26 Juni 2012

BEBAN


Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat 11:29)

Aku letih” bisikmu lirih. “Aku letih. Betapa semua hal tergantung padaku. Sementara aku tak tahu harus bergantung pada siapa. Semua mengandalkan diriku sementara aku tak tahu harus mengandalkan siapa. Aku harus menanggung beban tanpa bisa berbagi. Aku dipaksa tegar. Sendirian. Sementara aku sendiri merasa tak berdaya. Begitu tak berdaya. Aku tak tahu harus berbuat apa, sementara aku harus berbuat sesuatu. Sering hal yang bertentangan dengan kehendakku sendiri. Mengapakah orang-orang demikian lemahnya sehingga tak menyadari kelemahan diriku sendiri? Mengapa hidup ini demikian tidak adil? Mengapa aku harus ada? Dimanakah Tuhan pada saat aku demikian membutuhkan sandaran? Dimanakah orang-orang lain yang dapat kuandalkan? Mengapa aku sering merasa sendiri? Seorang diri?”

Kau terpekur. Dengan perasaan yang pedih dan putus asa. Hidup bagimu adalah sebuah beban yang harus kau panggul bahkan di saat-saat kau merasa amat lemah sekali pun. Dan aku melihat betapa seringnya hidup memang tidak adil. Manusia harus menerimanya, suka atau tidak, dengan ketabahan. Manusia harus menjalaninya, suka atau tidak, dengan kerelaan. Sebab bukan kewajiban yang harus disesali, tetapi tanggung jawab yang harus dipenuhi. Setiap hidup berjalan dari keputusan yang telah dibuat. Dan dari setiap keputusan itulah, keberadaan kita menjadi utuh. Kita lemah tetapi sekaligus kuat. Kita mungkin hidup dengan hati pedih namun tetap harus bersama pikiran yang jernih. Sebab itulah anugerah terbesar yang diberikan pada kita. Anugerah terbesar yang wajib kita gunakan. Kita tidak saja layak untuk menerima semuanya, kita pun harus mau memberikan segalanya. Bagi kehidupan ini. Bagi dunia ini.

Fajar tiba. Setiap hari baru terbit bersama dengan kelahiran dan kematian. Pertemuan dan perpisahan. Berangkat dari keberadaan kita di dunia ini, kita mulai belajar dari mengikuti, menerima apa saja yang kita saksikan dan kita alami, yang pada mulanya tidak perlu kita pikirkan. Kita hanya meniru. Tetapi dalam perjalanan waktu, kita harus berkembang. Perlahan kita mulai dapat memberi. Kita harus berbagi. Dan jika kemudian kita ternyata harus memberikan semuanya, bukankah pada awalnya kita juga telah menerima semuanya? Jadi mengapa harus disesali? Toh, ada saatnya semuanya akan berakhir? Hidup ini sementara saja dan suatu waktu kita akan pergi. Jadi saat malam datang, tibalah saatnya kita memejamkan mata ini. Mengistirahatkan jiwa dan raga kita. Memasuki keabadian. Setelah sepanjang hari melakukan sesuatu dimana semakin banyak pemberian kita sepanjang hari akan meninggalkan jejak yang kian bermakna pula dalam kenangan sang waktu.

Aku letih” bisikmu lirih. Hidup memang tidak mudah. Terutama saat perasaan kita sedemikian menggoda sehingga kita tidak mampu lagi untuk mempergunakan pikiran kita. Terutama saat kita merasa pahit, kecewa, iri dan sakit hati karena ternyata semua yang kita inginkan tak mampu kita raih. Sementara kita menyaksikan betapa orang-orang di sekeliling kita seakan dengan mudahnya mendapatkan apa yang kita sendiri harapkan. Tetapi sungguhkah itu yang diharapkan oleh orang-orang itu? Pastikah kita bahwa apa yang mereka inginkan adalah sama dengan apa yang kita inginkan? Tidak! Seberapa banyakkah diantara kita yang dapat meraih semua yang diharapkannya? Jika kita semua mau jujur pada diri sendiri, kita akan sadar, betapa mustahilnya kita untuk memperoleh semua yang kita harapkan. Tetapi hidup berjalan terus. Dan kita harus menerimanya. Tenggelam dalam kekecewaan hanya membuat hidup kita jadi sia-sia. Membuat kita gagal untuk melihat keindahan dunia ini. Sebab hidup ini untuk dinikmati apa adanya, bukan untuk disesali.

