31 Desember 2007

REMAJA

"Cobalah dibayangkan" kata remaja itu kepadaku, "Aku hidup di tengah sebuah keluarga yang pas-pasan. Rumahku kecil, tua dan kusam. Di musim hujan seperti saat ini, bocor kiri kanan. Dan kadang banjir datang dengan air yang kotor dan berlumpur menggenangi lantai rumah sehingga kami sekeluarga harus bekerja keras untuk membersihkannya. Aku seorang pengangguran, lulusan SMU, sedang seorang kakakku bekerja sebagai SPG di sebuah toko di Mal yang mewah. Lantainya amat bersih dan licin dengan udara yang sejuk karena ber-AC. Nah, bagaimana aku tidak ingin melarikan diri dari lingkunganku yang sempit ini untuk mencicipi kemewahan itu? Aku dikelilingi dengan kondisi hidup yang kontras dengan keadaan kami sehari-hari. Dengan penghasilan keluarga kami yang amat minim, bahkan kadang mesti gali lubang tutup lubang, bagaimana aku dapat sabar berproses? Kebaikan dan kejujuran di jaman ini hanya berujung pada penderitaan dan kemiskinan. Sementara itu, lihatlah, para pejabat, pengusaha serta orang-orang kuat itu. Mereka hidup enak walau kotor, tidak jujur dan KKN kiri kanan. Sebab itu aku memilih jalan pintas ini. Ya, memang aku salah, tetapi aku tidak peduli lagi. Aku frustrasi menjalani hidup ini......."

Aku memandang remaja itu. Dia baru saja tertangkap tangan menjambret di sebuah Mal yang ramai. Dan kini, dengan wajah morat-marit akibat digebuk ramai-ramai, dia menunduk sambil menangis. Perasaanku amat pahit. Suatu lubang hitam besar menganga dalam hatiku. Adakah jalan keluar baginya?

Demikianlah isi surat dari seorang temanku, seorang hakim negeri. Dan demikian pula situasi yang kini dihadapi oleh banyak remaja di negeri ini. Sadarilah bahwa perbuatan-perbuatan mereka tidaklah sederhana, hitam atau putih, baik atau buruk dan pantas atau tak pantas. Dalam banyak segi kita juga ikut bertanggung jawab atas segala tindakan mereka. Tetapi kebanyakan kita hanya diam, cuci tangan seperti Pilatus yang cuci tangan membiarkan orang-orang berbuat salah dengan menyerahkan Yesus untuk disalibkan. Kita merasa puas diri atas hidup kita tanpa memperdulikan lagi situasi orang-orang lain. Truth is not only violated by falsehood; it may outraged by silence (Kebenaran tidak hanya diperkosa oleh kepalsuan; tetapi juga oleh sikap berdiam diri) kata seorang filsuf Swiss, Henry Frederic Amiel (1821-1881). Semoga di masa pertobatan ini kita semua, sebagai umat Katolik, dapat saling memahami kondisi masing-masing tanpa saling menyalahkan tetapi dengan ikut serta berbuat untuk, paling tidak, dapat menata ulang kehidupan kita kembali.


A. Tonny Sutedja

RUMAH DAGING

    Ada waktu. Ada tempat. Ada kisah. Ada seorang rahib paroh baya yang teramat mashyur namanya. Dia terkenal sebagai orang yang amat saleh dan teguh berpegang pada ajaran tertulis yang tercantum pada kitab suci agamanya. Dia menjadi langganan para raja, pangeran, pembesar dan saudagar-saudagar kaya untuk membagikan kekayaan imannya, berkhotbah di gedung-gedung megah, istana-istana yang indah gemerlapan bergelimang materi. Demikianlah dia hidup dalam dan bersama kalangan elit kerajaan.

Suatu hari terjadilah bencana alam dashyat: gempa menggoncang seluruh negeri, sendi-sendi bangunan terangkat, tembok dan langit-langit yang terbuat dari batu pualam runtuh. Sang rahib yang pada saat itu berada di aula suatu kuil indah terjebak di balik puing-puing batu raksasa dan pecahan kristal yang tumpang tindih memerangkapnya. Di dalam keterjepitannya itu, selain sajian persembahan yang berserakan di atas altar, tidak ada sesuatu yang lain yang dapat mengganjal perutnya. Tetapi, sesuai dengan nas pada kitab sucinya, adalah amat terlarang untuk menikmati sajian persembahan bagi para dewa-dewi: suatu dosa yang amat berat dengan hukuman pengucilan diri. Selama beberapa hari dan malam dia bertahan untuk tidak menyentuh persembahan itu tetapi pada akhirnya dia menyerah karena bantuan yang diharapkannya tidak juga tiba. Maka demikianlah, dia dapat memperpanjang hidupnya dengan hidangan tersebut hingga dia diselamatkan. Setelah dia kembali ke tengah masyarakat maka tersebarlah kabar di antara para raja dan bangsawan serta kalangan elit lainnya mengenai perbuatannya yang melanggar hukum agama. Namanya pun ambruk. Di mana-mana dia dinistakan, dianggap wabah dan dia pun ditolak di kalangan yang dulu demikian memujanya. Dia merasa sedih, putus asa dan bahkan pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya tetapi syukurlah dapat diselamatkan. Kemudian dia menghilang dan namanya tidak lagi disebut-sebut orang. Dia kemudian dilupakan.

    Belasan tahun kemudian, seorang pengembara tiba di suatu kota kecil di perbatasan kerajaan itu. Suatu kota yang sebagian besar penduduknya amat miskin, di mana orang-orang sakit dan orang-orang lapar bergelimpangan di sudut-sudut kota. Pengembara itu kemudian menemukan seorang tua yang rajin mendatangi dan memberi makan kepada rakyat miskin papa itu. Setelah menyelidiki dengan seksama sumber pangan yang dibagikan oleh orang tua tersebut maka gusarlah sang pengembara. Ternyata orang tua itu telah mengambil sajian persembahan dari kuil kota dengan pengetahuannya pada liku-liku kuil tersebut. Sajian persembahan yang diwajibkan oleh nas kitab suci dan merupakan makanan sakral bagi para dewa-dewi yang amat suci dan haram untuk disentuh. Hidangan tersebut harusnya dibiarkan membusuk sebagai tanda telah disantap oleh para dewa-dewi agar mereka yang memberikan persembahan itu dapat diberkati dan diberikan kemakmuran. Dengan berapi-api pengembara itupun datang menemui orang tua tersebut dan memaki-makinya. Orang tua itu diam saja. Setelah kegusaran pengembara itu agak reda maka berkatalah orang tua itu:"Makanan ini mungkin terlarang tetapi mati karena lapar jauh lebih berdosa lagi jika dibiarkan. Sebab itu nak, bagiku, jauh lebih berguna menghidupi orang-orang lapar dan sakit daripada para dewa-dewi itu karena mereka tidak, tidak akan pernah mengalami penderitaan demikian".

Kisah ini diilhami dari novel "Rumah Daging" karangan Yusef Idriss

A. Tonny Sutedja

RENUNGAN DI TAHUN YANG BARU

I know everything but myself (Francois De Montcorbier Villon)


 

    Dapatkah kita mengenali sesuatu tanpa mengenali diri sendiri lebih dahulu? Dapatkah kita mengejar sesuatu tanpa mengetahui kemampuan kita sendiri? Mengapa kita senang menyusun rencana yang besar di hari depan tapi tidak menyelesaikan persoalan-persoalan di hari ini? Atau mengapa kita hanya meributkan tetek bengek sekarang tetapi melupakan tujuan di hari nanti? Mengapa kita senang melihat dan membicarakan kuman di seberang lautan tetapi enggan dan buta terhadap gajah di pelupuk mata sendiri? Untuk apakah kita merisaukan hal yang belum tentu terjadi? Mengapakah kita mesti khawatir akan kehidupan masa sekarang? Untuk apakah segala keributan-keributan itu? Untuk apakah kita hidup? Siapakah diri kita sesungguhnya? Dan apa yang sesungguhnya kita ingini dalam hidup ini? Apakah artinya segala hasrat, ambisi dan nafsu kita jika hidup yang damai kita angankan tidak tercapai?

    Barangkali sekaranglah saatnya kita meninjau diri sendiri. Menerobos masuk ke lubuk sanubari sendiri. Menjelajahi pedalaman pemikiran kita. Kita kumpulkan segala keping kenangan atas hari-hari yang telah kita lewati, menatanya dan mencoba untuk memahami lukisan pengalaman itu. Serta dari cermin diri masa lalu itu kita memulai kembali memperbaharui hidup kita. Langkah demi langkah. Kita mesti menjadi lilin dan menyala menerangi kegelapan dunia.

    "Bagaimana aku bisa menjadi lilin sedang untuk menyala saja tak sanggup?" Demikian tulis sebuah SMS yang kuterima. Saya pikir bukannya kita tidak sanggup untuk menyala tetapi kita sudah enggan untuk menyala. Janganlah menangis untuk perbuatan orang lain karena mungkin orang itu malah menertawai kita dengan rasa senang tetapi menangislah karena kebodohan kita. Dalam hidup tidak semestinya kita selalu mengalah demi rasa aman. Bagaimanapun kebenaran mesti juga ditegakkan walau untuk itu kita harus bertarung. Dan jika memang kita harus melawan, berjuanglah dengan jujur. Dengan demikian, kalah atau menang bukanlah masalah. Yang penting kita telah berupaya.

    Hidup akan berlanjut terus. The show must go on. Apapun yang terjadi. Maka untuk apakah segala kepalsuan dan kepura-puraan yang kita jalani hanya agar hidup nampak baik? Nampak aman? Bukankah semuanya hanya membuat kita menjadi tertekan, kacau serta membuat penderitaan bertambah. Marilah kita semua bertanggung-jawab atas apa yang telah dan akan kita lakukan dengan memperhatikan kemampuan kita sendiri. Mari, janganlah hidup dalam dunia mimpi saja tetapi berjuanglah dalam dunia nyata. Hidup itu kenyataan yang berlangsung. Dan angan-angan kita simpan sejenak untuk nanti dipergunakan saat kita perlu beristirahat dari segala kekacauan dunia ini. Yang penting kita jujur terhadap diri sendiri. Jujur terhadap orang lain. Jujur terhadap Tuhan. Itu saja.

A. Tonny Sutedja

28 Desember 2007

KOKOLEH

Malam yang dingin. Aku berdiri bersama segerombol remaja di jalan yang sunyi di kampung ini. Langit malam tanpa bulan menampilkan ribuan atau bahkan jutaan percik-percik cahaya bintang. Gemerlapan bagai manik-manik pada sutera hitam. Kokoleh. Hanya ada satu dua rumah yang memancarkan cahaya listrik dari pendopanya. Kami saling bertutur tentang kehidupan. Kami saling melempar gurauan dan kisah yang sering terasa tak bermakna. Bahkan tolol. Tetapi inilah kami. Dan inilah aku, malam ini.

