30 April 2008

AWAL MEI 2008

Gerimis sepanjang malam. Dingin sepanjang gerimis. Hari masih juga gelap. Terang belum lagi tiba. Dan aku duduk, menulis ini, sambil menikmati suara tetesan air dari luar. Awal bulan Mei 2008. Waktu seakan berhenti. Kenangan menyerbu masuk. Ada yang tak mau hilang dari rasa. Menyentak masuk ke dalam hati. Kita, manusia, siapakah yang dapat menyatakan dengan pasti bahwa dirinya bahagia dengan keadaannya saat ini? Siapakah yang dapat dengan pasti menyatakan bahwa dirinya hidup, tidak dengan kesendiriannya? Siapakah yang mampu menyadari keberadaannya di dunia ini tanpa keragu-raguan? Siapakah yang sanggup mengusir semua kehampaan, kesia-siaan, derita, sunyi, keterpencilan dan rasa tak berdaya dalam sebaris kalimat? Siapakah?

Hujan jatuh di awal bulan mei. Tak ada apa yang sisa dari masa lalu selain kenangan. Segala kehangatan, kerinduan, harapan dan cinta yang dulu pernah menghinggapi kita, kini telah tertinggal jauh di belakang kita. Hilang ditelan waktu. Hilang dalam kesibukan kita menghidupi hidup yang kian menjadi beban, saat masa depan nampak kian tak teraih pula. Semakin kita renungi apa yang telah terjadi, dan coba memastikan apa yang akan terjadi, kian tak teraba pula kebenaran yang ingin kita raih. Hingga, pada akhirnya, kita tak mampu untuk berpikir lagi. Sebab proses berpikir selalu melibatkan rasa bimbang dan ragu. Proses berpikir selalu menyadarkan kita pada keterpencilan kita di dunia ini. Dan kita tak ingin sendiri. Kita mau suatu kepastian dimana kita berada, siapa yang bersama kita, dan mengapa kita mesti ada.

Kepastian. Kapankah dapat kita temukan dia? Kebenaran. Dapatkah kita memastikan keberadaannya? Kita. Siapakah sesungguhnya diri kita? Apakah kita harus hidup sepasti hujan yang turun membasahi bumi ini? Mengapa sering kita mengalami suatu rasa gamang? Suatu rasa dimana kebenaran yang pernah kita perjuangkan dulu, kini kian tak pasti? Harapan, dimanakah engkau yang pernah demikian menjadi pendorong semangat untuk hidup? Ah, saat waktu kian panjang kita tinggalkan, dan kian pendek pula yang masih tersisa, kian sadar pulalah bahwa segala kepastian yang dulu dengan menggebu-gebu kita perjuangkan, kini menjadi sebuah ilusi kosong saja. Dimanakah segala hasrat, ambisi dan prinsip yang dulu kita perjuangkan dengan penuh keteguhan, bahkan tak jarang dengan semangat untuk menghancurkan segala rintangan yang menghadang, saat kita menjelangi waktu-waktu akhir ini? Dimanakah itu semua?

Gerimis menjelang fajar. Hidup menjelang waktu. Dan tiba-tiba kita sadar, waktu tak lagi setia menemani kita. Saat-saat tubuh kita mulai melemah, nyeri menusuk sendi, dan nafas kian tersengal, pada akhirnya toh, semua ini akan usai. Kelak. Kita, yang saat ini hidup bersama segala daya upaya untuk menghancurkan segala aral yang merintangi segala kebenaran yang kita yakini, pada akhirnya harus menyadari, bahwa waktu adalah kebenaran yang paling pasti. Kini dia menunggu kita. Menunggu kita untuk pada akhirnya takluk padanya. Ya, kebenaran yang ada saat ini tidak pernah menjadi suatu kepastian. Kebenaran yang pasti adalah perubahan yang terus menerus terjadi dalam waktu yang berjalan terus menuju masa depan yang tak teramalkan. Dengan atau tanpa kita, dia akan terus lewat. Dan pada akhirnya, kita hanya sekedar kenangan. Itu pun jika masih ingin dikenang. Atau bahkan terlupakan seperti angin yang lewat, berlalu dan tak pernah akan kembali lagi. Yang baru selalu akan tiba. Tapi takkan pernah sampai. Takkan pernah usai. Takkan pernah.

Tonny Sutedja

DERITA SEORANG IBU

Seringkali dia membantu kami dalam kegiatan-kegiatan sosial yang kami adakan. Dia seorang ibu yang memiliki dua orang anak, terkenal karena sangat aktip dalam kegiatan untuk menolong sesama yang sedang menderita sakit. Kami menyalurkan dana-dana yang kami kumpulkan dari para donatur sukarela untuk biaya pengobatan penyakit orang-orang yang tak mampu. Setiap minggu kedua dalam bulan, kami mengadakan kunjungan-kunjungan sambil membawa dan membagikan dana tersebut. Terkadang, ibu itu sendiri yang mengantar para penderita itu untuk berobat, sibuk mencarikan dokter yang sesuai, dan menghabiskan waktunya bersama orang-orang sakit yang telah divonis tak tersembuhkan. Sungguh, dia seorang ibu yang nampak tak pernah memikirkan dirinya sendiri.

Namun pagi ini, akulah yang mengunjunginya di sebuah rumah sakit. Tubuhnya terbaring lemas tak berdaya. Dua hari lalu, dia telah menimbulkan kehebohan di antara kami, karena upayanya untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dia, yang nampak demikian tegar dalam membantu orang lain, kini terbaring tak berdaya setelah usaha untuk mengakhiri hidupnya dengan menelan obat tidur gagal. Ah, siapakah dia sesungguhnya? Betapa manusia sungguh asing satu sama lain, walau nampaknya sedemikian dekat dengan kita.

Dan perlahan, terkuaklah satu kisah tentang kondisi rumah tangganya. Suaminya, ternyata telah lama berselingkuh dan punya istri lain. Selama ini, biaya untuk anak-anaknya, bahkan biaya untuk suaminya dan istri mudanya menjadi tanggungannya. Dia yang bekerja sebagai pelulur keliling, banting tulang mencari sesuap nasi, dibawah tudingan dan pandangan sinis para tetangganya, pada akhirnya menyerah saat suaminya mengambil semua simpanannya di sebuah bank. Bahkan sempat memukulinya hingga babak belur. Dan pada akhirnya dia pun menyerah. Dua hari lalu, dia mengambil semua persediaan pil penenang yang dimilikinya, pil yang selama ini ternyata sering diminumnya untuk melupakan semua kesulitan hidupnya, menenggaknya untuk mengakhiri semua penderitaannya di dunia ini. Tetapi anak-anaknya menemukan dia dalam keadaan yang tak sadar lalu bersama beberapa tetangga mereka, membawanya segera ke rumah sakit. Dia pun selamat.

Dengan tubuhnya yang lemah, dia menatap kami lalu menangis tersedu-sedu. Kami lalu sadar, bahwa segala kegiatannya selama ini bersama kami, dilakukannya untuk melupakan kesedihannya sendiri. Hidup memang sering terselubung dalam lapis luar yang kita lihat tapi tak kita kenal. Mengapakah semua ini bisa terjadi? Bahkan, mengapakah semua ini harus terjadi? Derita yang tersembunyi di balik senyum. Derita yang tak pernah kami sadari sedang terjadi diantara kami sendiri. Saat kami berkumpul sambil bersenda gurau. Saat kami bersama-sama, dengan penuh kehati-hatian mengangkat tubuh seorang penderita lumpuh karena stroke sambil memberikan nasehat untuk tetap tabah dalam menghadapi penyakitnya. Ternyata, kami sendiri adalah seorang penderita yang tak nampak. Seorang penderita yang memerlukan dukungan tetapi tak mampu untuk mengungkapkannya. Karena kami hidup bersama topeng kegiatan yang telah menyembunyikan hati kami sendiri. Telah menyembunyikan diri kami sendiri.

Bagaimanakah kami bisa menghibur dia? Bagaimanakah kami bisa memberikan nasehat kepadanya? Nasehat yang sudah sering kami berikan kepada orang-orang lain, ternyata tersekat di kerongkongan kami saat harus mengatakannya kepada diri sendiri. Tuhan, Tuhan, bagaimanakah caranya untuk menghadapi derita kami sendiri? Sebab sungguh mudah untuk menghibur orang lain, tetapi jauh, ya jauh lebih sulit untuk menghibur diri sendiri. Sebab terkadang kata-kata nasehat yang kami berikan kepada orang lain, telah menjadi kalimat baku yang kami tahu, amatlah jauh dari pengalaman pribadi kami sendiri. Hidup itu ternyata memang tidak mudah. Terutama saat harus mengalami pengalaman pribadi kita sendiri. Karena kitalah yang secara langsung ada di dalamnya. Kitalah yang secara langsung mengalaminya.