Setiap manusia memiliki bebannya sendiri-sendiri. Setiap manusia pasti akan merasakan kekecewaannya masing-masing. Tak ada yang lepas dari perasaannya sebagai sosok yang hidup dan unik. Dan memang, kita masing-masing sering merasakan bahwa derita kitalah yang terdalam. Kegagalan kitalah yang terpahit. Kesalahan kitalah yang terbesar. Setiap manusia hidup dalam dan bersama alam pikirannnya sendiri. Namun percayalah, kita tidak sendirian. Tidak seorang diri. Setiap saat, pandanglah wajah-wajah di sekeliling kita. Jangan hanya bersembunyi di sudut kamar kita yang kecil dan gelap. Lihat dan dalamilah perasaan yang disembunyikan di balik raut wajah sesama kita. Dapatkah kita memahami apa yang tersembunyi dibalik tawa ria, senyum hangat atau bahkan kemurungan mereka? Dapatkah kita memastikan bahwa seandainya kita yang memanggul beban mereka, kita dapat lebih berbahagia? Dapatkah?

Aku letih” bisikmu lirih. Ya, hidup memang meletihkan jika kita hanya terpenjara dalam ruang hidup kita sendiri dan tak mampu melihat keluar. Hidup akan sangat melelahkan jika kita tak mampu menerima keterbatasan kita masing-masing. Dan percayalah, Tuhan ada di samping kita, menemani kita, tetapi sering kita gagal melihat-Nya karena kita enggan untuk mensyukuri dan menikmati apa yang kita miliki sekarang. Tuhan ada dalam segelas air yang kita minum. Tuhan ada dalam makanan yang kita santap. Tuhan ada dalam ruang yang membuat kita terhindar dari sengatan terik siang dan dingin malam. Tuhan bahkan ada dalam derita yang kita alami sendirian. Sebab DIA sendiri telah menderita di atas salib-NYA. Jika demikian, mengapa kita lari dari salib kita? Mengapa?

Tonny Sutedja

KALAH MENANG


Dalam pertandingan, mereka yang menang pasti akan didampingi yang kalah. Sebab tanpa yang kalah takkan ada yang menang. Maka seharusnya, kebanggaan diri bukan terletak pada kalah atau menang, tetapi karena telah ikut dalam pertandingan secara bersama-sama. Demikian pula dalam kehidupan ini. Kita bersyukur bukan atas keberhasilan atau kegagalan, tetapi karena telah hidup dalam kebersamaan. Tanpa sesama, bisakah kita mengatakan bahwa kita telah berhasil? Kita memang senang membanding-bandingkan diri tetapi sadarilah bahwa tanpa ada yang diperbandingkan, dapatkah kita mengatakan diri kita berhasil?

Hidup memang adalah perjuangan. Tetapi kita tak perlu membanggakan hasil dari perjuangan itu sehingga menafikan keberadaan sesama. Tanpa sesama, kita bukanlah apa-apa. Tanpa sesama, dapatkah kita memiliki semangat untuk berjuang? Tanpa sesama, dapatkah kita memacu diri? Jadi apakah arti keberadaan kita jika tidak mengaitkan diri bersama sesama kita? Mengapa kita harus membanggakan diri atas keberhasilan kita? Dan mengapa pula kita harus merasa sedih dan sakit hati atas kegagalan kita? Bukankah kepuasan hidup kita sesungguhnya tidak terletak karena kita telah berhasil mengalahkan tetapi karena kita telah berjuang. Begitu pula jika kita kalah, patutkah kita menyesali diri? Bukankah tanpa berjuang kita malah tak punya makna apa-apa?

Memang, setiap pertandingan selalu menghasilkan sang juara yang berhasil menaklukkan semua lawan-lawannya. Tetapi lawan bukanlah musuh. Lawan adalah saingan yang setara. Dan kemenangan hanyalah sesaat saja, sebab dilain waktu kita bisa mengalami kekalahan. Tak ada kemenangan yang abadi. Yang ada hanya perjuangan yang patut dibanggakan dan akan dikenang dalam waktu yang panjang. Sebab itu, menang atau kalah bukanlah sesuatu yang pantas menjadi taruhan dalam kehidupan ini. Menang atau kalah hanyalah ujung dari suatu proses panjang yang membuktikan kemanusiaan kita dalam menjalani hidup yang tidak kekal ini. Seperti kata sebuah pepatah, hidup berputar seperti roda kadang kita di atas, kadang di bawah, maka bukan atas atau bawah yang berguna namun perputaran itulah sesungguhnya yang menggelindingkan kita menuju hari depan.

Demikianlah, setiap manusia – kita – yang selalu bergulat dalam proses untuk menjadi sosok yang sungguh-sungguh berarti dalam hidup kita masing-masing, akan meninggalkan jejak-jejak kita dalam waktu yang tak terbatas ini. Menjadi pemenang adalah sesuatu yang berguna tetapi tidak bermanfaat jika saja kemangan itu kita raih dengan cara-cara yang tidak pantas dan tidak layak sehingga kita menjadi cemohan. Kita adalah jari-jari sang roda kehidupan yang tanpa jari-jari yang lain tidak akan berarti apa-apa. Tanpa kekalahan pihak lain, kita tak mungkin menikmati kemenangan. Sebab itu, kita harus memiliki rasa hormat kepada yang kalah, bukan melecehkan. Kita bukan siapa-siapa tanpa sesama kita. Dalam perjalanan melintasi waktu, kita bermakna justru karena kita tidak sendirian. Dan memang, kita tidak pernah sendirian.