    Betapa anehnya. Di sini masa silam dan masa depan tidak punya arti apa-apa. Kami hidup sekarang dan saat ini. Tahu bahwa esok hari, mungkin penderitaan dan kekecewaan akan datang lagi menghampiri hidup, kami tidak peduli. Malam sungguh indah, jadi mengapa harus dilewatkan dengan kekhawatiran-kekhawatiran itu? Apakah jika kita khawatir kita lalu bisa mengubah hidup kita menjadi lebih baik? Tidak, malam ini kami berkumpul sambil melemparkan gurauan-gurauan semu. Seakan hidup ini menyenangkan belaka untuk dijalani. Mengapa tidak? Ya, mengapa tidak?

    Aku tiba-tiba teringat pagi hari tadi, saat masih di kota yang sibuk dengan lalu lalang kendaraan. Jalan-jalan yang macet dan bunyi klakson berdenging-denging di telingaku. Setiap kendaraan seakan ingin menyingkirkan lawan, ya lawan, di depan yang menghalangi jalannya. Betapa bedanya. Betapa bedanya. Dunia persaingan dan dunia keselarasan. Dunia kota dan dunia pedesaan. Kemoderenan seakan ingin mengajak kita untuk melepaskan segala kesabaran kita dalam menghadapi dunia ini. Seakan mengejar-ngejar kita agar dapat meraih segala ambisi, hasrat dan kenikmatan hidup hanya pada satu titik saja, kesenangan materi dan ragawi. Kita hidup bersama segala kemudahan serba instan dan remote-control yang bahkan lebih pelik dalam jiwa kita daripada kesederhanaan malam yang dingin dan indah saat ini.

    Kembali di sini, aku merasakan semilir angin meniup wajahku. Dan sayup-sayup suara gemericik air dari kali kecil yang mengalir di kejauhan. Kami berdiri bergerombol sambil berkisah tentang dunia, tapi tak pernah mengetahui apa kata dunia kepada kami. Karena tiba-tiba aku menyadari bahwa itu sama sekali tidak perlu. Karena kamilah dunia itu. Ya, kamilah dunia itu. Dunia yang berputar dengan sabarnya, pagi-siang-malam. Dan hidup yang mengalir tanpa ketergesaan. Karena bagi kami, waktu tidak memiliki kami. Sebaliknya, waktu adalah milik kami. Ya, di sini, di kampung yang sederhana ini, aku tersadar bahwa seharusnyalah waktu adalah milik kita semua. Kita tidak perlu mengejar-ngejar dia karena kita selalu bersama dia.

    Ada seseorang memetik gitarnya. Dan seseorang lagi melantunkan sebuah lagu. Tak berapa lama, kami pun ikut bernyanyi bersama. Ada yang bersuara indah. Ada yang bersuara fals. Tetapi siapa peduli? Hati kami dipenuhi musik indah. Hati kami larut bersama jejeran pepohonan palma dan diiringi jutaan cahaya bintang di atas kepala kami.

"And all I can do is hope and pray

Maybe my love will come back someday

Only heaven knows

And maybe our hearts will find a way

Only heaven knows

And all I can do is hope and pray

'cause heaven knows

Heaven knows

Heaven knows"

Ya, kami semua berharap dan berdoa, semoga suatu kelak, kami semua dapat berkumpul kembali bersama dalam suasana yang sama seperti dulu. Dan malam masih tetap bersama manik-manik selimut sutera hitamnya. Tidak dipenuhi pendaran cahaya buatan dari lampu-lampu jalan dan aneka papan reklame yang menghabiskan segala keindahan alami sang malam yang sedemikian sabar, indah lembut ini. Dan jejeran pepohonan di samping kami tidak berubah menjadi tembok-tembok beton yang kasar, kaku dan berdiri angkuh seakan menantang kehidupan. Kami semua berharap. Berharap.

Tonny Sutedja

DOMBA DAN SERIGALA

Ketika kegembiraan lenyap. Tawa ria menguap. Rasa sakit mengendap. Pedih. Luka. Sepi. Tak berdaya. Hidup pun kehilangan arti. Tanpa harapan. Hampa. Tak bermakna. Bayang-bayang kematian menghampiri. Kau pun mengatakan bahwa tak ada apapun yang dapat mengobati nasibmu. Tak ada seseorang pun yang mampu memahami hidupmu. Bahkan kau menjadi najis di hadapan keluarga. Masyarakat. Dunia. Dan Tuhan. Bahkan bagi dirimu sendiri. Ya, katamu, kau telah hancur dalam dosa. Kau telah tersisih dari kehidupan normal. Kau tak lagi punya harga. Dan mungkin, tulismu, mati adalah satu-satunya jalan keluar yang logis. Mati. Lalu usai.
Dapatkah aku memberi solusi padamu? Jujur saja, dalam suratmu yang panjang kau membeberkan perjalanan hidupmu yang menghentak hatiku, aku tidak tahu dan tidak mampu untuk memberikan jawab. Ya, aku tidak mampu. Saudariku, hidup memang merupakan rentetan pertanyaan yang, sebagai manusia biasa, sering tak mampu terjawab. Apalagi untuk memberikan solusi padamu. Terkadang bahkan, nasehat ataupun pandangan, bisa bias. Sebab duka, sakit hati, kepedihan, dan ketak-berdayaan menghadapi hidup hanya bisa dirasakan oleh mereka-mereka yang mengalaminya sendiri. Ya, hanya kau sendiri yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu untuk menghadapi masa depan yang ada di depanmu.
"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Begitulah kata Yesus kepada para muridNya, ketika Dia mengutus mereka. Ya, lingkungan hidup kita, lingkungan masyarakat kita bukanlah sebuah tempat yang aman sentosa. Bahkan jauh lebih sering nampak sebagai liang yang berisi gerombolan serigala yang siap saling memangsa satu sama lain. Dan kita, kita semua, sadar atau tidak, terbentuk dari lingkungan demikian. Cara pikir kita, pola perbuatan kita, dan alur perasaan kita semua mengikuti apa yang kita lihat, kita alami dan kita rasakan di sekeliling kita. Ya, kita terbentuk dan dibentuk oleh lingkungan yang sama dan karena itu, apa yang dianggap salah oleh masyarakat, adalah juga salah oleh pikiran dan perasaan kita. Itu hal yang lumrah.
Maka, membaca riwayat yang kau tuliskan kepadaku, bagaikan membaca satu kehidupan yang telah pasrah lalu siap untuk menyerah. Menyerah untuk hidup. Tetapi haruskah itu? Saudariku, ingatlah bahwa tubuhmu, tubuh kita yang fana ini, hanyalah sebentuk mesin. Mesin yang terbuat dari daging dan tulang. Dan bahannya adalah sel-sel kecil yang dinamakan kromoson. Itu saja. Apa yang terjadi pada mesin itu - mesin akan usang, rusak dan mati suatu hari kelak - tidaklah perlu dirisaukan. Tetapi jiwa kita, jiwa yang berasal dari nafas hidup Allah sendiri, perlu dipertahankan sebagai anugerah terindah dari sang Pencipta sendiri. Tugas kitalah sebagai penerima talenta kehidupan ini, untuk mempertahankan dan memperjuangkan kegunaan dari tubuh yang telah diberikan kepada kita selama hidup di dunia ini. Mengapa harus merisaukan segala luka, siksa dan derita yang menimpa tubuh kita? Selama jiwa kita tetap tegar, selama itu pula kita akan mampu memperbaiki segala yang telah terjadi.
Dan tentang nama baik, apakah nama baik itu? Masyarakat cenderung dengan mudah mempersalahkan apa yang telah kita lakukan, baik secara sadar atau pun tidak, tanpa mempertanyakan atau menyelidiki alasan-alasan perbuatan itu. Masyarakat, termasuk kita juga, selalu berpikir pada akibat sesuatu perbuatan tetapi jauh lebih sulit untuk menyelidiki sebabnya. Karena apa yang terjadi sekarang jauh lebih mudah dilihat dari pada apa yang menjadi sebab di masa lampau yang luput dari perhatian kita. Oleh sebab itulah Yesus pernah menantang: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Ya, siapakah diantara kita yang tidak punya dosa? Siapa? Lagipula, sebab di masa lampau demikian mudah dilupkan. Jadi bukankah, masa sekarang, kelak pun akan menjadi masa lampau pula? Masa sekarang di masa depan pun hanya akan menjadi puing-puing yang terlupakan. Bahkan mungkin oleh kita sendiri.
Luka batin. Jerit tangis dalam hati. Kekecewaan. Kehancuran diri. Siapa yang tidak punya? Atau siapa yang luput dari hal-hal demikian? Jika kau bertemu seseorang, atau sekeluarga yang menampakkan senyum di wajah mereka, pastikah bahwa mereka berbahagia? Tidak mungkinkah, bahwa di balik senyum atau bahkan tawa riang yang demikian menyenangkan itu, tersembunyi duka lara yang tak terhapuskan? Saudariku, manusia adalah mahluk yang unik. Dia dapat terasing dari lingkungannya, bahkan dari dirinya sendiri tanpa menampakkan keterasingannya. Banyak, ya banyak orang yang mampu memakai topeng seumur hidupnya. Siapakah yang sungguh-sungguh bisa mengetahui isi hati seseorang? Tengoklah ke sekelilingmu, tataplah wajah-wajah yang berada di depanmu, dan cobalah meraba isi hati mereka. Isi hati dibalik senyum atau ke-sinis-an mereka. Mampukah kau menebaknya dengan tepat? Tidak, tak seorang pun sanggup. Bahkan mereka yang paling akrab sekalipun takkan sanggup menebak perasaan pasangan mereka dengan tepat. Jika demikian, masihkah kau menyerah? Masihkah kau merasa diperlakukan tidak adil? Masihkah kau merasa bahwa hanya kaulah satu-satunya di dunia ini yang paling menderita akibat kekerasan hidup?
Bahkan pun, jika kau menyerah untuk hidup, ingatlah bahwa di depan jasadmu yang sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi itu kelak, mereka-mereka yang pernah memandangmu dengan sinis akan mendapatkan pembenaran atas pendapat mereka. Bagi kita, manusia-manusia lemah ini, kebenaran adalah apa yang nampak. Padahal, kebenaran bisa tersembunyi jauh di lubuk hati seseorang. Tidak, saudariku. Kau tidak perlu melakukan itu. Kau harus berjuang, kau harus melawan, kau harus tetap memegang erat lilin pengharapan yang masih kau pegang saat ini. Dan lilin pengharapan itu adalah hidupmu sekarang. Dum spiro, Spero. Selama kita masih bernafas, kita tetap punya harapan. Ya, hidup memang adalah perjuangan. Dan di dalam perjuangan untuk hidup itu, kita mungkin kalah. Kita mungkin akhirnya tersingkir di dalam ketidak-berdayaan kita. Tetapi paling tidak, kita kalah setelah berjuang. Kita kalah setelah dengan gigih mempertahankan kehidupan dan kebenaran kita. Kita jangan kalah oleh rasa putus asa dan tidak berguna. Kita jangan takluk oleh rasa sakit ditinggalkan atau kecewa karena terlupakan. Tetapi takluklah setelah Tuhan memanggil kita pada waktunya kelak. Hanya pada waktunya kelak. Saudariku, kaulah domba yang diutus ke tengah-tengah serigala. Karena itu, bersikaplah cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.
Bangkitlah untuk hidup. Dunia itu indah. Berdirilah dengan tegak. Hidup itu ajaib. Berjuanglah dengan tegar. Tuhan Maha Pengasih. Dia menciptakanmu bukan untuk menyerah. Bukan untuk terus menerus menyesali masa lampaumu. Bukan untuk hanya mengeluh dan mengkambing-hitamkan sesama atau lingkungan hidupmu atau bahkan Tuhan, sebab Dia mencintaimu. Bukan pula untuk hanya duduk sambil menunggu suatu keajaiban tiba-tiba muncul lalu segala sesuatu dapat menjadi lebih baik. Bukan, bukan untuk itu kau hidup, saudariku. Kau hidup bukan untuk menerima keajaiban. Kau hidup untuk menjadi keajaiban itu sendiri. Dan kau wajib memberikan keajaiban untuk dunia. Itulah talentamu. Jangan sia-siakan. Kaulah mujizat itu.
Inilah catatanku untukmu saudariku. Sebuah catatan, tanpa solusi, sebab solusi sesungguhnya berada di dalam keputusanmu sendiri. Dan, sebagai penutup, inilah kutipan indah dari kata-kata Alexander Graham Bell: “Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka. Sayang, kadang kita terlalu terpaku melihat dan menyesali pintu yang telah tertutup itu, sedemikian lamanya, sehingga gagal melihat pintu lain yang telah terbuka...” Harapanku, semoga pintu lain yang telah terbuka dapat segera kau temukan. Bukan dalam mati. Tetapi dalam hidup. Agar kelak, kau bisa mempertanggung-jawabkan hidupmu kepada sang Pencipta. Di dunia ini, tidak ada kegagalan yang abadi. Tidak ada kesalahan yang abadi. Tidak ada dosa yang abadi. Selama kita hidup. Karena semua itu urusan Dia. Bagi kita, yang ada hanya keengganan kita untuk merubah hidup. Dan aku harap kau tidak enggan untuk merubah hidupmu sambil melihat ke pintu-pintu lain yang terbuka. Jangan pernah menyerah. Jangan.
Buat seseorang yang mengirimiku email yang indah
A. Tonny Sutedja

