06 Februari 2013

SANDIWARA


Dunia ini, panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah.....

Dunia ini memang panggung sandiwara. Dengan cerita yang dapat berubah secara cepat. Dan batas antara yang benar dan palsu semakin kabur. Dan tidak seperti kisah-kisah yang dulu pernah dituturkan pada kita, kenyataan sekarang membuat kita menjadi bingung dan semakin kehilangan arah. Seorang koruptor dapat menjadi pahlawan karena telah memberikan sumbangan besar. Seorang penjahat dapat tiba-tiba nampak alim dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan. Kejujuran ternyata juga dapat dibeli, bukan hanya dengan materi tetapi juga dengan keyakinan. Seakan-akan, jika kita berbohong demi, apa yang kita yakini, sebagai kehendak Tuhan misalnya, maka itu dapat dibenarkan. Dan dalam kebingungan menerima segala kejadian itulah, kejenuhan mulai menguasai perasaan kita. Kita lalu menjadi apatis, tidak peduli dan membuat kita berasumsi bahwa apapun yang terjadi, semua tidak punya kaitan dengan hidup kita sendiri. Demikianlah kenyataan pahit yang mendera masyarakat kita sekarang.

Dunia ini memang panggung sandiwara. Dan kita hidup bersama topeng-topeng diri yang kian tebal. Masing-masing hanya memikirkan diri dan kepentingan sendiri. Masing-masing berbuat seakan-akan semua berjalan baik dan lancar, walau pun itu jelas tidak benar. Sikap hidup kita nampaknya mengikuti kemajuan tehnologi yang telah membuat hidup menjadi lebih ringan dan mudah. Serta cepat dan ringkas. Kita seakan-akan ingin menjadi sebuah remote control yang hanya dengan sekali sentuh, maka semua keinginan kita dapat tercapai. Dan dengan program-program dan peralatan tehnik yang canggih, kita merasa mampu meraih semua hal yang menjadi impian kita. Maka kita lalu mereguk semua hal yang menyenangkan kita tanpa peduli lagi dari mana sumbernya. Nampaknya, dengan kesadaran baru itulah kita hidup kini.

Namun toh, bagiku, tetap ada yang salah. Hidup sesungguhnya tidak semudah itu. Walau kita memiliki remote control, ternyata kita sendiri tidak memahami cara kerja alat itu. Karena kita tidak mampu membuatnya sendiri. Demikian pula dengan dengan semua program dan peralatan canggih yang kita miliki, ternyata, tak mampu kita ciptakan sendiri. Kita kehilangan keaslian diri. Kita tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencipta selain dari hanya memakai. Kita terlena dalam segala kemudahan yang kita anggap sudah menjadi milik kita padahal sesungguhnya bukan hasil pemikiran kita. Kita ingin serba cepat tetapi sangat menggantungkan diri pada kemampuan orang lain. Dan disinilah kegagalan kita. Kegagalan untuk berpikir dan berkreasi. Dan sebab kita ingin serba cepat dan mudah, maka segalanya bisa kita terima. Segalanya bisa kita anggap benar. Yang buruk menjadi baik. Yang salah menjadi benar. Dan toh, tak seorang pun merasa khawatir akan hal itu.

Dunia ini memang panggung sandiwara. Ceritanya mudah berubah. Kisah lucu membuat kita tertawa. Kisah sedih membuat kita menangis. Tetapi ternyata, ada juga kisah yang sama sekali tidak lucu tetapi dapat membuat kita tertawa. Tertawa dengan pahit. Dan ada kisah yang sama sekali tidak sedih tetapi bernuansa kebanggaan ternyata dapat membuat kita sedih. Sedih yang pahit pula karena kebodohan kita dalam menerima kebanggan yang tak sepatutnya. Dan demikianlah kehidupan kita berjalan terus. Perlahan-lahan kita kehilangan nurani kita. Perlahan-lahan kita menyangka bahwa semua biasa dan normal saja. Dan ketika berita melintas dengan cepat susul menyusul, ganti berganti, dengan perasaan bingung kita pun kehilangan kepedulian. Dan pada akhirnya hanya mampu mengguman dalam kesepian. Kehilangan suara. Kehilangan kata-kata. Kehilangan nurani.

Namun, seperti semua sandiwara, selalu ada sutradara yang sedang mengawasi kita. Jadi ketika sandiwara yang kita mainkan sudah keluar dari naskah yang ditulisnya, ketika kita sebagai pelakon bermain seakan-akan semuanya hanya demi keuntungan dan kesenangan diri kita saja, pernahkah kita memikirkan apa yang akan dilakukannya kepada kita? Pernahkah kita merenungkan bahwa kita ini sesungguhnya hanya memainkan lakon sesuai dengan naskahnya? Jadi jika peran kita berjalan tanpa jalur yang benar, sadarkah kita bahwa setiap sandiwara – bagaimana pun bagusnya – pasti akan usai juga. Dan saat itu, bagaimana pertanggung-jawaban kita terhadap sang sutradara? Bagaimana? Dan kupikir, di titik saat sandiwara telah usai, kita telah terlambat untuk memperbaiki peran kita. Telah terlambat.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...