Di sini, di kamar sederhana kelas dua sebuah rumah sakit, tiba-tiba aku melihat diriku sendiri. Di sini, aku menyadari betapa sulitnya untuk menyuarakan hati, perasaan dan pengalaman kita sendiri. Yang kita tahu dan bisa kita lakukan, hanya bergerak aktip untuk melupakan derita itu. Ya, melupakan tetapi tidak bisa meninggalkannya. Sebab kita terlibat dan hidup bersama derita itu. Kita. Kita sendiri. Sendirian. Karena itu, hanya kita pula yang bisa dan harus menghadapi semua derita itu. Menerima dengan pasrah atau melawan dengan tegar. Tetapi aku harap bukan dengan mengalah dan lari dari medan kehidupan ini. Sebab kita hidup bersama kemampuan kita sendiri. Dan sesungguhnya kita diberikan kekuatan untuk menghadapi segala cobaan sebagai suatu anugerah, bukan suatu kesia-siaan yang tak bermakna apa-apa. Hidup ada untuk dihidupi. Bukan untuk dimatikan. Hidup ada untuk diperjuangkan. Bukan untuk menyerah kalah. Derita ada untuk kita sendiri. Bukan untuk orang lain. Bukan. Dan karena itu milik kita sendiri, maka kitalah yang patut untuk menghadapinya bukan dengan mencoba lari dari kenyataan yang ada, tetapi dengan berjuang tanpa putus asa untuk kehidupan kita sendiri. Kita sendiri yang memutuskan apa yang harus dilakukan. Dan Tuhan akan menolong orang yang mau menolong dirinya sendiri. Bukan orang yang lari dari tanggung jawabnya sambil menyembunyikan talenta-talentanya dengan menanamnya ke dalam tanah. Sebab itu takkan berguna bagi siapa pun. Juga bagi kita. Bukankah demikian?

Tonny Sutedja

29 April 2008

JANGAN TAKUT, PERCAYA SAJA

Pernahkah anda berpikir untuk apa hidup ini? Pernahkah anda merasa kesal pada kehidupan ini? Pernahkah anda merenungkan, dan bertanya dalam hati, serta menyesali keberadaan anda di dunia ini? Pernahkah anda berpikir untuk lebih baik mengakhiri saja semua ini? Karena segala sesuatu nampak sia-sia. Segala sesuatu nampak tak punya arti. Dan segala sesuatu nampak hanya mengarah kepada kegagalan, penderitaan dan sakit hati saja. Ya, kita semua sekali waktu pernah merasa sia-sia, gagal dan tak punya arti apa-apa di tengah kehidupan yang demikian penuh gejolak ini. Kita terpencil jauh di dalam hari-hari yang terasa kian memanjang dan tanpa ujung ini.

Kita menangis di tengah tawa ria lingkungan. Kita tersudut sendiri dan tersisih di tengah keramaian dan kecemerlangan dunia yang hiruk pikuk. Kita tersiksa oleh rasa sakit hati, dendam, rasa pahit, perih dan ketakberdayaan menghadapi dan menerima segala dakwaan, kutuk dan pandangan lingkungan kita. Kita bahkan merasa kehilangan diri kita sendiri saat kita ingin menyadari keberadaan kita. Kita merasa tak punya arti apa-apa lagi. Kita kehilangan diri kita. Bahkan untuk menangis pun kita tak punya tenaga lagi. Hanya rasa hampa tetapi penuh kemarahan yang memenuhi hati dan jiwa kita saja. Kita pasrah walau ingin melawan. Kita gagal dan tak mampu bangkit lagi. Kita pasrah dan mau semuanya ini segera berakhir. Ah, pernahkah anda mengalami semua ini, temanku?

Suatu ketika, Nietzhe mengatakan bahwa, "Dia yang mengetahui untuk apa dia hidup, akan sanggup mengatasi hampir semua yang terjadi atas dirinya". Maka saat kita kehilangan diri kita, saat kita tidak tahu untuk apa lagi kita hidup, saat kita merasa tidak lagi berguna, kita pun tak lagi mampu untuk menghadapi kehidupan ini. Kita tidak sanggup lagi untuk tertawa dan merasa bahagia. Segala canda tawa dari seputar kita akan nampak sebagai ejekan yang langsung menikam jiwa kita. Kita menjadi manusia yang praktis lumpuh dan gagal untuk punya arti lagi di dunia ini. Mengapakah semua itu terjadi? Mengapakah? Nasib Nietzhe pun pada akhirnya berakhir secara tragis di sebuah rumah sakit jiwa setelah menyatakan bahwa Tuhan sudah mati.

Sebagai manusia, kehidupan kita amat saling bergantung dan berhubungan satu dengan yang lain. Sebagai manusia, kita hidup dengan segala sesuatu yang ada di luar kita. Namun, pada dasarnya, kita ini tetap sendirian dengan perasaan kita masing-masing. Pemikiran-pemikiran kita dan perasaan-perasaan kita saling terkait tetapi sering tidak berhubungan. Inilah paradoks hidup. Tak seorang pun yang mampu menembus dinding perasaan yang kita pasang untuk menabiri perbuatan kita. Tak seorang pun. Apa yang kita rasakan, jauh tersembunyi dalam hati kita. Tangisan yang ada di dalamnya, rasa sakit, perih dan dendam mengendap jauh, tersembunyi dari senyuman di wajah kita. Perasaan kita bisa jadi suatu yang amat misterius dan hanya kita sendiri yang mampu merasakannya. Terkadang, bahkan kita sendiri gagal untuk menyadarinya. Kita tak mampu untuk mengendalikan jiwa kita sendiri. Dan sayangnya, hal demikian tak jarang terjadi.

"Jangan takut, percaya saja" demikian suatu ketika Yesus berkata kepada Yairus saat orang-orang memberitakan kematian putrinya. Dan memang, putrinya itu pada akhirnya sembuh kembali. Jangan takut, percaya saja. Pernahkah kita berdiri di sisi Tuhan dengan keyakinan itu? Pernahkah kita berkata kepada dunia, bahwa kita tidak pernah merasa takut untuk hidup karena kita percaya pada kata-kataNya? Pernahkah kita dengan keyakinan yang sama menerima dan menghadapi segala penderitaan, kekerasan, pengkhianatan, pemerkosaan, dan saat kita difitnah oleh dunia? Pernahkah kita percaya dalam saat kita merasa bahwa kita telah ditinggalkan, dihempaskan, sendirian dan merasa tak berdaya dan gagal dalam mencapai apa yang ingin kita inginkan? Pernahkah kita berseru bahwa kita berani untuk hidup karena kita percaya padaNya. Ya, jika kita merasa berani untuk mati demi Tuhan, mengapa kita takut untuk hidup? Hidup atau mati, semua itu milik Tuhan. Dan dengan keyakinan kita pada Sang Pencipta, mengapa kita takut untuk hidup? Mengapa kita perlu merasa gagal dan tak berdaya? Mengapa kita harus takut menghadapi semua penderitaan dan tuduhan-tuduhan dunia? Mengapa? Bukankah itu berarti bahwa kita ternyata gagal untuk percaya kepadaNya?

"Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu" Marilah kita yang merasa tanpa arti dan guna lagi, untuk tidak perlu merasa takut dan tetap percaya bahwa di dalam kesementaraan hidup di dunia ini, kita takkan pernah akan ditinggalkan oleh Tuhan, walau sering kita merasakan demikian. Karena, bahkan Yesus pun merasakan hal yang sama, ditinggalkan oleh BapaNya sehingga Dia berseru," Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" saat tergantung di tiang salibNya. Ya, kita sebagai manusia, memiliki banyak kesalahan dan kelemahan namun jangan takut, percaya saja. Dengan demikian, segala rasa duka, nyeri, sakit hati dan sesal akan menjadi tidak berarti lagi karena kita tahu bahwa suatu hari kelak, saat waktunya tiba, kita mampu berdiri di depan Dia sambil berkta, "Aku tidak takut Tuhan, karena aku percaya kepadamu". Dunia, apalah artinya di depan Dia yang menciptakannya? Bukankah begitu, temanku?

Tonny Sutedja

20 April 2008

MENAKJUBKAN

Menakjubkan. Milyaran manusia dengan milyaran hasrat, ambisi dan keinginan. Milyaran manusia dengan milyaran tabiat, pola pikir dan kelakuan. Bayangkan, bagaimana segala suara-suara kehidupan itu bercampur baur naik ke Sang Pencipta, bagaikan asap yang membubung memenuhi kediamanNya? Dan bahkan seringkali kita tak mampu menyadari keberadaanNya. Satu dunia dan satu bumi yang telah tercipta sejak berjuta-juta tahun lampau, dan masih akan menuju ke jutaan tahun ke depan, bagaimana caranya Dia mengatur semuanya itu? Menakjubkan.