ADIL

“Bersalahkah aku?” tanyanya lirih. “Aku sendiri tak memahami mengapa harus berontak. Yang kutahu hanya, bahwa ketika aku menyaksikan dan mengalami ketidak-adilan manusia, aku terpanggil untuk melawannya. Dan aku tak memiliki cara lain selain dengan kekerasan untuk menghancurkan ketidak-adilan itu. Bersalahkah aku?”
Demikianlah tulisan dari seorang pemberontak Burma (sekarang Myammar) dalam buku “Burman in the backrow” yang baru kubaca. Kekerasan selalu terjadi karena kekerasan. Tak bisa lain. Ketika ketidak-adilan merajalela, ketika kebenaran dimatikan, ketika kekuasaan-kekuatan-kekayaan dinomor-satukan, maka timbullah benih-benih kekerasan dalam jiwa yang tertindas. Sementara itu kita setiap pagi, duduk enak menikmati sarapan di ruang yang mungkin ber-AC, membaca koran pagi sambil mengutuk tindakan kekerasan yang diberitakan tetapi hanya berdiam diri melihat hukum disalah-gunakan demi kenyamanan hidup kita.
Hidup memang sering tidak adil. Oleh sebab itulah Yesus mati disalib. Yesus mati karena Dia membela orang-orang kecil yang tertindas atas nama kemapanan kaum farisi yang penuh kemunafikan. Dia berkeliling sambil berbuat baik, tulis Rasul Paulus, dan karena itu Dia harus disingkirkan. Begitulah inti kehidupan Yesus, Tuhan kita. Maka berada di posisi manakah kita saat ini? Sedemikian mapankah kita sehingga malas untuk berpikir serta bekerja memberantas ketidak-adilan hidup? Sikap menyalahkan tetapi enggan untuk berbuat menghadapi masalah sosial dalam masyarakat adalah suatu kemunafikan pula. Kita perlu merenungi hidup. Kita perlu meninjau jauh ke dalam lubuk hati kita untuk menggali perbuatan-perbuatan Yesus. Jelasnya, kita harus memperbaharui hidup kita. Dengan demikian barulah kita mampu memperbaharui masyarakat. Jangan hanya mengeluh dan mengutuk. Jangan hanya berpangku atau mencuci tangan. Bahkan ikut melakukan kekerasan pula. Tindakan demikian tak akan menghasilkan buah kasih. Kecuali menjadi kurban. Atau penindas. Kita mungkin kecil seperti biji sesawi, tetapi jika kita tumbuh dalam cinta, kita akan membesar di atas segala hal dan akan bersaranglah segala jenis unggas-unggas kehidupan yang letih di ranting-ranting kita.
Di lain sisi, adilkah pula jika demi keadilan kita melakukan ketidakadilan? Benarkah, jika demi kebenaran kita melakukan ketidakbenaran? Apakah kita melakukan suatu pahala demi namaNya jika kita menghancurkan bangunan-bangunan yang bisu? Dan menghukum orang-orang yang tidak bersalah dengan kekerasan? Di manakah cinta kasih Tuhan kalau begitu? Jika kita mengurbankan orang lain dan bukannya diri kita, bukankah itu kita sama saja dengan orang-orang yang telah mengurbankan kita pula? Di manakah pahala kita? Bukankah Yesus menghendaki agar kita sempurna sama seperti Bapa di surga? Tetapi seringkali kita hanya mementingkan keinginan, ambisi dan dendam kita tanpa memperhitungkan penderitaan bagi orang lain yang terjadi karena perbuatan kita.
Maka mari kita berkaca diri. Seperti apakah wajah kita dalam cermin? Layakkah kita disebut saudara-saudara Tuhan? Menghadapi masa-masa sulit di depan, selayaknya kita saling bergandengan tangan menghadapi tantangan kehidupan. Dengan adil. Dengan jujur. Dengan menegakkan kebenaran dan bukannya kemunafikan di balik tabir ajaranNya. Dengan ikut menyebarkan cinta kasih dan kepedulian terhadap penderitaan sesama tanpa melakukan pembalasan dengan kekerasan dan ikut melakukan ketidakadilan. Kita berjuang untuk menjadi pelita yang menerangi kegelapan, menyala di atas kaki dian, maka bersama cahaya Kristus, kita akan bersinar abadi.
A. Tonny Sutedja

SAJAK TAHUN BARU

Mengapa lagi hati berduka
Saat musik alam mengalun indah
Mengapa lagi jiwa menyendiri
Saat pagi lembut datang menjelang

Bukalah jendela hatimu
Dan biarkan harum bumi masuk
Bukalah pintu jiwamu
Dan biarkan rahmat Tuhan bertamu

Sebab hidup bukan hanya duka gulana
Ada bukit hijau, padang rumput, sumber segar
Yang akan melonjak ria saat kau sapa
Tersimpan padanya kerinduan damai

Tetapi bila hujan turun deras
Nikmati suara dan dinginnya pengusir gerah
Segenap ketentraman terhambur darinya
Karena alam tak memendam dendam

Mengapa lagi hati berduka
Biarkan dukamu lelap di waktu lalu
Kita masuki gerbang saat baru
Kita reguk dengan penuh rindu

Karena walau bergegas kita hidup
Waktu sabar menanti walau terbatas
Maka bersihkan diri dari alpa
Dan bangkit bersama fajar baru

A. Tonny Sutedja

DUNIA

Di atas rembulan membulat
Di bawah aku menitik

Dunia diam dan beku
Kami sama noktah

Tonny Sutedja

MIMPI

Ada bayang malam melukai jiwaku
Dan membuat luka saat kau menjilatnya

Di sini, sepanjang mimpi adalah kata
Dan tersipu-sipu dalam kelam, di sana

Kita mengukir bayang dalam udara
Yang beku dan mencair kapan mau

Mengalir ke mana waktu bawa
Mimpi. Hanya mimpi. Cuma mimpi

Tonny Sutedja

DAUN

Dedaunan gugur
Kuinjak bergemerisik

Dedaunan gugur
Ke atas jiwaku

Rindu diam
Hening semata

Kemana engkau?
Melatai tubuhku?

Dedaunan gugur
Benih lahir

Dedaunan gugur
Jiwaku damai

Tonny Sutedja

ANGIN

Angin berjalan malam malam
Angin berjalan menembus tubuhku

Ada yang kucari di sini
Ada yang kukejar di sana

Angin dan aku berselingkuh
Kami sama rindu berhenti

Tonny Sutedja

LANIE

Mengenang
Marcella Melanie Somba
2 Januari 2003

Terbang, bidadari kecilku
Terbanglah
Dengarlah nyanyian kembang
Di taman surgawi
Hiruplah kesegaran aroma
Kebebasan rohmu

Melayang, bidadari kecilku
Melayanglah
Biarlah tetesan hujan
Membasahi jasadmu
Dan bumi yang gembur
Memeluk sejarahmu

Hanya daging, bidadariku
Hanya daging saja
Yang mampu ditaklukkan
Oleh sang Lupus1
Tetapi rohmu kekal
Menjadi milik-Nya

Bersama kelak
Kita bersua
Menembusi tirai dunia
Menanggalkan tubuh fana
Kita menyatu
Dalam cahaya Ilahi
Maka berbahagialah
Yang dipanggil-Nya segera
Sebab merekalah
Pemilik Keabadian Bapa

Terbang, bidadari kecilku
Terbanglah
Melayang di sela rerumputan segar
Menanggalkan daging yang perih
Engkau kini bersinar terang
Tanpa kegelapan
Tanpa kegelapan
Lagi

1Lupus, Lat. Artinya Serigala. Tetapi dalam tulisan ini adalah sejenis penyakit autoimun yang nama ilmiahnya adalah Systemic Lupus Erythematosus

A. Tonny Sutedja

AKU INGIN CINTA YANG SEDERHANA

Aku ingin cinta yang sederhana
Dimana tiap sentuhan membawa getaran
Dan hati yang kembara rindu melabuh

Aku ingin cinta yang sederhana
Dengan lembut membelai rambutku
Dan membawa damai ke relung hati

Aku ingin cinta yang sederhana
Tanpa iri, nafsu maupun paksaan
Bagai rayuan angin di padang mengombak

Namun
Betapa seringnya kata menghampa
Riwayat yang larut dalam waktu
Terus mencoba memaknai diri
Tetapi bahagia yang sama didamba
Tertinggal hanya dalam dongeng tua
Dan kita biarkan waktu mengalir
Masih tak juga memahami segala
Enggan pula untuk ditaklukkan
Tetap melata mengingsut laku

Aku ingin cinta yang sederhana
Sebab hidup lebih keras dari baja
Dan nasib lebih perih dari maut

Aku ingin cinta yang sederhana
Cinta dari Dia yang memberikan segalanya
Cinta dari Dia yang memberikan hidupNya
A. Tonny Sutedja

SEBUAH PUISI KUTEMUKAN DI TROTOAR KOTA B, SUATU SIANG

Masih jauhkah rumah kita ma?
Lihat, kakiku telah lepuh
Dan kulitku yang putih susu
Kini legam terbakar surya

Masih jauhkah rumah kita ma?
Tubuhku telah letih
Dan semangat pun enggan bangkit
Sementara kita berjalan melaju
Tak tahu arah ke mana

Masih jauhkah rumah kita ma?

