05 November 2013

I

Mors ianua vitae

Aku memandang ke jasad yang kurus itu sambil membayangkan kehidupan yang telah dilaluinya. Membayangkan bagaimana dia kala bayi yang mungil menggemaskan. Saat balita dengan kelincahannya yang tak bisa dibendung untuk menjangkau apa saja yang dilihatnya. Saat memasuki masa remaja dengan keberaniannya untuk meraih semua yang dihasratkannya. Saat dewasa dengan ketak-sabarannya ketika menemukan sesuatu yang salah dalam pandangannya. Dan saat mulai berumur ketika pengalaman hidup telah mengajarkan kepadanya banyak hal untu mulai lebih sabar dalam menghadapi dan menerima ketidak-sempurnaan dunia ini. Serta saat-saat akhir ketika usia tua dan penyakit mulai menggerogoti dagingnya, ketidak-mampuannya untuk bergerak lagi walau semangatnya tak pernah surut.

Aku memandang ke jasad yang kurus itu sambil mengingat kembali bulan-bulan terakhir dalam hidupnya. Khususnya di suatu hari menjelang senja ketika aku datang mengunjunginya. Wajahnya yang terlihat lesu mengarah ke arah jendela sambil memandang lalu-lintas yang sedang ramai: kendaran yang seakan saling berkejaran, pekik klakson dan berbagai suara lain yang memasuki ruangannya yang sepi ini. Dia duduk di sebuah kursi kayu, dan sesekali nampak menghela napas panjang. Waktu yang lewat seakan telah meninggalkannya. Bahkan melupakannya. Dan tiba-tiba aku merasa iba. Aku bukan iba karena penyakit dan usia tua yang terus mengikis kekuatan tubuhnya. Bukan sama sekali. Sebab setiap kehidupan kelak akan mengalami hal yang sama walau dalam bentuk yang berbeda-beda.

Aku merasa sadar bahwa penderitaan yang sesungguhnya bukan hanya penyakit daging, tetapi perasaan sepi dan bosan. Sendirian tetapi tidak tahu harus berbuat apa. “Sering aku mau omong-omong dengan seseorang, tetapi tak ada yang berada di dekatku. Atau ada tetapi hanya pura-pura mendengarkan. Sering pula aku ingin berdiri, bekerja sesuatu yang kuinginkan tetapi keinginan itu hanya ada dalam kepalaku karena tubuhku tak mampu lagi mengikuti pikiranku.” Demikian keluhnya suatu ketika. “Maka inilah hidupku sekarang, duduk dan duduk tanpa bisa berbuat sesuatu sementara pikiranku masih jernih dan perasaanku masih punya semangat untuk berbuat sesuatu. Pikiranku telah dikalahkan oleh ragaku sendiri. Setiap hari aku merasa sepi dan bosan. Sepi dan bosan. Tidak tahu harus berbuat apa selain dari hanya mengalami sakitku saja.......”

Aku memandang ke jasad yang kurus itu sambil membayangkan bahwa saat ini dia pasti telah berbahagia. Karena pada akhirnya kesepian dan kebosanannya telah usai. Dan sambil memandang ke sekelilingku, ke wajah-wajah yang sebagian kukenal tetapi jauh lebih banyak terasa asing bagiku, tiba-tiba aku merenungkan, berapa banyakkah dari antara kita yang sadar bahwa sesungguhnya penderitaan terberat dalam hidup ini justru bukan saat kita menderita sakit? Bagiku, perasaan sepi dan bosan sungguh merupakan siksaan yang berat dan perasaan itu bisa kita alami juga di saat kita sama sekali tidak menderita penyakit apapun. Sepi dan bosan dapat menjerumuskan kita ke dalam kesesatan atau bahkan dapat membuat kita menjadi sungguh-sungguh sakit dan mematikan walau kita masih tetap hidup. Tetapi mereka yang sakit, yang masih dikelilingi oleh sanak keluarga dan sahabat yang mau mendengarkan dan selama dia mampu untuk melakukan kegiatan yang disenanginya, sesungguhnya tetap hidup walau dengan tubuh yang sakit sekalipun.

Sepi. Bosan. Belajarlah padanya. Itulah hidup!


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...