciptaan, kita masing-masing punya hak untuk mencari dan mencintai Sang Pencipta dengan apa yang kita pahami. Bukankah musik yang indah tak mungkin tercipta dari nada tunggal? Dan bukankah kita akan kehilangan segala daya kehidupan jika kita tidak memiliki perbedaan dalam cara hidup kita?

Maka kekerasan hingga perang sesungguhnya terjadi bukan karena kehendak Sang Pencipta tetapi karena kehendak dan egoisme kita sendiri. Terkadang untuk kenyamanan dan kebanggaan kita. Terkadang bahkan karena kita merasa tahu apa yang menjadi pikiran Sang Pencipta. Dan sementara kita terus bertanya-tanya mengapa harus ada perbedaan, kita lalai untuk mencoba merenungkan mengapa harus tidak? Renungkanlah seandainya yang ada hanya kebaikan, hanya ada keseragaman pikir, bahkan hanya ada kebahagiaan semata dalam hidup kita di dunia ini, maka bagaimana kita dapat mengenal kebaikan, kebahagiaan dan ketakjuban akan cara pandang orang lain yang sering tak mampu kita bayangkan sekali pun. Bukankah perbedaan itu justru indah karena pengalaman kita yang berbeda satu sama lian? Tidakkah demikian?

Jadi untuk mengenal Sang Pencipta, janganlah bersikap sebagai pemecah persoalan, tulis Kahlil Gibran. Tetapi belajarlah dari anak-anak kecil yang berkumpul dan bermain bersama-sama, sesekali mungkin akan bertengkar tetapi sekejap kembali bersahabat. Karena hidup bagi mereka hanya sekedar permainan. Dan bermain selalu berarti ketidak-seragaman dalam kemampuan sehingga terciptalah sesuatu yang menyenangkan. Mereka yang tidak saling memuja atau membenci hingga menjadi berhala bagi dirinya, tulis Faridu’d-din Atar. Maka bersama mereka, Sang Pencipta menjadi sahabat sejati bagi kita. Bagi kita semua.

Hidup menjadi indah karena perbedaan. Bukan karena keseragaman. Dan janganlah hidup demi lambang semata, tetapi marilah merenungkan makna dalam relung jiwa kita yang terdalam. Dan disanalah kita belajar untuk bermain bersama Sang Pencipta. Kita tak perlu menjadi pemecah persoalan. Kita hanya bermain bersama dengan persoalan kita sambil menyadari bahwa bukan dalam pujaan atau pun kebencian kita dapat menemukan kebenaran tetapi kebenaran akan menemukan kita dalam sukacita permainan hidup masing-masing. Tersenyumlah, jangan merengut saja. Tertawa gembiralah karena kita sadar bahwa ada tangis dukalara. Karena airmata tidak hanya ada saat kita berduka cita. Terkadang, kekurangan kita justru jauh lebih bernilai daripada kelebihan kita. Terkadang dalam kebahagiaan yang dalam pun kita bisa menangis. Kita akan menangis. Marilah bermain dengan hidup ini. Marilah bermain bersama Tuhan. Tanpa menjadikan Dia sebagai berhala. Mari.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...