26 Februari 2013

KEAJAIBAN


Anak-anak menemukan permainan mereka di pantai-pantai dunia
(Di Tepi PantaiRabindranath Tagore)

Melihat perkembangan seorang manusia seperti menyaksikan sebuah keajaiban. Dari saat bayi itu lahir, demikian lemah dan tak berdaya, tumbuh dan berkembang menjadi seorang anak yang lincah bergerak dan tak bisa diam. Dari hanya mampu untuk tidur, bangun dan menangis hingga dapat merangkak, berdiri dan mengoceh dengan suara keras dan tanpa henti. Ya, melihat pertumbuhan seorang manusia ternyata seperti melihat sebuah keajaiban. Dan untuk menikmati keajaiban itu, tidak cukup dengan hanya tahu tetapi haruslah dengan mengalami sendiri. Menyaksikan sendiri. Dan menikmatinya sepenuh jiwa.

Ternyata keajaiban itu bukan hal yang besar. Ternyata keajaiban itu sesungguhnya sangatlah sederhana. Dan dapat kita alami sehari-hari. Jika kita mampu merasakannya. Jika kita mau mengalaminya. Sebab pada pengalaman itulah kita mampu menikmati apa yang menjadi karunia terindah kehidupan. Betapa awalnya manusia hanya mengenal kesederhanaan. Pada mulanya hidup itu hanya sebuah permainan. Tak ada ambisi. Tak ada hasrat. Tak ada nafsu untuk menguasai dan memiliki.

Mereka tak tahu bagaimana berenang, mereka tak tahu bagaimana menebar jala. Pencari mutiara menyelam untuk mendapatkan mutiara. Para pedagang berlayar untuk meraup laba. Tetapi anak-anak mengumpulkan batu-batu kerikil dan menebarkannya kembali. Mereka tak mencari sesuatu untuk dimiliki dan dikuasai. Mereka bermain dengan apa yang ada lalu meninggalkannya begitu saja. Dan, bukankah itu sebuah keajaiban yang menakjubkan? Terutama jika kita bandingkan dengan kehidupan kita, orang-orang dewasa, ini? Kehidupan yang demikian keras, penuh ambisi dan keinginan dan semangat tak mau dikalahkan. Tak mau terkalahkan.

Melihat tumbuh kembang seorang manusia sungguh seperti menyaksikan sebuah keajaiban sederhana tetapi juga luar biasa. Keajaiban yang sering gagal kita tangkap saat kita hidup hanya untuk diri sendiri saja. Saat kita hidup hanya demi memuaskan hasrat kita saja. Maka kepada siapa pun yang menyangka bahwa hidup ini menjemukan, atau mengira bahwa hidup ini hanya demi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu saja – bahkan rela untuk mengurbankan apapun juga demi tujuan itu – belajarlah kepada sang bayi kecil itu. Sadarilah bahwa dulu kita pun pernah sama dengan mereka. Bahwa dulu, kita adalah mereka juga.

Sebab tak seorang pun tidak melalui jalan yang sama. Tak seorang pun langsung ada dalam situasi yang sekarang ini. Kita pasti pernah menemukan barang-barang yang tak harus untuk dikuasai. Kita pasti pernah menikmati betapa indahnya permainan sebagai satu permainan, bukan sebagai satu pertarungan untuk menang atau kalah. Tidak. Menang atau kalah sungguh tidak sepenting bermain dan menikmati hidup ini. Dan lihatlah, anak-anak yang mungkin merasa marah sejenak dan menangis dapat langsung tertawa ria ketika menemukan sesuatu yang menyenangkan. Bagi mereka, tidak ada yang penting. Bagi mereka, hidup selalu bermakna hidup. Yang sesungguhnya. Yang senyatanya.

Maka kepada mereka yang berpendapat bahwa keajaiban itu mustahil, saksikanlah tumbuh kembang seorang manusia. Sebab kita semua pernah mengalami hal yang sama. Sebab dulu kita sungguh adalah bayi-bayi kecil mungil yang selalu menyenangkan mereka yang melihat kita. Sebab percayalah, kita pernah menjadi pemilik surga yang sekarang kita tinggalkan dan lupakan. Hidup itu indah jika kita mampu menyelaminya. Hidup itu sebuah keajaiban jika kita mau menyadarinya. Jadi mari menyapa hidup kita dan berbisik dalam hati. Kita lahir tanpa membawa apa-apa selain tubuh dan jiwa kita. Kelak, kita pun akan pergi meninggalkannya tanpa mampu membawa sesuatu, sebanyak apapun yang kita miliki sekarang. Percaya dan hiduplah bersama keajaiban ini. Sungguh, keajaiban itu masih ada. Dan selalu akan ada. Sebab Tuhan tidak pernah bosan terhadap manusia. Tuhan tidak pernah bosan kepada kita. Dia mencintai kita seutuhnya. Seutuhnya.

Tonny Sutedja

IMAN DAN COBAAN


Bagaimanakah kepercayaan kita dapat bertahan? Bagaimanakah keyakinan kita bisa tetap teguh? Di tengah gelombang perubahan, di tengah keserakahan dan godaan kenikmatan duniawi mampukah kita untuk tetap berdiri kukuh dengan iman kita? Seandainya kita bekerja dalam satu biro yang hampir keseluruhan kolega kita menganggap bahwa korupsi dan suap adalah sebuah hal yang lumrah, tidakkah kita nampak menjadi aneh? Seandainya kita seorang guru yang melihat rekan kita dengan ringan meraup pendapatan dari menjual buku dan menerima uang sekedar untuk menaikkan nilai murid, bukankah kita yang kukuh pada kejujuran akan menjadi terasing? Dan bilamana ada seseorang yang kemudian tertangkap tangan karena korup dan suap, dapat dengan mudah lolos dari hukuman berat karena mampu membayar dari hasil yang telah diperolehnya, dan bahkan masih dipuja dan dihormati masyarakat karena sumbangannya yang besar, tidakkah semua itu menjadi satu iming-iming yang luar biasa terhadap idealisme kita?

Ternyata hidup tidak gampang. Sebab itu, menuduh seseorang pun tidaklah mudah juga. Sungguh, ada banyak hal terkait dengan keadaan seseorang sehingga dia kehilangan kepercayaan, kehilangan keyakinan bahkan iman di tengah segala gejolak kondisi dan situasi yang dialaminya. Maka siapa pun yang sadar akan kenyataan sekarang, patut memaklumi hebatnya guncangan dan tantangan yang dialami di tengah masyarakat jaman ini. Kita mungkin merasa sedih karena hal itu. Kita bahkan bisa menjadi pahit dan pedih mengalami situasi itu. Tetapi jika kita mau untuk merenung sedikit dalam hati kita, mungkin kita sanggup untuk memahami apa yang telah terjadi. Mungkin bahkan kita sendiri pun dapat memikirkan hal yang sama jika kita berada dalam situasi dan kondisi yang sama. Jadi bagaimana kita dapat dengan mudah menuduh dan mendakwa seseorang yang telah terperangkap dalam kondisi demikian? Jika kita mau jujur, kita mungkin akan merasa betapa munafiknya kita. Betapa seringnya kita punya dualisme ini: salah jika orang lain melakukan, tetapi benar jika kita atau sahabat atau kelompok kita melakukan hal yang sama. Suatu kecenderungan yang tidak asing lagi sekarang. Saat ini.

Bagaimana kepercayaan kita dapat bertahan? Bagaimana keyakinan kita bisa tetap teguh? Dan iman kita tidak bergeming sedikit pun di tengah segala perubahan ini? Bagaimana kita harus hidup dan menghadapi kenyataan ini? Bagaimana? Kejujuran, walau terasa telah luntur di tengah kehidupan yang makin mengutamakan materi ini, toh seharusnya masih kita miliki dalam hati kita sendiri. Jadi mari bertanya kepada diri sendiri dan menjawab dengan jujur pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan demikian, kita akan menemukan diri kita dan menyadari kenyataan kita sendiri. Sulit? Tidak. Asal tidak kita nyatakan secara terbuka. Asal jawaban itu hanya tinggal di dalam pikiran kita saja. Namun jika jawaban-jawaban itu dapat mengubah sikap kita terhadap hidup ini, bersyukurlah. Ya, bersyukurlah. Sebab perubahan hanya dapat dimulai dari diri sendiri. Dari kita. Dari saya.