Tidak nak, tidak!
Lihat langit di atas kepalamu
Indah birunya
Anugerah Tuhan buat atap rumah kita
Dan tanah di tapak kakimu
Sungguh luas dan hangat
Lantai alas ciptaan-Nya
Inilah rumah kita anakku
Setelah penggusuran
Kita berumah di alam-Nya

Ma, peganglah perutku ini
Keletihan mendera laparku
Terasa pedih terasa dingin
Ma, dengar dia menjerit
Minta diisi minta dikenyangkan
Dahaga pun menyusul
Pada kerongkongan kering ini
Ma, aku lapar ma!
Ma, aku haus ma!

Sabar nak, sabar
Lihat betapa ramahnya mereka
Yang telah menyediakan kita santapan
Di dalam tong sampah itu
Mari kita lihat nak
‘Tu ada paha ayam kesukaanmu
Tadi tentunya masih nikmat
Dan hanya karena keterlambatan kita saja
Kini sisa tulang dengan daging secuil
Tapi tak apa nak

Orang yang sabar dikasihani Tuhan
Mari kita nikmati apa yang ada

Dan bila kau dahaga nak
Teguklah air dari kali kecil itu
Lihat betapa segarnya dia
Menjadi berkah Tuhan sendiri
Sumber kehidupan bagi kita
Yang papa ini

Ma, aku ingin pulang ma
Cuaca panas menyiksa tubuhku
Keletihan memberati langkahku
Ma, aku ingin tidur ma
Kepalaku berat mataku perih
Rindukan tilam lunak di kamar kita

Ma, aku ingin istirahat ma
Pandangku nanar dayaku pudar
Jiwa pun lumpuh dalam letih
Enggan melaju untuk hidup
Kakiku tertatih melangkah penuh luka
Kapankah kita berhenti ma?

Mari nak, mari
Tidurlah di pangkuan mama
Udara memang gerah
Tetapi takkan meluluhkan kita
Tilam memang lunak
Tetapi tak seempuk pangkuan mama

Mari nak, mari
Tidurlah di pangkuan mama
Dan impikanlah burung-burung terbang melayang
Sebagaimana hidup kita kini
Mereka pun berumah di jagat Tuhan

(Maka lelaplah gadis kecil itu
Terbenam di pangkuan sang ibu
Yang memandangnya dengan nanar
Dengan mata berkaca-kaca)

Aku lewat dan melihat mereka
Aku lewat dan menemukan puisi
Aku lewat dan merasai duka
Aku lewat tetapi tak mampu berhenti

A. Tonny Sutedja

KALAU MEMANG MAUT AKAN DATANG

Kalau memang mau akan datang
Kuingin ia datang di musim hujan
Kala gerimis jatuh merintik
Karena kusuka harum tanah basah

Kalau memang maut akan datang
Biar ia datang tanpa kata
Bersua hening di bumi diam
Yang kini hilang dahaga

Kalau memang maut akan datang
Tak usah sesali segala alpa
Asal tanah balik ke tanah
Akan kupeluk ia sekali

Kalau memang maut akan datang
Takkan balik aku kepadamu
Tetapi kunanti kau di rumah Bapa
Karena banyaklah tempat tersedia

A. Tonny Sutedja

27 Desember 2007

OPA

Gerimis telah tiba. Hari pertama di awal november tahun 2006. Kami melangkahi tepi selokan yang semennya terkelupas dan longsor disana sini. Kawasan yang sedemikian padat ini, nampak kumuh. Pondokan terbuat dari kayu dengan dinding tripleks bekas. Kadang ditempeli dengan kertas koran atau majalah bekas. Kami sedang mengunjungi sebuah keluarga yang sedang berduka. Opa tua, opa yang pada saat-saat kami datangi dulu untuk memberi komuni bagi oma kelihatan amat sehat dan tegar, telah dipanggil Tuhan. Opa yang nampak sehat, sedang oma yang sudah lama sakit-sakitan karena rematik, telah mendahului istrinya. Suatu kejutan juga bagi kami saat mendengar berita itu. Ketika aku dikabari lewat SMS, aku kira berita itu salah. Bahwa yang meninggal bukanlah opa melainkan oma. Tetapi ternyata memang, berita itu benar. Opa yang pergi.
Rumah itu nampak sederhana. Deretan kursi tamu yang lusuh dengan banyak tambalan di sana-sini. Mereka memang hanya tinggal berdua saja di rumah ini. Di salah satu sudut rumah nampak tertempel foto tua opa, gagah dalam seragam polisinya. Tubuhnya yang kini kaku, terbaring di atas dipan tua, nampaknya setua tubuh itu sendiri. Oma yang berdiri di samping jenasah, nampak pasrah dan tidak menyadari kehadiran kami. Oma berkata, bahwa bukan suaminya yang meninggal. Suaminya sedang keluar berbelanja kebutuhan mereka sehari-hari setelah menerima uang pensiunnya. Memang, kata berita yang kami terima, pagi hari opa masih pergi ke Bank untuk menerima uang pensiun lalu setelah tiba kembali di rumah, opa keluar lagi untuk berbelanja dan membayar utang mereka. Pulangnya, opa merasa tidak enak lalu berbaring di atas sofa tua itu dan meninggal di sana. Oma, yang sudah pikun, memanggil tetangga dan mengatakan bahwa dia takut karena ada seorang pria asing yang sedang tidur di ruang tamu rumahnya. Tetangga yang datang kemudian menemukan tubuh opa sudah terbujur kaku. Begitulah datangnya hari akhir bagi opa.
Dengan kenangan-kenangan akan hari yang telah lewat, kami mendoakan arwah opa. Waktu hidupnya telah usai. Dan alam pun seakan turut menyertai kepergiannya dengan gerimis membasahi bumi. Bagaimanakah kita renungkan masa yang telah lewat? Setiap kematian, pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan yang tak mungkin lagi dapat dijawab. Opa, yang nampak jauh lebih sehat dari oma, sebagai purnawirawan polisi, ternyata dipanggil lebih dahulu. Kami mengenang opa oma ini sebagai sepasang suami istri yang nampak rukun. Dalam pertemuan-pertemuan di lingkungan, mereka selalu berjalan berdua. Opa selalu menuntun tangan oma yang tidak lagi kuat melangkah karena tulangnya yang rapuh akibat rematik. Mereka selalu jalan bersama. Maka rasa kehilangan oma, yang belum nampak saat kami datang ini, tentu akibat kepikunan oma, terasa bagi kami bagai sembilu menusuk hati.
Dan itulah kenyataan hidup. Itulah kebenaran yang pasti dan tidak terelakkan. Bagaimana nasib oma selanjutnya, belum kami ketahui saat itu. Tetapi kemudian, seorang keluarganya telah memutuskan untuk merawat oma di rumah mereka, cukup jauh dari lokasi kami ini. Kita. Kesedihan kita. Fakta-fakta yang tak terelakkan. Bagaimana pun kami sadar bahwa sesedih apapun juga, kami tidak langsung mengalami apa yang diderita oleh oma sepeninggal opa. Banyak hal di dalam kehidupan kita, ternyata jauh dari apa yang kita sendiri harapkan. Jauh. Terkadang kita merasa betapa tidak adilnya. Betapa Tuhan seakan telah melupakan keberadaan kita. Tuhan tidak ada saat kita sungguh-sungguh membutuhkan bantuanNya. Doa kita nampaknya tidak punya arti apa-apa lagi. Hampa. Semuanya hampa.
"Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku" (Mat 14:36a). Itulah kata Yesus saat menghadapi malam yang penuh tantangan dan rasa takut pada apa yang akan terjadi padaNya. Dan kita pun, selalu berdoa hal yang sama. Tuhan, janganlah Kau buat kami menderita. Luputkanlah kami dari segala bencana dan mara bahaya. Hindarkanlah kami dari segala cobaan. Tetapi kenyataannya, bencana dan musibah datang juga melanda kita. Dan kita pun lalu putus asa, merasa tidak berdaya dan malah menyalahkan Dia yang seakan-akan telah melupakan kita. Kita marah. Jengkel. Gusar. Dan tidak berdaya lagi untuk mengubah hidup kita. Kita lupa, bahwa kemudian Yesus pun menyambung permintaanNya kepada Bapa: “tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki." (Mat 14:36b).
Janganlah apa yang aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki yang terjadi. Seperti kata Maria juga, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Luk 1:38) Itulah yang seharusnya membimbing kita saat menghadapi cobaan yang berat. Itulah yang kami hiburkan kepada oma. Tetapi, bagaimana pun juga, memang kenyataan adalah tetap kenyataan. Kepahitan, kesusahan dan kesedihan adalah tetap milik mereka yang mengalaminya. Dan kata-kata penghibur hanyalah teori belaka yang seringkali terasa hambar dan tidak bermakna. Tetapi apa lagi yang dapat kami lakukan saat itu? Apalagi?
Maka bagi kita, tentu bukan teori atau kata-kata indah tetapi tidak berarti, yang bisa kami rasakan saat menerima kenyataan hidup yang dialami oma. Pada hakikatnya, kita sendiri harus mengalami dan berupaya memahami penderitaan itu. Bahwa dukacita dan kemalangan, mungkin bukan sekedar dukacita dan kemalangan, tetapi sebentuk pengurbanan kita untuk tetap hidup. Untuk tetap punya makna di dunia fana ini. “Ternyata saya ada gunanya....” Itulah kata-kata indah yang diungkapkan oleh seorang bidan desa, Hetty Candra Kasih dalam harian Kompas Selasa 31 Oktober 2006. Ternyata saya ada gunanya...” Dan percayalah, bahwa kita semua ada gunanya. Kita semua, dapat berguna jika kita mau. Jika kita menerima segala bencana, musibah, kepahitan, kemalangan dan kesdihan kita dengan tabah, dengan berkata "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Seperti kata Maria. Ya, kita semua, seharusnya masih dapat berguna jika kita tidak merasa kalah dan takluk pada kemalangan kita.
Sabtu 11 Nopember 2006. Cuaca cerah. Pagi-pagi sekali, kami mengunjungi oma yang kini tinggal di keluarganya, di daerah Antang. Rumah yang kami datangi tidak terlalu besar, sederhana walau kelihatan bersih dan apik. Sama seperti bangunan di perumahan sederhana lainnya. Ketika kami bertemu, oma nampak sedang menyuapi seorang bocah perempuan yang dengan lincahnya berlarian mengelilingi rumah. Oma nampak sabar walau terkadang suaranya terdengar keras memanggil bocah perempuan itu. Tangannya yang tua, kelihatan gemetar saat memegangi piring tetapi oma tetap tersenyum. Kami menyapa dirinya, tetapi oma nampak tenggelam dalam upayanya untuk menenangkan anak bandel itu. Ah, anak-anak, jika tidak bandel tentu bukan anak-anak, bukan? Nampaknya oma tidak lagi mengenali kami. Dia telah tenggelam dalam hidupnya sendiri. Bersama bocah kecil itu, dia telah menemukan ruang untuk kembali hidup sebagai manusia. Bahwa ternyata dia tetap berguna, walau mungkin untuk hal-hal yang sederhana. Tetapi sederhanakah menyuapi seorang anak? Tentu tidak. Pasti tidak. Kami merasa terkesan. Sudah bergunakah kami bagi kehidupan ini? Sudah bergunakah juga anda bagi kehidupan anda? Sudah bergunakah kita semua sama seperti oma? Sudahkah?
A. Tonny Sutedja