Kesementaraan kita sungguh tak berarti disepanjang perjalanan waktu alam semesta. Bagaikan noktah-noktah kecil di tengah samudra luas tak terbatas. Yang bahkan jarang kita sadari keterbatasannya dalam hidup yang memanjang sepanjang waktu. Keabadian, barang apakah itu? Tidakkah seringkali hidup kita yang sedemikian terpencil di sudut galaksi maha luas ini, terasa bagaikan pusat kekuasaan kita semata? Kita bahkan jarang menyadari bahwa saat kita semakin sempit, semakin memendek, dan semakin terkucil di tengah hiruk pikuk kesibukan kita dalam menghidupi hidup yang hanya amat singkat ini.

Hidup ini sungguh rapuh. Berapa lamakah akan kita jalani dia? Berapa banyakkah denyut jantung kita akan berdetak? Berapa banyakkah udara yang akan kita hirup? Kita, diri kita, pemikiran kita, hasrat kita, ambisi kita, keinginan kita, semuanya akan menuju kemanakah? Dan tidakkah bahwa, di muka bumi yang serba terbatas di tengah lautan maha luas semesta alam, kita hanya secuil debu yang merasa menjadi pusat segala sesuatu? Hidup ini memang amat rapuh. Namun, di dalam kerapuhannya, seringkali kita merasa bahwa kitalah sang pusat itu. Kitalah sang penguasa tunggal kehidupan ini. Kitalah mahluk yang luar biasa tanpa menyadari kerapuhan kita sendiri.

Aku milik kita sendiri. Aku yang mutlak kita rasakan. Aku yang seharusnya bertugas untuk hidup dan memelihara hidup, kini bertindak sebagai penguasa mutlak yang membanggakan diri, atau melacurkan diri, atau menghancurkan diri, atau berbuat apapun yang kita inginkan tanpa mau tahu dan mau menyadari kewajiban-kewajiban kita untuk memelihara dan melindungi keberadaan kita yang hanya sebuah noktah kecil di alam raya. Sebab kitalah yang merasa menjadi pusat dunia. Pusat keinginan. Pusat segala-galanya.

Tetapi marilah kita coba merenungkan kembali keberadaan kita di tengah kemaha-luasan semesta alam ini. Kita membayangkan jarak yang panjang dan tak terjangkau jauh di luar planet kita yang mungil ini. Atau marilah kita coba merasakan kehadiran insan-insan lain di luar tubuh fisik kita. Milyaran sesama kita. Milyaran mahluk lain yang berada di tengah keberadaan kita di sini. Milyaran suka duka mereka. Milyaran harapan-harapan mereka. Milyaran alur kehidupan mereka. Ah, mampukah kita membayangkan semua itu dengan mudah? Mampukah kita merasakan kehadiran mereka dengan sadar? Mampukah kita menyadari betapa kecilnya hidup kita sendiri? Mampukah kita?

Menakjubkan. Ya sungguh menakjubkan jika kita mampu menyadari semua hal itu. Dan karena itulah, Dia yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu di alam semesta ini, menjadi suatu sumber kekuatan yang amat Maha bagi diri kita sendiri. Terutama untuk menyadari dengan rendah hati pada keterbatasan kita menghidupi hidup. Dan pada akhirnya kita mesti mengakui bahwa kita sendiri bukanlah Sang Pusat yang terkucil dan dengan angkuh dapat menciptakan suka duka hidup ini. Bukan. Kita manusia yang lemah dengan hidup yang rapuh, kita dengan segala kesadaran dan perasaan kita, kita semua haruslah mengakui betapa kecilnya kita. Betapa miskinnya kita. Betapa tak berdayanya kita. Betapa tak berartinya kita jika hidup yang kita miliki ini adalah segala-galanya. Jauh, jauh di luar jangkauan kita, ada Dia yang tersembunyi, jauh namun dekat, tak nampak tetapi ada, sebagai sumber kekuatan agar kita mampu menerima dan menghadapi hidup kita sendiri. Dan jika kita sadari itu, maka dengan menunduk rendah, kita bisa mengguman dengan lirih, hidup ini ternyata sungguh menakjubkan di dalam dan bersama Dia. May The Power With You!

Tonny Sutedja

LUCUNYA KITA

Buat Muhamad Istiadi,SH

Negara ini lucu. Orang-orang bodoh bukannya diberdayakan dengan mengajari mereka dengan pengetahuan yang benar, tetapi malah diperdaya dan kebodohan mereka dimanfaatkan demi kepentingan orang-orang yang pintar atau yang merasa diri mereka pintar. Orang-orang yang miskin, bukannya dituntun agar mampu berdiri sendiri menghidupi hidup mereka tetapi malah digusur dan dihukum sebagai kriminal. Mungkin karena kita memandang dan hanya memandang bahwa pemilik "kebenaran" itu adalah mereka-mereka yang punya "kekuasaan-kekuatan-kekayaan" tanpa perlu memiliki pikiran. Maka di negara ini, orang-orang pintar bukannya mereka yang mampu berpikir dan memahami, tetapi mereka yang mampu mengontrol, menguasai dan memanfaatkan situasi yang menguntungkan posisi diri dan kelompok mereka saja yang pantas disebut orang-orang pintar.

Situasi ini sungguh memprihatinkan. Kebenaran dibolak-balik. Mereka-mereka yang sungguh-sungguh pandai dalam mendalami dan menganalisa situasi dan kondisi, dan karena itu sering menyuarakan suara-suara kritis, malah dianggap sebagai beban dan karena itu sering disingkirkan. Sebaliknya, mereka-mereka yang dengan mudahnya memanfaatkan keadaan, dan karena itu berhasil memiliki "kekuasaan-kekuatan-kekayaan" dianggap sebagai sang tokoh, dan bahkan saat terbukti bersalah pun, mereka tetap dielu-elukan. Hebat. Ironis. Tak heran bahwa, negara kita gagal untuk keluar dari segala krisis, bencana dan musibah alam. Bukan karena bencana dan musibah itu terjadi karena alam murka, tetapi lebih sering karena kita, ya kitalah yang menciptakan musibah itu sendiri. Alam tidak marah dan tak pernah marah. Alam hanya mengikuti apa yang telah kita lakukan pada fisiknya. Sama alaminya seperti saat kita sakit akibat kebiasaan buruk yang kita buat sendiri terhadap tubuh fisik kita. Kita pun ikut lucu bersamanya.

Maka kita semua kini menjadi pelawak yang paling lucu di dunia. Kita menikmati apa yang kita tahu tidak benar. Kita melakukan apa yang kita semua sadar bahwa itu suatu kesalahan. Kita tertawa bersama-sama dalam kesedihan dan kedukaan kita. Kita terjebak dalam pola pikir yang melumpuhkan diri kita sendiri. Kita melakukan pembohongan sebagai suatu pembenaran yang layak dan pantas kita lakukan. Dan bukankah kita menebang semua pepohonan hutan yang rimbun, dan saat musibah datang secara beruntun, dengan mudahnya kita lalu mempersalahkan alam yang telah menimbulkan musibah atas diri kita? Dan jika kita tertangkap tangan melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri walau merugikan negara, toh itupun adalah suatu urusan bisnis belaka? Berkuasalah 'kebenaran' pincang yang hanya ditentukan oleh segelintir oknum yang kebetulan memiliki "kekuasaan-kekuatan-kekayaan" walau entah bagaimana tiga hal itu dapat dimilikinya. Percayalah, bahwa ternyata kita tak pernah percaya lagi.

Dapatkah kita menemukan jalan keluar dari segala kelucuan kita itu? Dapatkah kita mengubah sikap kita yang sebagai pelawak di atas panggung tanpa penonton? Dapatkah kita mengubah diri kita semua? Dapatkah? Entahlah. Dalam dramanya yang ironis, "Wanita Baik Hati Dari SiChuan", Bertolt Brecht hanya dapat berseru: "Dapatkah orang diubah? Dapatkah dunia diperbaharui?" Dan pertanyaan yang sama mungkin perlu kita pikirkan bersama-sama. Ya, bersama-sama.

Tonny Sutedja

19 April 2008

LANGIT

Kebanyakan ilmuwan terlalu sibuk mengembangkan teori baru yang menguraikan apakah jagat raya itu sehingga tidak sempat bertanya mengapa. (Stephen Hawking – A Brief History of Time)

Ke Langit tak sampai, ke Bumi tak terjejak (Peribahasa)

Langit menyembunyikan rahasianya sendiri. Berapa panjangkah waktu yang sungguh telah dilaluinya? Bukankah apa yang kita nampakkan saat ini, sungguh adalah saat ini juga? Tetapi tidak, kata para ahli, apa yang kita lihat saat ini sesungguhnya adalah masa lampau, sementara masa kini, sekarang dan saat ini, masih dalam perjalanan menuju ke penglihatan kita. Maka saat sekarang ini baru akan kita lihat di masa depan kelak. Cahaya merambat dalam kecepatan 299.700 km per detik. Dan cahaya galaksi dan bintang-bintang yang kita lihat sekarang sebenarnya adalah cahayanya puluhan, ratusan atau malah ribuan tahun yang lalu. Dan mungkin pula cahaya yang saat ini kita lihat sebenarnya telah padam sekarang. Ya, bintang dan galaksi yang kita lihat sekarang di langit malam sedang bercahaya dengan indahnya, mungkin sudah tidak eksis lagi.