Tonny Sutedja

25 Februari 2013

BEBAN, RESIKO DAN TANGGUNG JAWAB


“Sejujurnya, bukanlah begini hidup yang kukehendaki. Bukanlah begini hidup yang kusenangi. Dan harus aku akui bahwa aku tidak berbahagia karenanya. Tetapi, aku tetap harus menjalaninya. Bukan karena aku hanya pasrah dan menerima nasib saja. Tidak, bukan karena itu. Aku menjalaninya karena aku harus bertanggung-jawab atas pilihan yang telah kuambil. Aku pikir, dan pikiran memang kelebihan utama kita sebagai manusia, setiap keputusan yang telah kita buat dan laksanakan, haruslah kita jalani hingga tuntas. Dengan menanggung segala resiko atas akibat keputusan itu...”

Demikianlah, lelaki paruh baya itu bertutur dengan pelan. Ada raut kesedihan di wajahnya, tetapi juga nampak jelas keteguhan jiwanya. Aku tahu, dia tidak bahagia dalam menjalani hidupnya. Menurut cerita orang yang dekat dengannya, dulu dia adalah seorang yang amat cerdas dan juga sangat pandai melukis. Kabarnya, dia ingin menjadi seniman. Tetapi karena kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk menjalani keinginannya, dia hidup dalam keluarga tanpa ayah, sebagai kakak tertua dengan ibu yang kini sakit-sakitan, dia tahu bahwa ada tanggung-jawab besar yang dibebankan kepadanya.

Setamat SMA, yang dengan susah payah dibiayai oleh ibunya sebagai pegawai binatu, dia sadar kemana arah hidup yang harus dijalaninya. Maka dia bekerja di sebuah bengkel milik seorang teman sekolahnya, belajar memperbaiki motor hingga dia mampu untuk membuka bengkel kecil di sebuah lahan kosong dekat rumahnya. Dari hasil kerjanya, dia membeli kompressor udara dan melengkapi bengkel kecilnya dengan peralatan sederhana untuk memulai hidupnya serta menanggung biaya sekolah adik-adiknya serta ibunya yang, karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk bekerja lagi. Suatu hari saat ban motorku kempes, yang kebetulan dekat dengan bengkelnya, disanalah aku mengenal dia.

Di waktu senggang, sesekali aku mampir ke tempatnya, sambil bercerita tentang apa saja. Atau kadang sambil bermain catur bersama. Bengkel kecil ini kelihatan sangat rapi dan tidak berantakan sebagaimana banyak bengkel lain. Nampaknya, jiwa seninya tetap menjadi sumber inspirasi dalam bentuk lain, dalam penataan dan keresikan tempat itu. Dia bekerja seorang diri sehingga kadang, jika banyak orang yang datang untuk memperbaiki motor mereka, dia bekerja seharian tanpa jeda untuk istirahat atau bahkan untuk makan sekali pun. Demikianlah hidup dijalaninya sehari-hari. Tanpa sesal. Walau apa yang diidamkannya tidak terwujud. Tidak akan terwujud.

Pernah dulu, ada yang mengatakan bahwa hidup ini mesti dijalani apa adanya. Sebagaimana mestinya. Nasehat yang baik. Tetapi dalam kenyataan tidaklah semudah itu. Mereka yang memiliki bakat dan kemampuan, apalagi perasaan seni, pasti mengetahui bagaimana rasanya jika luapan hati yang menggumpal dalam jiwa tidak tersalurkan keluar. Seperti talenta yang ditanam, menjadi sia-sia dan tak berguna. Bukan karena dia tak mau menggunakannya. Bukan. Tetapi lebih karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan hasrat yang ada dalam jiwa dimanfaatkan dan dipergunakan sebagai mestinya. Ada yang mengganjal. Ada yang terasa hilang. Ada yang terasa menyedihkan disana. Keresahan. Kesedihan. Kepahitan. Tetapi toh, akan selalu ada kesadaran tentang hidup. Dan bersama kesadaran itu, pada akhirnya kita semua memaklumi dan menerima kenyataan ini dengan sadar. Dan pasrah.

Memang kenyataan seringkali pahit. Namun bila kita mau menerimanya dengan penuh tanggung-jawab, jika kita mau menghadapinya dengan memaklumi kemampuan dan kelemahan diri kita, semuanya tetap berjalan dengan baik. Dan kita, sebagai manusia, selalu memiliki kesempatan untuk memakai kemampuan itu, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga dan terutama untuk orang lain. Untuk mereka yang kita sayangi. Untuk sesama kita. Kenyataan harus dihadapi, bukannya dihindari. Atau bahkan dilawan. Hidup bukanlah musuh melainkan saudara terkasih kita. Sahabat terakrab kita. Dengan demikian, kita bisa dan mampu menerima kenyataan itu sebagaimana adanya. Sebagaimana mestinya.

Dan siapakah diantara kita yang dapat dengan jujur mengatakan bahwa semua keinginannya dapat terlaksana dengan baik? Tidak aku, tidak kau, tidak kita, tidak mereka dan bahkan tidak siapa pun juga bila kita jujur, kita dapat memastikan bahwa sesungguhnya hidup ini sedikit banyak memiliki kekecewaannya sendiri-sendiri. Tetapi tak seorang pun mampu untuk menampik kenyataan itu. Tak seorang pun dapat dengan mudah menerima kenyataan itu. Namun, hidup berjalan terus. Dan kita semua memiliki beban dan tanggung-jawab masing-masing. Begitulah resiko yang harus kita hadapi. Harus kita terima. Harus kita jalani. Sepenuh diri. Sepenuh semangat.

Maka kita mungkin tidak merasa berbahagia. Kita mungkin merasa betapa tak berdayanya kita untuk mengekspresikan kemampuan kita. Tetapi kita selalu bisa menjadi berguna. Kita selalu mampu untuk membahagiakan orang lain. Mereka yang kita sayangi. Sesama kita. Sesungguhnya itulah pengurbanan yang dapat dan harus kita lakukan setiap saat. Kita memanggul salib kita sendiri. Kita menyangkal diri kita sendiri. Dan kadang kita bahkan harus mengurbankan segala-galanya demi sesama kita. Dengan rela dan sadar bahwa ada yang lebih besar dari hanya sekedar keinginan diri kita sendiri. Ada yang jauh lebih agung dari hanya sekedar kesenangan kita belaka. Kita tidak sendirian di dunia ini. Tidak pernah sendirian.

Ya, seringkali hidup yang kita jalani sekarang dan saat ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Tetapi jelas pula bahwa kita bukannya tidak berguna. Kita bukannya menyia-nyiakan hidup kita. Tidak. Selama kita sadar atas segala resiko hidup ini, sadar akan beban yang harus kita panggul, dan sadar akan tanggung-jawab kita menghadapi kehidupan yang sedang kita jalani, kita selalu mampu menerima apa saja yang kita jalani. Sesal mungkin ada tetapi tak perlu berlarut-larut sehingga kita mengecewakan orang-orang lain. Mengecewakan dunia. Percayalah bahwa setiap pengurbanan selalu akan menghasilkan buah kemenangan. Hidup memang demikian adanya. Hidup memang sering demikian....

Tonny Sutedja

MENEMUI MALAM


Aku ingin pergi
Menemui malam

Larut bersama angin
Melayang lenyap

Aku ingin pergi
Mengejar bayang

Bersama kelam
Menyatu diri

Aku ingin pergi
Mencari engkau

: Dimanakah?

Tonny Sutedja

24 Februari 2013

KEMARIN


Mungkin kita pernah merindukan masa lalu. Atau sungguh mengharapkan masa lalu berulang kembali. Ya, saya pikir kita semua, pernah mengalami kerinduan itu. Terutama saat kita memikirkan keadaan dan kondisi kita sekarang. Hari kemarin berubah menjadi sebuah kenangan indah yang sering muncul dalam harapan kita. Walau kadang hanya samar-samar namun tetap mengusik hati dan pikiran kita. Kemarin, hari yang telah lampau, kadang muncul sebagai satu kerinduan yang tak terbendung. Sehingga kita ingin mengulangnya setiap saat. Walau kita sadar bahwa itu mustahil. Situasi dan kondisi tidak pernah sama lagi. Tidak akan sama lagi.

Hari kemarin memang bukanlah sebuah mimpi walau kadang terasa demikian. Hari kemarin telah kita lewati, telah kita alami dengan suka dukanya, dan apa yang telah lewat selalu menimbulkan satu kesadaran bahwa apa yang telah terjadi, seburuk apapun itu, ternyata tetap tersimpan sebagai satu kenangan yang indah. Walau mungkin, di saat-saat itu, kita seakan merasa pedih atau bahkan putus asa menghadapi kesulitan kita. Hari-hari yang telah lewat bagaimana pun juga senantiasa menjadi satu pengalaman hidup yang mengajarkan bahwa semua keadaan, baik atau buruk, selalu akan dapat kita lalui bersama berjalannya waktu. Dan usia kita pun kian bertambah dengan satu kearifan menghadapi kenyataan.

