27 Desember 2016

BAHAGIAKAH SAYA?

Beberapa saat lagi tibalah kita di ujung tahun 2016. Walaupun semua mungkin terasa masih sama, tetapi apa yang telah lewat, takkan kembali lagi. Sebab itu, di hari-hari terakhir sebelum kalender bertukar, biasanya kita mengadakan perenungan tentang apa yang telah terjadi, sekaligus merencanakan apa yang bisa dan akan terjadi kemudian.

Bahagia-kah saya? Satu pertanyaan sederhana tetapi tidak mudah dijawab. Tetapi, jika kita mau jujur, seringkali jawabannya adalah tidak. Atau mungkin belum. Memang, kenyataan hidup yang kita jalani ini bukanlah sebuah dongeng indah, dimana yang baik selalu menang melawan yang jahat. Dimana yang jujur selalu unggul dari yang menipu. Dimana kasih sayang selalu mengalahkan kebencian. Dimana kelembutan selalu menaklukkan kekerasan. Tidak! Justru dari kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia, seringkali yang terjadi adalah sebaliknya. Keserakahan lebih sering menang dari kemurahan hati. Ketidak-adilan unggul atas keadilan. Dan kekerasan menyisihkan kelembutan.

Maka kita sering merasa betapa Sang Pencipta hanya diam. Sering merasa betapa Tuhan, bagi yang percaya dan juga yang tidak percaya, hanya tinggal di sudut yang gelap seakan-akan tidak peduli pada penderitaan manusia, ciptaan-NYA sendiri. "Eli, Eli, lama sabakhtani? Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Seruan Yesus saat menghadapi sakratul maut di atas tiang salib mewakili seruan kita semua saat penderitaan melanda dan Allah seakan-akan tak berdaya menghadapi kekerasan hidup, ketidak-adilan, penipuan dan kekerasan yang sering kita alami.

Sebagai manusia, kita tidak sempurna. Sebagai manusia, kita menjalani kehidupan dalam ketidak-sempurnaan yang sempurna. Sejarah mencatat betapa hidup ini tidak bisa dan tidak mungkin dihadapi dengan segala wejangan dan anjuran yang baik-baik belaka. Kenyataan akan situasi dan kondisi yang dihadapi seringkali membuat manusia sadar bahwa hidup tidaklah sesederhana cerita dongeng yang dituturkan dengan indah dan penuh semangat. Harapan masa depan sungguh bukan teori tetapi kenyataan yang harus diterima, dihadapi dan dijalani dengan penuh variasi. Baik dan buruk adalah teori yang seringkali hanya terbatas pada perbuatan yang kita lakukan. Dan menilai kebahagiaan kita sungguh tidak mudah saat kita merenungkan secara mendalam makna keberadaan kita saat ini.

Hidup ini adalah sebuah perjalanan, mungkin terasa panjang tetapi sungguh singkat. Seakan tak berujung tetapi pasti akan berakhir. Dalam hal ini, penderitaan kita, penyakit dan pilihan serta perbuatan yang salah, kepedihan akan kondisi hidup maupun lingkungan yang memaksa, ketidak-adilan, kekerasan, ketidak-berdayaan, kemiskinan, ketidak-pedulian sering membuat kita merasa terperangkap tak berdaya, penuh penyesalan dan bahkan putus asa untuk tetap berjalan melanjutkan hidup ini, semua hal yang membuat kita tidak pernah merasa bahagia. Dan kita semua, jika mencoba untuk jujur pada diri sendiri, akan menyadari betapa tak mampunya kita untuk menerobos segala kesulitan itu. Sementara Tuhan seakan-akan sembunyi, berdiam diri dan tidak peduli sama sekali. Hingga seakan-akan tidak ada, atau ada tetapi dalam rupa pikiran kita sehingga kita merasa menjadi Tuhan.

Bahagiakah saya? Ah, di penghujung tahun 2016 ini, saya menjawabnya dengan tidak. Tetapi dengan kesadaran bahwa ketidak-bahagiaan bukan berarti keputus-asaan dalam menjalani kehidupan ini. Hidup adalah sebuah perjalanan menuju kebahagiaan sejati, maka apa yang saat ini telah, sedang dan akan saya jalani adalah semacam gemblengan untuk mencapai kebahagiaan itu. Lulus atau tidaknya saya, itu bukanlah keputusan saya sebagai manusia yang tidak sempurna, tetapi milik DIA yang maha sempurna.

Selamat menyongsong tahun 2017. Semoga kita semua kelak akan berbahagia selamanya.


Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...