Hidup adalah suatu proses yang berkembang, maju menuju titik dimana kita kelak akan tiba pada ujung waktu kita sendiri. Dalam perjalanan itulah kita melangkah bersama harapan dan semangat, bersama perasaan dan pemikiran, bersama kegagalan dan keberhasilan kita. Tetapi jangan takut. Jangan juga menyombongkan diri. Kita semua adalah para pencari kebenaran. Dan tak ada kebenaran yang mutlak. Atau kita tak pernah akan tahu kebenaran yang mutlak selama kita masih menjalani perjalanan kemanusiaan kita di dunia ini. Kita bukan pemilik tunggal kehidupan ini. Dan kita hanya dapat berusaha untuk menjalaninya bersama mereka yang lain. Dan kita berjuang bersama sesama kita. Hari ini kita mungkin menang, tetapi bagaimana dengan hari esok? Kalah atau menang tidak akan berarti apa-apa, dan malah akan menimbulkan kekosongan jika kemenangan itu kita raih dengan cara yang tidak layak. Dan siapa pun yang kalah tetap patut berbangga karena telah berjuang walau gagal. Masih ada hari esok. Masih ada waktu untuk kita semua. Sebab pertandingan hidup bisa sampai namun takkan pernah tiba. Selagi masih ada hidup, masih ada harapan. Dan harapan takkan pernah mati. Takkan pernah....

Tonny Sutedja

17 Juni 2012

IMAJI


Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia
(Mite Sisifus – Albert Camus)

Manusia hidup dalam waktu yang relatip. Sejarah memang telah berjalan dengan panjang yang tak terukur, namun setiap riwayat yang dialami dalam waktu tertentu pun tak terukur. Pengalaman hidup adalah suatu aksi yang mengandung unsur keabadian. Setiap kelahiran memulai langkah-langkahnya dengan suatu kepastian: apa yang akan dan dapat dilakukan dalam perjalanannya menuju akhir. Tak satu kelahiranpun yang tak mengandung kematian, namun setiap kelahiran akan berarti bahwa akan ada pilihan-pilihan yang menentukan baik bagi kehidupan itu sendiri, maupun dan terutama bagi kehidupan alam semesta.

Sebab itu, tujuan sesungguhnya bukanlah akhir yang menentukan bagi setiap kelahiran namun dan terutama langkah-langkah yang akan dan dapat diambil dalam perjalanan meraih tujuan itu. Hidup adalah proses berjalan menuju akhir. Hidup bukanlah akhir itu sendiri. Kita lahir dan ada untuk berbuat. Kita lahir dan ada untuk melakukan sesuatu, bukan hanya untuk menuju ke titik tujuan kita, tetapi untuk menikmati bagaimana cara kita menuju kesana. Sebab itu, mereka yang menghasratkan untuk segera mencapai tujuan yang diinginkannya, sesungguhnya tidak pernah akan dapat mencapai apa yang diinginkannya. Baginya, hidup akan terasa membosankan dan sungguh tak bermakna.

Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia” tulis Albert Camus, filsuf autodidak dari Perancis dalam penutup bukunya Mite Sisifus. Sisifus, sang manusia yang dihukum oleh para dewa, karena mencuri api bagi manusia lain, untuk membawa sebongkah batu besar ke puncak sebuah gunung namun saat tiba di puncak, batu itu berguling kembali ke dasar sehingga dia harus membawa kembali batu itu naik ke atas. Perjalanan bolak balik, hukuman yang tak terbatas, dan membosankan namun tetap harus dijalani. Dan kita sadar betapa hidup sering terasa demikian. Hari-hari datang dan pergi. Setiap saat kita melakukan dan mengalami peristiwa yang sama yang terasa monoton. Namun hidup tetap harus dijalani, terutama bukan karena kita harus hidup tetapi jauh lebih penting karena kita memiliki tanggung jawab untuk hidup.