DEMI HIDUP

Hari menuju malam. Dari balik jendela hotel, tempatku bernaung sementara ini, aku menyaksikan sosok-sosok yang bergerak jauh di bawah sana. Sementara lampu-lampu jalan mulai menyala, bayang-bayang di atas aspal yang basah karena hujan sejak sore tadi, memantulkan ribuan ilusi ke dalam hatiku. Ribuan ilusi. Harapan-harapan yang telah terpantul oleh waktu. Dan usia. Siapakah yang dapat menahannya? Wajahku yang terpantul dari kaca jendela seakan ingin mengejek keperkasaan masa mudaku. Keperkasaan untuk apakah? Hujan rintik membasahi jalan. Dan hati yang sepi menjalin benang-benang rindu jauh di dalam hati yang merintih. Pada siapakah? Angin. Hanya angin yang tiba.
Siapakah yang dapat menyatakan kepadaku, untuk dan karena apakah segala bencana yang terjadi dalam hidup ini? Yang kubaca dari koran hari ini? Nasib? Takdir? KehendakNya? Ah bukan, kawanku. Jangan mencari kambing hitam. Jangan menyalahkan sosok-sosok tak jelas. Jauh di dalam lubuk hati, kita tahu, bahwa awal dan akhir hidup kita hanya berkubang pada keserakahan. Keserakahan kita terhadap hidup. Keserakahan kita untuk menguasai dan menaklukkan dunia. Demi kesenangan dan kebanggaan kita. Suatu kebanggaan yang semu. Dan samasekali tak berarti. Berartikah?
Dunia bergerak. Waktu bergegas. Dan kita, takut ditinggalkan, berusaha untuk meraih semua mimpi-mimpi dan harapan kita. Kita ingin menikmati. Kita ingin mereguk segala kesenangan dan kebahagiaan dunia. Kita ingin menang. Menang. Maka teori ekonomi pun kita ciptakan. Pengeluaran sesedikit mungkin untuk pemasukan yang sebesar-besarnya. Kita ingin memperoleh tanpa mau berkurban. Kita enggan untuk letih. Jika bisa, kita siap menghancurkan segala apa yang ada di depan kita: sesama, alam, dunia demi kejayaan kita. Demi kejayaan kita. Bukankah begitu? Jujurlah pada diri sendiri dan kita akan mendapatkan jawaban yang jujur pula.
Maka jika alam membalasnya beranikah kita untuk meyatakan siap untuk bertanggung jawab? Beranikah kita akui kesalahan dan kegagalan kita untuk memperbaiki apa yang telah kita hancurkan hanya demi keuntungan pribadi kita? Ketika lumpur menyembur dari bumi, ketika banjir dan longsor mendera kehidupan kita, ketika kapal dan pesawat tenggelam dan jatuh menghempas bumi, ketika bumi semakin gersang dan cuaca berubah kian ekstrem, dan ketika jiwa-jiwa berguguran satu persatu, pada siapakah kita harus mempersalahkan? Nasib? Takdir? Kehendak Tuhan? Bukankah seharusnya, pertama-tama kita harus meninjau diri kita sendiri? Ketamakan dan keserakahan kita? Kebuasan kita untuk merusak dan menghancurkan demi menciptakan kejayaan diri kita sendiri. Demi dompet dan kedudukan kita. Demi hasrat kita untuk berkuasa dan berjaya. Angin. Hanya angin yang datang menjawabnya. Dan kita tetap bersembuyi di balik jubahnya yang besar itu.
Hari menuju malam. Dari balik hotel berbintang ini, jauh, jauh tinggi dari atas jalan raya yang basah oleh hujan yang merintik, aku tiba-tiba merasa kesepian. Jauh di bawah, sosok-sosok asing dan tak kukenal berseliweran. Siapakah mereka? Siapakah aku? Siapakah kita? Dan dimanakah posisi kita semua dalam kehidupan yang berjalan dalam waktu ini? Dan apakah waktu itu? Tahun 2007, kini, tetapi apa yang beda dengan waktu sebelumnya? Tidakkah aku, jauh tinggi di atas, hanya menggenggam suatu ilusi tentang kekuasaan dan kekayaan. Dan sosok-sosok yang jauh di bawah, mungkin seorang ibu yang mengemis demi menghidupi anaknya, mungkin seorang ayah yang tertatih-tatih mendorong gerobak sampah untuk menghidupi keluarganya, mungkin seorang anak yang tahu bahwa pendidikan yanbg dirindukannya terletak jauh di atas awang-awang sementara dia sendiri untuk mengisi perutnya pun tak lagi mampu. Ah, siapakah kita ini, yang dalam suatu pertemuan dapat membicarakan nilai proyek ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah, sementara jauh di bawah sana sesosok tubuh hanya mampu berharap uang logam 500an?
Dan hujan deras pun membasahi bumi. Genangan air mulai memenuhi ujung ke ujung jalan di depan hotel yang megah ini. Sebuah sedan mewah meluncur cepat, sambil mengibaskan pancuran air ke sosok-sosok lemah di tepi jalan. Beberapa orang mungkin mengumpat. Tetapi dengan tenangnya, kaca mobil terbuka lalu melayanglah ke luar sebuah kaleng minuman ringan yang sudah kosong. Hebat. Aku mengguman. Hebat. Mendadak aku melihat cermin wajahku sendiri di atas ketidak-pedulian pada kehidupan lain. Hebat. Dan masih dengan tenangnya, sedan itu mengambil jalan di tengah sambil membunyikan klakson. Keras. Dan angkuh. Dan dingin. Dan tak peduli. Ah, siapakah yang peduli? Ya, siapakah yang peduli?
Malam pun tiba. Aku berbalik dan kembali memandang ruang temaram di dalam kamarku yang sejuk, aman dan terang ini. Tahun baru telah lewat. Dan aku pun tersenyum saat mengenang masa lalu dimana aku selalu memakai baju baru, bahkan rambut pun baru dicukur untuk menyambut tahun yang baru. Tetapi sayang, ya sayang, tiba-tiba aku merasa letih saat menyadari bahwa perbuatanku masih saja yang lalu. Kulit baru tetapi isi masih yang lama, tua dan telah usang. Seusang bumi kita yang kian tertatih-tatih mengikuti segala ambisi dan nafsu kita. Namun, walau menyadari bahwa seringkali ucapan hanya tampil di kulit muka, aku tetap mengikuti tradisi manusia untuk menyampaikan selamat kepada tahun baru yang hanya semu itu. Selamat Tahun Baru. Semoga kita semua mampu mengubah hidup kita di tahun yang mulai menua ini.....
Tonny Sutedja

ANAK-ANAK YANG SEPI

Anak-anak selalu memiliki kerinduannya sendiri. Mengapakah kita selalu mengkhawatirkannya? Tidak layakkah anak-anak untuk bermain, mencari dan menemukan apa yang disenanginya? Mengapakah kita harus mencampakkan semua mimpi-mimpi indah mereka? Apakah kebenaran selalu hanya milik kita, orang-orang yang merasa bahwa kedewasaan adalah kebenaran mutlak?
"Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" jawab Yesus kepada ayah ibunya saat mereka mencari dan menemukan Dia. Seringkali ketakutan kita pada masa depan yang tak teraba dan harapan kita sendiri yang tak teraih yang membuat kita ingin agar anak-anak kita menjadi jauh lebih berhasil daripada kita sendiri. Tetapi apakah keberhasilan untuk kita sama dengan keberhasilan untuk mereka di masa depan?
Anak-anak selalu memiliki kerinduannya sendiri. Kita bisa mengarahkan mereka tetapi jangan membentuk mereka sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mereka toh bukan tanah liat yang dapat kita ubah bentuknya sesuai dengan apa yang kita idekan. Hidup mereka bukanlah suatu bentuk mekanik yang dapat kita jalankan seperti kita menjalankan robot lewat remote-control. Anak-anak, mimpi mereka, keinginan dan harapan mereka, kerinduan-kerinduan mereka pasti bukanlah suatu kesia-siaan belaka. Sebab mereka diciptakan sama seperti kita diciptakan. Mereka adalah cermin kerinduan Tuhan sendiri untuk membuat manusia secara bebas mampu menentukan dirinya sendiri.
Anak-anak memang menyimpan kerinduannya sendiri. Dan karena itu, dalam menyikapi sikap kita yang sering memaksakan ide kita, mereka menjadi anak-anak yang kesepian. Merasa tak dipahami. Merasa tak dipedulikan perasaannya. Sehingga terkadang mereka menjadi pemberontak yang aktip. Atau menjadi penurut yang pasip. Maka akhirnya mereka sering gagal menjadi diri sendiri. Larut dalam situasi emosional, melawan atau pasrah, mereka gagal menyikapi hidup. Lalu kita pun mulai mengeluh. Salah siapa?
“Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 18:10). Ingatlah, bahwa anak-anak selalu memiliki kerinduan mereka sendiri. Dan tidak setiap kerinduan itu sama dengan kerinduan kita. Kita dapat mengarahkan tetapi jangan memaksa mereka. Kita dapat meminta tetapi tidak untuk mengharuskan. Berapa banyakkah penderitaan terjadi karena sikap kita yang keras dalam memaksa anak-anak kita untuk mewujudkan mimpi kita sendiri?
Maka marilah kita menyadari untuk tidak menjadikan anak-anak kita menjadi anak-anak yang sepi. Anak-anak itu pun memiliki hak untuk mewujudkan kerinduan mereka. Untuk menyatakan keberadaan diri mereka. Sebab di dalam merekalah terletak masa depan. Kita tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal tentang mereka. Sebab kita sendiri pun tidak abadi. Suatu waktu kelak, kita harus membiarkan mereka untuk terbang melayang dengan saya-sayap mereka sendiri. Yang jauh lebih berdaya daripada sayap kita sendiri. Jauh lebih berdaya.
A. Tonny Sutedja

