28 Oktober 2013

DUNIA IMAJINASI

Bola diberikan kepada Abdi Tunggal yang berdiri bebas di kanan. Masih, berputar-putar dia. Memasuki daerah penalti. Ah, berbahaya! Beberapa pemain lawan mencoba menghalangi. Lepaskan tembakan. Gooooolllllll!”. Lalu terdengar suara sorak sorai yang membahana....

Mereka yang hidup di era 1990-an ke bawah dan menggemari sepakbola tentu tidak asing dengan suara yang keluar dari sebuah radio transistor, sebuah siaran pandangan mata yang dipancarkan langsung dari stadion oleh RRI. Saat itu, TV belum atau masih jarang dan termasuk barang mewah dan langka. Tetapi walau kita sendiri tidak menyaksikan, hanya mendengarkan, imajinasi kita lewat suara sang penyiar membuat kita merasa seakan-akan berada langsung di tengah lapangan. Sesekali merasa berdebar-debar tegang. Sesekali dengan perasaan kesal. Sesekali dengan perasaan gembira yang sulit digambarkan. Sambil ikut berseru, bahkan ikut melompat: “Gooooolllllllll”. Padahal kita tidak menyaksikan pertandingan tersebut. Kita hanya mendengarkan. Sambil membiarkan imajinasi kita berjalan.

Anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun itu mengintai dari kaca jendela dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot saking marah dan sedihnya menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah gedung ayahnya. Ruangan itu luas dan terang-benderang, suara tetabuhan musik terdengar riuh di samping gelak tawa tujuh orang pembesar Mancu yang sedang dijamu oleh ayahnya.” Demikian awal jilid pertama dari cerita silat karangan Kho Ping Hoo yang berjudul “Pendekar Super Sakti”.

Mereka yang hidup di era tahun 70-80an dan menggemari cerita silat tentu dengan setia selalu menantikan terbitnya jilid demi jilid dan saat membaca, waktu seakan berhenti di atas lembaran demi lembaran buku kecil itu. Dibaca saat makan, saat ke kamar mandi bahkan saat seharusnya kita sudah tidur. Kita membaca sambil membayangkan. Kita membaca dan larut dalam peristiwa demi peristiwa yang dituturkan dengan memikat dan membuat kita seakan langsung berada di dalam cerita itu. Kita membaca sambil meenciptakan imajinasi kita sendiri. Sungguh mengasyikkan. Sungguh membuat kita lupa segalanya. Sungguh nikmat.

Tetapi kini, semua dapat kita saksikan secara langsung. Semua dapat kita lihat lewat layar TV, atau lewat monitor komputer atau bahkan lewat layar handphone pribadi kita. Ya, semua bisa kita saksikan secara langsung apa yang dulu hanya dapat kita bayangkan dan nikmati lewat pikiran kita. Namun, bagi kita yang tahu nikmatnya memakai imajinasi sendiri sambil mendengarkan atau membaca, tiba-tiba merasa ada yang hilang. Ada yang terasa mengganjal dalam hati. Dengan menyaksikan apa yang dulu hanya dapat kita dengar atau baca sambil membayangkan, tiba-tiba ada jurang lebar antara imajinasi pikiran dan kenyataan yang kini dapat kita lihat sendiri. Aku sering merasa bahwa imajinasiku saat membaca buku cerita silat yang dulu sangat memikat itu tiba-tiba menjadi hambar ketika kini secara langsung menonton film-nya. Sungguh, bagiku jauh lebih mengasyikkan membaca daripada menonton karena saat menonton aku hanya dapat menerima apa yang ditampilkan di layar tanpa dapat mengembangkan alam imajinasiku sendiri.

Dengan mendengarkan dan membaca, aku merasa tidak kehilangan diriku. Dengan menonton tiba-tiba aku merasa dipaksa menerima dunia pikiran orang lain, dipaksa untuk menerima imajinasi yang belum tentu sesuai dengan imajinasiku sendiri. Bagiku, sungguh jauh lebih mengasyikkan hanya dengan mendengar dan membaca daripada menonton. Sebab saat menonton, aku tenyata lebih sering tidak dapat membayangkan, hanya dapat menerima apa yang ditayangkan. Walau itu tidak sesuai dengan gambaranku tentang satu peristiwa, tentang satu cerita, apalagi cerita fiksi maupun non-fiksi yang dengan membaca dapat membuat aku merenung. Aku kehilangan dunia imajinasi. Aku kehilangan daya renungan. Akau bahkan sering merasa kehilangan diriku sendiri.

Betapa asyiknya mendengarkan. Betapa indahnya membaca. Kedua kegiatan itu dapat membuat kita bebas untuk membayangkan apa yang kita dengarkan atau kita baca sesuai dengan kemampuan daya khayal kita. Membuat pikiran kita berkelana jauh, berfungsi sesuai dengan kemampuan kita sendiri. Dunia tontonan visual yang merasuk di era kini, hanya dapat membuat kita menerima apa yang nampak, walau tentu ada juga tontonan yang bagus sehingga tetap mampu membuat kita untuk merenung, tetapi itu sangat jarang. Jauh lebih banyak kita hanya menerima tontonan yang hanya mempermainkan perasaan kita, marah-sedih-gembira, tanpa perlu dipikirkan dan direnungkan agar dapat membuat kita untuk lebih memahami hidup ini. Membuat kita lebih mengerti makna keberadaan hidup kita. Dengan menonton dan menyaksikan, kita tidak lagi memakai pikiran kita sendiri. Tidak lagi hidup bersama dunia imajinasi kita.

Maka tiba-tiba saya paham mengapa generasi sekarang mudah terpengaruh. Mengapa generasi sekarang mudah untuk menerima apa saja yang ditayangkan. Karena dunia imajinasi telah dipinggirkan. Karena yang ada hanya penampakan yang seringkali menggoda rasa tetapi tidak perlu perenungan mendalam. Dunia visual telah membuat kita semua malas untuk berpikir, malas untuk merenung, malas untuk ber-imajinasi, karena semua sudah terpampang dengan jelas di layar dan semua dapat kita saksikan secara langsung. Ah, mendadak aku kehingan dunia yang indah itu: mendengarkan dan membaca. Dunia yang membuat aku dapat membayangkan sesuatu sesuai dengan diriku sendiri tanpa perlu terpengaruh dengan bayangan orang lain. Dan berpikir tanpa harus dipaksa menerima begitu saja imajinasi orang lain. Dunia yang bagiku jauh lebih mengasyikkan dari pada hanya menonton dan menonton saja. Atau apakah aku salah?


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...