Maka waktu sekarang, dahulu, kelak, semuanya satu dalam gelombang waktu. Waktu, yang bahkan bisa jadi berjalan melengkung sehingga jika kita dapat berlari berlawanan waktu dan dengan kecepatan yang lebih cepat dari cahaya, maka kita bisa kembali ke masa lalu. Atau menuju masa depan. Lalu apa artinya usia kita ini? Apa artinya kehidupan kita sekarang? Hanya sebuah atom terkecil, sebuah noktah tak berarti dalam suatu kemahakaryaan semesta alam. Jarak, semakin asing bagi dunia modern. Kita semua berlomba-lomba mengejar waktu dengan kecepatan yang kian dioptimalkan. Cepat! Cepat! Ayo, bergegaslah! Hidup tak pernah menunggu kita. Tetapi ah, siapa bilang waktu tak bisa menunggu. Bukankah kita bisa dan mampu menuju masa lalu? Siapakah yang telah mencuri semua mimpi-mimpi kita di dunia ini?

Langit memang selalu menyimpan rahasianya sendiri. Upaya kita untuk menguaknya sedikit demi sedikit, selalu membuka selapis pintu dan kita lalu memasuki ruang berisi ribuan pintu lagi yang tertutup rapat. Lalu apakah rahasia itu? Ya, kita berjalan dengan meraba sesuai asumsi yang kita tetapkan sendiri. Kita berjalan dengan keyakinan sesuai dengan teori yang kita susun sendiri. Lalu, bagaimana jika ternyata bahwa segala asumsi dan teori yang kita pakai itu ternyata salah? Siapa yang bisa tahu? Siapa yang bisa memastikan suatu kebenaran? Bukankah dengan memastikan suatu hal berarti bahwa kita mematikan asumsi dan teori lain yang kelihatan tidak masuk akal, tetapi boleh jadi lebih mendekati kenyataan. Ya, siapa tahu Tuhan saat ini memandang kita sambil tersenyum. Dia mungkin tersenyum saat kita, dengan bangganya mengakui bahwa kita bisa tahu pikiranNya. Tetapi ternyata yang kita temukan hanya rembesan kecil air dari samudera yang luasnya tak terkira. Sama seperti saat kita memandang langit yang kelam di malam hari sambil menikmati masa lalunya sekarang. Apa yang ada sekarang dan saat ini bahkan dalam mimpi pun tak pernah bisa kita pikirkan. Sungguh, inilah kehidupan kita.

Malam ini aku menatap langit. Ada ribuan cahaya berkelap-kelip di atas sana. Dan ada pula awan-awan putih yang membias bagaikan suatu gugus cahaya yang kabur. Anehnya, aku langsung teringat pada ribuan wajah yang kutemukan hari ini. Wajah-wajah yang masing-masing menyimpan ekspresinya sendiri secara unik dan tak tergantikan. Wajah-wajah yang menyembunyikan rahasia perjalanan hidup mereka masing-masing. Hidup. Inilah realitas itu. Wajah seorang gadis kecil yang nampak tersenyum tersipu-sipu. Wajah seorang oma tua yang murung. Wajah seorang dara cantik yang ceria. Wajah seorang kakek yang memantulkan keangkuhannya karena telah menaklukkan sang waktu sejauh usianya. Wajah-wajah kita semua. Wajah-wajah asing tetapi nyata. Wajah-wajah hidup. Ah langit, bisakah kau mengisahkan padaku alasan keberadaan kami semua di dunia yang beraneka ragam ini? Mungkin disinilah kita akan dapat menemukan senyuman Tuhan. Senyuman pada kemanusiaan kita. Dan pikiran Tuhan pada pikiran setiap pribadi yang berbeda-beda. Intinya, di dalam mencari aneka solusi dalam menghadapi aneka macam persoalan kehidupan yang sedang kita alami sekarang, kita semua sedang dan akan menuju pada satu Tuhan Sang Maha Pencipta. Inilah kepastian itu, teman. Inilah kepastian itu. Bukankah demikian?

Tonny Sutedja

KEBIJAKSANAAN SEORANG PENARIK BECAK

"Barangkali bukan ideologi yang menciptakan seorang teroris. Ya, bukan ideologi yang membuat seseorang menjadi teroris dan kriminal. Tetapi kemiskinan, dendam dan sakit hati akibat ketidak-adilan. Rasa benci dan marah akibat hak-hak yang ditindas." Kata-kata yang diucapkan dengan tegas oleh seorang penarik becak itu sungguh mengejutkanku. Betapa tidak? Pak Hasan, penarik becak itu, katanya hanya lulusan SD dan tidak sempat menyelesaikan kelas 2 SMP hanya karena ibunya tidak lagi mampu membiayai sekolahnya setelah kematian ayahnya, juga penarik becak, akibat sakit.

"Aku mewariskan pekerjaan ini dari ayahku. Dan ayahku menerimanya dari kakekku. Demikianlah, turun temurun kami menekuni pekerjaan ini. Setiap hari, saat panas terik dan hujan deras, kami mengayuh pedal untuk mencari makan. Kata orang, hidup itu seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Namun, hidup keluarga kami bukan seperti itu. Kami selalu di bawah, bagaimana pun usaha kami untuk menghidupi hidup, kami selalu gagal untuk naik....."

Aku pernah membaca sebuah artikel, bahwa kemiskinan terjadi akibat kebodohan, kemalasan dan sikap pasrah menerima nasib. Betulkah itu? Setiap hari, aku melihat Pak Hasan mengayuh becaknya. Keringat nampak bercucuran pada tubuhnya. Dia memiliki 2 orang anak, semua putri, dan istrinya saat ini sedang mengandung anaknya yang ke tiga. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia menghidupi keluarganya hanya dengan penghasilan sebagai penarik becak. Mungkin karena itulah dia terus mengejar harap untuk mendapatkan seorang putra. Yang kelak bisa mewariskan pekerjaannya, dan merawatnya kelak bila dia sudah tak mampu lagi mengayuh. Dan setahuku, anak tertuanya, yang seharusnya sudah memasuki usia sekolah, kira-kira berusia 11 tahun, tidak disekolahkannya. Putri tertuanya itu bekerja sebagai pencuci baju di beberapa keluarga di kompleks ini. Pada setiap rumah, dia menerima upah Rp. 30.000 per bulan. Setiap pagi dia mengunjungi rumah demi rumah untuk bekerja. Tidak jarang, selain mencuci baju, dia juga harus menyapu dan mengepel lantai. Ah, hidup memang keras.

Dan di saat semua harga melonjak, dan sulit di dapat, istrinya hampir setiap hari nampak berdiri pada antrean panjang untuk membeli satu dua liter minyak tanah. Kadang-kadang bahkan putri keduanyalah yang ditugaskan untuk mengantri. Padahal usia anak itu belum lagi 7 tahun. Dengan tangannya yang mungil, dia nampak lucu memegang wadah plastik tempat minyak tanahnya. Beberapa ibu-ibu yang ikut mengantri nampak memandang si kecil dengan rasa iba. Namun, mungkin saking gemasnya karena melihat wajahnya yang imut, sering mencubit pipinya sambil bercanda. Gadis cilik itu hanya memandang mereka dengan matanya yang indah.

Ya, bukan ideologi yang membuat seseorang menjadi keras. Bukan. Tetapi penderitaan, rasa tak berdaya dan keterasingan di dunia yang nampak demikian tak peduli ini. Setiap pagi, saat aku bangun, mengambil koran pagi dan duduk di halaman depan rumahku sambil membacanya dengan ditemani segelas kopi, berita-berita kemiskinan, ketidak-adilan dan ketidak-jujuran selalu bersahabat dengan berita tentang kekerasan, korupsi dan ketidak-setiaan manusia. Ya, aku, kau, mereka, kita semua adalah mahluk yang sama-sama berbagi kehidupan di dunia yang fana ini. Namun ada yang beruntung memiliki keberuntungan, ada yang mencoba meraih keberuntungan dengan cara apa saja tetapi jauh, ya jauh lebih banyak insan-insan lemah yang tidak diberitakan, terkapar dalam kepasrahan menerima nasib dan berupaya berjuang untuk tetap hidup. Ah, hidup memang keras, temanku. Hidup itu sungguh keras. Jadi berpikirlah dahulu sebelum kau merasa gagal dan putus asa. Kau tidak sendirian. Tidak sendirian.