Setiap kelahiran bukan hanya memiliki hak tetapi juga tanggung jawab untuk mengisi karunia itu dengan talenta-talenta yang tersimpan dalam kemampuan seseorang secara unik. Setiap langkah dalam hidup, setiap peristiwa yang dialami, setiap kondisi yang dihadapi – baik atau buruk – selalu menyembunyikan sesuatu yang harus kita temukan dan pecahkan dengan daya dan kemampuan kita sendiri. Kita bisa memiliki tujuan, tetapi jika tujuan itu tercapai, apakah itu bisa berarti bahwa kita lantas diam karena merasa berhasil sehingga tak mau lagi mendaki tujuan yang lain? Tidak. Kitalah Sang Sisifus yang selalu harus membawa beban kita naik ke puncak untuk seterusnya, setelah mencapainya, akan menggelinding turun sehingga harus kembali memulai sebuah perjalanan baru untuk meraih puncak lagi. Dan sesungguhnya bukan puncak itu yang utama, tetapi proses menjalani hidup menuju puncak itulah yang harus kita nikmati. Beban kehidupan selalu berat, namun pandangan kita janganlah untuk hanya tertuju ke puncak yang kita sasarkan, tetapi seandainya kita dapat melihat lebih luas ke arah ngarai dan lembah, ke arah keluasan isi alam, kita dapat menemukan keindahan yang menakjubkan. Dan kita harus membayangkah bahwa Sisifus berbahagia, bahkan dalam tujuan yang sia-sia sekali pun.

Hidup sering memang berat. Keadaan sering memang tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dan kita mungkin berjalan dengan tertatih-tatih, dengan raga dan jiwa yang terkoyak-koyak oleh siksa kelemahan akal dan rasa. Namun bukankah keberadaan kita sekarang sesungguhnya, bagi dunia, sama sekali tidak berarti. Kita, ada atau tidak, dunia tetap berjalan dan waktu tetap melaju. Jadi, nyata bahwa keberadaan kita harus kita maknai sendiri. Kita harus membawa beban kita sendiri. Kita harus menerima apa yang ada dan menghadapi hidup ini sebagaimana yang kita inginkan. Tanpa keraguan, dunia memang tidak peduli, tetapi kita harus peduli. Dan kebebasan kita tidak terletak pada apa yang kita alami atau terima, namun pada apa yang kita pikirkan dan bayangkan sendiri. Sebab, kitalah yang punya hidup. Kita.

Kita harus menikmati hidup kita sendiri. Atau kita akan berakhir dengan sia-sia. Tetapi berakhir sia-sia bukanlah nasib manusia. Berakhir sia-sia merupakan tindakan menyia-nyiakan talenta keberadaan kita, menyia-nyiakan kebebasan yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada kita. Dan intinya, menyia-nyiakan keberadaan kita berarti menyia-nyiakan anugerah Tuhan kepada hidup kita. Sesedih, sepahit atau bahkan setak-berarti apapun kita dalam menghadapi beban hidup ini, semua tergantung dari bagaimana cara kita menerima dan menghadapinya. Bukan tergantung pada dunia. Bahkan tidak tergantung pada Sang Pencipta. Karena sama seperti Sisifus, kita sendirilah yang harus membawa beban kita. Bukan orang lain. Bukan para dewa-dewa. Kita sendiri.

Dan jika mata kita terus menerus hanya tertuju pada puncak yang ingin kita raih, kita takkan pernah akan merasa bahagia. Karena kita tak mampu melihat keindahan lembah dan keluasan alam semesta ini. Perjalanan hidup ini sesungguhnya menyembunyikan banyak keindahan yang harus kita cari dan temukan sendiri. Itu jika kita ingin menikmati hidup ini. Itu jika kita tak mau larut dalam keputus-asaan atas perasaan ketak-mampuan kita. Kita menghadapi hidup ini dengan memandang secara luas sekuat kemampuan kita untuk menikmatinya sambil memusatkan daya menuju tujuan yang ingin kita capai. Sebab hidup, sekali lagi, bukan apa yang ingin kita raih menjadi utama, namun perjalanan menuju kesanalah yang menjadi kenikmatan perjalanan kita dalam waktu keberadaan kita disini. Sekarang. Saat ini. Kita harus merasa berbahagia. Kita harus berbahagia. Maka segala sesuatu akan berubah. Segalanya akan berubah.

Tonny Sutedja 

PETANI DI PEDALAMAN


Di sini kami hidup apa adanya. Barangkali terasa berat, tetapi tetap akan kami jalani. Kami percaya bahwa semua hal ada yang baik. Bahkan dalam suasana sejelek apapun juga. Bukankah selalu ada tawa bahkan biar kita susah bagaimana juga? Kami hanya perlu merasakannya. Dan menikmatinya....” Demikian kata-kata bijak seorang petani tua yang menetap jauh di pedalaman. Jauh dari keramaian kota. Dan jalan menuju ke lokasinya yang tidak beraspal. Berlumpur di musim hujan. Berdebu di musim panas.