Oleh sebab itu, sesungguhnya hari kemarin dikenang bukan untuk menjadi sebuah nostalgia belaka tetapi juga kita harus belajar agar dapat menerima hidup ini apa adanya. Memang, kita tidak akan pernah mampu untuk mengulang kembali apa yang telah silam, tetapi kita belajar untuk memahami dan menghadapi hidup kita sekarang, bagaimana pun sulitnya, bahwa semua pasti akan menjadi kenangan di hari esok. Mungkin bukan kenangan yang indah tetapi kenangan yang terburuk pun akan dapat membuat kita belajar untuk memahami nahwa semua akan berlalu. Semua pasti akan usai. Dan di hari sekarang bahkan dapat dijadikan sebagai lelucon betapa saat-saat itu sikap kita sungguh dapat terasa konyol dan tidak logis. Walau dapat juga tetap meninggalkan trauma mendalam, tetapi tetap dalam kesadaran kita, semua telah lewat. Telah berlalu. Dan kita belajar dari apa yang terjadi kemarin. Kita dapat dan harus selalu belajar dari hari kemarin.

Oleh sebab itulah, kita kadang merindukan masa lalu. Bahkan kadang mengharapkan agar dapat terulang kembali. Walau kita sadar bahwa itu takkan mungkin terjadi. Tetapi bukankah setiap orang memiliki harapan masing-masing betapa pun mustahilnya itu. Kemarin memang selalu menyimpan kenangan yang mendalam. Tetapi tentu, apa yang telah terjadi takkan pernah dapat terulang lagi. Dan tak perlu kita rindukan atau sesali. Tetapi bersama kemarin, kita dapat belajar untuk hidup hari ini dengan lebih baik. Bersama hari kemarin, kita dapat menjadi semakin kuat dalam menghadapi apa saja yang saat ini kita alami. Dan dalam kesadaran kita masing-masing, kita harus mempunyai tekad untuk percaya bahwa segala kesulitan dan kepedihan kita saat ini, kelak akan menjadi kenangan pula. Dengan demikian kita mampu menghadapi dan menerima hidup ini apa adanya. Tanpa berlebihan. Tanpa kehilangan harapan.

Tonny Sutedja

23 Februari 2013

RINDU


Siang menjelang sore. Jalanan sepi saat aku melintas di pertigaan Tapal Kuda. Sebuah truk nampak berhenti di tepi kiri jalan, tepat di depanku. Dan kubaca tulisan yang terpampang di bak belakangnya. Mau pulang, malu. Tidak pulang, rindu. Tulisan yang berwarna merah dengan gaya tetesan air mata nampak mencolok namun sepi tanpa ornamen lain. Aku tak tahu siapa yang menulis kalimat itu, tetapi terasa sangat menggigit kalbu. Sebuah jeritan hati? Entahlah.

Rindu. Sebuah kata yang sering menggugah mereka yang tinggal di perantauan. Jauh dari kampung halaman. Jauh dari keluarga. Jauh dari orang-orang yang disayangi. Sebuah kata yang mengandung rasa sepi dan pilu. Ketika kita tidak mampu berbuat apa selain dari menerima keadaan tetapi tetap berharap. Bahwa satu saat kelak, entah kapan, harapan itu dapat terwujud di saat kita, dengan kepala tegak dan penuh kebanggaan, dapat pulang kembali. Tanpa rasa malu. Tanpa rasa telah terkalahkan. Dan bahagia.

Berapa banyakkah dari kita yang dapat meraih apa yang kita ingin wujudkan dalam hidup ini? Berapa banyakkah dari kita yang mampu meraih semua yang kita harapkan dengan penuh kebanggaan? Berapa banyakkah dari kita yang bisa menemukan kebahagiaan diri dalam perjalanan hidup ini? Berapa banyak? Aku tak tahu. Tetapi aku berpikir bahwa, sesungguhnya hidup ini juga merupakan sebuah daerah perantauan. Setiap kelahiran adalah awal langkah kita memasuki dunia nyata. Dunia yang tidak sepenuhnya indah. Dan hidup ini sendiri tidaklah sempurna. Mutlak tidak sempurna.

Tetapi bagaimana pun juga, setiap langkah yang telah kita mulai haruslah kita jalani dengan penuh kepercayaan. Dan dalam kepercayaan juga berarti kita bertanggung-jawab atas keberadaan kita. Walau kelahiran mungkin, menurut kita, bukan atas kehendak kita karena siapakah yang dapat berkata bahwa dia ada karena dia menghendaki keberadaannya, namun keberadaan itu sendiri adalah sebuah kenyataan dalam dunia yang tidak sempurna ini, maka kita tak dapat melarikan diri darinya. Atau bersikap seakan-akan kita tidak ada.

“Mau pulang, malu. Tidak pulang, rindu”. Tulisan yang terpampang di belakang bak truk, kalimat yang terukir dalam warna merah membara dengan gaya air mata mengalir itu tiba-tiba menjadi sebuah kalimat yang mengandung harapan, bukannya kepedihan. Sebuah kalimat yang menyiratkan bahwa ‘kita harus pulang di suatu waktu kelak tanpa merasa malu’. Tanpa merasa gagal dan tidak berguna. Karena itu, kita mesti berjuang untuk menerima hidup kita, berjuang untuk mengubah keadaan kita sebelum kelak kita pulang dengan membawa kebanggaan dan patut bersyukur karena dapat mempertanggung-jawabkan keberadaan kita sekarang.

Siang menjelang sore. Jalanan yang sepi. Truk yang diam. Dan keberadaanku di antaranya menjadi satu situasi yang nyata dan tak terpisahkan saat aku ada dan berada di sini. Sekarang dan saat ini. Kenyataan ini haruslah diterima. Dihadapi. Dan walau kita tak tahu kapan saatnya kita dapat pulang, kita harus berupaya agar kita dapat pulang tanpa merasa malu. Dapat pulang untuk melepaskan kerinduan kita. Sebab itu, hidup haruslah dihadapi dengan penuh semangat juang. Tanpa rasa putus asa. Tanpa rasa tak berdaya. Sebab kelak, kita akan pulang. Kita pasti pulang.

Tonny Sutedja

MANUSIA


Sesungguhnya siapakah kita ini? Jika kita jujur pada diri sendiri, dan mau merenungkan dengan dalam keberadaan kita saat ini, siapakah sebenarnya kita? Apakah kita ini manusia yang penuh daya, penuh kekuasaan? Penuh kemampuan dan kuat menghadapi apa saja? Ataukah kita hanya mahluk yang lemah dan tak berdaya menghadapi situasi dan kondisi kehidupan yang teramat keras ini? Ya, siapakah kita ini? Yang kadang dengan penuh kesombongan membanggakan kekayaan-kekuasaan-kekuatan kita dalam menghadapi kenyataan tetapi sering ceroboh menyamakan kebenaran yang kita pikirkan sebagai kebenaran utuh bagi semua mahluk hidup?

Entah mengapa, tetapi kadang-kadang aku berpikir bahwa kita sering merasa seperti dewa atau dewi yang berhak untuk memaksakan keinginan kita hanya agar kita dapat menikmati hidup. Hanya agar kita senang karena segala keinginan kita dapat terwujud. Padahal, siapa yang tahu hari esok yang akan kita hadapi kelak? Siapa yang bisa memastikan masa depan yang akan kita terima? Siapa? Tidakkah mendadak kita dapat hilang begitu saja dengan tanpa kita sangka-sangka. Dan tanpa kita rencanakan sama sekali? Tidakkah kita sungguh hanya debu yang sekali angin bertiup akan terbang melayang entah kemana seturut angin yang berhembus itu?

Kesadaran akan keberadaan kita selalu menyembunyikan satu kepastian yang berusaha atau mungkin memang sengaja kita lupakan. Ujung hidup. Mati. Kita tidaklah abadi. Kita tak pernah akan kekal. Sesekali mungkin kita menyadari hal itu. Sesekali kita mungkin tahu tentang itu. Tetapi kita lebih senang melupakannya dan hidup hanya untuk sekarang, hari ini, demi kesenangan dan agar segala hasrat dan ambisi kita dapat teraih. Tetapi siapakah kita? Mengapakah dalam kekuatan dan kekuasaan dan kekayaan kita selalu bertindak seakan-akan kita ini jauh dari segala kesia-siaan atas apa yang semua mampu kita miliki?

