27 April 2013

HUKUM


Ketika yang bersalah dapat bersembunyi di balik rasa keengganan sebuah institusi untuk menyibak boroknya, maka hukum bukan hanya menjadi tumpul tetapi telah mati. Ketika sebuah institusi, demi kepentingannya sendiri, menyembunyikan kebobrokan yang terjadi karena oknum-nya sendiri, maka secara nyata, institusi itu telah membunuh kebenaran dengan berlaku tidak adil dan tidak jujur kepada masyarakat. Maka keteladanan pun hilang. Dan setiap orang dapat menganggap dirinya berdiri di atas bangkai hukum itu sambil menyuarakan kepentingannya yang tidak lain hanya penghindaran dari rasa malu dan enggan mengakui kesalahan. Sekaligus enggan untuk bertanggung-jawab atas setiap perbuatan yang telah merobek dirinya sendiri.

Sadarkah kita akan kerusakan yang sedang dan akan terjadi saat kita dengan kukuh bertahan pada nama baik semata? Pahamkah kita tentang makna keadilan dan kejujuran yang setiap saat kita dengungkan sementara kita melakukan hal yang sebaliknya? Ataukah pandangan kita sudah tertutup hanya karena kita tidak mau mengakui bahwa sesungguhnya ada borok yang sedang kita tanggung dan mungkin kelak akan menghancurkan diri kita semua? Bagaimanakah kita dapat dengan penuh rasa yakin dan percaya diri menyatakan kebenaran jika kita sendiri enggan mengakui kebenaran itu? Dan apakah maknanya sebuah kebenaran jika itu hanya dilihat dari sudut pandang dan kepentingan pribadi kita?

Maka ketika hukum dapat dijual belikan, ketika fakta dapat digelapkan, ketika ayat-ayat hanya menjadi ajang perdebatan sesuai dengan sudut pandang setiap orang – tanpa kepastian – percayalah bahwa pada akhirnya setiap orang pun dapat berpendapat bahwa mereka pun memiliki hukumnya masing-masing. Dan jika itu terjadi dan memang kita inginkan, kita semua patut menyadari akan resiko ketidak-adilan bagi semua orang. Karena keadilan menurut sudut pandang diri sendiri, sadar atau tidak, berarti kita membangun ketidak-adilan dalam masyarakat. Hukum menjadi tidak pasti saat semua dapat berdebat tentangnya. Hukum menjadi layang-layang yang putus yang akan dikejar-kejar dengan kekuatan-kekuasaan-kekayaan dan bukan dengan kejujuran-kebenaran-keadilan. Dapatkah kita memahami akibat-akibatnya kelak?

Tetapi entah mengapa, kita demikian tidak peduli lagi terhadap masyarakat. Kita hanya peduli kepada diri dan kepentingan kita sendiri. Selama kepentingan kita tidak diganggu, selama itu pula kita seakan-akan kelihatan dapat berbuat baik dan jujur, namun sekali kepentingan kita diusik, tiba-tiba kita menjelma menjadi mahluk yang menakutkan dan menafikan semua kejujuran serta fakta yang ada. Bahkan jika perlu dengan melakukan perlawanan secara kasar dan keras. Bahkan jika perlu dengan mengurbankan orang lain. Kita tidak merasa terusik oleh ketidak-adilan yang kita lakukan bahkan memberikan ribuan alasan yang seakan-akan benar tetapi......

Setiap pagi, saat kita duduk menikmati secangkir kopi sambil membaca koran pagi, kita mungkin mengutuk ketidak-adilan, kekerasan dan ketidak-jujuran yang diberitakan. Kita bahkan mungkin merasa sangat marah dan menyesalinya. Tetapi itu karena kita sama sekali tidak terkait dengan peristiwa yang sedang kita baca itu. Seandainya peristiwa itu menyangkut nama baik kita, menyangkut kepentingan kita, menyangkut integritas institusi kita, masihkah kita merasa dan berpikir sama? Entahlah. Jika saja kita mau jujur kepada hati nurani kita sendiri. Jika saja kita tidak enggan untuk merasa malu dan mau mengakui kesalahan kita. Jika saja...... Tetapi seberapa banyakkah yang mau mengakui kealpaannya sendiri?

Pada akhirnya, setiap kesalahan selalu mempunyai dalih dan alasannya masing-masing. Dan setiap ayat-ayat dalam buku hukum selalu dapat diperdebatkan sesuai dengan kepentingan kita melulu. Saat itu, sesungguhnya kita telah memulai proses penghancuran terhadap kebenaran. Atas nama dalih dan alasan yang kadang dibuat setelah sebuah peristiwa terjadi, sesungguhnya kita telah melarikan diri dari dunia yang nyata dan membentuk opini seakan-akan yang satu saat dapat menjadi kebenaran yang semu. Dan saat itu terjadi, hukum pun lumpuh. Hukum pun tak berdaya dan akan mati lemas. Siapkah kita menghadapinya?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...