27 April 2013

WANITA, LILIN DAN JENDELA


Ada seorang wanita yang hampir setiap malam terlihat duduk di balik jendela rumahnya. Ditemani sebatang lilin yang menyala, dia menatap jauh ke langit, ke bintang-bintang yang sedang berkelap-kelip seakan menyapa kesunyian hidupnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Atau apa yang sedang direnungkannya. Adakah dia sedang menunggu seseorang? Atau sekedar hanya melepas waktu yang tersisa sebelum kantuk datang? Entahlah. Mungkin pula kedua-duanya. Tetapi dalam cahaya yang temaram, sangat terasa aura kesendirian dalam hidupnya. Sendiri dan sepi....

Tetapi waktu bergegas melintas. Dan dunia tidak hanya berdiam bersama kesendirian seorang manusia. Di luar dirinya suasana demikian riuh dan penuh gejolak. Ada semangat yang seakan dahaga yang tak pernah dapat terpuaskan. Hasrat, ambisi dan keinginan yang tak pernah beristirahat walau sejenakpun juga. Hidup meluncur dalam ketidak-pedulian nasib seorang manusia yang tak dikenal. Tertinggal sendirian di sudut kecil bumi manusia ini. Wanita itu hanya memandang jauh ke atas tetapi sadar atau tidak, berupaya memahami pertanyaan tentang hidupnya sendiri. Tetapi dia ada. Dia sungguh ada.

Lilin menyala di sampingnya. Api yang meliuk tertiup angin. Wajah yang hampa dan tak berdaya. Waktu yang tak mau berhenti. Dan jendela yang terbuka. Selain itu hanya pemandangan yang samar-samar dari kehidupan yang juga samar-samar. Kita tak tahu, sungguh takkan pernah tahu, apa yang sedang dipikirkan seseorang. Yang ada dibalik senyum dan tawa. Atau arti tetesan air mata di wajah seseorang, bahkan seseorang yang sedemikian dekat dengan kita sekali pun. Sebab, walau kehidupan ini dilalui bersama, masing-masing kita berada di dunia yang tersendiri. Dunia pikiran, dunia perasaan dan dunia pemahaman yang berbeda satu sama lain.

Manusia, ah siapakah dia? Siapakah kita? Mengapa kita yang kelihatan demikian garang dan bersemangat sering menyimpan rahasia dalam kalbunya yang terdalam? Mengapakah kita, yang nampak demikian teguh dan tabah ternyata menyembunyikan perasaan cemas dan ragu di nuraninya yang terdalam? Sementara kita sendiri enggan mengakuinya. Sementara kita sendiri takut untuk menyatakannya? Bukankah kita memang hanya sebuah bejana dari tanah liat yang indah dan menakjubkan tetapi pun demikian rapuh dan tak berdaya? Dan suatu waktu kelak, perlahan akan membuat kita menjadi aus dan satu saat akan kembali lebur menjadi tanah dan melebur bersama alam?

Pasti ada banyak kenangan tersimpan dalam kehidupan seorang manusia. Kenangan manis. Kenangan pahit. Tetapi apakah artinya selain daripada hanya buat diri sendiri saja? Dan layaknya lilin yang bernyala, cahaya kita akan lenyap bersama dengan lumernya tubuh lilin itu. Mengapa kita harus ada? Untuk apakah kita mesti mengalami? Apa gunanya kita dapat berpikir? Sebab apakah kita harus bertanya-tanya? Apakah lebih mudah jika kita hanya menjalani hidup seperti mahluk lain tanpa perlu bersusah payah untuk merenungkan apa yang telah dan sedang kita saksikan di dunia ini? Tataplah bintang-bintang dan rembulan di langit malam. Bukankah mereka demikian indah dan mengagumkan? Tetapi dapatkah kita menikmatinya di saat sinar dari lampu-lampu bertebaran dimana-mana? Adakah hidup ini sesungguhnya hanya sebuah mimpi yang tidak nyata? Dan dapatkah kita meyakinkan diri bahwa satu saat kelak kita terbangun dan menemukan bahwa semuanya hanya kegelapan dan ketidak-adaan? Serta ketidak-sadaran bahwa kita pernah ada dan pernah berpikir bahwa kita ada? Memang adakah kita? Nyatakah kita kelak senyata kita saat ini?

Wanita. Lilin. Jendela. Kegelapan di seputar. Dan keramaian jauh di luar. Rasakanlah betapa sering ada batas yang tak kasat mata tetapi sangat jelas terasakan. Alam pikiran yang jauh tersembunyi di balik topeng wajah yang nampak. Dan kita semua ternyata adalah bayang-bayang itu. Kita semua ternyata hanya hidup dalam dan bersama apa yang ada di pikiran dan perasaan kita sendiri. Sunyi. Sepi. Seorang diri. Selain itu hanya sebuah jendela dimana kita memandang keluar. Jauh, jauh keluar. Dan sebatang lilin yang apinya meliuk-liuk terhembus angin. Lilin yang perlahan-lahan memendek seturut waktu. Dikikis waktu. Tetapi, paling tidak, kita adalah cahaya itu. Dan sejenak, kita semua dapat menerangi dunia ini. Dan walau hanya sejenak, cukuplah itu. Sebab itulah milik kita yang paling indah. Waktu. Cahaya. Jendela kita.

Tonny Sutedja

HARAPAN DAN KEPERCAYAAN


“Mereka yang punya harapan adalah mereka yang percaya. Sebab tanpa percaya, bagaimana mereka dapat berharap? Paling tidak, mereka percaya pada hari esok. Tanpa itu, harapan hanyalah kata-kata hampa belaka..” kata seorang bapak tua kepadaku suatu ketika. Bapak itu hidup sederhana atau bahkan bisa dibilang sangat sederhana. Hidup sendirian dengan dana pensiun, seorang diri pula karena istrinya telah berpulang beberapa tahun silam dan anak-anaknya pun telah mandiri. Sebenarnya, anak-anaknya, dia memiliki dua orang anak laki-laki, telah mengajaknya untuk tinggal bersama mereka, tetapi dia menolaknya. Dia ingin bebas dengan dirinya sendiri.

Dia sadar, usianya telah uzur. Tubuhnya, sebagai pensiunan TNI-AD telah melemah, tetapi dia merasa masih sanggup untuk tidak tergantung pada orang lain. Setiap hari minggu, dia berjalan kaki ke gereja, mengikuti misa pagi. Sesekali, jika aku berjumpa dengan bapak tua itu, aku lalu memintanya ikut bersama. Kadang dia mau, kadang juga dia tolak. Karena katanya, dengan berjalan dia tetap bisa menjaga kondisi fisiknya. Bapak tua itu juga hampir setiap ada pertemuan di rukun selalu hadir. Dan kehadirannya selalu membawa suasana yang riang, dengan aneka joke dan kata-kata spontan meluncur keluar dari bibirnya. Bapak Joseph – lebih sering kami memanggilnya dengan opa Yoseph - memang menjadi teladan buat kami semua.

Maka ketika aku mendengar berita kematiannya, aku tiba-tiba mengenang dia. Terutama mengenang kata-kata yang pernah diucapkannya lama berselang. “Mereka yang punya harapan adalah mereka yang punya kepercayaan”. Sungguh sebuah kalimat yang mengandung inti kehidupan bagi kita semua. Sebab tanpa harapan, kita akan kesulitan untuk menghidupi diri. Dan tanpa kepercayaan pada hari esok, kita tak mungkin juga memiliki harapan bagi jiwa kita. Demikianlah, siapa pun yang ingin hidup dengan baik, dengan damai dan tanpa kehilangan semangat juang, haruslah memiliki harapan. Harapan bahwa esok selalu akan lebih baik dari hari ini. Walau memang kita tak mungkin untuk meramalkan apa yang akan kita hadapi. Tetapi dengan harapan, kita akan selalu mempunyai daya juang. Dengan harapan, kita takkan merasa putus asa. Dan dibalik harapan itu, percaya dan yakinlah bahwa ada rahasia yang sederhana, sangat sederhana, yang telah disiapkan bagi kita yang percaya: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup” sabda Yesus (Yoh 14:6).

Maka bersama dengan segala kenangan kepada bapak Yoseph, aku pun memiliki harapan bahwa kita semua dapat tetap teguh dengan kepercayaan kita. Bahwa dalam percaya itulah kita semua memiliki harapan. Dan bersama harapan itulah kita dapat bersemangat menjalani kehidupan ini. Kita semua.