NILAI SEORANG MANUSIA

Orang yang lanjut usia kita hormati, tetapi bukan karena jumlah tahunnya yang banyak.
Sebab orang lanjut usia dalam arti sebenarnya ialah orang yang bijaksana dan hidup baik.
(Kebijaksanaan Salomo 4:8-9)

Dia duduk membelakangiku. Lewat jendela, jejeran pepohonan cemara nampak bergoyang dalam deru angin. Hari sudah hampir senja. Dan udara dingin perlahan menyelinap masuk. Langit lembayung tertutup awan. Lapis melapis. Beberapa ekor burung gereja nampak mengambang di antara ranting dan dedaunan cemara. Beberapa lagi melompat-lompat di atas tanah yang basah akibat gerimis siang tadi. Suasana sepi, sesepi hatinya yang baru saja menguakkan luka lamanya kembali. Luka.
Usianya baru saja mencapai dua puluh dua tahun. Tetapi aku merasa bahwa dia telah melangkahi waktu berabad-abad lamanya. Rambutnya yang panjang dan tergulung rapi tidak dapat menyembunyikan raut sedih di wajahnya. Ah, tiba-tiba aku berpikir tentang nilai seorang manusia. Hal yang sama tadi ditanyakannya. Tentang betapa kini dia tak lagi merasa punya nilai yang berarti dalam hidup ini. Baginya, segalanya telah nihil. Hidup, harapan, masa depan. Segalanya tidak lagi punya arti. Dia telah mati dalam hidup yang masih berlanjut ini. Gerimis kembali turun.
Apakah artinya sebuah kehidupan? Apakah maknanya penderitaan? Berpakah nilai seorang manusia? Dapatkah kita mengukurnya dengan nilai yang baku? Tentu saja tidak. Bahkan kita hidup bukan untuk dinilai atau menilai. Setiap orang, ya setiap orang hidup dengan dunianya sendiri. Seberapa dekat pun kita dengan seseorang, selalu ada ruang yang tak tertembus dalam lubuk hati dan pikirannya. Dan sebab itu, di bawah langit yang satu, dan di atas bumi yang satu pula, kita tak punya hak untuk menilai atau dinilai. Apa itu kebaikan, kejahatan, kesalahan dan kebenaran, segalanya tergantung pada kejujuran kita untuk menghadapi hidup. Maka semuanya tergantung pada keputusan kita untuk menghadapi hidup ini serta bertanggung-jawab dalam menjalaninya. Selain dari itu, hanya ada pandangan semu dan tak berarti. Sebab, apakah kebenaran itu? Bukankah kebenaran sesungguhnya terletak pada bagaimana kita mau menghadapi dan berani bertanggung-jawab atas segala apa yang telah terjadi dan menimpa kita. Dan nilai seseorang justru terletak pada bagaimana kita mengubah diri kita sendiri. Tidak untuk pasrah dan putus asa untuk hidup. Sebaliknya, kekalahan kita bisa bermakna banyak atas nilai kita sendiri jika kekalahan itu sendiri terjadi setelah kita telah berjuang mempertahankan kejujuran kita untuk hidup dan menghadapi hidup.
Tidak banyak orang yang mampu memutuskan secara benar menghadapi masa depannya. Bahkan semua orang pernah menghadapi kesalahan dan kegagalan dalam memutuskan sesuatu. Tidak ada yang salah dalam hal itu. Kita bukanlah mahluk yang sempurna. Tetapi bagaimana pun, setiap orang bisa dan mampu untuk menghadapi hidupnya sendiri. Mampu menghadapi kenyataan yang telah dan sedang terjadi. Dan tidak melarikan diri dari kenyataan hidupnya. Sebab penderitaan adalah milik semua orang yang hidup. Hanya dalam keberanian menghadapi dan menerima segalanya secara apa adanya sajalah kita bisa berdiri tegak dan mengangkat nilai kita sebagai seorang manusia. Bukankah di depan Tuhan, Sang Pencipta, kita semua memiliki nilai yang sama? Hanya, tentu saja, talenta yang diberikan kepada kita dapat berbeda-beda. Maka kemampuan kita dalam mempergunakan talenta itu saja yang akan dimintakan pertanggung-jawabanNYA kelak. Maka nilai seseorang manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. Dan tak seorangpun punya hak untuk memberikan nilai kecuali Dia yang menyayangi kita.
Sebab bukankah Yesus sendiri telah memberikan teladan yang menarik dalam menentukan nilai hidup ini? Yesus, yang sesungguhnya menurut pandangan manusia, telah gagal karena dijadikan terdakwa, divonis mati dan dengan tubuh yang nyaris telanjang, tergantung di atas kayu salibNya. Siapakah yang bisa menilai bahwa Dia telah berhasil melihat kenyataan yang pahit itu? Kalah dan tewas dalam usia yang masih teramat muda, sebagai terhukum pula. Bagaimanakah kita mampu menilai diri seorang manusia Yesus selain dari kekalahan dan kegagalan. Tidakkah tragis? Dia, yang Sang Putera yang amat disayangi dari Bapa yang Maha Kuasa, saat itu nampak memilukan. Lemah, tidak berdaya dan bahkan dengan sedih berseru: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani” (Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?). Betapa pahitnya hidup ini. Betapa tidak bernilainya harapan itu, karena pada akhirnya, tak ada yang sanggup membantuNya untuk tetap hidup. Yesus telah gagal. Dan mati dengan hina. Hina.
Tetapi, ah tidak! Ternyata kekalahan, kegagalan dan ketidak-berartian itu tidak berarti bahwa kita sungguh-sungguh telah kalah. Karena dalam kekalahan dalam menghadapi realitas itulah sesungguhnya yang telah memenangkan ke-Tuhan-an Kristus. Dia telah kalah di tangan manusia. Dia takluk di dalam dunia realitas. Tetapi justru karena itu, Dia bangkit dan hidup di dunia ke-Agung-an Bapa. Maka sahabatku, menilai seorang manusia janganlah dari sudut pandang manusia pula. Marilah kita menilai diri sendiri dengan lebih obyektip. Lebih utuh. Dengan berjuang menerima, menghadapi dan mengubah apa yang telah dan sedang kau alami saat inilah sesungguhnya terletak esensi hidupmu. Bahkan pun, jika kelak kau sungguh kalah, itu hanyalah penilaian dari dunia manusia yang penuh dengan kesalahan. Penilaian dari Tuhan akan lain. Akan lain sama sekali. Yakinlah.
Gerimis memasuki senja. Di luar, beberapa lampu mulai menerangi jalan yang basah. Pantulannya membiaskan warna-warni yang cemerlang dalam suasana yang mulai kelam. Tak ada sesuatu yang bergerak lagi di luar. Tak ada lagi kumpulan burung gereja yang tadi nampak. Angin pun diam. Dahan, ranting dan dedaunan cemara diam. Segalanya tenang. Dengan perlahan dia berbalik menghadapiku. Dengan seulas senyum tipis, dia berkata, Tuhan memberkatiku. Tuhan memberkati dunia ini. Tuhan memberkati segala-galanya. Dia membuat segalanya indah pada waktunya. Ya, segalanya indah pada waktunya.
Bukankah begitu?
A. Tonny Sutedja

KELAHIRAN

Langit malam berkabut. Gerimis menetes lembut. Udara dingin menusuk tulang. Kami duduk berkumpul di depan altar sambil berdoa. Suara yang lirih memenuhi ruang kapel ini. Nyala lilin bergoyang-goyang tertiup angin. Suasana amat menyejukkan hati kami. Malam Natal. Malam kelahiran. Malam penyambutan seorang Anak Manusia yang rela mengurbankan diriNya bagi keselamatan kita semua. Dan karena itu telah menciptakan suatu aura kedamaian dalam hati kami. Aura yang sedemikian lembut sehingga mengalahkan kelembutan nyanyian “malam kudus” yang kami tembangkan bersama.
Setiap kelahiran serupa lilin yang menyala. Dan kita berharap agar sinar dari kehidupan yang telah kita nyalakan itu dapat bertahan selamanya dalam ingatan sejarah. Tetapi seberapa terangkah cahaya yang telah kita berikan bagi dunia? Mungkin tidak layak kita membandingkan diri dengan kehidupan dan perbuatan para kudus. Tetapi bagaimana pun, cahaya kita semua serupa kerlap-kerlip nyala lilin yang kecil, yang bila berkumpul bersama dapat menciptakan suasana terang dan hangat bagi dunia. Maka di tempat yang terpencil ini, jauh dari keramaian hiruk pikuk perayaan agung di kota besar, kami sama menyadari bahwa keberadaan kita sebagai manusia adalah serupa nyala lilin-lilin kecil yang selayaknya turut menerangi dan menghangatkan tubuhNya di dalam palungan ini. Kita semua adalah lilin yang menyala bagi kehadiranNya di dunia ini.
Maka malam ini kami mengenang lilin-lilin yang tidak sempat bernyala. Lilin-lilin yang padam, baik karena tiupan angin maupun karena sebab lain. Lilin-lilin yang terpaksa harus dipadamkan maupun yang tak diingini untuk bercahaya. Kemanakah perginya mereka kini? Bukankah Sang Bayi Kehidupan selalu membutuhkan cahaya kita semua? Sedemikian rapuhkah kita sehingga untuk bernyala pun kita tidak lagi mampu? Tengoklah, udara malam dingin menusuk tulang. Dan kelam membutakan alam. Tidak inginkah kita untuk berkurban meneranginya? Mengapakah kita enggan untuk menyala, menghanguskan diri demi kebahagiaan Dia yang terbaring di palungan? Sedemikian angkuhkah kita hingga tak setetes hidup yang rela kita berikan demi menerangi dan menghangatkan tubuh Sang Bayi Kehidupan?
Langit malam berkabut. Gerimis menetes lembut. Kami duduk melingkar, saling memandang. Sadar bahwa banyak hal yang dapat dilakukan. Bahwa terang yang kita berikan tak pernah cukup. Bahwa hingga lumerpun kita cuma menyumbang sedikit kehangatan dan terang bagi dunia. Tetapi toh, itu jauh lebih baik daripada kita membiarkan gelap menguasai diri. Dan biarpun besok pagi tiba mungkin tanpa kehadiran kita lagi, kita toh tahu bahwa terang yang kita berikan telah memberi rasa hangat kepada Dia yang kini telah bangkit dengan mulia. Dan kita pun akan berada dalam kemuliaanNya pula. Selamat Natal!
A. Tonny Sutedja

