27 April 2013

WANITA, LILIN DAN JENDELA


Ada seorang wanita yang hampir setiap malam terlihat duduk di balik jendela rumahnya. Ditemani sebatang lilin yang menyala, dia menatap jauh ke langit, ke bintang-bintang yang sedang berkelap-kelip seakan menyapa kesunyian hidupnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Atau apa yang sedang direnungkannya. Adakah dia sedang menunggu seseorang? Atau sekedar hanya melepas waktu yang tersisa sebelum kantuk datang? Entahlah. Mungkin pula kedua-duanya. Tetapi dalam cahaya yang temaram, sangat terasa aura kesendirian dalam hidupnya. Sendiri dan sepi....

Tetapi waktu bergegas melintas. Dan dunia tidak hanya berdiam bersama kesendirian seorang manusia. Di luar dirinya suasana demikian riuh dan penuh gejolak. Ada semangat yang seakan dahaga yang tak pernah dapat terpuaskan. Hasrat, ambisi dan keinginan yang tak pernah beristirahat walau sejenakpun juga. Hidup meluncur dalam ketidak-pedulian nasib seorang manusia yang tak dikenal. Tertinggal sendirian di sudut kecil bumi manusia ini. Wanita itu hanya memandang jauh ke atas tetapi sadar atau tidak, berupaya memahami pertanyaan tentang hidupnya sendiri. Tetapi dia ada. Dia sungguh ada.

Lilin menyala di sampingnya. Api yang meliuk tertiup angin. Wajah yang hampa dan tak berdaya. Waktu yang tak mau berhenti. Dan jendela yang terbuka. Selain itu hanya pemandangan yang samar-samar dari kehidupan yang juga samar-samar. Kita tak tahu, sungguh takkan pernah tahu, apa yang sedang dipikirkan seseorang. Yang ada dibalik senyum dan tawa. Atau arti tetesan air mata di wajah seseorang, bahkan seseorang yang sedemikian dekat dengan kita sekali pun. Sebab, walau kehidupan ini dilalui bersama, masing-masing kita berada di dunia yang tersendiri. Dunia pikiran, dunia perasaan dan dunia pemahaman yang berbeda satu sama lain.

Manusia, ah siapakah dia? Siapakah kita? Mengapa kita yang kelihatan demikian garang dan bersemangat sering menyimpan rahasia dalam kalbunya yang terdalam? Mengapakah kita, yang nampak demikian teguh dan tabah ternyata menyembunyikan perasaan cemas dan ragu di nuraninya yang terdalam? Sementara kita sendiri enggan mengakuinya. Sementara kita sendiri takut untuk menyatakannya? Bukankah kita memang hanya sebuah bejana dari tanah liat yang indah dan menakjubkan tetapi pun demikian rapuh dan tak berdaya? Dan suatu waktu kelak, perlahan akan membuat kita menjadi aus dan satu saat akan kembali lebur menjadi tanah dan melebur bersama alam?

Pasti ada banyak kenangan tersimpan dalam kehidupan seorang manusia. Kenangan manis. Kenangan pahit. Tetapi apakah artinya selain daripada hanya buat diri sendiri saja? Dan layaknya lilin yang bernyala, cahaya kita akan lenyap bersama dengan lumernya tubuh lilin itu. Mengapa kita harus ada? Untuk apakah kita mesti mengalami? Apa gunanya kita dapat berpikir? Sebab apakah kita harus bertanya-tanya? Apakah lebih mudah jika kita hanya menjalani hidup seperti mahluk lain tanpa perlu bersusah payah untuk merenungkan apa yang telah dan sedang kita saksikan di dunia ini? Tataplah bintang-bintang dan rembulan di langit malam. Bukankah mereka demikian indah dan mengagumkan? Tetapi dapatkah kita menikmatinya di saat sinar dari lampu-lampu bertebaran dimana-mana? Adakah hidup ini sesungguhnya hanya sebuah mimpi yang tidak nyata? Dan dapatkah kita meyakinkan diri bahwa satu saat kelak kita terbangun dan menemukan bahwa semuanya hanya kegelapan dan ketidak-adaan? Serta ketidak-sadaran bahwa kita pernah ada dan pernah berpikir bahwa kita ada? Memang adakah kita? Nyatakah kita kelak senyata kita saat ini?

Wanita. Lilin. Jendela. Kegelapan di seputar. Dan keramaian jauh di luar. Rasakanlah betapa sering ada batas yang tak kasat mata tetapi sangat jelas terasakan. Alam pikiran yang jauh tersembunyi di balik topeng wajah yang nampak. Dan kita semua ternyata adalah bayang-bayang itu. Kita semua ternyata hanya hidup dalam dan bersama apa yang ada di pikiran dan perasaan kita sendiri. Sunyi. Sepi. Seorang diri. Selain itu hanya sebuah jendela dimana kita memandang keluar. Jauh, jauh keluar. Dan sebatang lilin yang apinya meliuk-liuk terhembus angin. Lilin yang perlahan-lahan memendek seturut waktu. Dikikis waktu. Tetapi, paling tidak, kita adalah cahaya itu. Dan sejenak, kita semua dapat menerangi dunia ini. Dan walau hanya sejenak, cukuplah itu. Sebab itulah milik kita yang paling indah. Waktu. Cahaya. Jendela kita.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...