Mereka yang hidup dalam kesedihan akan berpikir seakan-akan kesedihannya merupakan inti kehidupan. Dan melupakan wajah-wajah lain yang berada bahkan tepat di depannya. Seakan-akan semuanya bersenag hati kecuali dirinya. Mereka yang hidup dalam kegembiraan akan berpikir sekan-akan semua orang pun bergembira dan tak seorang yang nampak susah. Wajah-wajah berseliweran di depannya. Datang dan pergi. Dikenal atau asing. Akrab atau hanya lewat saja. Tetapi wajah-wajah itu bukan dia. Bukan dirinya. Dan itu memang pasti. Tetapi siapakah kita? Apakah kita memang berbeda dengan yang lain?

Kita. Aku. Diri ini. Sesungguhnya adalah sebuah misteri terbesar yang enggan kita selami lebih dalam. Kita. Aku. Seakan-akan pusat kehidupan dan selain dari diri ini sering hanya berada dalam bayang-bayang keterasingan yang tak dikenal dan tak ingin dikenali. Tetapi entah apa mereka memang asing, atau justru diri ini yang terasing, kita sendiri adalah potret kehidupan di dunia yang tidak sempurna. Dan dalam ketidak-sempurnaan itu, kita selayaknya menyadari bahwa kita pun sama seperti dunia ini. Tak sempurna. Dan takkan pernah sempurna.

Maka, sekali lagi, siapakah kita ini? Suatu ketidak-pahaman? Suatu ambisi, hasrat dan keinginan belaka? Waktu berlalu. Dan suatu hari kelak, saatnya akan tiba dan tiba-tiba kita sadar betapa terbatasnya kita. Kita pun akan lewat. Lalu menghilang dalam kenangan. Menghilang lenyap bersama satu kepastian. Kita tak ada lagi disini. Kita tak akan ada lagi. Sirna dalam keabadian. Jadi siapakah kita ini?

Tonny Sutedja

22 Februari 2013

AKU, RENUNGAN DAN SAJAKKU


Suatu hari, seseorang bertanya kepadaku, apa bedanya antara menulis renungan dan menulis sajak? Ya, apa bedanya bagiku antara menulis renungan dan menulis sajak? Bagiku, sajak adalah refleksi diri, sebuah sajak bisa jauh lebih jujur menampilkan perasaanku sedangkan renungan lebih banyak menampilkan pemikiranku. Sajak, yang ditulis dengan singkat, padat dan umumnya, secara otomatis, kutulis nyaris tanpa perubahan berarti. Tetapi renungan yang jauh lebih panjang, kuolah dan kuperbaiki berkali-kali.

Maka sajak adalah nyanyian jiwaku sedang renungan adalah pemikiran tentang pengalaman hidupku sendiri. Setiap hari, setiap saat yang kujalani dan kualami selalu membuat aku berpikir tentang apa sesungguhnya makna keberadaanku di dunia ini. Mengapa aku harus hidup. Dan untuk apa aku mesti melakukan apa yang sedang kulaksanakan sekarang. Dan di baliknya timbullah percik-percik perenungan, suasana hati serta sesekali timbul nuansa rasa yang sedemikian menyentuh kalbuku. Maka untuk itulah aku menulis. Puisi lebih menggambarkan kejujuran dan kejernihan jiwa sedangkan renungan lebih pada suasana pemikiranku saat menghadapi dan menerima situasi tertentu.

Begitulah perbedaan antara puisi dan renunganku di blog ini. Dan sejujurnya, puisi, karena lebih menggambarkan suasana jiwaku dengan jujur, banyak yang tidak kumuat disini. Rahasia perasaan yang hanya kusimpan demi kebebasanku dalam berekspresi yang mirip dengan buku harian yang jauh lebih murni tentang suasana hidupku. Entah merasa cemas, malu atau pun kekhawatiran bahwa semua hanya akan membosankan bagi yang membacanya karena lebih mirip keluh kesah atau curhat. Sedang renungan bagiku adalah ide dan pemikiran menghadapi serta menerima kehidupan yang pada umumnya tak pernah kusimpan dalam kotak.

Maka inilah pikiran-pikiran yang meloncat, kadang beraturan kadang tidak, tetapi bagaimana pun membuat beban yang kuhadapi menjadi ringan. Jauh lebih ringan. Dengan menulis, dengan mengutarakan apa yang kupikirkan. Dengan menyampaikan apa yang mengusik pemikiranku. Dengan menuturkan perasaanku tentang jalannya hidup ini. Untuk apakah keberadaan kita di dunia ini jika kita tidak nyata? Jika kita lebih suka menyembunyikan diri di balik tembok privasi kita? Dan bukankah dalam setiap pengalaman yang kita hadapi, setiap penglihatan yang kita alami, setiap perasaan atas situasi yang terjadi, selalu dapat membuat kita untuk memikirkan makna kehidupan kita?

Tonny Sutedja

21 Februari 2013

KERAJAAN SURGA


“Membunuh orang kafir bukanlah pembunuhan, melainkan jalan menuju surga” demikian seruan yang mengawali sebuah film menarik, “Kingdom of Heaven”. Sebuah film yang berkisah tentang salah satu episode dalam sejarah perang salib yang berkepanjangan di Yerusalem. Cerita tentang seorang pria yang bernama Balian dalam usahanya mencari penebusan dosa ke tanah suci tetapi menemukan kenyataan bahwa apa yang disebut tanah suci itu dimana menurut sangkaannya dapat mengampuni kesalahan yang telah dilakukan hanya sekedar ‘sebuah perang demi kemakmuran dan sejengkal tanah’ untuk ambisi-ambisi pribadi tertentu saja.

Apakah maksud kata kafir itu? Dan siapakah yang dinamakan manusia kafir itu? Dapatkah manusia yang berbeda dari kita disebut kafir? Dan jika memang ada manusia kafir, mengapakah Tuhan menciptakan manusia demikian? Bukankah mereka juga adalah ciptaan yang sama? Maka tiba-tiba pokok utama film itu tidak lagi terletak pada perbedaan agama, perbedaan dalam cara memaknai apa itu keinginan Sang Pencipta, tetapi pada nilai seorang manusia dalam menjalani dan menghadapi hidup ini. Agama menjadi latar belakang dalam kepercayaan manusia kepada Sang Pencipta tetapi pada akhirnya, agama bukan hanya soal kita atau mereka, tetapi ‘aku bukan mereka. Aku Saladin!’ seperti kata Sultan Saladin yang selama berhari-hari mengepung kota Yerusalem dan siap untuk menghancurkannya tetapi kemudian memberikan pengampunan dan kebebasan kepada semua orang yang saat itu sedang berada dalam kota yang dianggap suci itu.

Yerusalem, kota yang menjadi rebutan, kota yang dianggap suci itu, kemudian ‘tidak ada artinya tetapi juga berarti segala-galanya’ bagi Sultan Saladin pada akhirnya menampakkan keindahannya justru saat Sultan Saladin yang muslim menegakkan salib di atas altar menggambarkan betapa Kerajaan Surga justru ada dalam diri seorang manusia. Bukan pada gunung tertentu, bukan pada lokasi tertentu dan juga bukan pada orang-orang tertentu saja. Kita, manusia yang hidup dalam pusaran sejarah tetaplah seorang manusia juga yang selalu memiliki cara pandang sendiri dalam menghadapi kenyataan. Keadilan. Kebenaran. Dan seorang pahlawan belum tentu seorang pemenang tetapi mereka yang telah bertarung demi kemanusiaan, bukan demi kekayaan-keuasaan-kekayaan belaka, dan walau kalah namun tetap tak dapat ditaklukkan. Demikianlah seorang Balian yang berjuang setelah menolak permintaan Sang Raja untuk ‘melakukan sedikit kejahatan demi kebaikan yang lebih mulia”. Karena baginya, sedikit atau banyak, sebuah kejahatan tetaplah sebuah kejahatan. Dan sekali sebuah kejahatan dilakukan, kejahatan lain akan dengan mudah untuk dilaksanakan kembali. Seperti sebuah lingkaran yang tak berujung pangkal.