MISTERI - MISTERI HIDUP

“Kenalkah kau padaku? Sungguh-sungguhkah engkau mengenalku?” Dia memandangku dengan tajam. Aku terpana dan berdiam diri. Siapakah yang sungguh mengenal diriku? Aku tidak tahu. Sebab terkadang aku bahkan tidak tahu siapakah diriku sendiri. Mengapa aku berbuat ini atau itu. Mengapa aku berpikir begini atau begitu. Hidup sungguh sering terasa asing. Betapa banyak hal-hal yang tersembunyi dari pandangan orang lain. Seakrab dan sedekat apa pun hubunganku dengan mereka, tetap ada satu sudut dalam diriku yang tidak nampak. Tetap ada satu sisi yang berlainan antara kelompok teman yang satu dengan yang lain.
Jiwa yang satu sungguh menyimpan ribuan misteri. Dan kita hidup bersama misteri-misteri itu. Kebenaran seringkali mengabur dalam niat, nafsu dan ambisi kita. Kita hidup bersama topeng-topeng yang kita buat untuk melindungi diri kita dari pandangan orang lain. Kita takut terbuka. Kita takut dikenal. Karena kegagalan kita dalam menaklukkan segala hasrat dan cita kita. Maka kita tenggelam dalam kesalah-pahaman mengenai hidup ini. Kita bahkan menikmatinya sebagai suatu kemestian. Sering bahkan kita ngotot pada pendapat kita yang kita anggap sebagai suatu kebenaran yang mutlak benar.
Demikianlah perasaan itu bergejolak dalam diriku saat berhadapan dengan sahabatku itu. Aku mengenalnya sebagai seorang pria yang baik. Dengan istri yang cantik dan dua orang putranya yang lucu dan lincah. Tetapi saat ini, aku menemuinya di sebuah ruang tahanan kepolisian setelah beberapa malam lalu tertangkap tangan sedang melakukan transaksi narkoba dengan seorang wanita. Bahkan istri seorang aparat pula. Dijebakkah dia? Tetapi apa pun sebabnya, satu hal telah tersibak, kebenaran tidak selamanya sama dengan apa yang nampak dalam penampilan sehari-harinya di hadapanku.
Maka berapa banyakkah dari kita yang hidup bersama topeng-topeng indahnya? Berapa banyak dari kitakah yang menikmati hidup bersama bopeng-bopeng tersembunyi di balik pantulan wajah yang lugu dan nampak bersih? Berapa banyakkah? Aku bahkan berpikir bahwa kita semua memang hidup bersama topeng-topeng yang kita kenakan setiap saat, topeng-topeng yang sering berubah-ubah bentuk setiap saat dan setiap kesempatan. Tergantung pada siapa akan kita nampakkan wajah kita. Dan inilah misteri-misteri kehidupan di dunia ini.
Kita seringkali tenggelam dalam keasyikan kita terhadap diri sendiri. Kita menikmati hidup bahkan dengan melupakan segala apa yang berlangsung di sekeliling kita. Kita hidup bersama nafsu, hasrat dan ambisi kita masing-masing. Kita hidup bersama kebenaran kita sendiri. Hanya pada kebenaran kita. Pada batas itu, apa yang baik dan apa yang buruk pun mengabur. Kita hidup dalam bayang-bayang dengan selalu memakai topeng saat menghadapi kenyataan. Menyembunyikan diri kita yang sesungguhnya dari pandangan orang lain. Bahkan dari pandangan orang yang terdekat pada kita sekali pun.
Dengan dipenuhi perasaan kusut dalam hati, aku meninggalkan ruang tahanan itu. Siang dengan cahaya matahari yang terik sedang membakar bumi. Siang dengan cahaya terangnya yang amat menyilaukan mataku setelah meninggalkan ruang sempit yang gelap dan suram itu. Di luar, orang lalu lalang seakan tidak peduli dan tidak pernah peduli pada kekisruhan satu jiwa yang terkungkung. Orang-orang, yang seperti sahabatku dan aku sendiri, hidup dengan topeng kami masing-masing. Tenggelam dalam kehidupan dan diri kami masing-masing. Kebenaran, ah, barang apakah itu?
A. Tonny Sutedja

RENUNGAN MENJELANG TAHUN BARU

Siapakah aku? Di manakah aku? Apa yang sedang kukerjakan? Apakah tujuan hidupku? Apakah yang kukerjakan saat ini selaras dengan tujuan hidupku? Apakah aku sadar dengan keberadaanku saat ini? Apakah hidupku telah bermakna? Selayaknya kita renungkan pertanyaan-pertanyaan itu, tepat di malam ketika tahun akan berganti. Menyembunyikan diri kita di dalam pesta pora perayaan dapat menciptakan kebohongan dan penghindaran diri dari segala macam problem yang saat ini kita hadapi.
Tidakkah hidup seringkali terasa membosankan? Hampa dan tak bermakna? Hari-hari dalam kehidupan ini kita lalui begitu saja. Lewat tanpa disadari. Kita berubah menjadi seperti mesin. Dengan letupan-letupan sesaat. Bergerak terus hingga waktu membuat kita aus, berkarat lalu perlahan-lahan rusak dan mati. Tetapi jika kita adalah mesin, apakah gunanya pemikiran kita? Apakah fungsinya kesadaran kita? Tidakkah seharusnya kita jelajahi hidup untuk mencari kebenaran. Untuk membuktikan keberadaan kita di dunia ini. Dan kita dapat menghindari penderitaan dengan menyatakan kejujuran. Mengapa kita harus melarikan diri dengan berpura-pura bahwa segalanya abadi? Mengapa kita harus menyembunyikan duka lara kita masing-masng?
Penderitaan memang dapat terjadi karena hal-hal yang di luar jangkauan kita. Lingkungan kita, orang lain, ketidak mampuan kita atau karena sistim yang membelenggu dengan aturan-aturan yang tidak adil. Tetapi jauh lebih sering, ternyata, bahwa penderitaan kita berasal dari diri kita sendiri. Dari pola pikir kita. Dari keinginan-keinginan kita. Dari nafsu dan ambisi kita. Dari ketidak mampuan kita untuk menilai dan memahami dunia di luar diri kita. Dan dari kegagalan kita untuk mencapai sasaran-sasaran yang kita inginkan. Kita terbui dalam ruang sempit keAKUan sehingga gagal melihat banyak hal di luar dinding keAKUan kita. Banyak hal yang baik pun yang buruk. Yang harum pun yang busuk. Yang indah pun yang jelek. Hidup bukanlah sebuah mimpi. Hidup adalah kenyataan yang mesti dialami bersama dunia seluruhnya. Kita dituntut untuk menyadari hal itu.
Maka tepat di malam tahun baru nanti, cobalah berhening diri. Tengoklah waktu yang sudah silam. Telusurilah keberhasilan dan kegagalan kita. Di dalam keheningan itu renungkanlah pertanyaan-pertanyaan di atas. Semoga dengan demikian, hari baru di tahun baru besok akan kita masuki dengan pemikiran baru juga. Serta perbuatan-perbuatan baru. Yang lebih baik. Yang lebih indah. Dan hidup kita pun dapat diperbarui pula. Pada akhirnya, Selamat Tahun Baru 2008. Semoga Kasih dan Cahaya Kristus beserta kita semua. Amin!
A. Tonny Sutedja