Tiba-tiba aku mengingat kalimat-kalimat itu, saat membaca atau mendengarkan berbagai keluhan atau protes mengenai hidup ini. Barangkali memang, kian banyak keinginan kian banyak pula keluhan kita. Seberapa banyakkah dari kita yang sadar betapa hidup yang kita bayangkan sesungguhnya sulit atau mustahil sama dengan hidup yang kita jalani. Dan saat kita merasa gusar terhadap apa yang dilakukan orang terhadap kita, karena kita merasa tak sesuai dengan apa yang kita inginkan, sadarkah kita bahwa kita sungguh meninginkannya? Jangan-jangan keinginan itu timbul justru saat kita menerima atau merasakan apa yang telah dilakukan orang lain. Sementara jika orang itu tak melakukan sesuatu apapun justru kita juga tidak memiliki keinginan yang berbeda.

Hidup itu sulit jika kita tak mampu menyederhanakannya. Hidup menjadi pelik jika kita hanya mau menerima tanpa mampu memberi, sedang saat menerima kita merasa tak pernah puas dengan apa yang kita dapatkan. Padahal kita sendiri sesungguhnya tak tahu apa yang kita inginkan. Sebab kita tak mengetahui sebelum seseorang melakukan sesuatu yang ternyata kemudian tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dan itulah soalnya. Kita tidak membutuhkan sesuatu yang belum ada. Tetapi saat dia menjadi ada, kita ternyata tak merasa puas.

Tetapi dapatkah kita hidup dengan seadanya disaat kita dilingkupi dengan aneka macam keberadaan benda-benda yang tak mampu kita miliki? Dan disaat yang sama pula tak mampu kita ciptakan sendiri? Tidakkah pada akhirnya, semuanya itu membuat hidup kita menjadi lebih rumit. Dengan beban keinginan, hasrat dan ambisi yang tidak berkesudahan. Kesemuanya membuat kita terperangkap dalam obsesi untuk mencari solusi namun bila ternyata kita gagal, dapat membuat hidup kita menjadi pahit. Atau malah putus asa.

Di sini kami hidup apa adanya”, kata petani tua itu. Dengan kata lain, di sini hidup, bagi mereka, adalah suatu kesederhanaan. Sebab, “selalu ada tawa dalam kondisi susah bagaimana pun”. Jauh di lokasi yang terpencil, dimana kesunyian menjadi sahabat sehari-hari, hidup ternyata menjadi lebih ringan. Daripada di kota-kota yang mengagumkan dengan cahaya kelap-kelip dan tak pernah tertidur, namun ternyata sering kita merasakan kesusahan yang bersembunyi di antara tawa ria yang bergemuruh. Kesepian di tengah keramaian. Kesengsaraan di tengah kemewahan.

Tonny Sutedja

BADAI


Angin berumah entah dimana
Datang pergi mengoyak hati
Sekali lepas membawa jiwa
Mengapung jauh dari bumi

Lirih suara lautan bergema
Bersama ombak menjilat pantai
Membawa duka melarut rasa
Terbenam dalam pasir mimpi

Lihat laut dan angin bertutur
Tentang kau tentang aku
Paham bahwa kelak berakhir
Dalam kekekalan sang waktu

Bertanya kau bertanya aku
Kita bertanya tentang arti
Sadar ada yang kelu
Kata-kata jadi mati

Mari simpan mimpi itu
Jauh ke dalam hati
Laut – Angin – Ombak – Deru
Sepenggal lagu dalam duri

Waktu mengakar dalam kita
Kita mengakar dalam nasib
Nasib mengakar dalam kata
Kata mengakar dalam azab

Kita rindukan hening!
Tapi
tak juga tiba
Tak juga tiba

Laut – Angin – Ombak – Deru
: Badai

Tonny Sutedja

15 Juni 2012

MENJADI MANUSIA


Hidup ini bukan hanya prosa. Tetapi juga puisi. Tidak pula seragam. Tetapi beragam. Sebab itu, mengetahui tidaklah cukup. Perlu pula memahami. Menjadi manusia, kita semua tidak hanya dikaruniai akal tetapi juga perasaan. Sama seperti ada siang dan ada malam, kita membutuhkan kesenyapan, bukan hanya keriuhan. Bersamanya, kita bertindak dan juga merenungi setiap tindakan itu. Demikianlah, hidup berlangsung tidak pernah hitam putih namun berwarna-warni. Justru karena itulah, kita menerima hidup dengan penuh rasa syukur sebagai suatu anugerah yang sangat indah dari Sang Pencipta.

Maka siapapun yang berpikir bahwa dia memiliki kebenaran dengan K besar, sesungguhnya telah gagal memaknai hidup ini. Gagal memahami keindahan perbedaan. Bahkan gagal untuk mengerti diri sendiri. Sebab, siapakah kita yang hanya melintas sesaat di perjalanan waktu yang tak terbatas ini? Siapakah kita yang bersikap demikian pasti menghadapi pikiran manusia lain, sementara kita sendiri tak bisa memastikan pikiran kita? Dapatkah kita berkata dengan jujur bahwa kita tak pernah sesekali merasa ragu akan akal kita? Dapatkah kita dengan jujur memastikan pengetahuan yang kita terima saat ini adalah sebuah kebenaran mutlak?