Tonny Sutedja

18 April 2008

MAS GUN

Ada apa di balik wajah yang tersenyum? Ada apa di balik wajah yang bersedih? Ada apa di balik tingkah laku, perbuatan, sikap dan polah kita sehari-hari? Ada apa di balik diri kita?

Sehari-hari dia bekerja sebagai penyiar radio rohani di kotaku. Dan sebagai seorang penyiar, dia cukup tenar. Dalam penampilan, dia nampak tenang, sabar dan, anehnya, tidak banyak berbicara seperti saat dia ada di depan corong radionya. Dalam rapat-rapat kepengurusan di gereja, saat terjadi polemik atau perdebatan seru, dia hanya tersenyum dan berdiam diri. Ya, dia aktip sebagai salah seorang ketua rukun di paroki. Saat Misa di Gereja, dia sering nampak berdiri di belakang, mengatur umat tanpa banyak berkata-kata. Baginya, mungkin, diam adalah perbuatan sementara berbicara hanya dilakukannya di saat menyiar.

Tetapi hidup memang tidaklah sederhana. Dalam beberapa kali pembicaraan denganku, dia mengatakan kesedihan, kekesalan dan ketakutannya terhadap banyak hal. Apa yang nampak di mata kita terkadang amat bertentangan dengan apa yang ada di balik hati seseorang. Manusia, kita, sesungguhnya adalah mahluk yang amat tersembunyi. Demikian tersembunyinya sehingga bahkan kita sendiri sering tak mampu untuk mengenali pribadi kita. Canda tawa, air mata, kekesalan dan kekecewaan, ada apa di balik hidup ini?

Tahun demi tahun kita lewati bagai meniti waktu tanpa menyadarinya. Peristiwa datang dan pergi dalam alur waktu tanpa pernah kita kenali dengan pasti. Maka apakah kebenaran itu? Dapatkah kita meyakininya dengan sepenuh hati? Iman kita, ya iman kita sendiri, benarkah itu sebuah kepastian hidup? Tidakkah bahwa keraguan sesekali menerpa keyakinan kita? Bersalahkah kita pada kehidupan yang telah kita jalani selama ini? Siapa yang tahu? Dia? Anda? Aku? Manusia, ah manusia memang sungguh mahluk yang amat tersembunyi. Terkadang kita ingin menangisi jiwa kita tanpa menyadari bahwa kekesalan kita telah menyembunyikan kekecewaan kita terhadap hidup yang sedang kita jalani saat ini.

Maka saat aku berdiri di depan jenasah Mas Gun, setelah pergulatan panjang dan lama menghadapi deraan penyakit lever yang menerpanya, aku pun terkenang pada senyumnya. Terkenang pada gaya berbicara dan juga pada kebisuannya. Terkenang pada segala derita dan rasa pedihnya dalam hidup yang telah dijalaninya di dunia. Kini, berakhirlah semua itu. Dia telah kembali kepada Sang Penciptanya dengan satu pertanyaan yang tak mungkin lagi dijawabnya. Dan juga, tak mungkin pula kujawab. Hidup, yang telah dan sedang dijalani ini, benarkah adalah hidup yang sebenarnya? Kenyataan, saat ini, sekarang, sungguhkah adalah kebenaran yang pasti? Bagaimana mungkin kita dapat mengetahui itu sebelum kita, kelak, sama seperti yang sedang dan telah dialami oleh Mas Gun saat ini, kita hadapi sendiri.

Dalam keheningan doa singkat, aku hanya berharap semoga segala hal yang telah dijalaninya dapat menjadi patok-patok yang berguna bagi kehidupan kita yang hanya secuil noktah kecil dalam perjalanan panjang sang waktu semesta. Kita, sebagai insan yang masih hidup, berpikir dan berperasaan, selayaknya menyadari bahwa takkan ada kebenaran yang pasti kita temukan sebeluym waktunya tiba. Sebelum waktu kita tiba. Dan mudah-mudahan kita tak terlambat untuk menyadari kenyataan itu. Ya, semoga kita tak alpa menyadari kenyataan itu. Kebenaran memang tak pasti dalam hidup. Maka kita bisa tersenyum atau malah tertawa, dengan hati pedih, jiwa yang ingin menjerit karena duka, sebab kita adalah mahluk yang amat tersembunyi. Sungguh tersembunyi.

Tonny Sutedja

HELEN

Berapa lamakah waktu yang telah kau lewati? Berapa panjangkah jalan yang telah kau lampaui? Berapa luaskah pengetahuan yang telah kau pelajari? Berapa dalamkah kepercayaan yang telah kau dalami? Berapa tinggikah harapan yang telah kau capai? Tidakkah kini kau merasa letih? Lelah dalam menjalani hidupmu yang sedemikian tak pasti dan seringkali hanya berupa angan-angan semu tentang masa depan belaka? Mengapa semua itu harus terjadi? Mengapa semua itu harus kau jalani? Mengapa?

Dan kau merasa sendiri. Ya, siapa yang tidak? Kita memang sendirian menjalani hidup kita masing-masing. Kita sendirian, bahkan di tengah lautan manusia pun kita tetap harus menerima dan menjalani hidup ini sendirian. Dan ini adalah kebenaran itu. Realitas yang sedemikian menakutkan namun juga demikian menantang. Sepanjang kita masih hidup di dunia ini, sepanjang kita masih sanggup untuk berpikir dan merasakan segala aroma di sekeliling kita, kita adalah pribadi yang mutlak sendirian. Jadi janganlah takut atau merasa putus asa dalam derita, sama seperti jangan pula merasa bangga dan angkuh dalam senang.

Hidup haruslah kita jalani dengan suatu kesadaran pada kelemahan-kelemahan kita. Hidup harus pula kita hadapi dengan suatu kesadaran betapa sesungguhnya kita ini insan yang sama sekali tak berarti. Dan itulah yang seharusnya menantang kita. Sebab dalam ketak-berartian ini, kita bisa berguna dengan mencari dan terus menerus belajar untuk mencari arti itu. Maka kita bisa menemukan arti hidup kita dimana saja. Dalam diri sesama, dalam lingkungan alami, bahkan dalam diri kita sendiri. Dan jika kita sanggup menemukan arti diri kita, suatu saat kita pun mampu untuk menemukan sesuatu yang jauh lebih besar di luar diri kita. Bahwa dalam ketidak-berartian ini, ternyata, kita adalah bagian dari satu kesatuan maha besar dari karya Sang Pencipta yang dibuat ada demi untuk belajar menemukan Dia di tengah segala ketidak-tahuan kita akan hidup. Ya, kita mencari dan suatu saat, pada waktunya kelak, kita akan menemukan arti kita sebagai manusia dalam keyakinan kita sebagai satu kesatuan total dengan Dia sebagai Sang Maha.

Jadi kehidupan ini benar tak tergantung pada panjang jalan hidup. Pun tak tergantung pada luasnya pengetahuan, dalamnya kepercayaan dan tingginya pengharapan kita. Tetapi pada berapa banyak usaha kita untuk mencari dan menemukan makna diri kita sendiri dalam mengarungi arus dan ombak yang kita hadapi dalam arus sang waktu. Janganlah merasa letih sebab sesungguhnya tenaga kita cukup, walau sering tak kita sadari kekuatan diri kita sendiri. Semua memang telah dan mungkin harus terjadi. Siapa yang mengatakan bahwa hidup itu mudah? Pun, tak ada yang mengatakan bahwa hidup itu sulit dan tak mungkin dijalani. Sebab kini dan saat ini, kita ada dan kita hidup. Itulah suatu kebenaran pasti. Maka yang bisa dan harus kita lakukan adalah menjalaninya dengan segala upaya kita. Upaya untuk terus menerus mencari dan belajar menemukan arti kita sebagai manusia. Sebagai manusia yang telah ada. Sebagai suatu realitas yang tak mungkin kita sangkal. Sebab kita masih bernafas. Kita sanggup merasakan. Dan kita mampu untuk berpikir. Jangan sia-siakan anugerah itu. Jangan.

Tonny Sutedja

16 April 2008

ANAK-ANAK POLESAN

Di atas panggung yang cukup luas itu. Di bawah pancaran kelap-kelip cahaya spot-light. Dikelilingi oleh asap buatan yang berasal dari tepi panggung. Enam orang gadis cilik menari dengan wajah yang semarak. Dengan pemerah pipi dan pupur tebal pada wajah mereka. Dengan blus berwarna kuning terang dan rok putih yang amat minim. "..I wanna dance with somebody, I wanna dance with somebody who love me...." Hentakan musik dan getaran bass dari speaker yang terletak tepat di sisiku memukul-mukuk detak jantungku. Tidak, aku bukan menikmati suatu pertunjukan balet atau pameran disainer baju terkenal. Tetapi aku sedang menghadiri sebuah acara pernikahan putri seorang temanku.