Tonny Sutedja

BUNDA MARIA


Malam. Gerimis dan kegelapan meliputi sekeliling. Kami berjalan dengan pelan dan tenang. Sambil masing-masing memegang sebatang lilin putih yang menyala. Cahaya terasa samar dan redup dalam gelapnya udara di tempat yang jauh terpencil dari pusat keramaian. Prosesi doa rosario ini dilakukan dalam bulan Maria di stasi DKB I, sebuah stasi yang terletak kurang lebih 70 km dari kota Kendari. Jauh dari hiruk pikuk, di sudut pedalaman yang terpencil, sebuah stasi yang sederhana namun dalam kesederhanaanlah kita semua dapat menemukan kedamaian diri.

Hidup tidaklah sederhana. Memang. Tetapi dalam ketidak-sederhanaannya, kita selalu dapat berupaya untuk tidak membuatnya semakin rumit dengan segala ambisi, hasrat dan keinginan kita semata. Kepasrahan menerima apa saja yang dapat kita raih, kerelaan untuk menghadapi apa saja yang mungkin kita hadapi, kesederhanaan dalam kehidupan yang semakin pelik ini selayaknya dapat kita temukan pada Maria, Bunda Yesus. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” kata Maria kepada malaikat Gabriel yang diutus kepadanya untuk memberitakan rencana kelahiran Yesus (Luk1:38). Kesederhanaan ditengah kerumitan segala peristiwa yang terjadi saat Maria kemudian hamil dan menghadapi masyarakat sebelum bersuamikan Yusuf.

Maka dalam kegelapan malam, dengan diterangi lilin-lilin yang menyala di tangan, dan dingin yang memeluk tubuh, kami mencari dan menemukan sebuah harapan bahwa, tak ada yang mustahil selama kita semua tetap yakin dan percaya kepada iman kita. Masa lalu telah lewat. Masa depan masih menjadi suatu rahasia. Tetapi kini dan saat ini, kami semua tetap dapat menikmati kedamaian hati dan sesungguhnya itu sudah cukup dalam melewati kehidupan kita sehari-hari. Jangan takut, tetapi percayalah maka semuanya dapat terjadi sesuai dengan harapan kita selama harapan itu sejalan dengan kehendak-Nya.

Salam Maria penuh rahmat, terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.”

Tonny Sutedja

HUKUM


Ketika yang bersalah dapat bersembunyi di balik rasa keengganan sebuah institusi untuk menyibak boroknya, maka hukum bukan hanya menjadi tumpul tetapi telah mati. Ketika sebuah institusi, demi kepentingannya sendiri, menyembunyikan kebobrokan yang terjadi karena oknum-nya sendiri, maka secara nyata, institusi itu telah membunuh kebenaran dengan berlaku tidak adil dan tidak jujur kepada masyarakat. Maka keteladanan pun hilang. Dan setiap orang dapat menganggap dirinya berdiri di atas bangkai hukum itu sambil menyuarakan kepentingannya yang tidak lain hanya penghindaran dari rasa malu dan enggan mengakui kesalahan. Sekaligus enggan untuk bertanggung-jawab atas setiap perbuatan yang telah merobek dirinya sendiri.

Sadarkah kita akan kerusakan yang sedang dan akan terjadi saat kita dengan kukuh bertahan pada nama baik semata? Pahamkah kita tentang makna keadilan dan kejujuran yang setiap saat kita dengungkan sementara kita melakukan hal yang sebaliknya? Ataukah pandangan kita sudah tertutup hanya karena kita tidak mau mengakui bahwa sesungguhnya ada borok yang sedang kita tanggung dan mungkin kelak akan menghancurkan diri kita semua? Bagaimanakah kita dapat dengan penuh rasa yakin dan percaya diri menyatakan kebenaran jika kita sendiri enggan mengakui kebenaran itu? Dan apakah maknanya sebuah kebenaran jika itu hanya dilihat dari sudut pandang dan kepentingan pribadi kita?

Maka ketika hukum dapat dijual belikan, ketika fakta dapat digelapkan, ketika ayat-ayat hanya menjadi ajang perdebatan sesuai dengan sudut pandang setiap orang – tanpa kepastian – percayalah bahwa pada akhirnya setiap orang pun dapat berpendapat bahwa mereka pun memiliki hukumnya masing-masing. Dan jika itu terjadi dan memang kita inginkan, kita semua patut menyadari akan resiko ketidak-adilan bagi semua orang. Karena keadilan menurut sudut pandang diri sendiri, sadar atau tidak, berarti kita membangun ketidak-adilan dalam masyarakat. Hukum menjadi tidak pasti saat semua dapat berdebat tentangnya. Hukum menjadi layang-layang yang putus yang akan dikejar-kejar dengan kekuatan-kekuasaan-kekayaan dan bukan dengan kejujuran-kebenaran-keadilan. Dapatkah kita memahami akibat-akibatnya kelak?

Tetapi entah mengapa, kita demikian tidak peduli lagi terhadap masyarakat. Kita hanya peduli kepada diri dan kepentingan kita sendiri. Selama kepentingan kita tidak diganggu, selama itu pula kita seakan-akan kelihatan dapat berbuat baik dan jujur, namun sekali kepentingan kita diusik, tiba-tiba kita menjelma menjadi mahluk yang menakutkan dan menafikan semua kejujuran serta fakta yang ada. Bahkan jika perlu dengan melakukan perlawanan secara kasar dan keras. Bahkan jika perlu dengan mengurbankan orang lain. Kita tidak merasa terusik oleh ketidak-adilan yang kita lakukan bahkan memberikan ribuan alasan yang seakan-akan benar tetapi......

Setiap pagi, saat kita duduk menikmati secangkir kopi sambil membaca koran pagi, kita mungkin mengutuk ketidak-adilan, kekerasan dan ketidak-jujuran yang diberitakan. Kita bahkan mungkin merasa sangat marah dan menyesalinya. Tetapi itu karena kita sama sekali tidak terkait dengan peristiwa yang sedang kita baca itu. Seandainya peristiwa itu menyangkut nama baik kita, menyangkut kepentingan kita, menyangkut integritas institusi kita, masihkah kita merasa dan berpikir sama? Entahlah. Jika saja kita mau jujur kepada hati nurani kita sendiri. Jika saja kita tidak enggan untuk merasa malu dan mau mengakui kesalahan kita. Jika saja...... Tetapi seberapa banyakkah yang mau mengakui kealpaannya sendiri?

Pada akhirnya, setiap kesalahan selalu mempunyai dalih dan alasannya masing-masing. Dan setiap ayat-ayat dalam buku hukum selalu dapat diperdebatkan sesuai dengan kepentingan kita melulu. Saat itu, sesungguhnya kita telah memulai proses penghancuran terhadap kebenaran. Atas nama dalih dan alasan yang kadang dibuat setelah sebuah peristiwa terjadi, sesungguhnya kita telah melarikan diri dari dunia yang nyata dan membentuk opini seakan-akan yang satu saat dapat menjadi kebenaran yang semu. Dan saat itu terjadi, hukum pun lumpuh. Hukum pun tak berdaya dan akan mati lemas. Siapkah kita menghadapinya?

Tonny Sutedja

24 April 2013

REMBULAN


Setiap purnama tiba selalu membawa keindahan cahayanya. Dengan pendar sinar yang menerangi bumi, seakan menyapa alam dan mengirim salam. Bahwa waktu kegelapan takkan pernah kekal. Bahwa selalu ada masanya ketika terang tiba dan membawa harapan yang indah bagi kehidupan ini. Bagi setiap orang. Dan kita hanya perlu menanti dengan sabar. Dengan tetap mempertahankan semangat hidup yang telah dianugerahkan kepada kita. Kita semua.

Lihatlah dunia yang diterangi cahaya purnama itu. Resapkanlah kedamaian yang menyapa engkau. Nikmatilah ketenangan dalam terang yang membuat alam seakan lelap dalamnya. Bukankah kita telah memiliki segala kepermaian itu dengan cuma-cuma? Bukankah kita hanya perlu menikmati dan menyadari kehadirannya yang menakjubkan? Waktu bagi dunia hanya sekedar jalan, ke depan tanpa perlu disesali, tanpa perlu merasa kecewa dan sakit hati. Sebab siapakah yang mampu untuk menahan kehadiran sang purnama? Dia akan muncul sesuai dengan waktu yang dimilikinya.

Setiap kehadiran kita tidak hanya memiliki masa kelam, tetapi juga masa terangnya sendiri. Hidup hanya perlu dibiarkan mengalir sesuai dengan kodratnya. Hidup hanya butuh kesempatan untuk tetap ada dan tetap berlangsung. Maka purnama yang tiba segera akan menyapa kita, segera akan membawa kembali harapan yang hilang. Kita selalu punya kesempatan untuk berguna. Untuk berarti. Tak ada yang sia-sia di dunia ini selain dari ketidak-sabaran kita dalam menghadapinya.