Menjadi manusia sesungguhnya adalah sebuah proses untuk belajar tanpa akhir. Dan mencoba untuk memahami bahwa pembelajaran itu takkan pernah sempurna. Sebab, bahkan dengan gelar secanggih apapun yang kita miliki, hanya terbatas pada secarik kertas dan tambahan di belakang nama, yang tak pernah berarti bahwa kita telah memiliki kebenaran dengan K besar sehingga saat itu kita dapat berhenti untuk memahami serta mulai memaksakan pengetahuan kita kepada dunia luas. Tidak. Hidup adalah proses untuk mendidik diri sendiri, mengolah kehendak kita dan berupaya untuk mengerti setiap tindakan yang kita lakukan beserta dampaknya terhadap semesta. Sang Pencipta tidak hanya memiliki diri kita, tidak hanya berada dalam pemahaman kita, dan anugerah-Nya tidak hanya dibagikan untuk kita saja. Kita bukanlah manusia yang istimewa, walau setiap pribadi bisa menganggap dirinya demikian.

Hidup bukan hanya prosa, tetapi juga puisi. Dan tidak seperti prosa yang penuh dengan penjelasan yang dapat disatu-artikan, puisi mengandung banyak makna yang memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Karena itu, setiap hidup sesungguhnya dijalani secara berbeda, walau di dalam situasi yang serupa. Kita tak pernah sama, walau terkadang bisa mirip. Apa yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita ketahui, hanya berarti suatu kebenaran bagi kita, bukan bagi sesama. Sedekat apapun kita dengan dirinya. Pada akhirnya, kita semua hanya debu yang akan lenyap tertiup angin. Pada akhirnya, kita akan menyerah dan lenyap dari kehidupan ini. Pada saat itu, haruslah kita bertanya, dimanakah kegarangan kita? Dimanakah keangkuhan kita? Dimanakah kekuatan-kekuasaan-kekayaan kita yang pernah demikian jaya kita punyai ? Dimanakah kita? Dapatkah kita memastikan bahwa apa yang kita anggap kebenaran akan memiliki kita selamanya? Dapatkah?

Sesungguhnya, jika Yang Maha Kuasa ingin menciptakan kita seragam, tidaklah mungkin IA menciptakan kita beragam. Jika IA ingin membuat kita sama, tidaklah mungkin IA menciptakan kita berbeda. Tidak! Keberagaman adalah suatu keindahan, bukannya suatu dosa atau kesalahan yang harus dilenyapkan. Keberagaman adalah suatu anugerah yang harus disyukuri karena DIA, bukannya disalahkan dan harus dilenyapkan. Bukan kita, tetapi DIA-lah Sang Pencipta. Kita hanya manusia, karena itu kita harus belajar menjadi manusia. Bukan menjadi Sang Pencipta. Hidup itu indah, jika kita mampu memahaminya. Hidup itu puisi, bukan hanya prosa. Hidup itu dijalani dengan kebenaran-kebenaran kecil yang kita miliki tanpa perlu memaksakan kebenaran kita kepada dunia. Hidup itu adalah ketidak-sempurnaan di mata masing-masing orang, walau masing-masing juga bisa menganggap dirinya sempurna. Sebab yang sempurna hanya satu. Hanya satu.

Kenanglah kami, jika sempat, bukan sebagai jiwa-jiwa garang, tetapi sekedar sebagai orang-orang kosong” (The Hollow Man-TS Eliot)

Tonny Sutedja

10 Juni 2012

JUNI 2012


Ada sesuatu yang sunyi
Di sini
Saat mendung
Dan gerimis menyusul
Dalam diam

Tetesan hidup
Kupersembahkan ke bumi
Lalu beku
Dan membatu
Dalam senyap

Jangan berkata dulu
Biar hening
Bergelut bersama waktu
Kita
Ada yang tak terjawab

Kubawa sepiku
Di pagi awal bulan
Berarak
Ke langit kelam
Dalam waktu

: Sebuah harapan!

Tonny Sutedja

PERISTIWA


That we are ruined by the thing we kill
(Judith Wright)

Peristiwa seringkali serupa memasang sperei. Dirapikan di ujung sini, kusut di ujung sana. Dan segala sesuatu yang dikurbankan pada akhirnya akan mengurbankan juga. Ada banyak tanya yang tak berjawab. Sementara waktu gagal mengobati apa yang pada mulanya kita anggap akan lenyap bersamanya. Hidup memang semacam ketak-terdugaan. Apa yang kita rencanakan tak terujud, sementara apa yang kita hindari justru terlaksana. Tetapi dapatkah kita menyalahkan dia? Sebab sesungguhnya kita sama sekali tak punya kekuasaan untuk mengubah kemungkinan menjadi kepastian.