Dengan terpana, aku menyaksikan gerakan-gerakan gadis-gadis cilik itu yang seakan menjalani kehidupan modern saat ini. Kehidupan, dimana segala hal seakan-akan ingin dipercepat. Dimana segala hal tidak lagi mementingkan pada proses alami yang harus dijalani tahap demi tahap, namun lebih tertuju pada hasil yang cepat dan segera. Kehidupan dipaksa untuk menjadi instan. Menjadi modern berarti kita ingin melupakan makna keberadaan kita di dunia ini sebagai suatu perjalanan dalam waktu. Menjadi modern berarti kita mau dan memaksakan waktu untuk mengikuti diri dan kehendak kita. Hidup kita paksa untuk menjadi lebih singkat. Menjadi lebih mudah bagaikan menekan tombol-tombol pada remote control lalu segala yang kita ingini pun terlaksanalah.

Ironinya, kian kita menginginkan segala hal bisa menjadi jauh lebih ringkas, cepat dan mudah, semakin kita kehilangan waktu untuk menikmati kehidupan ini. Demikianlah, anak-anak pun kita paksa untuk segera menjadi dewasa. Dengan memoles mereka, bukan dalam keindahan dan kegembiraan gerak seorang anak yang lincah dalam permainan mereka, tetapi dengan menggambarkan kegenitan dan sensualitas orang dewasa. Kita ingin anak-anak kita menikmati kehidupan kita, dan bukannya kita yang menikmati kehidupan mereka. Kita alpa bahwa anak-anak memiliki sudut pandang yang tersendiri dan unik dalam memandang dan menikmati kehidupan ini. Maka kita pun memoles anak-anak kita sendiri agar dapat menyerupai potret kita. Dan anak-anak yang lugu itupun meninggalkan kegembiraan mereka dan memasuki dunia kita, dunia yang kering dengan segala topeng-topeng kedewasaan kita. Topeng-topeng yang, kita sadari atau tidak, sering dipenuhi kemunafikan.

Sayangnya, kita tidak, atau jarang menyadari hal itu. Kita akan merasa bangga jika anak-anak kita dapat serupa dengan segala keinginan dan ambisi kita. Kita memaksa mereka. Kita memoles mereka. Maka seringkali anak-anak merasa tak dimengerti oleh kita. Kehidupan, bagi mereka, menjadi kering dan keras. Mereka mulai kehilangan identitas sendiri. Mereka mulai menjiplat identitas kita. Tetapi pernahkah kita sadari bagaimana identitas kita sendiri? Bagaimanakah kehidupan dan tingkah laku kita sendiri? Hidup kita, bersama ambisi dan hasrat kita, adalah topeng-topeng yang menyembunyikan perasaan kita. Telah lama kita meninggalkan masa kanak-kanak kita sehingga kita telah melupakan apa yang kita pikirkan dan hanya mengenang apa yang kita alami dulu dan yang ingin kita ubah sekarang. Demikianlah, anak-anak itupun kita beri pupur tebal sehingga keceriaan mereka tertutup oleh segala ambisi dan keinginan kita. Kita merubah paras mereka sesuai dengan paras kita. Sayang.

Di atas panggung yang mewah itu, ke enam gadis cilik itu bergoyang mengikuti irama lagu. Sambil menggeol-geolkan pinggul mereka. Dalam cahaya yang temaram, karena sebagian besar lampu di ruangan pesta itu dipadamkan kecuali pendaran-pendaran cahaya di panggung, tiba-tiba aku merasa seakan menonton pertunjukan di sebuah klub malam saja. "...I wanna dance with somebody. I wanna dance with somebody who love me..." Nyanyian dari Whitney Houston itu terus menghentak dadaku. Ah, tidakkah mereka terlalu cepat untuk menjadi dewasa? Tidakkah itu?

Tonny Sutedja

HANYA DIA TAHU

Sudah larut malam. Di luar, suasana terasa amat hening. Dengan perasaan yang hampa, aku memaksa diriku untuk menuliskan penggalan-penggalan pemikiranku. Kantuk belum juga datang. Sehari lewat dan sehari lagi akan datang. Apa yang masih tertinggal dalam perjalanan waktuku? Nampaknya segala hal normal saja. Rutinitas yang tak berujung. Kerja yang tak kunjung usai. Hidup melintas dalam waktu. Dan waktu memenggal kehidupan ini. Akan kemanakah aku?

Ya, seringkali aku tak tahu apa yang menjadi keinginanku. Seringkali aku tak tahu apa yang mengejar hidupku. Terkadang waktu terasa amat panjang. Tetapi sering pula terasa betapa singkatnya waktu berjalan sehingga tak cukuplah 24 jam sehari. Dalam kerja. Pun dalam senggang, hidupku mengalir begitu saja. Kadang terasa cukup dan menyenangkan. Namun kadang pula terasa demikian sempit dan menyusahkan. Inilah hidup dengan segala ironi-ironinya.

Mengapa kita harus ada? Mengapa kita harus merasa? Mengapa kita harus berpikir? Apakah arti keberadaan kita? Dalam rasa dan pikir, apakah artinya itu dalam sejarah riwayat kita? Berguna atau tidakkah keberadaan kita? Jangan-jangan segala yang kita rasakan, segala yang kita pikirkan, segala yang kita alami hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Dan pada saatnya nanti, kita akan lewat dan menghilang dalam udara yang senyap. Dan hampa. Dan kosong.

Sudah larut malam. Mendadak kudengar gonggongan seekor anjing. Suasana hening yang tiba-tiba pecah meghentakkan kesadaranku. Ah, aku sekarang ada dan hidup. Aku sekarang berpikir dan merasa gundah. Apakah artinya itu? Apakah kelak jika waktuku tiba, aku masih akan berpikir dan bisa merasa gundah pula? Mengapakah hidup ini sering terasa asing dan demikian tak kupahami? Aku merasakan denyut jantungku, denyut dari sumber kehidupanku. Inilah tubuhku. Inilah mesin yang membuatku ada dan bisa merasa dan berpikir. Mesin yang kian menua, menjadi usang dan akhirnya akan binasa lalu ditanam sebagai suatu barang tak terpakai di dalam tanah. Saat itu, kemanakah aku? Masih bisakah aku merasa dan berpikir seperti saat ini? Masih adakah aku saat itu?

Ada saatnya aku merasa bimbang. Ada saatnya suatu ketidak-pastian mengisi perenunganku. Aku menatap ke salib besar yang tergantung pada tembok di depanku. Aku menatap tubuh tak berdaya yang tergantung pada salib itu. Aku menatap pada tangan yang terentang, pada paku-paku yang menghujam di telapak tangan dan kakiNya. Pada wajahNya yang kelihatan memelas dan tak berdaya. "AllahKu, ya AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Ya, bukankah demikian? Kadang aku merasa ditinggalkan seorang diri dalam ketidak-pastian. Dalam kesendirian. Dalam kehampaan hidup. Dalam kekosongan. Siapakah yang akan datang menghiburku? Siapakah yang mau datang membantuku? Siapakah yang sanggup datang menemaniku? Tidak! Pada akhirnya, segala sesuatu harus kuhadapi seorang diri. Segala tantangan, duka lara, kegamangan, rasa sepi, ketakutan ada dan hanya ada pada diriku sendiri. Tidak pada orang lain. Sebab setiap manusia hanya berpusat pada apa yang dimilikinya saja. Maka memandang pada salib besar itu, aku memandang pula segala kesepian, waktu-waktu yang telah terhambur sia, dan masa depan yang tak teraba, dengan keyakinan bahwa, aku bisa merasa ditinggalkan namun tak pernah akan dilupakan olehNya.

Sudah larut malam. Suasana kembali hening. Perlahan ada suara gerimis. Dengan rasa takluk, kututup renunganku sambil berdoa. Mengharapkan agar aku tidak hanya bisa berharap untuk diluputkan dari segala kemalangan dan kesedihan tetapi agar aku diberi kekuatan untuk sanggup menghadapi kehidupan ini. Aku tidak berharap untuk dihindarkan dari segala rasa sepi dan hampa, namun agar aku diberi ketabahan menerima apapun situasi dan kondisi yang kualami saat ini. Hidup ini harus kuhadapi sebab aku sudah ada dan tak bisa kupungkiri itu. Hanya Dia yang tahu apa yang kualami. Hanya Dia yang tahu.

Tonny Sutedja

05 April 2008

ESOK ADALAH HARI LAIN

Sepi belum berlalu. Dan siang yang terasa panjang menyelimuti rumah yang amat sederhana ini. Aku duduk di depan jenasah seorang ibu yang nampak ringkih, tak berdaging dan seakan tenggelam dalam peti coklat dan terbungkus oleh tikar plastik berwarna pink gelap. Dekat kepala jenasah, sang suami duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Wajahnya kusut. Dua orang anak mereka, yang tertua, seorang gadis cilik berusia 11 tahun sedang mengendong sang putra bungsu berusia 6 tahun, berdiri di belakang ayah mereka. Dalam ruang tamu yang sempit tempat jenasah disemayamkan, hanya ada dua orang lain selain aku. Seorang wanita muda, adik dari almarhumah dan ayah sang suami, mertua almarhumah. Bunyi kipas angin menderu-deru seakan berupaya untuk mengusir kepengapan ruang ini, sebuah upaya yang nampak sia-sia. Nampak sia-sia.