Demikianlah, di akhir film tersebut, Balin, sang pahlawan yang telah bertarung mempertahankan kota dengan gigih, kembali menjalani hidupnya secara sederhana. Sebagai seorang tukang besi. Bersama istrinya yang mantan Ratu dan telah meninggalkan segala atribut kekuasaan-kekayaan-kakuatan itu. Pada akhirnya, hidup yang berbahagia adalah hidup dalam kesederhaan. Tanpa kekerasan, tanpa tipu daya dan ambisi pada kekuasaan-kekayaan-kekuatan. Pada akhirnya seorang manusia tetaplah seorang manusia dengan kerajaan surga yang berada dalam dirinya sendiri. Sebab apalah artinya kejayaan dan ketenaran jika untuk itu harus mengurbankan banyak jiwa-jiwa yang tak berdosa? Apalah artinya kerajaan surga jika itu hanya sebuah lokasi di muka bumi yang luas ini? Apalah artinya Sang Maha Pencipta jika Dia hanya mau mengakui kita, kelompok kita, kaum kita sebagai satu-satunya yang memiliki kebenaran-Nya padahal Dia telah menciptakan semuanya dengan ‘sangat senang’?

Tonny Sutedja

MENCUKUPKAN


Suatu pagi, saat aku sedang menjaga stand kue, datanglah seorang bapak bersama putranya. Nampaknya bapak itu sedang dalam perjalanan mengantar putranya ke sekolah, tetapi mampir dulu untuk membeli makanan buat putranya yang masih sekolah dasar. Sang bapak mengambil sebuah tempat kue dari dalam tas putranya lalu meminta putranya untuk memilih kue yang diinginkannya. Anak itu lalu memilih beberapa kue yang disenanginya, tetapi kemudian muncul satu masalah, ternyata ada kue pilihan anak itu yang tidak bisa ke dalam tempat kue itu. Dengan tenang, bapak itu menunjuk kue lain yang lebih kecil, mengambilnya, lalu berkata kepada putranya: “Kue ini saja, nak. Kau mau khan. Ini enak juga...” Anak itu memandang ayahnya sejenak dengan raut wajah sedikit kecewa, tetapi kemudian menganggukkan kepalanya. Maka sang bapak lalu memasukkan kue tersebut ke dalam tempatnya, membayar lalu kemudian mereka pun pergi.

Aku menyaksikan kejadian itu dengan sambil memikirkan betapa kehidupan kita pun sering berlangsung seperti itu. Kita sering mengalami peristiwa dalam hidup ini berlangsung tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Apa yang terjadi sering sama sekali tidak kita harapkan. Dan saya tidak tahu, apakah kekecewaan anak kecil itu nantinya mengganggu seleranya terhadap kue yang bukan pilihannya sendiri, tetapi bagaimana pun, sang bapak juga mengalami dilema jika kue pilihan putranya dia ambil, dia tidak tahu akan disimpan dimana karena tempat yang disiapkan tidak mampu menampung kue itu. Jadi masing-masing memiliki kesulitannya sendiri. Bagi sang anak, pilihannya sesuai dengan selera yang diinginkannya. Bagi sang bapak, pilihannya sesuai dengan tempat yang telah disediakan bagi putranya.

Tetapi barangkali inti peristiwa itu bukan pada apakah kue itu sesuai atau tidak dengan selera sang putra. Tetapi pada saat anak itu kemudian diminta untuk menyetujui apakah dapat menerima keinginan sang bapak. Dan saat aku melihat ke deretan kue-kue yang tersaji di depanku, aku tahu bahwa ternyata masih banyak jenis kue yang bisa memenuhi tempat kue yang dibawa anak itu. Jadi sesungguhnya, jika anak itu mau, dia masih punya pilihan lain selain daripada yang ditawarkan ayahnya kepadanya. Tetapi toh, dia tetap mengangguk menyetujui keputusan ayahnya. Dan aku merenungkan bahwa dalam banyak hal dalam hidup kita ini, pada akhirnya kita tetap punya pilihan lain, tetapi bagi yang percaya, keyakinan pada apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita dapat membuat kita mampu untuk menerima apa saja yang sedang kita alami.

Memang, kadang kita kecewa dan merasa pahit atas apa yang kita alami. Tetapi kekecewaan itu janganlah membuat hidup kita menjadi penuh penyesalan karena jika kita mau, kita tetap masih memiliki banyak pilihan lain. Dan jika kita percaya kepada segala yang diinginkan Bapa buat kita, mari kita jalani dan nikmati hidup ini apa adanya. Sesuai dengan yang diinginkan-Nya. Sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Bukankah putra bapak tadi tetap bisa menikmati kue pilihan ayahnya sendiri? Bukankah sang anak tetap bisa menghilangkan lapar yang nanti dialaminya dengan kue yang berbeda bentuk, rasa dan jenisnya jika dia tidak larut dalam sesal dan kecewa karena hasrat, selera dan keinginannya tidak terpenuhi? Dan bukankah initinya adalah, jika kita percaya, kita dapat menerima apapun juga yang kita alami tanpa merasa sesal dan sakit hati atau bahkan putus asa karenanya?

Demikianlah, peristiwa sederhana di pagi hari itu telah mengajarkan kepadaku sendiri, bahwa selain dari segala keinginan yang dimiliki seorang anak, semuanya juga tergantung pada tempat dan kesempatan yang telah disiapkan oleh Bapa kepada kita. Dan bila kita percaya, maka apapun yang akan terjadi, kita tetap bisa menikmati hidup ini. Dengan mencukupkan diri dengan apa yang dapat kita terima. Dengan menerima apa saja yang akan diberikan Tuhan kepada kita. Dengan menjalani hidup apa adanya. Sebab ternyata, hidup bukan hanya tergantung pada selera, keinginan dan hasrat kita saja, tetapi juga pada berapa besar pemberian Tuhan kepada kita. Dan bagaimana pun juga, sama seperti anak itu, kita tetap punya pilihan lain, jika kita mau tetapi kepercayaan kepada ayahnya membuatnya lebih mudah dalam menerima segala apa yang akan diberikan kepadanya. Tidakkah demikian dengan hidup kita ini?

Tonny Sutedja

18 Februari 2013

INDAH DALAM KATA


Hanya debulah aku,
di alas kaki-MU, Tuhan

Demikian sebuah lagu indah yang dinyanyikan oleh umat Katolik setiap memasuki masa PraPaskah. Setiap mencoba untuk mengenang kembali sengsara Yesus demi keselamatan manusia. Sebuah lagu yang dapat membuat kita tertunduk dalam kepasrahan. Tetapi sungguhkah kita merasa hanya sebagai debu di alas kaki Tuhan?

Sebuah lagu terkadang dapat membuat kita terlena sejenak dan melupakan kenyataan sesungguhnya yang perlu kita sadari. Sebab, jika kita sungguh merasa sebagai debu yang dapat dengan tiba-tiba lenyap tertiup angin, seharusnya kita pun mampu menyadari kelemahan-kelemahan kita sebagai manusia yang tak berdaya bahkan dalam menginginkan hasrat kita.

Tetapi kenyataannya, kita lebih sering merasa sebagai gunung yang kokoh. Sebagai pusat kekuatan di bumi ini. Kita sering menganggap Tuhan sebagai Tuhan yang lemah dan tak berdaya sehingga perlu kita lindungi dan membela-NYA mati-matian. Bahkan jika perlu dengan memakai kekerasan. Dan saat kita meminta permohonan kepada-NYA, kita menjadi insan yang menakutkan karena sebenarnya kita tidak memohon tetapi memaksa DIA untuk meluluskan semua keinginan kita.

“Hanya debulah aku, di alas kaki-MU, Tuhan” membuat kita tertunduk tetapi mungkin hanya sejenak saja. Indah dalam nada. Indah dalam kata. Tetapi sejujurnya kita luput menyadari kenyataan yang sesungguhnya kita lakoni dalam hidup ini. Kelemahan kita bisa mendadak menjadi kekuatan penekan. Kelemahan kita kita pakai sebagai alat pembenaran agar Tuhan mengabulkan semua keinginan kita. Dan mungkin, inilah ironi yang dimiliki setiap manusia yang percaya kepada-NYA.

Maka di saat mengenang kembali derita Yesus, kita perlu merenung sejenak. Sungguhkah kita merasa hanya sebagai debu? Sungguhkah kita menganggap Tuhan sebagai kekuasaan yang tak terbatas? Sungguhkah kita meyakini bahwa Tuhan sungguh adalah Sang Maha Pencipta? Sungguhkah kita menyadari kelemahan manusiawi kita? Sungguhkah?

