05 Februari 2013

BOHONG


Seorang yang berbohong pasti akan tahu. Bahwa sebuah kebohongan pasti akan diikuti oleh kebohongan lain. Dan sekali dia berbohong, dia pun akan hidup dalam dan bersama kebohongan itu. Akibatnya seorang pembohong akan kehilangan kenyataan yang sebenarnya dan bisa tidak menyadari dirinya sendiri. Dan tidak seperti seorang aktor di dalam film atau sinetron, yang setelah pertunjukan usai kembali akan menemukan kenyataan hidupnya, seorang pembohong terpaksa setiap saat harus berada dalam kesiagaan penuh agar kebohongannya tidak terbongkar. Maka dia harus memakai topeng dan perlahan-lahan kehilangan dirinya sendiri. Dia yang sesungguhnya menghilang dan kepekaan pada kenyataan pun lenyap.

Di sini, dengan segala bantahan tentang kebenaran yang sungguh terjadi, dia menjadi sosok yang lain. Pribadi yang dibayangkan, bukan pribadi yang nyata yang hidup. Tetapi hidup setiap saat bersama topeng kebohongan itu melelahkan. Dia kehilangan orientasi pada apa yang sungguh terjadi. Dia kehilangan kepekaan pada kehidupan. Dan yang lebih menyedihkan lagi apabila dalam kebohongannya itu, dia menyeret orang-orang yang sangat meyakininya dalam dunianya yang tidak nyata sehingga sering terasa betapa kebohongan itu perlahan-lahan menjadi dunia yang nyata. Baginya. Bagi orang-orang di lingkungannya. Bagi siapa saja yang percaya kepadanya dan karena itu selalu sanggup untuk membela kebohongannya. Maka bagi mereka itu, dunia kebohongan itu adalah kenyataan walau tak pernah terjadi.

Berapa banyakkah di antara kita yang hidup dalam dunia itu? Setiap saat, setiap kesempatan, hidup terpaksa dijalani dengan penuh kewaspadaan agar kebohongan kita tidak terungkap. Setiap kesempatan kita memakai topeng agar kenyataan yang sesungguhnya tidak tersingkap. Setiap kali aku membaca berita, atau menonton mereka yang berkata-kata, setiap kali pula aku bertanya-tanya dalam hati: “Jujurkah mereka?” Tetapi jika semua jujur dalam perkataannya, mengapa semua kenyataan itu nampak saling bertolak belakang? Nampak saling bertentangan? Dan berkesan bahwa ada yang berkelit, ada yang membela diri, ada yang mengingkari kenyataan. Lalu siapakah yang sungguh menyadari dirinya sendiri? Siapa?

Menyaksikan setiap peristiwa sungguh berbeda dengan mengalami peristiwa itu. Setiap individu pasti memiliki pandangan yang berbeda mengenai satu kejadian. Tetapi jika kenyataan itu sendiri telah terjadi, bagaimana dapat kita berkata bahwa kenyataan itu seakan-akan sebuah kenyataan yang tidak nyata? Dan mempertanyakan motip kenyataan itu. Seakan-akan sebuah kenyataan yang telah terjadi adalah sebuah peristiwa yang dibuat-buat untuk merugikan diri kita. Sementara kita melupakan bahwa sesungguhnya sebuah kenyataan bisa terjadi akibat dari rencana dan perbuatan kita sendiri. Kita melupakan rencana dan perbuatan kita. Kita berlaku seakan-akan semua hal yang merugikan kita, sebuah bencana atau musibah, tidak pernah terjadi karena kita, tetapi karena orang-orang yang mungkin tidak menyukai kita. Tetapi bukankah jika semua berjalan seperti biasa dan mengutungkan hidup kita, kita tetap menikmatinya sendiri?

Berawal dari sinilah kita lalu hidup dengan memakai topeng tebal demi untuk melupakan apa yang telah kita susun sendiri, sambil menyalahkan mereka-mereka, yang mungkin bahkan sama sekali tidak tahu menahu apa yang terjadi, yang kita anggap telah membuat diri kita dalam kondisi yang sulit. Dan siapakah yang dapat melihat isi hati kita selain dari diri sendiri? Bagaimanakah dapat diketahui kejujuran kita yang sebenarnya jika kita sendiri menampik kenyataan yang terjadi? Mungkin suatu ketika nanti ada orang-orang yang mampu untuk membuka topeng di wajah kita dan memperlihatkan rupa kita yang sesungguhnya, tetapi dapatkah kita sendiri untuk jujur terhadap hidup kita? Mampukah kita untuk melepaskan topeng yang kita kenakan sambil berkata tegas: “Inilah aku?”.

Barangkali tidak semudah itu. Dan memang tidak semudah itu. Setiap kebohongan pasti akan disusul dengan kebohongan lain. Setiap alasan pasti akan diikuti alasan lain. Dan ketika itu berlanjut terus, sadar atau tidak, kita lalu tenggelam dalam kehidupan yang tidak nyata. Dunia dimana kebenaran hanya milik kita dan mereka yang berupaya untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya justru bagi kita adalah mereka yang hidup di dunia yang tidak nyata pula. Kita hidup dalam ketidak-nyataan. Kita masing-masing. Sebab, bukankah ada yang pernah menyanyikan dengan indahnya, dunia ini panggung sandiwara belaka......

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...