Memangnya siapakah kita sehingga menginginkan segala sesuatu berjalan dengan sempurna? Bukankah kita hanya perlu menyadari keberadaan kita dalam eksistensi alam semesta ini? Dan semuanya berjalan sesuai dengan perputaran yang telah pasti? Bagai roda yang berputar menuju ke satu tujuan pasti, kita kadang berada di atas kadang di bawah, dan selama kita masih hidup, selama itu pula kita tak dapat menghindari situasi tersebut. Tetapi pada saatnya nanti, kita akan tiba di tujuan dimana kita dapat beristirahat dalam ketenangan yang abadi.

Setiap purnama tiba selalu membawa pesan bahwa, ada yang tak pernah bisa dihentikan. Bahwa dia akan tetap selalu hadir. Jika saatnya telah tiba. Dan sama seperti rembulan itu, harapan pun menjadi purnama yang indah jika kita setia mempertahankan semangat rembulan kita. Ya, rembulan adalah semangat dan purnama adalah harapan yang akan terwujud jika kita setia dalam meyakini kehidupan kita di alam semesta ini. Dan seperti roda yang terus berputar, kita mengarah ke satu tujuan pasti. Di sanalah kita akan membuktikan kebenaran keyakinan kita semua.

Tonny Sutedja

23 April 2013

ALASAN


Inilah negara yang para pejabatnya mempunyai ribuan alasan atas ketidak-mampuan dan kegagalan pada tugas dan kewajibannya. Inilah negara yang kehilangan rasa tanggung-jawab atas kekuasaan yang dimilikinya. Dan dengan dalih berbagai alasan itulah, kekacauan nampak seakan-akan hanya sebuah proses penundaan. Dan korupsi seakan-akan hanya sekedar kelalaian belaka. Kekerasan pun seakan-akan hanya tindakan yang tidak disengaja atau tidak direncanakan. Alasan menjadi dalih untuk lari dan lepas tangan dari ketidak-mampuan menguasai persoalan yang wajib dihadapi.

Entah mengapa, kita tidak khawatir dengan keadaan ini. Entah mengapa, kita dengan enteng merasa tidak perlu peduli dengan kondisi tersebut. Walau jelas, selalu ada yang dikurbankan atas setiap kegagalan yang terjadi, kita tetap merasa berhasil dan sukses serta menafikan segala kekisruhan dan korban yang diakibatkannya. Pantaskah itu semua menjadi satu kebiasaan? Bagaimana kita dapat memperbaiki diri jika kita menolak menerima kenyataan yang ada? Dan selalu bersembunyi di balik alasan kesalahan tehnis yang seharusnya dapat kita atasi jika saja sejak awal, sebelum kekacauan terjadi, kita dapat mengetahuinya? Dan layakkah kita saling menyalahkan, saling mencari kambing hitam atas segala kejadian yang seharusnya dapat dicegah jika kita mau berusaha dan tidak asal menerima laporan dari balik meja saja?

Berhentilah untuk mencari-cari alasan pembenaran diri. Berhentilah untuk saling melempar tanggung-jawab dan saling menyalahkan atas kegagalan kita sendiri. Memang, tak ada yang sempurna di dunia yang tidak sempurna ini. Tetapi juga, semua ketidak-sempurnaan dapat ditekan se-minimal mungkin jika kita mau berusaha sedikit lebih keras. Jika kita memahami tugas dan pekerjaan kita. Jika kita mau belajar dan mau memikirkan suara-suara lain selain dari pikiran kita saja. Sebab kita tidak sendirian hidup. Sebab setiap perbuatan dan keputusan kita selalu akan punya dampak terhadap banyak orang, maka seharusnya pula kita mau dan harus menerima dan memikirkan pendapat dan saran lain yang berbeda dengan pemikiran kita. Dengan demikian, kita baru punya alasan jika nantinya kita gagal menyempurnakan apa yang harus kita lakukan. Kekerasan hati memang bukan obat yang manjur apalagi bersembunyi dibalik ribuan alasan serta melempar tanggung-jawab kepada mereka yang tidak punya kekuasaan untuk itu.

Tetapi demikianlah yang terjadi. Kita tetap kukuh pada pemikiran kita, entah karena memang kita merasa pemikiran kita itu untuk kepentingan umum ataukah karena sebab-sebab lain yang hanya kita sendiri yang ketahui, dan menolak pandangan orang lain tetapi kemudian mengurbankan ribuan orang tanpa merasa bersalah sedikitpun. Tanpa rasa salah sedikitpun. Kita merasa kegagalan kita hanyalah akibat kegagalan orang lain. Kita bahkan mungkin merasa menjadi kurban atas nasib banyak orang tanpa menyadari bahwa sesungguhnya kitalah yang punya kekuasaan dan kemampuan untuk menghindarkan sesama kita dari kekacauan itu. Kita dengan enteng bersembunyi di belakang ribuan alasan tanpa mau tahu betapa telah terjadi kerusakan moral dan keterlambatan waktu akibat kegagalan kita sendiri. Pantaskah itu?

Tonny Sutedja

20 April 2013

KADANG MAAF SAJA TIDAK CUKUP


Hari belum lagi siang saat aku berjumpa dengan seorang siswa SMA, tetanggaku, yang setahuku saat itu sedang mengikuti Ujian Nasional. Wajahnya tampak murung atau bahkan sedikit kesal. Maka aku bertanya padanya,
Ada apa? Bagaimana hasil UN hari ini, nak?”
“Tidak ada UN hari ini, om. Guru bilang soalnya belum datang dari Jakarta...”
Kok bisa, jadi kapan UN?”
“Tidak tahu. Tunggu kabar saja kalau soal sudah tiba....”
Oo, jadi kalian disuruh menunggu dalam ketidak-pastian?”
“Begitulah, om...”
Saat itu aku merasa terkejut. Tetapi kemudian setelah mengikuti berita-berita dari media cetak dan media online, aku lalu mengetahui betapa UN tahun 2013 ini sungguh sangat kacau balau. Soal terlambat dicetak dan terlambat dikirim sehingga untuk sebagian daerah terpaksa harus ditunda. Dan lebih menyedihkan lagi, pihak yang seharusnya bertanggung-jawab malah saling menyalahkan. Kejadian ini menusuk tepat di jantung utama proses menuju kemajuan negeri ini: pendidikan.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh pejabat yang berwewenang di pusat, tetapi aku merasa kehilangan satu hal: nurani. Bagaimana bisa kita menyepelekan perasaan ribuan atau malah puluhan ribu siswa-siswi kita? Apakah pejabat yang berwewenang di pusat tidak punya anak-anak yang sedang bersekolah? Ataukah, karena mampu, maka anak-anak kebanyakan telah disekolahkan ke luar negeri sehingga mereka dengan ringan lepas tangan dari situasi dan kondisi anak-anak bangsa lain hanya karena kepentingan pribadi atau kelompok? Mengapa demikian mudah kita mengeluarkan pendapat seolah-olah keterlambatan dan kekisruhan ini hanya sekedar masalah tehnis yang terjadi karena tidak terduga? Bukankah UN seharusnya sudah menjadi agenda tahunan tetap yang karena itu dapat dipersiapkan dengan matang dan bertanggung-jawab?

Dan semakin mengesalkan lagi ketika mengetahui betapa lembaran ujian yang terkirim ke daerah ternyata tidak cukup sehingga pemerintah lokal terpaksa harus memperbanyaknya dengan foto-copy-an atas biaya sendiri. Dana besar yang telah dikeluarkan dari APBN apakah tidak cukup sehingga hanya sejumlah itu yang dapat dicetak? Dimanakah letak kesalahan prediksi jumlah lembaran soal hingga jumlah cetakan jauh lebih sedikit daripada jumlah siswa-siswi yang ada? Mengapa bisa terjadi demikian? Dan apakah tidak dipikrkan betapa proses perbanyakan kertas soal dan lembar jawaban itu tidak membuka lebar kemungkinan bocornya soal itu keluar? Lalu apa tanggung jawab pihak berwewenang atas segala kekisruhan itu?

Memang, menteri pendidikan dan kebudayaan telah meminta maaf atas kekisruhan yang terjadi ini tetapi cukupkah hanya dengan kata maaf lalu membiarkan segalanya berjalan dengan sendirinya? Bagaimana kita bisa menobati perasaan kesal dan kecewa yang telah tertanam dalam kenangan anak-anak itu? Kenangan yang mungkin dapat menjadi awal mula sikap menggampangkan segala tugas dan kewajiban mereka kelak? Generasi demikiankah yang ingin kita ciptakan? Aku tidak tahu dan tidak memahami saat kalimat ‘penundaan ujian nasional juga merupakan ujian bagi kementerian yang bersangkutan’ sebab menurutku, ini bukan ujian bagi mereka tetapi tugas yang rutin dan sebab itu seharusnya dapat dilaksanakan dengan setiap tahun menjadi lebih baik karena belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan bukannya setiap tahun makin buruk. Makin amburadul.