Tonny Sutedja

16 Februari 2013

SALAH PAHAM


Seringkali kita merasa disalah-pahami. Seringkali kita merasa betapa orang-orang tidak mampu untuk mengerti perasaan kita. Dan jika kita menginginkan sesuatu yang tak mampu diwujudkan oleh mereka yang kita anggap harus menjadikan nyata keinginan kita sebagai suatu keberhasilan bagi kita, maka kita menjadi kecewa, sakit hati, frustrasi dan bahkan sering membuat kita menjadi putus asa dan apatis. Tetapi pertanyaan penting di balik kesalah-pahaman itu adalah, dapatkah kita memahami orang lain?

Seringkali memang kita merasa tidak dipahami. Tetapi jika kita mau jujur, seringkali pula kita ternyata tidak mampu memahami orang lain. Keterbatasan dan sifat-sifat pribadi orang lain yang mustahil serupa dengan kita. Bahkan jika kita berani untuk merenung lebih dalam, sesungguhnya bahkan kita sendiri sering tidak memahami diri kita. Keinginan kita. Perbuatan kita. Jika demikian adanya, perlukah kita mempersalahkan sesama kita? Dapatkah kita merasa kecewa dan sakit hati karena keinginan kita gagal terwujud karena kepentingan kita ternyata berbeda dengan kepentingan sesama?

Di dunia ini, waktu yang terus bergerak maju beriringan dengan perubahan yang mengikutinya. Situasi dan kondisi di era belasan atau bahkan puluhan tahun lalu tidak akan bisa disamakan dengan situasi dan kondisi saat ini. Demikian juga dengan pola pemikiran dan perasaan kita yang jelas tak akan mungkin sama dengan pola pemikiran generasi sekarang. Makassar di era 70-80an jelas sangat berbeda dengan Makassar saat ini. Perubahan-perubahan yang terjadi, disadari atau tidak, pasti membentuk pandangan dan pola pikir yang berbeda pula. Dan kita tak mungkin dapat menyamakannya. Kita mustahil untuk mundur kembali ke masa lalu. Seperti itulah pengalaman yang kita lalui setiap saat. Jadi perlukah kita kecewa karenanya?

Sesungguhnya banyak salah paham terjadi bukan karena sesuatu yang diragukan atau sesuatu yang disengaja. Tetapi jauh lebih sering karena ketidak-mampuan kita untuk memahami, baik terhadap sesama kita dan bahkan juga terhadap diri kita sendiri. Sebab, jika kita sendiri tidak memahami diri kita, dapatkah kita menyalahkan mereka yang tak mampu untuk memahami kita? Bukankah hal itu justru membuat kita sendiri ternyata tidak memahami kehidupan ini? Tidak menyadari perubahan yang terjadi? Tidak mengerti bahwa waktu ternyata terus melaju dengan membawa banyak hal yang tidak akan sama dengan kondisi dan situasi waktu yang telah lewat?

Hidup selalu berubah. Maka kita pun dituntut untuk mengubah diri. Kita tidak perlu merasa kecewa karena segala impian dan harapan kita ternyata gagal kita raih. Kita tidak perlu sesali jika apa yang kita harapkan ternyata tak dapat kita wujudkan. Sebab bukankah kita hanya mampu untuk memahami jika sadar akan keterbatasan diri kita dan keterbatasan sesama kita? Dalam waktu yang sangat panjang, kita hanya mengambil bagian terkecil saja di dalamnya. Dan sesungguhnya, kita pun bukan inti dari kehidupan walau masing-masing dari kita selalu mengira, dalam kesadaran dan pemikiran, bahwa kitalah yang sungguh nyata karena kita hidup. Tetapi jika kita melihat ke segala penjuru, kita akan menemukan kehidupan lain yang berbeda, sangat berbeda dengan kehidupan kita. Demikianlah adanya manusia ini.

Seringkali kita merasa tidak dipahami. Dan jelas bahwa seringkali pula kita ternyata gagal untuk memahami. Dan itu sudah merupakan hal yang lumrah sebab kerap kita pun ternyata tidak mampu memahami diri sendiri. Tetapi sesungguhnya kita hidup dengan kodrat yang jauh lebih luas dari hanya menyesali salah paham yang terjadi. Kita hidup tidak untuk dipahami saja. Kita hidup untuk juga dapat memahami. Dan jika kita mampu untuk melakukan hal itu, kita bisa sadar bahwa pemahaman kita ternyata terbatas, sangat terbatas. Karena setiap orang hidup dengan dan bersama rahasianya msing-masing. Rahasia yang sungguh tak mudah terkuak bahkan oleh kita yang memilikinya sendiri. Tak mudah.

Maka mari kita mencoba untuk tidak mudah menyesali kesalah-pahaman itu. Mari kita berupaya untuk mencoba mengerti kelemahan-kelemahan diri kita sendiri. Mari kita menjadi manusia yang sadar bahwa tidak semua kenyataan dapat kita pahami. Bahwa hidup kita yang hanya selintas ini sesungguhnya memiliki potensi yang jauh lebih besar daripada hanya saling menyalahkan. Salah paham adalah hal yang lumrah. Bersamanya, kita justru harus mengerti bahwa kita hidup tidak seorang diri saja. Dengan demikian, setiap kesalah-pahaman justru dapat membuat kita lebih kuat dalam memahami diri kita. Mari kita memahami salah paham itu.

Tonny Sutedja

06 Februari 2013

SANDIWARA


Dunia ini, panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah.....

Dunia ini memang panggung sandiwara. Dengan cerita yang dapat berubah secara cepat. Dan batas antara yang benar dan palsu semakin kabur. Dan tidak seperti kisah-kisah yang dulu pernah dituturkan pada kita, kenyataan sekarang membuat kita menjadi bingung dan semakin kehilangan arah. Seorang koruptor dapat menjadi pahlawan karena telah memberikan sumbangan besar. Seorang penjahat dapat tiba-tiba nampak alim dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan. Kejujuran ternyata juga dapat dibeli, bukan hanya dengan materi tetapi juga dengan keyakinan. Seakan-akan, jika kita berbohong demi, apa yang kita yakini, sebagai kehendak Tuhan misalnya, maka itu dapat dibenarkan. Dan dalam kebingungan menerima segala kejadian itulah, kejenuhan mulai menguasai perasaan kita. Kita lalu menjadi apatis, tidak peduli dan membuat kita berasumsi bahwa apapun yang terjadi, semua tidak punya kaitan dengan hidup kita sendiri. Demikianlah kenyataan pahit yang mendera masyarakat kita sekarang.

Dunia ini memang panggung sandiwara. Dan kita hidup bersama topeng-topeng diri yang kian tebal. Masing-masing hanya memikirkan diri dan kepentingan sendiri. Masing-masing berbuat seakan-akan semua berjalan baik dan lancar, walau pun itu jelas tidak benar. Sikap hidup kita nampaknya mengikuti kemajuan tehnologi yang telah membuat hidup menjadi lebih ringan dan mudah. Serta cepat dan ringkas. Kita seakan-akan ingin menjadi sebuah remote control yang hanya dengan sekali sentuh, maka semua keinginan kita dapat tercapai. Dan dengan program-program dan peralatan tehnik yang canggih, kita merasa mampu meraih semua hal yang menjadi impian kita. Maka kita lalu mereguk semua hal yang menyenangkan kita tanpa peduli lagi dari mana sumbernya. Nampaknya, dengan kesadaran baru itulah kita hidup kini.

Namun toh, bagiku, tetap ada yang salah. Hidup sesungguhnya tidak semudah itu. Walau kita memiliki remote control, ternyata kita sendiri tidak memahami cara kerja alat itu. Karena kita tidak mampu membuatnya sendiri. Demikian pula dengan dengan semua program dan peralatan canggih yang kita miliki, ternyata, tak mampu kita ciptakan sendiri. Kita kehilangan keaslian diri. Kita tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencipta selain dari hanya memakai. Kita terlena dalam segala kemudahan yang kita anggap sudah menjadi milik kita padahal sesungguhnya bukan hasil pemikiran kita. Kita ingin serba cepat tetapi sangat menggantungkan diri pada kemampuan orang lain. Dan disinilah kegagalan kita. Kegagalan untuk berpikir dan berkreasi. Dan sebab kita ingin serba cepat dan mudah, maka segalanya bisa kita terima. Segalanya bisa kita anggap benar. Yang buruk menjadi baik. Yang salah menjadi benar. Dan toh, tak seorang pun merasa khawatir akan hal itu.