PERJUANGAN UNTUK HIDUP

Gadis cilik itu terbaring di depanku. Tubuhnya kadang tersentak, meliuk dengan kedua tangan terkepal. Kadang pula diam kaku. Wajahnya nampak pucat. Matanya terpejam. Aku melihatnya dengan perasaan yang tak terucapkan. Penderitaan, pikirku, apakah itu? Rasa sakit, bagaimanakah mengatakannya? Kesedihan, saat itu perlukah? Tiba-tiba aku berpikir, jika kita merasa kecewa dan terluka saat ini, jika kita merasa bahwa mengakhiri hidup kita adalah solusinya, cobalah untuk mengunjungi sebuah Rumah Sakit. Dan saksikanlah tubuh-tubuh yang meregang tak berdaya. Tubuh-tubuh yang bertarung untuk hidup. Batas tipis antara kematian dan kehidupan terbayang jelas di sini. Lalu pikirkanlah, makna perjuangan untuk bertahan tetap hidup yang nampak jelas di ruang ICU sebuah Rumah Sakit. Masihkah kita merasa sama?
Sungguh, keberadaanku di ruang ICU telah membukakan mataku agar berjuang agar bisa tetap bertahan untuk hidup. Perjuangan yang melelahkan ini ternyata dipenuhi banyak hikmat. Bahwa keberadaan kita di dunia ini bukan sekedar untuk ada dan bisa menikmati apa yang ada. Tetapi lebih daripada itu, keberadaan kita di dunia ini berarti kesempatan untuk bisa bermanfaat. Kesempatan untuk menghargai dan kesempatan untuk mengisi keberadaan kita dengan sebuah perjuangan. Apapun hasil dari perjuangan itu, tidaklah terlalu perlu disesalkan dan bahkan tidaklah sepenting yang kita pikirkan sendiri. Karena yang berharga adalah perjuangan itu sendiri. Ya, perjuangan itu sendiri.
Menangislah jika ingin. Kecewalah jika mau. Merasa pilu dan sakitlah jika ada gunanya. Tetapi jangan pernah putus asa dan melarikan diri dari kenyataan yang sedang kau alami. Hidup, ya hidup tidaklah sesederhana yang kita pikirkan. Juga tidak seruwet yang kita bayangkan. Hidup kita tergantung pada bagaimana kita memandang diri dan kondisi sekitar kita. Hidup kita, benar-benar tergantung pada bagaimana cara kita memikirkannya. Maka apa gunanya kekecewaan, rasa sakit dan kehancuran yang kita alami saat ini di masa depan nanti? Ya, apalah artinya masa sekarang di masa yang akan datang nanti? Masa datang yang masih teramat panjang dimana kita dituntut untuk bertanggung jawab menjalaninya.
Gadis cilik yang terbaring di ruang ICU itu telah memperlihatkan suatu perjuangan untuk tetap bertahan dalam kesesakan dan kesengsaraannya. Rasa sakit dan kerapuhan tubuhnya yang hanya bisa dialaminya sendiri secara pribadi. Dan saat aku berdiri di samping ranjangnya, aku hanya bisa membayangkan tanpa mampu larut ke dalam penderitaan itu sendiri. Kita lahir seorang diri, kita hidup dan berjuang beralaskan kesendirian kita, dan kelak kita akan menghadapi akhir mutlak sendirian sebagai suatu pribadi yang tunggal. Itu adalah sebuah jalur tunggal dan karena sudah jelas dan nyata, tidaklah terlalu penting lagi untuk dikhawatirkan. Yang dituntut dari diri kita adalah bagaimana kita berjuang dan mengisi sepenggal riwayat keberadaan kita di dunia secara baik, benar dan layak.
Di seputarku terbaringlah tubuh-tubuh lemah, tak berdaya dengan berbagai macam peralatan dan selang-selang infus yang memasuki daging tubuh-tubuh itu agar bisa tetap bertahan untuk ada dan berada di kehidupan ini. Pantas atau tidak, saat itu yang kulihat bukan hanya daging tubuh tetapi bentuk-bentuk perjuangan jiwa untuk melawan atau pasrah menerima apa yang ada. Maka jika daging kita tergantung pada peralatan canggih untuk memperpanjang waktu keberadaan kita, bagaimana dengan jiwa, pemikiran dan perasaan kita sendiri saat itu? Bagaimana dengan harapan dan semangat untuk tetap ada?
Maka kemanakah kekecewaan, sakit hati, putus asa, kemarahan dan segala keangkuhan serta hasrat dan ambisi kita? Kemanakah perginya rasa duka maupun suka yang telah kita alami? Kemanakah tenggelamnya segala kenangan indah dan buruk yang telah kita alami? Kemanakah mereka? Suatu saat nanti kita semua akan berlalu dan itu sudah menjadi suatu kepastian. Mengapa kita takut untuk hidup saat ini? Mengapa kita khawatir menghadapi hidup kita sekarang? Masa depan yang tidak pasti membayang di depan? Baik atau buruk, kita toh takkan mampu untuk memastikannya sekarang. Baik dan buruk, siapa yang bisa mengukurnya? Hanya waktu. Ya, hanya waktu saja. Bertahanlah. Jalanilah hidupmu. Susurilah jalan setapak yang penuh onak duri ini. Dan tersenyumlah selalu. Tersenyumlah selalu.....
A. Tonny Sutedja

DEBU DALAM ANGIN

Katamu dulu, kau takkan meninggalkanku
Omong kosong belaka
Yang tersisa kini hanya rembulan
Bersinar purnama malam itu
Sama seperti saat ini
(Katamu Dulu – haiku Jepang)

Aku punya dua nama. Satu nama berada di desa kelahiranku. Satu nama lagi di kota yang gemerlap ini. Aku punya dua nama. Dua nama dengan dua kehidupan yang berbeda. Satu nama dikenal akrab. Satu nama lagi bukan siapa-siapa. Salahkah aku? Sementara ada yang mesti dihidupi di desa kelahiranku, nama yang satu berkeliaran di kota tanpa mengenal dirinya sendiri. Sesali apa yang harus disesali, namun hidup tak bisa kuhentikan.
Aku punya dua dunia. Satu putih bersinar. Satu kelam berkabut. Dan keduanya berada dalam satu tubuh. Dalam satu kehidupan. Munafikkah aku? Bukankah dalam menjalani hidup ini, aku mesti berjuang untuk menghidupi hidup? Bukankah, dalam menjalani hidup ini, aku mesti mengurbankan diri agar keluargaku tidak terpuruk semakin dalam dan kehilangan harapan untuk bertahan? Dan, jika aku adalah milik dunia ini, apa yang istimewa pada diriku sehingga aku harus disesali?
Nama dan dunia. Apakah artinya sekarang? Sedang dalam sejarah, kita semua hanyalah debu dalam angin. Berputar mengikuti gelombang waktu. Sering tanpa daya untuk menolak kepahitan dan keputus-asaan. Kita semua berjuang agar dapat tetap bertahan. Kadang dengan cara apa saja. Sering dengan cara apa saja. Sebab jika tidak, kita terpaksa harus mengaku kalah. Dan terlunta-lunta dalam dunia yang semakin melupakan kita. Kita hanya seorang diri. Kita cuma seorang diri saja.
Tangis, adakah gunanya lagi? Tawa, berartikah itu? Betapa sering tangis bersembunyi di balik tawa. Kata-kata indah. Nasehat-nasehat bijak. Semua rontok menghadapi kerasnya hidup. Ah, bukankah tak ada yang memberiku makan saat aku lapar? Dimanakah engkau saat aku haus? Bahkan kau menjadikanku seorang asing setelah menggusur kediamanku. Dan menjadikanku telanjang setelah kau rampas seluruh upayaku untuk tetap bertahan hidup. Sehingga sisa tubuh ini yang ada. Hanya tubuh ini yang tertinggal. Sesali apa yang mesti disesali, tetapi jangan salahkan aku. Sebab kini aku harus hidup dan menghidupi. Tidakkah demikian juga dengan engkau?
Maka janganlah menghakimi siapa-siapa, sebelum mampu untuk menghakimi ketak-berdayaan kita terhadap kehidupan ini. Sebelum kita mampu untuk memberi makan kepada yang lapar. Sepanjang kita gagal memberi minum kepada yang haus. Saat kita tak mau memberi tumpangan kepada yang terasing. Dan bahkan kita tak bisa memberi pakaian kepada yang telanjang serta pengobatan kepada yang sakit dan tak berdaya. Sebab mereka juga mesti hidup. Mereka juga harus hidup.
Dua nama. Dua dunia. Dua kehidupan. Pantaskah kita salahkan? "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Sabda Yesus.
A. Tonny Sutedja

HIDUP DALAM WAKTU

Begitu sederhana. Begitu rumit. Hidup kita adalah sebagaimana apa yang kita pikir kita rasakan. Dan ketika kita berbuat demikian, waktu pun tetap melaju. Tahun demi tahun. Bulan demi bulan. Hari demi hari. Saat demi saat. Maka, apakah yang tersisa selain perasaan kita saja?
Manusia dirancang untuk berbuat. Manusia diciptakan untuk melakukan. Bukan untuk berdiam diri dan mengeluh. Karena, sesungguhnya, manusia dikerjakan Allah, dari debu tanah lalu menghembuskan nafas hidupNya kepadanya. Dan sama seperti Allah telah berkarya untuk membuat manusia ada, manusia pun haruslah berkarya untuk membuktikan bahwa dirinya adalah sungguh gambaran dari Allah.
Maka kita diberi talenta untuk hidup dan menghidupi diri. Setiap insan menurut kemampuannya masing-masing. Ada yang diberikan satu, ada yang diberikan dua dan ada yang diberikan lima talenta. Dan kita semua, dalam segala perbedaan itu, harus mempergunakan talenta itu dengan sebaik-baiknya. Janganlah menyia-nyiakan talenta itu karena, setiap orang yang menghasilkan akan diberi sedang siapa yang menyembunyikan talentanya, akan diambil kembali daripadanya.
Kadang hidup menjadi demikian mencekam. Tetapi manusia tidak pernah tidak mampu berbuat apa-apa untuk berkarya. Selalu ada jalan. Selalu ada lorong-lorong tersembunyi untuk berbuat. Dan karena itu kita diberi kemampuan untuk mencari dan menemukan lorong-lorong itu. Bahkan dalam gelap yang paling kelam sekali pun. Yang kita perlukan hanya usaha. Dan keberanian. Dan kesabaran. Dan kepekaan iman. Untuk dapat menemukan tonggak-tonggak penunjuk yang dipatok olehNya sendiri.
Begitu sederhanalah hidup kita dalam waktu yang selalu melaju ini. Tetapi begitu rumit pula kondisi kenyataan yang kita alami sendiri. Maka semuanya memang tergantung pada apa yang kita pikirkan. Jika kita merasa putus asa, maka gagallah kita untuk menyeberangi lorong-lorong kehidupan itu. Tetapi jika kita memiliki iman dan harapan, maka kita dapat melintasi kegelapan itu sambil berpegang pada patok-patok firman yang telah ditanamkan bagi kita semua.
Kini, saat waktu dalam tahun kembali memasuki akhir, masihkah kita perlu bersedih hati? Haruskah kita hanya duduk dan menyesali segala kegagalan yang telah kita lakukan sebelumnya? Bukankah akhir tahun, walau sering diiringi hujan dan mendung kelabu yang menggantung di langit, kita masih tetap dapat berharap. Karena kita semua tahu bahwa saat inilah Dia lahir dan hadir ditengah-tengah kita semua. Dan tidakkah sesudah akhir tahun selalu akan ada tahun baru yang, walau segalanya masih tetap sama, tetapi selalu menyimpan kemungkinan-kemungkinan baru?
Selama kita hidup, selalu ada harapan. Begitulah satu pribahasa kuno berkata. Ya, selalu ada harapan yang indah membentang di depan jalan panjang, berliku, sering kelam dan penuh onak duri ini. Selama kita tidak buta dan membutakan diri sehingga tidak lagi mampu melihat patok-patok yang telah ditanam oleh Tuhan kepada kita. Patok-patok yang dibuatNya sendiri dengan cinta kasih, tubuh dan darah bahkan hingga menyerahkan nyawaNya sendiri. Dan tidakkah indah saat pengorbanan itu membuahkan keagungan kebangkitan hidup dalam PaskahNya yang menakjubkan?
Begitu sederhana. Begitu rumit. Tetapi jangan pernah takut. Jangan pernah bimbang, kehilangan harapan, dan menjauhkan diri dari tonggak-tonggak yang telah dipatokNya demi keindahan kehidupan kita kelak di masa depan. Berjuanglah. Berusahalah. Bersabarlah. Beranilah menghadapi beban hidupmu. Karena siapa yang tidak mau memikul salibnya sendiri tidaklah layak bagiNya. Selamat meninggalkan tahun yang tua ini dan masukilah tahun baru dengan hati yang tetap berharap dalam Dia.
A. Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...