Maka mengikuti proses pelaksanaan UN tahun 2013 ini, aku merasa sedih. Betapa seringnya kita menggampangkan semua hal. Betapa hanya dengan kata maaf saja maka semuanya bisa dimaklumi. Betapa perasaan anak-anak, baik yang sedang mengikuti UN maupun yang akan mengikutinya kelak, dianggap sama sekali tidak berarti apa-apa. Dan ketika pejabat yang berwewenang hanya berkutat pada masalah tehnis belaka, mereka melupakan moral dan etika dari generasi yang kelak akan menjadi pengganti mereka. Maka janganlah menyalahkan situasi kelak yang akan mereka terima karena asal mula segalanya sungguh berasal dari mereka juga. Sungguh menyedihkan melihat betapa anak-anak selalu dikurbankan, terutama anak-anak di daerah pedalaman yang jauh dari pusat. Di daerah yang mungkin tak pernah dikenal oleh pejabat tersebut. Daerah dimana para siswa-siswi harus berjuang setiap hari hanya untuk dapat bersekolah. Hanya untuk dapat menjadi orang yang lebih dalam mengetahui sesuatu. Dan yang didapatnya dari perjuangan itu ternyata hanya ketidak-pedulian. Maka kadang kata maaf saja tidaklah cukup. Sungguh tidak cukup.....

Tonny Sutedja

X


Pagi ini demikian dingin. Hujan turun dan terang belum juga tiba. Jalanan sepi, sesepi hatiku. Dan kunikmati keheningan sebelum fajar tiba, sebelum lalulalang kendaraan mengurainya. Suara rintik hujan dan hembusan angin tak mampu mengusir sepi yang menggigit jiwa ini. Entah mengapa, terasa ada sesuatu yang terasa lembut menyapa hatiku. Sesuatu yang demikian samar sehingga kadang hanya sayup-sayup menyentuh perasaanku. Keheningan memang selalu menimbulkan suatu yang intim saat kita berada bersamanya.

Hidup selalu memiliki faktor X dalam kesadaran kita saat kita berada dalam suasana hening. Dimana tak ada sesuatu yang mengusik renungan kita. Dan selama kita berani untuk menghadapi diri kita, berani untuk meninjau segala sikap dan perbuatan kita, maka kita akan menemukan kejujuran dalam nurani kita sendiri. Apa yang salah, apa yang benar dan bahkan apa yang kita ragukan, akan membuat kita berpikir betapa terbatasnya kemampuan kita. Betapa keinginan kita sering tak sejalan dengan kenyataan yang kita jalani. Tetapi memang begitulah adanya.

Kita semua hidup dalam kesendirian. Kita semua memiliki kesadaran dan sebab itu, tidaklah layak kita hanya meyakini sesuatu karena sesuatu itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi orang banyak. Sebab kita tidak tahu, atau mungkin tidak sadar, betapa pun banyaknya manusia di dunia ini, masing-masing pasti memiliki pemikiran sendiri yang tak dapat dan tak mungkin dapat kita kenali secara utuh. Demikianlah diri ini hanya setitik noktah dalam alam kehidupan yang maha tetapi titik itu sesungguhnya adalah pusat dari kehidupan itu sendiri. Sebab tanpa kita, tanpa kesadaran yang kita miliki, sesungguhnya alam kehidupan hanya sesuatu yang hampa dan kosong.

Maka di pagi yang dingin ini, kala hujan turun mengusir kabut dini hari, aku menemukan diriku dalam keheningan yang demikian tenang. Dan damai. Segala pengalaman hidup, segala kenyataan yang ada, terasa hanya sayup-sayup dan makin menjauh dalam waktu yang lewat. Dan walau hidup ini terasa demikian meletihkan, ketika langkah-langkah yang kulalui setiap hari terasa demikian terseot-seot, ada sesuatu yang tetap menjadikan kita semua tetap ingin dan harus menjalaninya: Semangat. Hidup memang selalu memiliki faktor X yang tak mungkin kita tolak atau abaikan. Jadi hiduplah bersama kenyataan yang ada.

Tonny Sutedja

07 April 2013

GELOMBANG


Wanita itu berdiri sambil memegang pagar kapal. Matanya menatap ke gelombang laut yang mengalun tenang. Sementara langit nampak cerah dan sedikit berawan. Kapal melaju dengan cepat dan di sekeliling hanya nampak laut membiru seakan tanpa ujung. Seakan tanpa akhir. Ada keheningan yang menenangkan hati. Angin berhembus dengan kencang menerpa wajah dan beberapa orang lainnya sedang berkumpul di atas dek sambil mengobrol entah apa. Sungguh, waktu di atas kapal sering terasa berjalan dengan lambat. Amat lambat.

Sebuah pelayaran kadang menjadi kesempatan untuk merenungi hidup yang telah kita lintasi. Dan merasakan betapa semua yang telah terjadi berlangsung bagai gelombang, naik turun, tetapi tetap melaju ke depan. Dan lihatlah pada wajah-wajah yang ada di sekeliling kita. Wajah yang asing tetapi juga akrab. Asing karena kita mungkin belum pernah mengenali mereka. Akrab karena di atas kapal ini, kita sadar bahwa kita menyatu nasib dalam melewati perjalanan yang sama. Seiring dan sejalan. Sementara gelombang membawa lamunan kita jauh dari tempat kita berada sekarang, secara fisik kita selalu bersama.

Wanita itu menatap lurus ke depan. Entah apa yang ditatapnya. Pada laut biru yang seakan tanpa bataskah? Pada langit biru yang seakan tanpa ujungkah? Ataukah dia sesungguhnya tidak menatap apa-apa karena lamunannya telah melayang jauh ke sudut-sudut bumi yang tak kita kenali? Entah. Sama seperti pikiran kita masing-masing terasing jauh satu sama lain walau secara fisik kita saling berdekatan, sesungguhnya selalu ada kabut tebal yang membentengi setiap insan. Kabut yang mungkin tak tembus pandang. Sebab kita hidup dalam kesadaran kita masing-masing. Sebab kita mempunyai pemikiran atas pengalaman yang berbeda. Tetapi di geladak kapal ini, menemukan bahwa ada yang terasa akrab. Ada yang terasa demikian menyentuh kalbu.

Betapa terbatasnya kita. Baik dalam waktu maupun dalam tempat. Betapa kecilnya area yang kita butuhkan untuk hidup dan berkembang. Tetapi dilain sisi, betapa luasnya angan dan pemikiran kita yang sanggup melayang jauh ke sudut-sudut yang bahkan tidak kita kenali sebelumnya tetapi ingin kita datangi. Kebahagiaan dalam lamunan adalah, tak ada batas yang membentengi kita. Dan kita hanya perlu merasakan dan melarutkan diri dalam gelombang yang bergerak. Terus bergerak seakan tanpa akhir. Begitu pula kita yang menyadari betapa keterbatasan waktu dan ruang samasekali tidaklah menghambat perjalanan imajinasi kita sendiri. Dalam pikiran, ruang dan waktu hanya sekedar sesuatu yang seakan tak terasakan. Cukup dialami.

Wanita itu. Diri ini. Kami. Kita. Semua memiliki sisi-sisi yang tak tertebak. Semua ada dalam satu kapal yang sama tetapi tidak dalam satu pikiran yang sama. Semua menikmati alun gelombang yang sama tetapi tidak akan sama dalam memahami makna gelombang itu. Kita ada dan kita bersama dengan pikiran masing-masing yang setiap saat mencari diri kita sendiri. Dekat tetapi jauh. Akrab tetapi juga asing. Dan gelombang terus membawa kapal ini melaju ke depan. Meninggalkan buih-buih putih di belakang kami semua. Dan jauh, jauh di depan, hamparan horison langit bersua dengan laut. Tak berbatas. Menyatu. Membaur.

Pada akhirnya kita semua memiliki satu tujuan. Dan menyadari bahwa pada akhirnya semua manusia akan menuju ke batas yang sama. Saat itu, entah kapan, kita masing-masing akan menyadari betapa kita ini hanya insan-insan yang sebelumnya mencari lalu akan menemukan suatu kebenaran sejati. Sebuah kebenaran sejati bahwa nasib kita pasti akan saling bertaut di pelabuhan yang sama. Saat kapal yang membawa kita sekarang telah membuang sauhnya. Saat sebuah daratan telah muncul dari balik cakrawala yang tadinya nampak seakan tak punya batas. Semuanya ternyata memiliki batas. Semuanya memiliki waktunya. Semuanya akan tiba di pelabuhan yang sama. Dan kulihat wanita itu mengibaskan rambutnya. Dia, entah mengapa, lalu tertawa sendiri. Kapal terus melaju. Waktu terus berjalan. Dan kita semua berdiam diri.....