Dunia ini memang panggung sandiwara. Ceritanya mudah berubah. Kisah lucu membuat kita tertawa. Kisah sedih membuat kita menangis. Tetapi ternyata, ada juga kisah yang sama sekali tidak lucu tetapi dapat membuat kita tertawa. Tertawa dengan pahit. Dan ada kisah yang sama sekali tidak sedih tetapi bernuansa kebanggaan ternyata dapat membuat kita sedih. Sedih yang pahit pula karena kebodohan kita dalam menerima kebanggan yang tak sepatutnya. Dan demikianlah kehidupan kita berjalan terus. Perlahan-lahan kita kehilangan nurani kita. Perlahan-lahan kita menyangka bahwa semua biasa dan normal saja. Dan ketika berita melintas dengan cepat susul menyusul, ganti berganti, dengan perasaan bingung kita pun kehilangan kepedulian. Dan pada akhirnya hanya mampu mengguman dalam kesepian. Kehilangan suara. Kehilangan kata-kata. Kehilangan nurani.

Namun, seperti semua sandiwara, selalu ada sutradara yang sedang mengawasi kita. Jadi ketika sandiwara yang kita mainkan sudah keluar dari naskah yang ditulisnya, ketika kita sebagai pelakon bermain seakan-akan semuanya hanya demi keuntungan dan kesenangan diri kita saja, pernahkah kita memikirkan apa yang akan dilakukannya kepada kita? Pernahkah kita merenungkan bahwa kita ini sesungguhnya hanya memainkan lakon sesuai dengan naskahnya? Jadi jika peran kita berjalan tanpa jalur yang benar, sadarkah kita bahwa setiap sandiwara – bagaimana pun bagusnya – pasti akan usai juga. Dan saat itu, bagaimana pertanggung-jawaban kita terhadap sang sutradara? Bagaimana? Dan kupikir, di titik saat sandiwara telah usai, kita telah terlambat untuk memperbaiki peran kita. Telah terlambat.

Tonny Sutedja

05 Februari 2013

BOHONG


Seorang yang berbohong pasti akan tahu. Bahwa sebuah kebohongan pasti akan diikuti oleh kebohongan lain. Dan sekali dia berbohong, dia pun akan hidup dalam dan bersama kebohongan itu. Akibatnya seorang pembohong akan kehilangan kenyataan yang sebenarnya dan bisa tidak menyadari dirinya sendiri. Dan tidak seperti seorang aktor di dalam film atau sinetron, yang setelah pertunjukan usai kembali akan menemukan kenyataan hidupnya, seorang pembohong terpaksa setiap saat harus berada dalam kesiagaan penuh agar kebohongannya tidak terbongkar. Maka dia harus memakai topeng dan perlahan-lahan kehilangan dirinya sendiri. Dia yang sesungguhnya menghilang dan kepekaan pada kenyataan pun lenyap.

Di sini, dengan segala bantahan tentang kebenaran yang sungguh terjadi, dia menjadi sosok yang lain. Pribadi yang dibayangkan, bukan pribadi yang nyata yang hidup. Tetapi hidup setiap saat bersama topeng kebohongan itu melelahkan. Dia kehilangan orientasi pada apa yang sungguh terjadi. Dia kehilangan kepekaan pada kehidupan. Dan yang lebih menyedihkan lagi apabila dalam kebohongannya itu, dia menyeret orang-orang yang sangat meyakininya dalam dunianya yang tidak nyata sehingga sering terasa betapa kebohongan itu perlahan-lahan menjadi dunia yang nyata. Baginya. Bagi orang-orang di lingkungannya. Bagi siapa saja yang percaya kepadanya dan karena itu selalu sanggup untuk membela kebohongannya. Maka bagi mereka itu, dunia kebohongan itu adalah kenyataan walau tak pernah terjadi.

Berapa banyakkah di antara kita yang hidup dalam dunia itu? Setiap saat, setiap kesempatan, hidup terpaksa dijalani dengan penuh kewaspadaan agar kebohongan kita tidak terungkap. Setiap kesempatan kita memakai topeng agar kenyataan yang sesungguhnya tidak tersingkap. Setiap kali aku membaca berita, atau menonton mereka yang berkata-kata, setiap kali pula aku bertanya-tanya dalam hati: “Jujurkah mereka?” Tetapi jika semua jujur dalam perkataannya, mengapa semua kenyataan itu nampak saling bertolak belakang? Nampak saling bertentangan? Dan berkesan bahwa ada yang berkelit, ada yang membela diri, ada yang mengingkari kenyataan. Lalu siapakah yang sungguh menyadari dirinya sendiri? Siapa?

Menyaksikan setiap peristiwa sungguh berbeda dengan mengalami peristiwa itu. Setiap individu pasti memiliki pandangan yang berbeda mengenai satu kejadian. Tetapi jika kenyataan itu sendiri telah terjadi, bagaimana dapat kita berkata bahwa kenyataan itu seakan-akan sebuah kenyataan yang tidak nyata? Dan mempertanyakan motip kenyataan itu. Seakan-akan sebuah kenyataan yang telah terjadi adalah sebuah peristiwa yang dibuat-buat untuk merugikan diri kita. Sementara kita melupakan bahwa sesungguhnya sebuah kenyataan bisa terjadi akibat dari rencana dan perbuatan kita sendiri. Kita melupakan rencana dan perbuatan kita. Kita berlaku seakan-akan semua hal yang merugikan kita, sebuah bencana atau musibah, tidak pernah terjadi karena kita, tetapi karena orang-orang yang mungkin tidak menyukai kita. Tetapi bukankah jika semua berjalan seperti biasa dan mengutungkan hidup kita, kita tetap menikmatinya sendiri?

Berawal dari sinilah kita lalu hidup dengan memakai topeng tebal demi untuk melupakan apa yang telah kita susun sendiri, sambil menyalahkan mereka-mereka, yang mungkin bahkan sama sekali tidak tahu menahu apa yang terjadi, yang kita anggap telah membuat diri kita dalam kondisi yang sulit. Dan siapakah yang dapat melihat isi hati kita selain dari diri sendiri? Bagaimanakah dapat diketahui kejujuran kita yang sebenarnya jika kita sendiri menampik kenyataan yang terjadi? Mungkin suatu ketika nanti ada orang-orang yang mampu untuk membuka topeng di wajah kita dan memperlihatkan rupa kita yang sesungguhnya, tetapi dapatkah kita sendiri untuk jujur terhadap hidup kita? Mampukah kita untuk melepaskan topeng yang kita kenakan sambil berkata tegas: “Inilah aku?”.

Barangkali tidak semudah itu. Dan memang tidak semudah itu. Setiap kebohongan pasti akan disusul dengan kebohongan lain. Setiap alasan pasti akan diikuti alasan lain. Dan ketika itu berlanjut terus, sadar atau tidak, kita lalu tenggelam dalam kehidupan yang tidak nyata. Dunia dimana kebenaran hanya milik kita dan mereka yang berupaya untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya justru bagi kita adalah mereka yang hidup di dunia yang tidak nyata pula. Kita hidup dalam ketidak-nyataan. Kita masing-masing. Sebab, bukankah ada yang pernah menyanyikan dengan indahnya, dunia ini panggung sandiwara belaka......

Tonny Sutedja

04 Februari 2013

AKU BERMIMPI


Aku bermimpi tentang mereka yang tak pernah kehilangan harapan. Walau saat harapan seakan-akan menghilang. Aku bermimpi tentang cahaya yang selalu menyala. Walau terang seakan-akan telah padam. Aku bermimpi tentang langit biru saat malam paling kelam. Aku bermimpi tentang semangat yang selalu membara saat tak ada sesuatu pun yang tersisa dalam hidup ini. Aku bermimpi tentang kerinduan dalam suasana kemustahilan untuk menemukan. Aku bermimpi.....

Ya! Dalam situasi dimana hidup terasa beku dan seakan tanpa ujung yang menawan, aku tetap mampu untuk bermimpi. Sebab mimpi adalah satu-satunya yang kita miliki. Yang satu-satunya mampu membuat kita tetap hidup dan merasa bahwa ada yang enggan untuk menyerah. Ada yang tak mau tertaklukkan. Kita adalah manusia yang mampu untuk membentuk diri kita sendiri sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dalam situasi apapun, walau hidup seakan-akan tak lagi menunjang keberadaan kita, kita tetap memiliki mimpi. Kita harus memiliki mimpi. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yang mampu membuat kita untuk menyerah.

