20 April 2013

KADANG MAAF SAJA TIDAK CUKUP


Hari belum lagi siang saat aku berjumpa dengan seorang siswa SMA, tetanggaku, yang setahuku saat itu sedang mengikuti Ujian Nasional. Wajahnya tampak murung atau bahkan sedikit kesal. Maka aku bertanya padanya,
Ada apa? Bagaimana hasil UN hari ini, nak?”
“Tidak ada UN hari ini, om. Guru bilang soalnya belum datang dari Jakarta...”
Kok bisa, jadi kapan UN?”
“Tidak tahu. Tunggu kabar saja kalau soal sudah tiba....”
Oo, jadi kalian disuruh menunggu dalam ketidak-pastian?”
“Begitulah, om...”
Saat itu aku merasa terkejut. Tetapi kemudian setelah mengikuti berita-berita dari media cetak dan media online, aku lalu mengetahui betapa UN tahun 2013 ini sungguh sangat kacau balau. Soal terlambat dicetak dan terlambat dikirim sehingga untuk sebagian daerah terpaksa harus ditunda. Dan lebih menyedihkan lagi, pihak yang seharusnya bertanggung-jawab malah saling menyalahkan. Kejadian ini menusuk tepat di jantung utama proses menuju kemajuan negeri ini: pendidikan.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh pejabat yang berwewenang di pusat, tetapi aku merasa kehilangan satu hal: nurani. Bagaimana bisa kita menyepelekan perasaan ribuan atau malah puluhan ribu siswa-siswi kita? Apakah pejabat yang berwewenang di pusat tidak punya anak-anak yang sedang bersekolah? Ataukah, karena mampu, maka anak-anak kebanyakan telah disekolahkan ke luar negeri sehingga mereka dengan ringan lepas tangan dari situasi dan kondisi anak-anak bangsa lain hanya karena kepentingan pribadi atau kelompok? Mengapa demikian mudah kita mengeluarkan pendapat seolah-olah keterlambatan dan kekisruhan ini hanya sekedar masalah tehnis yang terjadi karena tidak terduga? Bukankah UN seharusnya sudah menjadi agenda tahunan tetap yang karena itu dapat dipersiapkan dengan matang dan bertanggung-jawab?

Dan semakin mengesalkan lagi ketika mengetahui betapa lembaran ujian yang terkirim ke daerah ternyata tidak cukup sehingga pemerintah lokal terpaksa harus memperbanyaknya dengan foto-copy-an atas biaya sendiri. Dana besar yang telah dikeluarkan dari APBN apakah tidak cukup sehingga hanya sejumlah itu yang dapat dicetak? Dimanakah letak kesalahan prediksi jumlah lembaran soal hingga jumlah cetakan jauh lebih sedikit daripada jumlah siswa-siswi yang ada? Mengapa bisa terjadi demikian? Dan apakah tidak dipikrkan betapa proses perbanyakan kertas soal dan lembar jawaban itu tidak membuka lebar kemungkinan bocornya soal itu keluar? Lalu apa tanggung jawab pihak berwewenang atas segala kekisruhan itu?

Memang, menteri pendidikan dan kebudayaan telah meminta maaf atas kekisruhan yang terjadi ini tetapi cukupkah hanya dengan kata maaf lalu membiarkan segalanya berjalan dengan sendirinya? Bagaimana kita bisa menobati perasaan kesal dan kecewa yang telah tertanam dalam kenangan anak-anak itu? Kenangan yang mungkin dapat menjadi awal mula sikap menggampangkan segala tugas dan kewajiban mereka kelak? Generasi demikiankah yang ingin kita ciptakan? Aku tidak tahu dan tidak memahami saat kalimat ‘penundaan ujian nasional juga merupakan ujian bagi kementerian yang bersangkutan’ sebab menurutku, ini bukan ujian bagi mereka tetapi tugas yang rutin dan sebab itu seharusnya dapat dilaksanakan dengan setiap tahun menjadi lebih baik karena belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan bukannya setiap tahun makin buruk. Makin amburadul.

Maka mengikuti proses pelaksanaan UN tahun 2013 ini, aku merasa sedih. Betapa seringnya kita menggampangkan semua hal. Betapa hanya dengan kata maaf saja maka semuanya bisa dimaklumi. Betapa perasaan anak-anak, baik yang sedang mengikuti UN maupun yang akan mengikutinya kelak, dianggap sama sekali tidak berarti apa-apa. Dan ketika pejabat yang berwewenang hanya berkutat pada masalah tehnis belaka, mereka melupakan moral dan etika dari generasi yang kelak akan menjadi pengganti mereka. Maka janganlah menyalahkan situasi kelak yang akan mereka terima karena asal mula segalanya sungguh berasal dari mereka juga. Sungguh menyedihkan melihat betapa anak-anak selalu dikurbankan, terutama anak-anak di daerah pedalaman yang jauh dari pusat. Di daerah yang mungkin tak pernah dikenal oleh pejabat tersebut. Daerah dimana para siswa-siswi harus berjuang setiap hari hanya untuk dapat bersekolah. Hanya untuk dapat menjadi orang yang lebih dalam mengetahui sesuatu. Dan yang didapatnya dari perjuangan itu ternyata hanya ketidak-pedulian. Maka kadang kata maaf saja tidaklah cukup. Sungguh tidak cukup.....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...