Tonny Sutedja

KEINGINAN


Jika saat ini anda ditanya apakah keinginan yang anda harapkan, yang setelah meraihnya, anda tak akan memiliki keinginan lain lagi, dapatkah anda menjawabnya dengan pasti? Tidak, saya ragu. Sebab kita selalu punya keinginan yang susul menyusul. Jika keinginan satu telah tercapai, akan datang pula keinginan lain. Seperti kata seorang teman, keinginan itu seperti hari esok, selalu datang tetapi tidak pernah tiba selama kita masih ada di dunia ini. Selama kita masih hidup.

Keinginan memang menciptakan kemajuan. Keinginan memang membuat dunia ini berkembang dan selalu berkembang. Dan dia tidak pernah sempurna. Dan tidak akan pernah selesai. Jika tidak, kita mungkin tidak lagi hidup. Atau hidup akan selalu berada dalam lorong gelap tanpa kemajuan sama sekali. Namun, keinginan juga sering atau bahkan selalu menciptakan ketidak-stabilan. Keinginan bahkan mampu membuat kekerasan, pembunuhan dan perang. Demikianlah, setiap keinginan selalu bisa baik dan bisa buruk. Tetapi dapatkah kita mencegahnya tanpa kita merasa hampa tak berguna bahkan merasa mati? Sebab tanpa keinginan, manusia hanya berupa mahluk dan bukan insan. Hanya robot tanpa pemikiran.

Maka keinginan kita, walau terkadang dapat menakutkan namun tak dapat dihentikan tanpa merusak hidup kita. Walau tentu, dengan upaya sukarela, kita tetap dapat mengekangnya sebisa yang kita mampu. Dan karena keinginan kita bisa tidak terbatas, kita sendirilah yang harus menyadari kemampuan kita yang terbatas. Bahwa tidak semua yang kita inginkan dapat dan harus tercapai. Bahwa tidak semua hasrat dan ambisi kita harus dapat kita raih. Sebab keinginan berasal dari pikiran yang tak terbatas namun perasaan kita sesungguhnya mampu membuat kita menyadari apa yang bisa dan apa yang tak bisa kita raih.

Untuk itulah kita butuh kesadaran diri. Untuk itulah kita perlu memahami kemampuan kita sekaligus mencoba untuk memahami pandangan di luar diri kita. Sebab kita hidup tidak sendirian. Tidak hanya sendirian. Maka kita harus bijaksana dalam berkeinginan. Tetapi kebijaksanaan itu tidak perlu membuat kita takut untuk memiliki keinginan sendiri. Tidak perlu membuat kita gentar dan pada akhirnya memendam kemampuan kita sendiri. Sebaliknya, kadang ada hal-hal yang dapat dan harus dilakukan untuk membuat terobosan saat suasana kehidupan sedang buntu seakan tak ada jalan keluar. Dan sungguh, itulah kemampuan seorang manusia yang paling luar biasa. Berpikirlah, pahamilah dan lakukanlah jika memang harus. Selebihnya, serahkanlah kepada Tuhan apapun hasilnya nanti. Apapun juga.

Tonny Sutedja

06 April 2013

MALAM MINGGU


Waktu berdetik. Tik. Tik. Terasa sepi. Dan hampa. Walau kendaraan di luar, lalu lalang dengan ramai. Aku menunggu. Entah apa. Mungkin ilham. Mungkin pula kantuk. Tidak jelas. Hidup berjalan lambat. Seakan tak bermakna. Kata dan kata. Tenggelam. Di luar. Di dalam. Mencari tapi tak menemukan. Sepi. Hanya sepi. Hidup bagai mimpi. Mengalir terus mengalir. Entah kemana. Tak tahu. Waktu berdetik. Tik. Tik.

Dan kunyanyikan sebuah lagu. Tentang apa saja. Tentang malam. Tentang bulan. Tentang angin. Tentang bintang. Dan cinta. Dan cinta. Tergagap di depannya. Membisu. Membius. Mengalun dalam hening. Seakan penawar duka. Tetapi. Sepi dan jiwa menyatu dalam kelam. Dan walau tangan menggapai. Walau kalbu menjerit. Kaukah itu? Tahukah kau? Sosok-sosok hampa yang berdiri di tengah jalan. Menunggu. Menunggu. Entah apa. Entah siapa.

Maka waktu dan lagu membaur menyatu. Dalam kalbuku yang koyak. Berapa panjang kenangan telah lewat. Jejak-jejak mulai menghilang. Dan bayangan kian memanjang. Memasuki mimpi. Mencoba mengusir lara. Tapi tak sanggup. Sebab waktu. Sebab lagu. Sebab diri ini. Nyata. Dan tak mungkin ditepis begitu saja. Tak mungkin dilepas begitu saja. Maka sepi. Dan musikmu. Beriring bersama waktu. Tik. Tik. Tik.

Tonny Sutedja

05 April 2013

DUA SEJOLI


Pernahkah kau menyaksikan panorama ini: Saat langit diliputi awan tebal dan gelap, matahari muncul dari sela-selanya sambil menyinarkan cahayanya yang demikian indah dan luar biasa menakjubkan. Dengan langit dipenuhi warna kelabu dan jingga keemasan, keduanya nampak bagaikan dua sejoli yang demikian akrab, saling isi mengisi dan tak terpisahkan. Dan sesekali, awan bergerak menutupinya, tetapi sejenak kemudian dia muncul kembali dengan sinar yang sama tetapi dengan warna putih cemerlang menusuk mata seakan hanya berkedip pada bumi yang merindukannya. Merindukannya.

Dan cobalah menikmati ini: Saat malam lewat dan fajar tiba, berdirilah merasakan kehangatan cahayanya sambil menghirup kesegaran udara yang belum dipenuhi asap knalpot kendaraan dan polusi dari industri yang masih tertidur lelap. Betapa kehangatannya masuk ke dalam tubuhmu, menyusup ke dalam rasamu dan mengalir ke seluruh ragamu seakan sebuah aliran yang membuat semangatmu bangkit dan menikmati indahnya hidup ini. Indahnya hidup ini.

Demikianlah, setiap saat hidup selalu punya momen yang demikian menakjubkan sepahit atau sekeras apapun hidup ini. Saat setiap pagi, kita terbangun, lalu membaca koran pagi dimana dunia nampak demikian suram dan tak punya harapan, dimana kekerasan, ketidak-adilan, kemiskinan, kelaparan, penderitaan, pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian dan segala macam berita buruk lainnya memenuhi halaman berita pagi itu, dan hati kita diliputi keprihatian mendalam, alam semesta tetap membagikan semangatnya kepada dunia ini. Kepada kita.

Dunia tak pernah bosan kepada kita, sama seperti Tuhan tak pernah meninggalkan kita. Tetapi jika kita merasa bahwa Tuhan telah meninggalkan kita, janganlah salahkan Dia. Manusia mengubah dunia ini sesuai dengan kehendaknya sendiri, semua dibuatnya kacau, bahkan sering atas nama-Nya. Padahal yang sesungguhnya adalah demi untuk kepentingan dirinya sendiri. Tuhan tak pernah meninggalkan kita, tetapi justru kitalah yang meninggalkan-Nya, tetapi anehnya atau malah lucunya, kita merasa bahwa Tuhan telah meninggalkan kita. Sungguh ironi.

Kebaikan dan kejahatan. Sungguh semua itu tidak tergantung pada Tuhan tetapi justru pada manusia itu sendiri. Yang diberikan-Nya setiap hari adalah kesempatan untuk hidup, kesempatan untuk berbuat baik, kesempatan untuk saling membagikan berkat dan karunia yang kita miliki, bukannya saling memaksakan kehendak, bukannya untuk saling menghancurkan agar ada yang menjadi pemenang, bukannya untuk saling meniadakan satu sama lain. Tidak. Kebaikan dan kejahatan, dua sejoli yang berjalan seiring bagaikan awan mendung dan cahaya matahari dengan pilihan sepenuhnya ada di tangan kita. Sepenuhnya ada di tangan kita. Tuhan telah memberikan kita kesempatan untuk memilih maka pilihan itulah yang akan menentukan hidup kita kelak. Tuhan menyayangi manusia, sayang manusia tidak saling menyayangi satu sama lain, dan karena itu pun tidak menyayangi Tuhan yang menciptakannya. Sayang sekali.

