29 Maret 2013

JEJAK


Jumat Agung. Ribuan wajah. Ribuan kisah hidup. Sama tertunduk saat memperingati momen sengsara dan wafat Yesus di salib. Kutatap wajah-wajah itu sambil merenungkan betapa sengsara adalah milik semua orang. Milik siapa saja. Dan jika Yesus sendiri mengalami sengsara itu, mengapa kita harus luput darinya? Tidak. Sengsara tidak pernah khusus milikku, tidak juga khusus milikmu atau hanya milik mereka. Dalam hidup kita, selalu ada jejak-jejak duka derita yang kita alami setiap saat. Setiap waktu. Kita tidaklah istimewa sendirian.

Demikianlah, hidup yang kita jalani ini, kadang menyeret kita dalam sesal dan kebencian. Dalam putus asa dan sakit hati. Seakan-akan kita dan hanya kitalah sendiri yang dikhianati, kita dan hanya kitalah yang diperlakukan tidak adil, dibohongi bahkan dilukai dan dihancurkan. Mereka yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemilik duka lara, tataplah pada wajah-wajah yang setiap saat nampak di sampingmu, di depanmu, dimana pun berada dan sadarilah betapa banyaknya jejak duka yang tampil di setiap kehidupan ini. Hidup kita tidaklah istimewa. Hidup kita tidaklah berbeda satu sama lain. Sebab jika kita percaya bahwa Yesus mengalami derita yang demikian pahit dan nyeri, mengapa kita sendiri harus luput darinya? Bukankah itu tidak adil?

Jumat Agung. Ribuan wajah dengan ribuan kisah hidup. Ribuan jejak yang telah ditinggalkan dalam setiap kisah keberadaan seseorang. Dan kulihat seorang ibu tua meneteskan air mata saat tiba saatnya dia bersujud mengenang wafat-Nya. Apa yang dipikirkannya? Apa yang dikenangnya? Jejak-jejak kehidupan apakah yang telah dilaluinya? Bukankah kita yang pernah mengalami derita dapat juga memahami derita orang lain? Dan jika kita mau jujur pada diri sendiri, kita dapat menyadari betapa beratnya perjuangan menjalani hidup ini. Tidak ada perbedaan di antara manusia, yang berpunya maupun yang tidak, setiap derita punya ke-khas-annya masing-masing.

Siapakah kita sehingga harus merasa istimewa dan khusus? Siapakah kita sehingga patut merasa bahwa kita dan hanya kitalah pemilik kehidupan ini, pemilik nestapa yang paling lara? Siapakah kita sehingga patut merasa sebagai satu-satunya yang ditidak-adili dan disengsarakan? Siapakah kita ini? Tidakkah setiap kehidupan yang terkandung di balik wajah-wajah yang ada di sekitar kita punya jejak-jejak dukanya sendiri? Punya jejak-jejak deritanya sendiri? Tetapi di saat lain, bukankah mereka tetap dapat tersenyum lepas dan tertawa gembira? Tidakkah kita juga demikian adanya? Mengapa kita takut dengan diri sendiri? Mengapa kita gentar menjalani hidup ini? Tidakkah harapan selalu ada, bahkan di saat terkelam sekali pun. Harapan selalu ada dan pasti akan datang di saatnya nanti. Yang kita butuhkan hanya percaya dan percaya bahwa setiap jejak yang kita tinggalkan pasti ada gunanya. Setiap derita yang kita alami pasti ada manfaatnya. Nestapa saat ini adalah jalan salib yang harus kita jalani menuju titik dimana tak ada yang lain selain dari cahaya kebangkitan kita. Maka jangan takut. Jangan bimbang. Percayalah. Hidup kita ini, apapun adanya, selalu akan meninggalkan jejak yang bermakna bagi kehidupan semua insan. Kita tidak sendiri dan tidak akan pernah sendirian.

Jumat Agung. Ribuan wajah. Ribuan kisah hidup. Semua tertunduk mengenang sengsara Yesus. Seorang ibu tua terisak-isak. Seorang bocah kecil menatap dengan matanya yang besar pada salib lambang Kristus tergantung. Dan di luar hujan turun deras. Hujan turun dengan deras. Sungguh, kurasakan betapa kehidupan ini semua menyatu dalam jejak yang sama. Setiap derita selalu mengandung harapan. Setiap kegelapan selalu punya cahaya. Sebab tiga hari setelahnya, Paskah tiba. Dan Yesus bangkit. Dan Yesus hidup. Bersama-Nya, kita semua dapat memastikan bahwa tidak ada yang abadi selain dari kebenaran bahwa setiap derita punya ujung. Bahwa setiap nestapa pasti akan usai. Langkah-langkah duka kita sekarang kelak akan menjadi jejak yang indah dalam kenangan. Itulah hidupku. Itulah hidupmu. Itulah hidup setiap orang. Maka marilah meninggalkan jejak yang berguna, entah pahit entah manis, agar menjadi teladan bagi siapa saja. Bagi dunia seluruhnya. Seluruhnya.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...