Tetapi bagaimana pun juga, ada yang harus dilakukan. Karena hidup seperti permainan puzzle. Kita harus menyusun potongan-potongan kecilnya menjadi sebuah lukisan besar. Sementara kita sendiri tak tahu pasti, bagaimana sesungguhnya gambaran lukisan itu. Yang ada hanya kemungkinan-kemungkinan yang, walau kita dapat menganggapnya sebagai suatu kepastian, tetap tidak menentukan bahwa kebenaran kita adalah mutlak. Sebab semua kisah punya latar belakang. Dan semua latar belakang menyusun cara kita sendiri untuk melukiskannya secara unik. Dan tidak akan pernah serupa satu sama lain. Biarpun kita mengalami situasi yang sama. Dan identik.

Usia. Yang memanjang. Akan memajangkan segala peristiwa. Yang tak mungkin ditarik kembali. Tetapi masa depan masih menyimpan misteri. Dan kita tahu. Dan sadar. Bahwa, ada yang tak bisa kita pastikan. Sebelum kita melangkah melewatinya. Bersama sang waktu. Bersama keputusan kita. Sendiri. Hingga di ujung, kita dapat merenungkan apa yang telah terjadi. Dan, walau tak mungkin kita mengulangnya. Tetap kita dapat mengubah peristiwa itu. Menjadi lain dari hasil sekarang. Demikianlah, hidup tak pernah sempurna. Seperti yang kita inginkan. Kenyataan tak pernah sesuai. Seperti yang kita harapkan.

Namun, siapakah kita? Manusia yang sering merasa diri demikian kuat. Angkuh. Tetapi bebal. Hingga di titik akhir. Akan menyadari, betapa sesungguhnya, kita tidaklah kekal. Sebagaimana angin berhembus. Kita hanya mampir sejenak. Lalu pergi menghilang. Menyisakan sepetak kenangan. Betapa sesungguhnya kita hanyalah sosok tanpa daya. Untuk mengubah waktu. Untuk mengubah peristiwa yang telah terjadi. Menjadi sesuatu yang kita anggap sebagai kebenaran. Yang hanya ada di pikiran kita. Dan terlupakan setelah ketiadaan tiba. Kosong.

Senyatanya, kita bebas untuk memilih. Kita bebas untuk menentukan. Tetapi tidak mungkin dapat memastikan kebenaran. Selain dari apa yang ada di pikiran kita. Dan karena setiap orang memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Atau yang dianggapnya sebagai kebenaran. Maka ada sedemikian banyak kebenaran di dunia ini. Dan jika kebenaran ternyata sedemikian banyak. Apakah kebenaran itu? Setiap pengorbanan yang kita berikan. Dan setiap korban yang kita buat. Ternyata pada akhirnya terbukti tak berarti apa-apa. Kecuali bagi pikiran kita saja. Kecuali menurut anggapan kita belaka.

Lihatlah betapa peristiwa yang setiap kali ingin kita rapikan, di sisi kita, hanya akan membuat kekusutan di sisi yang lain. Sebab apa yang kita anggap sempurna bagi kita, ternyata cacat bagi yang lain. Apa yang berusaha kita sembuhkan, ternyata akan melukai. Sehingga pada akhirnya, kehidupan kita dapat menjadi kematian sesama. Sehingga pada akhirnya, kita menjadi beban, bukannya penyelamat. Walaupun kelembutan akan melahirkan kekalahan, namun pasti kekerasan akan melahirkan kekerasan. Terus menerus. Dan walau kita unggul dalam kekerasan, siapa yang dapat memastikan bahwa kita unggul pula dalam kebenaran? Siapa?

Tonny Sutedja

05 Juni 2012

ELEGI


Langit yang gerimis
Siang ini
Bertanya padaku,
Kemana engkau?
Tak tahu, jawabku
Kemana akan kubawa
Langkah-langkahku
Selain pada-MU

Di relung kesunyian
Kau yang abadi
Menyerupai kelam
Asing
Dan jauh
Serupa dongeng

Langit yang gerimis
Siang ini
Mendendangkan kidung
Dan kudengarkan
Suara lirih-MU
Sambil berbisik
: Kudatang pada-MU