Tonny Sutedja

SIKAP

Sikap kita sungguh menentukan hidup yang sedang kita jalani. Begitulah adanya. Ada orang-orang nampak demikian taat dalam beragama, suatu saat mengalami guncangan dalam hidupnya. Perasaannya demikian pedih. Kesusahannya demikian dalam. Dan semua dibawanya ke dalam doa. Mencari jawaban. Meminta harapan. Tetapi Tuhan seakan-akan tak mendengar. Tuhan seakan-akan diam membeku. Dan doanya hanya menjadi semacam hapalan tak bermakna yang setiap hari dilantunkannya dengan tak berguna. Perasaannya pun kecewa. Dan sedih. Dan pilu. Dan menjurus ke putus asa.

Aku merasa doaku tak pernah dikabulkan Tuhan” katanya kepadaku. “Aku merasa bahwa Tuhan telah meninggalkan aku saat itu. Ya, saat itu. Tak ada pertolongan datang dari orang-orang yang kuharapkan membantuku. Tak ada bantuan datang dari mereka yang kuharapkan dapat menolongku keluar dari permasalahan ini...”. Dia diam sejenak, memandangku dengan tenang. “tetapi kemudian aku mulai memikirkan kembali sikapku. Memikirkan kembali perasaanku dan situasi yang membelengguku. Memang, aku memiliki sikap yang praktis. Menyukai orang-orang tertentu dan membenci orang-orang yang kuanggap tidak baik. Dan ketika berdoa kepada Tuhan, aku mengharapkan agar doa-doaku dijawab sesuai dengan harapanku sendiri....”

Tetapi ternyata, saat mereka yang tidak kusukai menawarkan bantuan, ketika orang-orang yang kubenci menawarkan jalan keluar dari permasalahanku, aku telah menolaknya. Intinya, aku hanya ingin bantuan yang kuharapkan datang dari mereka-mereka kusenangi dan kuharapkan saja. Bukan dari mereka yang tidak kusukai. Ternyata, Tuhan memiliki cara lain dalam menjawab doaku. Sedang aku menginginkan agar Tuhan membantuku sesuai dengan keinginanku sendiri. Dan saat itulah aku merasa, betapa aku berdoa untuk mendikte Tuhan, bukan untuk memohon bantuan sesuai dengan kehendak-Nya tetapi meminta bantuan sesuai dengan kehendakku sendiri...”

Tetapi siapakah aku ini sehingga dapat mendikte kehendak Tuhan? Mengapa aku harus mengubah Tuhan dan bukannya mengubah diriku sendiri? Mengubah sikapku terhadap sesama manusia? Terutama mengubah sikapku kepada mereka-mereka yang tak pernah kuperhitungkan sebelumnya? Mengapa aku harus bertegar diri pada sikap penolakanku terhadap bantuan dari orang yang tidak kusenangi? Dan tetap menunggu dan mengharapkan bantuan hanya dari mereka-mereka yang kuinginkan saja? Tidakkah Tuhan punya cara tersendiri dalam menjawab doa dan harapanku? Demikianlah, lama aku merenungkan hal itu....”

Jelas kemudian, bagiku, Tuhan ternyata bukan tidak menjawab doaku. Ya, Tuhan bukan mendiamkan dan menulikan diri-Nya atas segala harapanku di saat-saat kesulitan yang sedemikian dalam membelenggu hidupku. Tuhan menjawab-Nya, tetapi akulah yang menolak jawaban-Nya karena tidak sesuai dengan apa yang kupikirkan. Ketika Tuhan membimbing orang-orang yang kubenci datang untuk mencoba menolong diriku, aku menolak mereka, karena kupikir itu bukanlah keinginan Tuhan. Padahal sesungguhnya itu bukanlah keinginanku. Kini, aku sadar, bahwa sering setiap doa kita akan dikabulkan dengan cara yang sama sekali tidak kita pahami. Yang sama sekali diluar dari keinginan kita. Sebab Tuhan menjawab doa kita hanya dengan satu pertimbangan, ya hanya satu saja: kita dapat merubah sikap kita terhadap sesama. Tanpa rasa bendi. Tanpa rasa ketidak-sukaan. Dengan demikian, Dia akan datang dalam diri mereka yang kita tolak...”

Belajarlah dari pengalaman hidup ini, kawan. Belajarlah dari pahamilah bahwa, tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginan kita sendiri. Sering kita sendiri yang harus berubah sebelum menemukan jawaban atas segala permohonan kita. Ya, kita harus mempertimbangkan sikap kita sebelum merasa kecewa karena apa yang kita harapkan, apa yang kita mohonkan, dapat dikabulkan. Karena apa yang kita minta akan diberikan. Tetapi sesuai dengan kehendak-Nya. Bukannya sesuai dengan kehendak kita. Ingatlah kalimat indah ini: “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu”. Bukan menurut kehendak kita sendiri. Bukankah demikian?”

Aku memandang padanya dengan terpesona. Dan aku sungguh-sungguh merasa betapa benarnya kata-kata itu. Maka kini aku ingin membagikan kepada kalian kalimat indah itu. Kepada siapa pun yang saat ini merasa betapa sia-sianya berdoa, betapa setiap doa yang kita mohonkan setiap saat seakan lenyap begitu saja tanpa terjawab, mungkin bukan karena Tuhan tidak menjawab doa kita, tetapi karena sikap kita sendirilah sehingga kita gagal melihat jawaban Tuhan atas doa kita. Maka cobalah merenungkan sikap kita sebelum mempersalahkan Tuhan. Cobalah merenungkan memikirkan kembali bahkan dari mereka-mereka yang sangat tidak kita senangi, siapa tahu jawaban atas doa kita justru datang dari mereka itu. Dan jika kita sadar, marilah merubah sikap hidup kita. Marilah menyadari bahwa semua yang indah akan datang jika kita menghilangkan segala prasangka kita terhadap orang lain. Bahkan terhadap mereka yang kita anggap sebagai musuh. Sebagai lawan. Atau saingan.

Sikap kita sungguh menentukan hidup kita. Dan setiap doa yang kita panjatkan mestinya berawal dari keinginan kita untuk merubah diri. Merubah sikap. Dan bukannya memaksa Tuhan untuk mengabulkan doa kita sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tidak. Tuhan akan memberikan kita jalan, tetapi kitalah yang mesti melangkah. Kitalah yang meminta Tuhan maka kita pula yang harus menerima apa yang akan diberikan-Nya. Bukannya mengharapkan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah Firman Tuhan (Yes 55:8)...”

Tonny Sutedja

DI BATAS CAKRAWALA


Kita tahu bahwa semua kehidupan pasti memiliki akhirnya masing-masing. Dan apa yang kita jalani sama dengan memandang batas cakrawala yang sering membuat kita terpesona tetapi sering pula membuat kita meneteskan air mata. Sungguh, semua memiliki waktunya sendiri-sendiri. Melangkahi jalan setapak dengan kaki yang terseret-seret. Mendaki dan menurun. Menuju titik dimana akhir menanti dalam diam.

Dan di atas sini, mega berarak, kadang selembut kapas kadang pula sekeras badai. Tak ada yang tahu apa dan bagaimana masa depan itu. Tak ada yang dapat memastikan kemana dan untuk apa? Angin berhembus perlahan lalu berputar deras menjadi taifun. Kita masing-masing memandang cakrawala yang sama walau dengan suasana dan situasi yang berbeda. Dan hamburan tawa atau isak tangis, apakah bedanya? Di batas cakrawala, kita pasti punya akhir masing-masing.

Sebab memang, kita masing-masing memiliki hidup. Tetapi hidup sendiri bukan milik kita semata. Indahnya saat mawar mekar dan redupnya saat kelopaknya mulai berguguran ke bumi. Dalam diam. Dalam bisu. Bagaimana dapat kau lukiskan panorama yang demikian indah tanpa merasakan sejuknya udara, hembusan angin, suara percik air dan nyanyian burung-burung? Bukankah semua itu demikian berharga, justru di saat-saat terakhir ketika kita akan pergi?

Maka memang, walau jalan yang kita tempuh ini terasa demikian beringsut pelan, demikian beronak sehingga menusuk kulitmu, demikian terjal dan penuh tantangan, selalu ada dan hadir keindahan yang tersembunyi yang sering tak kita sadari hingga saatnya kita harus kehilangan dia. Hidup adalah sesuatu, kawanku. Hidup memang selalu sesuatu. Dan sesuatu itulah yang harus kita jangkau sebagai sebuah keseluruhan. Di batas cakrawala, segalanya tak berbatas lagi.

Pada akhirnya, jika kita harus pergi. Jika semuanya harus ditinggalkan. Tataplah langit dan bumi yang menyatu dalam cakrawala hidupmu. Dan saksikanlah betapa menyatunya alam semesta ini dalam satu paduan warna yang mempesona. Nikmati pula kesegaran suasana yang mengelilingimu. Sambil bersyukur. Sambil bernyanyi. Sambil tertawa riang. Sambil meneteskan air matamu. Sambil berbisik pada dunia ini: Sungguh, betapa aku rindu padamu. Rindu padamu.