Berapa lamakah waktu lewat melintas? Setahun? Dua? Aku tidak ingat lagi. Pada saat pertama kali menemukan keluarga ini dan bertemu dengan ibu ini, dia masih nampak segar walau tubuhnya memang sudah mengurus, berbeda jauh dibanding dengan foto pernikahan yang tergantung pada dinding tembok rumah mereka yang sebagian dipenuhi lumut hijau akibat ditembusi air saat musim hujan tiba. Dari informasi yang kami terima, ibu ini menderita kanker kandungan dan tidak mampu lagi untuk berobat. Suaminya, yang hanya bekerja sebagai satpam di sebuah perumahan, berpenghasilan amat kecil, bahkan untuk menyekolahkan anaknya. Anak sulungnya, saat itu, tidak lagi bersekolah di sebuah SDN karena sebagian penghasilan keluarga itu habis tersedot untuk membiayai pengobatan ibunya. Dan mulai saat itu, kami terlibat dalam membantu mereka, dengan setiap bulan memberikan dana sekedarnya untuk biaya pengobatan sang ibu.

Berapa lamakah waktu lewat sejak saat itu? Kukira tidak terlalu lama. Dengan biaya sekedarnya, ibu itu bertahan melawan penyakit yang mendera tubuhnya. Hanya sekali dia opname di RS, namun karena keterbatasan biaya, akhirnya dia hanya sanggup untuk berobat. Dalam bulan-bulan terakhir, dia malah memutuskan untuk menghentikan segala upaya pengobatan yang harus ditempuhnya. "Tidak usah, Ton" katanya, "Saya hanya menghabiskan biaya saja yang bisa berguna buat anakku. Jadi biarkan mereka hidup lebih nyaman. Aku tak mau mengurbankan mereka, sekolah mereka dan masa depan mereka hanya demi diriku ini. Sudahlah nasibku harus mengalami semua ini..."

Waktu? Nasib? Hidup? Bagaimanakah kita harus menghadapinya? Saat kita menyadari betapa kecilnya kemampuan kita untuk bertahan. Saat kita sadari keterbatasan yang demikian mutlak mengungkung kita? Saat kita paham bahwa bukan kita sendirian saja yang harus hidup dan menderita di dunia ini. Ah, tangisi apa yang harus ditangisi, tetapi jangan mengutuk dia. Hari ini adalah milikmu, hari esok siapa yang bisa memastikannya? "Kadang aku tak tahu apa gunanya hidup ini. Kadang aku tak mengerti mengapa aku harus hidup. Jika Tuhan membuatku ada di dunia ini, mungkin untuk inilah aku ada...." katanya lagi. Hatiku menjadi beku. Untuk apakah kita ada di dunia ini, sekarang dan saat ini? Untuk apakah kita bertekun dalam kerja dan pengharapan, jika kita tahu esok adalah hari lain, dimana kita tak akan hadir lagi. "Tetapi saya tetap berharap bahwa anak-anakku bisa hidup jauh lebih baik dariku. Maka jika saat ini aku sadar bahwa aku tak mampu mengobati diriku lagi, aku berharap, ya amat berharap pada masa depan anak-anakku. Saya kira jelas juga, untuk itulah aku ada. Untuk menghadirkan mereka di dunia ini...."

Sayup-sayup terdengar deru sirene mobil jenasah yang tiba. Dan beberapa kaum kerabat masuk ke dalam ruang sempit ini. Doa-doa telah diucapkan. Ucapan-ucapan belasungkawa telah diucapkan. Sebuah ritus telah berjalan. Maka beramai-ramai kemudian, peti itu ditutup. Suara palu yang memukul paku penutupnya menggedor-gedor udara. Menggedor-gedor ruang sempit ini. Menggedor-gedor hati kami. Sesaat kemudian semuanya menjadi sepi. Peti telah tertutup rapat. Riwayat telah terkunci dalam masa lalu. Lalu bersama-sama, orang menggotong peti itu dalam sunyi. Dan duka yang menggantung di udara. Namun sepi belum berlalu. Dan mungkin takkan berlalu. Ya, kesusahan sehari cukuplah untuk sehari ini. Sebab esok adalah hari lain lagi. Hari lain.

Tonny Sutedja

04 April 2008

GENERASI

"Om..Om, saya di'tembak' di sekolah kemarin..." seru gadis cilik itu, kemenakanku yang kelas 6 SD, dengan matanya yang bulat berbinar-binar memandangku. "Ditembak?" seruku, "Siapa yang menembakmu? Pakai apa? Kenapa kau tidak lapor ke guru?". "Aih, hari gini masa Om nda' menger. Apa kata dunia?" Bingung, aku memandang gadis cilik itu. "Ditembak itu artinya ada anak cowok yang menyatakan cintanya sama saya. Saya sempat pacaran, tapi cuma 3, eh 4 hari saja....." katanya lagi sambil terkekeh-kekeh.

Di dalam milis alumni yang kuikuti, saat membaca email dari alumni 90an (aku sendiri alumni 80), sering aku harus mengernyitkan kening dan berpikir keras untuk dapat memahami maksudnya. "Bahasa gaul" kata seorang temanku. Ya, aku sering tercengang saat mendengar atau membaca istilah-istilah baru yang diucapkan mereka. Membaca email-email itu seakan-akan membaca SMS yang dipenuhi dengan berbagai akronim dan istilah-istilah yang baru bisa kupahami setelah berulang kali menyimaknya. Itu pun masih mungkin salah karena aku harus menggunakan imajinasiku sendiri. Meneketehe (Mana kutahu).

Sungguh, dalam obrolan-obrolan dengan anak-anak kita, nampak pula betapa dalam jurang perbedaan pemahaman antar generasi. Bahasa gaul generasi kita dengan generasi anak-anak kita. Kesenangan kita dan kesenangan anak-anak kita. Lagu dan musik kita dengan lagu dan musik mereka. Tetapi hidup memang mewajibkan kita untuk menerima perkembangan itu. Karena itulah kita harus belajar terus, sama seperti kelak anak-anak kita juga harus melakukan hal yang sama terhadap generasi berikutnya kelak. Waktu tak pernah berhenti, dan siapa yang berhenti pada dirinya sendiri akan ditinggalkan dalam kesendiriannya.

Anak-anak, adalah harapan masa depan kita, sekaligus gambaran masa lalu kita. Suatu saat, di tengah malam yang pekat, bersama beberapa temanku, kami memandang langit yang dipenuhi cahaya bintang, indah berpendar-pendar. Seseorang berkata dengan lirih, "Lihatlah ke langit itu. Pandanglah ke arah bintang dan galaksi itu. Maka kita akan tahu, bahwa yang kita lihat saat ini sesungguhnya adalah masa lalu dunia. Yang kita lihat adalah peristiwa ratusan atau bahkan ribuan tahun cahaya masa lampau. Dan kita tak pernah bisa mengetahui keadaan sebenarnya sekarang, apalagi kelak...." Dan kukira, anak-anak kita pun demikian adanya. Mereka adalah masa depan dunia, sekaligus gambaran masa lalu kita sendiri.

Maka, sambil memegang kepala gadis cilik itu, aku berkata, "Oo gitu toh. Kecil-kecil sudah tahu pacaran" Dia pun berkata, "Ai, Om ini kuper deh......" sambil menyandang tas sekolahnya yang amat besar dan berat, seakan-akan hendak melakukan camping saja lalu berlari memasuki gedung sekolahnya. Kukira, itulah konsekuensi yang harus kita terima untuk terus menerus belajar mengenai gaya hidup mereka, sama seperti dulu orang tua kita, kita paksa untuk belajar memahami gaya hidup kita saat itu. Malah dulu kita juga sering mengeluh, betapa orang tua kita terasa amat tak memahami kita saat itu. Perbedaan itu, bukankah itu indah? Jadi seharusnya kita menerimanya sambil tersenyum dan bukannya memaksakan gaya masa lalu kita seakan-akan gaya kitalah yang saat ini paling benar. Sebab hidup dan waktu tak pernah terpasak di titik yang sama. Ya, hidup dan waktu tak pernah terpasak di titik yang sama. Dan masa depan yang tak dikenal sama dengan masa lalu yang tak kita pikirkan. Kini, saat ini, kita adalah kita. Dan kelak, saat nanti, anak-anak kita adalah mereka.