Sebab hidup adalah perjuangan menempuh waktu yang tak akan mampu kita kuasai. Tetapi waktu tak pernah menguasai kita sepenuhnya selama kita mampu untuk berjalan bersama harapan. Berjalan menempuh kegelapan adalah sebuah pertarungan untuk menemukan cahaya. Dan dengan keyakinan. Dan bersama mimpi itu kita sanggup untuk menghadapi kegelapan yang terkelam sekali pun. Sebab kita tahu bahwa terang akan tiba. Bahwa tak ada jalan yang tak berujung. Bahwa tak ada yang tak pernah akan abadi. Di dunia yang sementara ini. Di dunia yang hanya sementara ini.

Mimpiku adalah semangatku. Semangatku adalah cahayaku. Dalam hati kita yang terdalam, kita tahu bahwa, tak ada yang sia-sia. Tak ada yang tak berguna. Selama kita masih mampu untuk menghayati hidup. Selama kita sadar akan keberadaan kita. Selama kita mau untuk tetap berdiri dengan anggun. Kita tak terkalahkan. Kita takkan takluk terhadap apapun yang menerpa kita. Dunia keberadaan kita hanya sementara. Waktu yang kita jalani ini takkan abadi. Namun keberadaan kita bersamanya selalu punya arti selama kita mampu mengenal diri kita. Selama kita sanggup mengetahui kemampuan kita. Dan walau kita hanya memiliki mimpi sebagai satu-satunya harta yang tak mungkin direnggut oleh kekuasaan-kekuatan-kekayaan apapun juga, kita masih hidup. Kita tetap hidup. Hidup!

Aku bermimpi tentang mereka yang mampu menerima dan menghadapi kenyataan yang sepahit apapun juga tanpa pernah meninggalkan semangatnya untuk berjuang. Sebab hidup sungguh suatu perjuangan dimana banyak hal yang jauh dari kemampuan kita untuk meramalkannya. Dan segala perencanaan kita tentangnya dapat musnah sia-sia begitu saja. Tetapi kita hidup. Dan masih hidup. Oleh sebab itu, kita sadar bahwa, walau malam tak pernah meninggalkan kita, fajar selalu akan tiba. Terang pasti akan datang. Dan bukankah kita sendiri mengalami kenyataan itu? Tak ada yang abadi di dunia ini. Tak ada yang kekal. Kekelaman dan kepahitan pun takkan pernah menetap menjadi diri kita. Selama kita memiliki mimpi, selama kita menolak untuk pasrah, selama kita mau untuk bertarung, kita akan menang. Kita pasti menang.

Aku bermimpi tentang engkau yang ditinggalkan dan disia-siakan. Aku bermimpi tentang dia yang diliputi perasaan pahit dan putus asa. Aku bermimpi tentang siapa saja yang seakan menemukan jalan buntu dalam hidupnya. Mereka yang seakan tak mungkin lagi untuk bangkit berdiri menghadapi hidup ini. Aku bermimpi bahwa semuanya itu akan segera usai. Dan fajar baru akan tiba kembali. Terang akan bersinar lagi. Dan kegelapan akan terusir pergi. Aku bermimpi bahwa semua impian ini akan menjadi nyata jika kita tetap mau berjuang mempertahankan semangat hidup kita. Maka kita pun suatu saat kelak, dapat kembali bangkit dan mengerima hidup ini sebagaimana adanya. Sebagaimana harusnya. Sebagaimana diri kita sendiri.

Maka mari bermimpi di malam yang paling kelam. Dan saksikan betapa indahnya bintang-bintang yang takkan dapat kita lihat dikala siang yang terang benderang. Percayalah bahwa kita layak menjadi bintang jika kita mau untuk mempergunakan segala talenta yang kita miliki untuk dibagikan kepada dunia. Mari bermimpi bahwa kita, walau di sekeliling kita semua seakan terbenam dalam kekelaman yang paling pahit, kita sendiri ternyata adalah sebuah bintang yang bersinar terang walau mungkin kita tidak menyadari sinar yang kita miliki. Terang itu adalah kita sendiri. Bukan pada dunia. Bukan berada diluar kita. Kitalah terang itu. Percayalah! Maka segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Jauh lebih baik.

Tonny Sutedja

MUNGKIN


Saat ini kita hidup di dunia yang seakan-akan tanpa batas tetapi sekaligus menjadi dunia yang demikian sempit dan terbatas. Bayangkan, dengan daya tehnologi, kita dapat menjelajah ke sudut-sudut semesta yang jauh, teramat jauh, sementara kita duduk menyendiri di kamar kecil kita dan sering tanpa sadar bahwa sesuatu terjadi di luar kamar ini. Sebuah ironi dimana kita seakan-akan dapat mengetahui dan mengenal semua peristiwa yang sedang terjadi sementara kita bahkan sama sekali tidak tahu apa yang sedang berlangsung di sebelah kita.

Demikianlah, kita semakin mengetahui semakin tidak mengenal dan memahami. Bahwa lintasan waktu yang sedang kita jalani bergerak kian menjauh dari kenyataan hidup yang sungguh kita jalani ini. Dalam banyak hal, kita terpojok di sudut yang kita tidak sadari walau mungkin kita merasakannya. Mungkin. Begitulah sebagian dari antara kita menjalani hidup sehari-hari ini, terfokus pada apa yang terjadi jauh di luar diri kita dan melupakan apa yang sedang terjadi di lingkungan kita sendiri. Keterasingan diri membuat hidup menjadi nyaman karena kita hanya dapat mengetahui tetapi tidak mengenal dan karena itu tidak perlu untuk peduli sehingga tidak perlu merasa bertanggung-jawab untuk mengubah diri, untuk memahami situasi dan kondisi kita sendiri.

Namun, walau kita sering alpa untuk mengubah diri kita sendiri, alpa dalam memahami keseharian hidup kita, kita sering bersikap seakan-akan memahami dunia di luar kita. Kita bersikap seakan-akan tahu dan karena itu merasa mampu untuk mengupayakan perubahan dunia. Padahal sadarkah kita, betapa dalam satu lintasan waktu yang sama, jam dan detik yang sama, seberapa banyakkah peristiwa yang terjadi tetapi luput dari pengetahuan kita? Seberapa banyakkah dapat kita ketahui tentang kejadian-kejadian sederhana yang tak muncul di penglihatan dan pemahaman kita? Tidakkah hidup mengandung kemungkinan yang tak terkira dan tak dapat kita rengkuh semua? Maka dalam kegagalan untuk memahami diri kita sendiri serta juga ketidak-mungkinan untuk mengenal seluruh isi dunia ini, kita tidak patut untuk mempertanyakan apalagi berkeinginan untuk mengubahnya sejalan dengan pemikiran kita yang amat sangat terbatas ini.

Memang, saat ini kita hidup dalam dunia yang dengan perkembangan tehnologi seakan-akan dapat kita rengkuh dengan sekali klik. Tetapi mengetahui dan mengalami sendiri sangatlah berbeda. Bahkan tak mungkin dijembatani selain dialami sendiri. Selain itu, kemampuan kita tehnologi secanggih apapun takkan mampu untuk mencapai sudut hati kita sendiri juga tak mungkin mencapai sudut-sudut terjauh di bumi ini. Maka hidup memang penuh dengan segala kemungkinan dan tak dapat kita pastikan hanya dengan sebuah pemikiran bahwa segalanya dapat kita ubah sesuai dengan keinginan kita.

Tiba-tiba aku merasa betapa sangat terasingnya kita sendiri kala dunia terbuka lebih luas akibat perkembangan kemajuan tehnologi ini. Betapa semakin banyak kita tahu semakin banyak pula kita kehilangan pemahaman. Betapa semakin banyak peristiwa yang kita tahu semakin tak kita sadari kehadiran diri kita sendiri. Dan ketika tiba pada satu titik ketika kita jenuh dengan segala pengetahuan itu, kita lalu kehilangan kepekaan atau malah menjadi sangat bersemangat untuk mengubahnya. Kita lupakan segala kemungkinan yang membuat hidup ini indah. Ya, hidup ini menyenangkan dan dapat kita nikmati karena dia penuh kemungkinan yang tak terduga. Tak teramalkan. Tak terencanakan. Dunia ini bukanlah mesin di saat kita merasa bahwa kita mengenal dia lewat mesin-mesin ini. Dan karena itu tak mungkin kita kenali dengan pasti. Bahkan sedetik ke depan pun tak mungkin kita pastikan apa yang dapat terjadi. Nikmatilah kemungkinan itu sebagai sebuah kehidupan yang pantas kita ada di dalamnya. Bersamanya. Tidak untuk mengubahnya. Bukan dengan memaksanya berubah. Dan jika harus berubah, bukan dunia tetapi kita sendirilah yang harus mengubah diri. Kita sendiri.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...