Tonny Sutedja

01 April 2013

ORKESTRA WAKTU


Sering kita tidak menyadari betapa cepatnya waktu berjalan. Benih pohon yang kita tanam mendadak sudah tumbuh menjadi pohon yang rimbun. Bayi yang dulunya demikian kecil dan ringkih mendadak telah menjadi anak yang lincah dan tak berhenti bergerak. Ya, sering kita tidak menyadari betapa cepatnya waktu berjalan. Walau sesekali kita pernah merasakan betapa lambatnya waktu saat kita menantikan sesuatu atau saat kita sedang menunggu seseorang, itu hanya penggalan kecil dari perjalanan kehidupan kita hingga saat ini. Dan tiba-tiba kita pun menua. Menua.

Kita dan waktu. Dua sejoli yang berjalan beriring. Kita dan waktu. Menyatu dalam kesadaran kita. Waktu ada karena kita ada. Tanpa kita, waktu pun lenyap. Sebagaimana lenyapnya kesadaran kita. Maka siapa pun yang ingin menguasai waktu haruslah menguasai kesadarannya sendiri. Dan setiap orang memiliki waktunya sendiri. Setiap orang memiliki kesadaran bahwa dia hidup dan hanya hidup dalam dan bersama waktunya sendiri. Dan siapa saja yang berpikir bahwa dia kekurangan waktu mesti menyadari bahwa dia pun kekurangan kesadaran dalam mengalami dan menjalani hidupnya.

Kita menjalani waktu sebagaimana kita menjalani perasaan dan pemikiran kita. Bersama waktu kita ada. Bersama waktu kita nyata. Dan kelak, saat kita kehilangan waktu, kita pun kehilangan semua yang kita miliki. Dan saat itu, kita tahu bahwa, ada kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa kita bayangkan saat ini tentang apa yang akan kita alami. Sebab, saat waktu lenyap, tinggal hanya harapan yang telah kita pupuk dalam hidup bersamanya. Tetapi sebagaimana benih yang kita tanamkan, kita baru akan menuai hasilnya saat waktu telah melewati kita. Maka apakah kita akan tumbuh menjadi pohon yang rimbun atau merangas dan tak berguna, semua tergantung pada apa yang telah kita tanamkan saat kita masih bersama waktu. Selama kita masih memiliki kesadaran akan keberadaan kita.

Rasakanlah angin berhembus yang membelai kulitmu. Resapkanlah udara segar yang memenuhi dadamu. Nikmatilah warna langit saat fajar menyingsing atau di senja menjelang malam tiba. Kita semua hidup bersama waktu dengan dunia yang indah dan mempesona di sekeliling kita. Kita semua dapat menggapai semua keindahan dan menikmati semua perasaan yang membuai batin kita. Dan jika mau, dalam diam, resapkanlah semua di dalam hatimu sebagai kenangan indah selama kita masih memilki dan bersama sang waktu. Kecemerlangan kehidupan hanya dapat kita raih selama kita mau menyadari keberadaan kita bersamanya. Maka sungguh, bukan keinginan, bukan segala ambisi atau nafsu yang membuat hidup ini indah. Bukan itu. Segalanya dapat dan akan hilang pada akhirnya. Tetapi kenangan pada dunia, keindahan pada alam, kesegaran pada udara, keheningan dalam hidup. Itulah hal-hal yang sungguh indah jika kita mau meresapkan dalam jiwa kita. Jika kita mau, karena kita semua pasti bisa. Kita semua bisa.

Waktu dan kita. Keberadaan kita. Kesadaran kita. Sungguh adalah nyala semangat kehidupan yang utama. Dan bersamanya kita melihat semua keindahan dunia dengan segala perbedaan yang demikian indah dan mempesona. Dengan segala keragaman yang demikian unik satu sama lain sebagaimana harmoni musik indah dalam orkestra hidup. Dengan beragam alat musik. Dengan beragam suara dan nada. Dan waktu serta keberadaan kitalah yang mampu membuat semua hal itu nyata. Yang mampu kita saksikan dan rasakan. Dan dalam beragam insan yang kita temui dalam hidup inilah kita dapat menyadari bahwa semua ada karena kita ada. Dan karena kita ada dan telah ada, maka kita tak layak untuk ingin saling meniadakan lagi. Kita butuh keramaian sama seperti kita butuh kesenyapan. Kita ingin kegembiraan sama seperti saat kita sedang mengalami duka lara. Hidup itu indah justru karena semua itu ada. Karena semua itu berbeda. Karena kita ada. Karena masing-masing menjalani hidup dan waktu masing-masing. Karena semua memiliki waktunya sendiri-sendiri sehingga dapat menyatu dalam satu irama hidup kebersamaan yang saling membutuhkan bahkan walau itu seakan-akan nampak bertentangan satu sama lain. Sebab, suara gitar pasti berbeda dengan suara drum. Dan suara piano tidaklah sama dengan suara flute. Tetapi bukankah semua menyatu dalam orkestra yang membawakan lagu indah menakjubkan?

Sering kita memang tak menyadari betapa cepatnya waktu berlalu. Dan kita pun menua. Maka bersyukurlah mereka yang mampu menikmati semua keindahan dunia ini tanpa keinginan dan ambisi untuk menguasai dan memilikinya. Bersyukurlah mereka semua yang dapat memaklumi keberagaman dan menerima perbedaan sebagai satu anugerah yang luar biasa sehingga dapat menciptakan orkestra kehidupan sepanjang perjalanan waktu masing-masing. Dan berbahagialah mereka yang dapat melewati waktunya di kehidupan nyata ini bersama kesadaran bahwa dia ada karena kita semua ada. Hidup memang berbeda tetapi tak perlu dipertentangkan. Hidup memang berlainan tetapi karena itu menyatu dalam orkestra yang sangat indah. Semua adalah berasal dari satu. Semuanya adalah karya Sang Pencipta. Aku. Kau. Kita. Mereka. Alam semesta.

Tonny Sutedja

JUDI


Hidup ini hanya sementara dan kebetulan saja. Dan kita seolah berjudi. Sebab itu, semua kesempatan harus diraih. Kita tidak tahu dan tidak dapat memastikan apa yang bisa kita hadapi bahkan menit-menit ke depan...”. Demikian aku pernah mendengar kalimat itu dari seorang temanku. Memang benar, hidup ini hanya sementara saja. Vita brevis! Tetapi apakah hanya kebetulan kita ada di sini sekarang? Apakah memang kita hidup semata demi berjudi dengan kesempatan yang kita harapkan terjadi?

Aku mengingat kembali kalimat itu saat membaca berita tentang kerusuhan saat pilkada. Setelah membaca mengenai pembantaian di lapas. Saat membaca berita mengenai mereka yang digusur dan dipaksa mengungsi hanya karena soal perbedaan. Apakah memang semua itu dilakukan hanya karena kita berpikir bahwa semua kesempatan harus diterobos, bahkan dengan cara apa saja, demi untuk kepentingan kita dan kelompok kita saja? Karena kita tidak tahu apa yang akan dan bisa terjadi dalam detik-detik di depan, maka semua kemungkinan bisa membuat kita menang tetapi juga kalah? Karena itu kita bisa melupakan semua kepentingan orang lain karena hidup ini hanya soal pilihan dan setiap kemungkinan menjadi perjudian yang kita perjuangkan dengan cara apapun?

Memang, kita tidak mungkin memastikan apa yang akan terjadi bahkan untuk beberapa detik ke depan. Bisa saja kita tiba-tiba meninggalkan semua ini hanya karena satu sumbatan di pembuluh darah otak atau jantung kita. Atau mungkin karena satu kecelakaan yang bahkan bukan salah kita. Kita tidak tahu dan tidak pernah akan tahu sebelum kita mengalaminya sendiri. Tetapi jika semua itu tidak pasti dan secara kebetulan menimpa kita, apakah memang hanya kebetulan kita ada disini dan saat ini? Apakah karena itu semua harus kita raup sebelum kita tiba di ujung hidup agar seakan-akan hidup ini tidak sia-sia kita jalani? Tetapi sia-sia itu apakah? Apakah jika kita gagal meraih harapan kita berati hidup kita sia-sia? Apakah jika kita merasa kalah dalam merebut keinginan dan kepentingan kita berarti bahwa hidup kita telah gagal? Dan jika memang demikian sikap kita, jika memang demikian pandangan kita, untuk apakah kita mengatakan bahwa kita semua percaya bahwa kita semua memiliki keyakinan kepada Sang Pencipta? Bahwa pada akhirnya kelak, kita semua akan menuju akhir yang sama? Tidakkah tindakan dan perbuatan kita justru seakan-akan bermakna bahwa dalam kesementaraannya, hidup ini dapat dan harus dinikmati sekarang juga? Bahwa kita sesungguhnya tidak memiliki harapan lain selain saat ini dan sekarang saja?