Tonny Sutedja

JENTERA HIDUP

Ada suatu mujizat dari

Benang-benang kusut

Lepas dari jentera

Tak tergulung rapi

Bagai musik spontan

Dari nada menyempal

Tanpa nada tapi

Penuh dengan irama

Ah, kusuka itu

Sebab bukan seperti sangkamu

Alam memang tak pernah rapi

Namun tertata dalam

Simfoni yang indah

Menakjubkan

:Hidupmu


 

Tonny Sutedja

SIAPAKAH AKU?

Andai kutahu

Kapan tiba waktuku...

(Andai KutahuUngu)


 

Ya, andai kita tahu kapan tiba waktu akhir kita, apakah yang akan kita lakukan? Mungkin kita akan bersujud, menangis dan menyesali segala kesia-siaan hidup kita. Atau mungkin pula kita lalu bangkit dan menikmati segala kesenangan duniawi yang belum kita kecap sebelum akhir tiba. Atau bahkan mungkin pula kita tak peduli dan tetap hidup dalam rutinitas sehari-hari. Andai saja kita tahu kapan waktu kita tiba.....

Hidup selalu menyimpan suka dan duka kita jauh di dalam hati. Dan terkadang kita lalu bertanya-tanya, siapakah aku? Siapakah diriku ini? Mengapa seringkali tak kita kenali dia? Kadang kita heran, mengapa kita harus melakukan hal itu, dan bukan hal yang lain saja. Kadang kita bingung, mengapa apa yang kita dapatkan tak sesuai dengan apa yang kita ingini. Padahal selama ini kita telah melangkah sesuai dengan program yang telah kita atur sendiri. Kita telah hidup dengan cara yang kita ingini sendiri. Tetapi mengapa pengalaman kita ternyata lain dari keinginan kita sendiri? Siapakah sebenarnya diri ini?

Ada banyak pertanyaan filosofis yang seringkali mengusik perasaan kita. Saat kita sendirian, duduk sambil memikirkan kembali diri ini. Saat kita tercekam dalam rasa ketidak-tahuan, dalam rasa hampa luar biasa, saat rasa sepi dan sunyi menggigit jiwa. Saat kita merasa ditinggalkan seorang diri tanpa seorangpun yang, bagi kita, mampu untuk memahami diri dan pemikiran kita. Kita seakan-akan tercerabut dari keberadaan kita dan tenggelam dalam kehampaan, ketidak-bermaknaan dan bahkan kesia-siaan. Hidup, ya hidup, mengapakah seringkali terasa demikian asingnya? Mengapakah keraguan seringakali demikian tajam menikam pemikiran kita?

"...bagiku, kesepian dan kekosongan itu sedemikian dalam sehingga aku memandang, tetapi tidak melihat-Nya, aku menyimak, tetapi tidak mendengar-Nya. Lidahku bergerak begitu saja dalam doa-doa, tetapi sesungguhnya tidak mengatakan apa-apa. Kegelapan menyelimutiku seakan semuanya telah mati...." demikian tulis Bunda Teresa dalam sebuah suratnya yang telah dibukukan (Mother Teresa: Come Be My Light). Tiba-tiba aku menemukan suatu sikap kejujuran dari seorang yang selama ini terkenal dengan keteladanan, keberanian dan ketabahannya menghadapi nasib buruk manusia. Ah, hidup ternyata tidak seperti apa yang nampak.

Tetapi, disitulah juga terletak sumber kekuatan kita. Ya, dalam keragu-raguan, dalam rasa putus asa dan keterasingan diri, dalam rasa rindu pada Sang Pencipta yang seakan-akan tidak pernah hadir dalam hidup kita, kita ditantang untuk percaya. Percaya bahwa keragu-raguan kita sesungguhnya sumber dari kekuatan kepercayaan. Tanpa keragu-raguan, tanpa rasa hampa dan tak berarti, kita menjadi semacam Tuhan yang bisa menentukan kebenaran dan, karena itu, dengan mudah memastikan kebenaran kita sendiri sebagai kebenaran Tuhan. Manusia sesungguhnya tidak pernah akan mampu untuk menebak apa yang menjadi keinginan Dia. Dan bila seseorang merasa tahu pasti apa keinginan Sang Pencipta-dia akan gagal untuk menemukan kemuliaan ciptaanNya. Bahkan Yesus sendiri, pernah mengeluh, "Allahku ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?" lalu mengapa kita sendiri merasa harus kuat, tegar dan tak terkalahkan dalam mempertahankan, apa yang kita mungkin sebut kebenaran Tuhan, namun mungkin itu hanya kebenaran menurut perasaan kita saja?

Andai saja kita tahu kapan waktu kita akan tiba. Ya, andai saja kita tahu, lalu apa yang akan kita lakukan?

Tonny Sutedja

SEBUAH SIANG DI PASAR TRADISIONAL

Siang dengan udara yang panas menyengat. Debu mengepul dari jalan yang amat ramai. Puluhan kendaraan berseliweran. Klakson menderu-deru. Dan seorang gadis kecil, yang sedang berdiri di atas trotoar yang disesaki pedagang kaki lima, nampak bersenandung. Entah lagu apa, aku tidak tahu, tetapi gadis itu bersenandung dengan rian, sambil menadahkan sebuah kaleng susu kental manis. Manusia lalu lalang tanpa seorang pun yang nampak memperhatiakn gadis cilik itu. Di sudut lain, tak berapa jauh dari gadis itu, tiga-empat orang remaja putra berdiri di tengah jalan sambil mengetuk aneka jenis kaleng dengan nada gembreng. Tiba-tiba aku merasa hidup mengeras di sini.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan kemasyarakatan kita? Mengapa anak-anak seusia mereka, yang seharusnya saat ini sedang duduk belajar di sekolah, harus luntang-lantung untuk menghidupi hidup? Dimanakah para orangtua? Dimanakah mereka yang harus mengasuh dan merawat mereka? Bahkan, dimanakah kita? Di sudut dunia yang sedemikian terik dan melelahkan ini, tiba-tiba aku merasa tak berdaya menghadapi wajah-wajah cilik itu. Tuhan, mengapakah mereka mesti hadir hanya untuk tersia-sia begitu? Atau adakah sesuatu makna dalam keberadaan mereka demi Engkau? Apakah itu?

Hidup, sedemikian banyak menyembunyikan pertanyaan yang tak mampu kujawab. Dan setiap kali aku menggugat, setiap kali pula aku harus menyadari betapa sedikitnya kemampuanku untuk memahami dan mempercayai makna kehidupan ini. Semakin dalam aku mencari arti saat menyaksikan penderitaan orang-orang lain, saat menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak benar, saat mendapati rasa keadilan yang kian tak adil, semakin dalam pula rasa ketak-berdayaanku dalam menerima kenyataan hidup ini. Dan semakin tak puas pula aku pada jawaban-jawaban yang seringkali terdengar indah namun tanpa arti apa-apa. Ya, kata-kata yang seringkali nampak bagaikan topeng yang menyembunyikan kepahitan hidup di balik istilah-istilah indah dalam khotbah-khotbah yang panjang.

Namun, inilah kenyataan itu sendiri. Aku lewat dalam kemacetan panjang di jalan yang sempit pada area suatu pasar tradisional, dan dengan matahari yang sedemikian menyengat di atas kepalaku, dan debu serta asap polusi yang tipis menutup jejalan kendaraan dan manusia-manusia yang sedang berjalan hilir mudik tanpa tahu akan dan menuju kemana : seorang gadis cilik dengan baju yang lusuh, sedang bersenandung.....

Tonny Sutedja

BUMI

1

Debu berkepul di bumi tandus

Membekas dalam kemarau panjang

Keringat tak lagi punya daya

Dan kami yang lewat terpesona

: Betapa Sepinya


 

Lubuk sungai gersang

Pepohonan merangas

Langit tandus

: Ini Aku, marilah

Seru tetesan-tetesan air

Yang mengap naik ke udara kering

Ibu bumi perih meremas dada

    Anakku, Anakku

    Air susuku telah ludes

    Tak mampu lagi

    Kupuasi dahagamu


 

2

Ilalang terbakar sepanjang pematang

Pematang merangas sepanjang jalan

Jalan membara sepanjang surya

Debu mengepul

Asap mengambang

Deru mobil melintas

Bagai impian lepas. Tak terkejar

Kering memunahkan asa

Berlarian anak-anak dusun

Kaki-kaki kecil

Tanpa akhir


 

3

Jalan membentang di depan

Lurus tanpa ujung lanskap

Bebayang sayup embun mengawang

Fatamorgana dalam nasib

Tak seriang lukisan di pigura

Yang tergantung di ruang tamu

Pak Saudagar

Bumi adalah kakek tua kelaparan

Tetap memanggul hidup

Di bawah nyala api


 

4

Debu berkepul di bumi tandus

Tak berawal. Tak berakhir

Nasib memikul dirinya sendiri

Dan kita. Demi Kemestian

Melukis bumi yang subur

Dan yang gersang

Kita simpan di balik pigura

Seakan rayap yang tak pantas

Ada


 

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...