18 Januari 2013

MARAH


“Menjengkelkan! Saya merasa sakit hati dan kecewa terhadapnya. Apa yang saya minta tak pernah dilakukannya. Apa yang saya ingin dia lakukan tak pernah dilaksanakan. Hampir setiap hari dia membuat saya marah dan stres. Mau jadi apa dia nanti? Dia membuat saya menderita. Sangat menderita” kata seorang ayah kepadaku saat bercerita mengenai anak remajanya. Jelas sekali nampak betapa kemarahan dan frustrasi membuat dia meradang. Sangat meradang.

Marah. Seringkali kemarahan membuat kita kehilangan kontrol atas diri ini. Membuat kita larut dalam perasaan sehingga pikiran tersishkan. Entah, tetapi aku merasa bahwa sesungguhnya banyak atau sebagian besar perasaan marah dan kekecewaan yang kita alami bukan karena kegagalan kita menghadapi diri sendiri, tetapi karena kita merasa gagal membuat orang lain berbuat sesuai dengan apa yang kita harapkan. Keinginan kita untuk membuat orang lain sama dengan kita. Atau sesuai dengan pikiran kita. Tetapi tidakkah itu janggal?

Kita marah karena orang lain tidak mau mengikuti aturan kita. Kita kecewa karena orang lain tidak mau mengkikuti apa yang kita inginkan. Kita frustrasi karena orang lain tidak mau menjadi sama dengan kita. Dan terkadang, kita bahkan melakukan tindakan kekerasan hanya karena kita ingin memaksakan kehendak kita agar orang lain menjadi sama dengan kita. Atau lebih aneh lagi, sama dengan pikiran kita walau hidup kita sendiri belum tentu sesuai dengan apa yang kita pikirkan sendiri. Tidak pernahkah kita merasa bersalah karena perbuatan kita itu? Tidak pernahkah kita mencoba untuk merenungkan kegunaan dari keinginan dan harapan kita terhadap orang lain? Apakah kita memandang sesama kita sebagai manusia yang setara? Atau hanya sebagai robot yang harus sesuai dengan apa yang kita programkan kepadanya? Dan tak pernahkah kita pikirkan bahwa kekecewaan dan kiemarahan kita tidak hanya merugikan orang lain tetapi terutama merugikan hidup kita sendiri?

Mungkin memang ada kemarahan yang pantas karena kita sendiri telah melakukan kesalahan atau perbuatan yang tidak layak. Tetapi seberapa banyakkah rasa sesal karena perbuatan kita yang salah daripada rasa frustrasi karena perbuatan orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Nyatanya, jauh lebih sering kita menyesali orang lain daripada kita menyesali diri kita sendiri. Jauh lebih sering kita mau memaksa orang lain untuk berubah daripada memaksa diri kita untuk berubah. Jadi, jika kita sendiri ternyata gagal untuk memaksa diri kita untuk berubah, mengapa kita harus memaksa orang lain untuk berubah menjadi seperti kita? Atau mungkin kita merasa bahwa kebenaran kitalah yang pasti dengan K besar, tetapi apakah kebenaran itu selain daripada hanya ada di pikiran kita saja? Dan toh, setiap orang memiliki kebenaran dalam pikiran masing-masing. Dengan kata lain, masing-masing pikiran mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri. Dan sesungguhnya bukan hak kita untuk memaksakan kebenaran itu. Juga bukan kewajiban kita untuk mengubah orang lain untuk sama dengan pikiran kita. Bukan. Kita memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang memiliki perbedaan karena hidup ini beragam. Bukan seragam.

“Menjengkelkan! Saya merasa sakit hati dan kecewa kepadanya.....” Perlukah itu? Bergunakah itu? Haruskah itu? Aku tidak tahu. Tetapi sering aku merasa betapa banyak hal yang sia-sia terjadi dalam hidup kita ini karena kita hanya ingin mengurus dan mengatur orang lain sementara kita sendiri gagal mengurus dan mengatur diri sendiri. Kita ingin orang lain berubah sementara kita sendiri tak ingin berubah. Dan pada akhirnya, kita mejadi kecewa, sakit hati, menderita atau melakukan tindakan kasar yang semuanya berujung pada kegagalan kita untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Dan mempersingkat usia kita sendiri. Ah, betapa sia-sianya semua itu. Betapa sia-sianya.....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...