Demikianlah, saat membaca berita tentang kerusuhan yang terjadi karena pilkada, pembantaian yang terjadi karena dendam, penggusuran yang terjadi karena beda keyakinan, bahkan pembunuhan yang terjadi karena beda pandangan tiba-tiba membuat aku berpikir bahwa hidup ini telah menjadi ajang perjudian karena kesementaraan dan kebetulan. Keinginan yang selalu kita dambakan mesti dicapai karena kita tidak yakin akan tujuan kita ada disini. Kita tidak memiliki harapan bahwa walau kita telah gagal dalam hidup yang sementara ini, kita bisa benar di hadapan Sang Pencipta yang kita percayai sungguh Maha Adil dan Maha Benar kelak. Kita kehilangan pegangan walau kita senang dan selalu menyerukan nama-Nya setiap saat. Setiap kesempatan.

Maka siapakah kita selain hanya penjudi dalam kehidupan? Siapakah kita selain hanya menginginkan kesempurnaan di dunia yang tidak sempurna ini? Siapakah kita sehingga kita dapat mengira bahwa semua keinginan, semua ambisi dan semua hasrat kita haruslah dapat kita raih karena kita merasa diri sebagai pemilik mutlak kebenaran? Tidakkah kadang kita merasa ragu pada diri kita sendiri? Tidakkah kadang kita merasa bahwa kebenaran yang kita yakini sesungguhnya hanya selubung dari kepentingan dan kenikmatan diri kita saja? Dan kita ada hanya untuk menang dan tidak untuk kalah atau gagal.

Kekerasan selalu terjadi bukan karena terpaksa harus ada. Kekerasan selalu terjadi karena ada yang merasa benar dan ada yang merasa disalahkan. Kekerasan selalu terjadi karena kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Kekerasan selalu terjadi karena kita senang berjudi dengan harapan yang mungkin dalam hidup yang sementara dan kebetulan. Kekerasan selalu terjadi karena kita merasa ada dan hadir di dunia ini hanya untuk sekarang dan saat ini. Kekerasan selalu terjadi karena kita telah gagal untuk memiliki tujuan dalam hidup kita. Kekerasan selalu terjadi karena kita tidak lagi meyakini bahwa kelak kita akan menghadap kepada Yang Maha Adil dan Maha Benar. Sungguh, kekerasan terjadi karena kita telah kehilangan Sang Pencipta walau kita selalu menyerukan nama-Nya dan selalu mengharapkan belas kasih-Nya sementara kita melakukan perbuatan dengan kekuatan-kekuasaan-kekayaan yang kita miliki di dunia ini. Kekerasan terjadi karena kita lebih percaya pada diri dan kemampuan kita daripada kepada-Nya. Kekerasan terjadi.....

Hidup ini hanya sementara dan kebetulan saja....” Sungguh dua hal yang kadang sering bertentangan jika kita tidak memiliki keyakinan bahwa dalam kesementaraannya, hidup ini memiliki tujuan. Bahwa hidup ini, walau keberadaan kita kadang tidak kita inginkan karena memang demikianlah adanya, kita telah ada dan hadir bukan atas kehendak kita saja, tetapi karena memang kita harus ada dan hidup demi karena Sang Pencipta menginginkan kita ada sekarang. Dengan demikian walau hidup ini sementara, kita tidaklah dan tidak pernah kebetulan ada. Kita memiliki tujuan, dan tujuan itu akan kita sadari kegagalan dan keberhasilan bukan sekarang tetapi setelah semuanya kita jalani hingga tuntas. Mengabaikan harapan pada-Nya akan membuat kita semua berkutat pada hidup sekarang, membuat kita berjudi demi kesenangan dan kenikmatan kita hingga kita luput pada harapan yang jauh lebih besar dan lebih berharga setelah kita tiba di hembusan nafas terakhir kita. Hidup memang sementara tetapi pasti tidak kebetulan. Detik-detik mendatang memang tidak pasti tetapi jelas kita tidak bisa berjudi demi kepentingan kita semata. Sadarilah bahwa ada hal yang jauh lebih besar dan jauh lebih utama daripada hanya soal menang atau kalah, daripada hanya soal dendam dan sakit hati, daripada hanya karena apa yang kita anggap demi nama-Nya: kemanusiaan kita. Maka tujuan kita bukanlah untuk saling mengenyahkan satu sama lain tetapi justru untuk saling menerima dan saling memahami karena kita semua satu. Karena kita semua adalah ciptaan yang sama dan akan menuju pada akhir yang sama. Kita adalah ciptaan-Nya. Kita semua.

Tonny Sutedja

BEDA TAPI SATU


Usiaku saat ini 53 tahun. Jika mengenang kembali masa lampau, saat masih sekolah, artinya di sekitaran tahun 60 - 70 - 80-an, terasalah betapa bedanya suasana dan situasi dengan saat ini. Dulu, dalam pergaulan, baik dengan tetangga maupun teman-teman sekolah, SD – SMP – SMA, tak pernah terpikirkan apa suku mereka, apa ras mereka atau apa agama mereka. Kami semua bersahabat seperti lazimnya seorang anak dengan anak lain, seorang remaja dengan remaja lain tanpa embel-embel apa agama atau apa keyakinannya atau siapa mereka. Hidup mengalir apa adanya. Sederhana dan akrab. Demikianlah yang nampak juga dalam setiap reuni, saat mengenang kembali masa-masa lalu. Kami semua satu walaupun berbeda dalam banyak hal.

Tetapi apa yang nampak dalam kenyataan sekarang sangatlah berbeda. Mungkin itu memang akibat perkembangan zaman. Namun aku merasa, entah mengapa, saat ini semakin merasa dekat seseorang dengan agamanya semakin lebar pula jurang antara perbuatan hidupnya dengan perintah Tuhan sendiri. Pergaulan hanya berkembang dalam lingkup sempit, seakan-akan yang dinamakan sesama hanya mereka yang sama dengan kita. Dan setiap kita memuliakan iman kita, tersembunyi di baliknya mereka yang berlainan iman dengan kita. Hidup tiba-tiba menjadi pelik dan setiap saat kita harus menjaga jarak, menjaga diri, agar tidak saling menyinggung. Agar tidak saling mengusik. Dan demikianlah nampaknya, kepekaan demikian tinggi sehingga ada yang merasa lebih baik menghindar dari persahabatan dengan mereka yang lain agar tidak terganggu. Dan tidak mengganggu. Tetapi wajarkah itu?

Tidak bisakah hidup berjalan sebagaimana mestinya? Dan persahabatan tidak memandang seseorang dari sudut pandang yang lain kecuali bahwa dia seorang manusia? Sesama kita? Mengapa dulu bisa dan sekarang tidak bisa? Apa yang salah dalam perubahan pandangan itu? Apa yang salah dalam pola pikir sekarang? Mengapa hidup harus disekat-sekat dalam siapa dia, apa sukunya, apa agamanya, apa partainya, apa rasnya dan sekat-sekat lain yang membuat hidup menjadi lebih terbatas? Padahal, bukankah sesungguhnya kita semua sama mendiami bumi yang satu? Lalu mengapa kita harus mempersulit hidup ini dengan keinginan untuk hidup dalam kotak-kotak sempit keyakinan dan kepentingan kita sendiri? Tidakkah lebih indah jika kita memandang alam semesta yang luas ini dengan perasaan lega dan bebas tanpa tembok-tembok penghalang? Tanpa sekat-sekat penutup diri?

Aku tidak tahu mengapa itu harus terjadi sekarang. Aku tidak mengerti mengapa dan bagaimana bisa kita lebih mempersulit hidup daripada mempermudahnya di jaman ketika tehnologi seakan-akan diciptakan demi kemudahan hidup itu sendiri. Sesungguhnya hidup itu tidaklah sulit. Kitalah yang menciptakan kesulitan itu. Kita, dengan pikiran dan perasaan kita, dengan segala praduga dan hasrat kita, dengan kepentingan diri kitalah yang seharusnya dapat merenungkan mengapa kita harus mempersulit hidup ini. Melakukan sesuatu memang jauh lebih mudah daripada merenungkan secara mendalam semua kenyataan yang telah kita lakukan itu. Tetapi, tetap selalu ada pertanyaan yang harus kita sadari dan bukan hanya pernyataan yang harus kita sampaikan. Kita harus berani merenungkan semua masalah itu agar dapat menyadari betapa sendirinya kita sebagai manusia. Ya, betapa sendirinya kita di dunia ini. Sendiri dan sepi. Tetapi kita tidak sendirian. Dalam kehidupan ini, kita berbeda tetapi satu.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...