Tonny Sutedja

04 Juni 2012

GAGA


Seandainya ada yang berbeda dari kita, baik secara fisik, ide, keyakinan maupun kebiasaan, dapatkah kita mengatakan bahwa mereka tidak ada? Atau dapatkah, baik dengan keinginan ataupun dengan perbuatan, untuk melarang dan memusnahkan mereka? Siapakah kita sehingga dapat mengatas-namakan keinginan kita dengan keinginan Sang Pencipta? Dari mana kita mendapatkan hak untuk menyamakan semua hal dengan ide kita sehingga dapat menyamakannya sebagai kebenaran yang mutlak? Apakah kebenaran itu? Bisakah kita memastikan bahwa kebenaran kita sendiri juga kebenaran semua orang? Bahkan, mampukah kita meyakini kebenaran yang kita pahami adalah kebenaran yang diinginkan oleh Sang Pencipta? Tidakkah, jika demikian, kita merasa diri sebagai Sang Pencipta itu sendiri? Sungguhkah itu? Siapakah kita sebenarnya menurut anda?

Hidup sesungguhnya adalah misteri. Kita mungkin memiliki patok-patok agar perjalanan kita tidak tak terarah, namun kita hidup bersama insan-insan lain yang masing-masing mempunyai patokan sendiri-sendiri. Dan sebagaimana kita meyakini bahwa, kehidupan yang kita jalani saat ini, merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa sekaligus Yang Maha Pencipta, seharusnya pula kita meyakini bahwa segala patokan yang dimiliki oleh semua kehidupan lain adalah jalan yang telah diberikan oleh-NYA sendiri bagi tiap insan demi memuliakan nama-NYA. Maka setiap insan mempunyai kebenarannya masing-masing sama seperti setiap insan mempunyai tanggung-jawabnya sendiri-sendiri dan akan menanggung resikonya sendiri-sendiri pula jika ternyata dia gagal mengembangkan talenta-talenta yang dianugerahkan-NYA. Tapi jelas pula, kita bukanlah Sang Hakim Agung yang dapat menuduh, mengadili dan menghukum, baik kondisi fisik, ide, keyakinan maupun kebiasaan masing-masing insan yang telah dianugerahkan-NYA kepada kita semua. Sebab kita bukanlah Sang Pencipta dan takkan pernah apalagi berhak untuk menjadi Sang Pencipta kita.

Selain itu, setiap yang hidup mempunyai situasinya sendiri. Setiap kehidupan berbeda dalam kondisi alam, lingkungan dan adat dimana dia berada. Justru dalam keberagaman itulah, Sang Pencipta menampakkan kebesaran-NYA. Maka untuk apakah kita menginginkan bahkan memaksakan keseragaman? Jika DIA membagikan kita masing-masing hidup yang berbeda, pengalaman yang berlainan, dapatkah kita dengan keyakinan penuh mengatakan bahwa kita memiliki kebenaran mutlak sehingga mau memaksakan keseragaman keyakinan kita kepada insan lain? Siapakah kita ini? Dan jika kita merasa takut bahwa apa yang dilakukan oleh yang lain akan pula mempengaruhi diri kita, bukankah itu bahkan akan menampakkan kelemahan keyakinan kita sendiri? Sebab, jika kita kita yakin, kita pasti takkan terpengaruh. Dan jika kita tidak terpengaruh, mereka yang lain pun bisa tidak akan terpengaruh pula. Setiap insan memiliki tanggung-jawab atas hidupnya masing-masing. Dan masing-masing memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Masing-masing dapat berhasil atau gagal untuk bertahan. Bukan tergantung pada kita. Bukan tergantung pada pemusnahan yang lain. Bukan. Tetapi semua kembali ke dalam jiwa dan hati masing-masing insan. Keyakinan tidak dapat dipaksakan dengan kekuatan dan rasa takut. Keyakinan akan tumbuh dengan lembut seperti kembangnya sang bunga kehidupan di alam ini. Lembut, perlahan tetapi pasti sesuai dengan kodratnya sendiri-sendiri. Keyakinan tumbuh dengan pemahaman, bukan dengan penghapalan. Apalagi pemaksaan.

Demikianlah, hidup ini menjadi suatu misteri yang indah dengan masing-masing dari kita memiliki kebenaran sendiri yang, mungkin, terasa tidak sesuai dengan keyakinan kita tetapi toh, punya nilai yang tak terpadamkan. Bahkan semakin ditiadakan semakin mengada. Kekerasan hanya menciptakan rasa takut atau kekerasan lain yang takkan berakhir dengan kemuliaan dan kebahagiaan yang kita harapkan awalnya. Hidup tidaklah hitam putih. Hidup adalah seni untuk memahami, bukan ilmu yang dapat dihapalkan atau dipastikan kebenarannya. Hidup adalah cinta yang diberikan oleh Sang Pencipta bagi kita semua. Bagi alam semesta. Bagi siapapun, apapun dan dimanapun. Dan kita takkan bisa dan takkan mampu untuk memastikan kebenaran itu sendiri. Takkan pernah bisa......

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...