30 Oktober 2008

MISS PEGGY, GURUKU

Dia terbaring di atas ranjang ruang ICU RS Akademis. Wajahnya yang tua, nampak ceria dan tersenyum saat aku menjenguknya di suatu siang yang mendung. "Apa kabar, Miss Peggy?" (sebenarnya ini penggilan yang kurang logis, tetapi aku telah terbiasa memanggilnya dengan cara itu daripada dengan kata ibu guru atau bahkan madam). " Sudah jauh lebih baik dari kemarin, Ton" jawabnya. Guruku ini sungguh hebat. Kami, murid-murid yang telah diajarnya hingga beberapa dekade lalu, tetap diingatnya, bahkan sampai nama kami. Terus terang, aku sendiri akan bingung jika ditanyakan nama teman sekolahku dulu. Bahkan saat bermuka-muka pun, belum tentu dapat kukenali rupa mereka. Waktu telah membuat banyak perubahan bagi kita semua. Tetapi Miss Peggy merupakan kekecualian. Dengan pasti, guruku ini memandang kami lalu, sambil tersenyum memanggil nama kami. Menakjubkan.

Kehidupannya adalah kisah panjang perjuangan seorang guru, kisah cinta pada anak-anak muridnya, baik yang alim apalagi bagi yang bengal seperti aku. Lahir pada tahun 1934, saat ini dia telah berusia 74 tahun. Namun waktu tak mampu menaklukkan daya ingatannya. Dan kanker yang menggerogoti tubuhnya pun tak mampu membuatnya menyerah untuk tetap hidup. Seorang teman menulis di milis alumni, bahwa hidup adalah sebuah puisi. Jika memang demikian, kehidupan guruku ini dapat disebut sebuah elegi yang panjang tentang perjuangan untuk membagi ilmu dan cintanya kepada kami semua. Dia tak pernah menikah. Itu mungkin karena dia telah mengikatkan diri dan kehidupannya bagi kami, murid-muridnya yang sering amat nakal dan kurang ajar ini. Maka saat aku memandang wajahnya yang tua namun tetap bersemangat, aku memberikan cetakan dari komentar mantan murid-muridnya di milis kepadanya, tiba-tiba aku merasa terseret rasa haru. Dia mengambil lembaran kertas yang kuberikan itu, dan menatap ke dokter yang berdiri di sisi lainnya – dokter yang juga salah seorang mantan muridnya – sambil berkata padaku, "nanti kubaca, pasti, saat ini saya masih agak pusing..." Tetapi toh, dia mencoba untuk menjenguk isi lembaran-lembaran awal cetakan yang kuberikan, dan tertawa kecil membaca komentar seorang teman yang mengatakannya bahwa dia dulu amat galak tetapi juga amat baik.

Galak. Baik. Apa hubungan dua kata itu? Bagaimanakah seseorang yang galak dapat dikatakan baik? Bagi seorang Miss Peggy, bagi seorang guru bahasa Inggris yang terampil, galak bagi kami tidak pernah bisa membuat kami sakit hati. Galak bagi kami selalu berarti bahwa dia mengharapkan kami menjadi baik, selalu menjadi baik. Mengajar sejak tahun 1963 dan baru pensiun pada tahun 1993, selama 30 tahun dia mengabdikan dirinya bagi kami. Maka jika aku melihat kepada Miss Peggy siang hari itu, tiba-tiba aku menemukan satu cinta kasih. Dan satu harapan. Bahwa hidup, bagaimana pun perasaan sakit dan sepi yang dia alami saat ini, tak pernah menjadi sia-sia. Kehidupan kami sekarang, sungguh-sungguh bersumber dari ketekunan, kegalakan dan kepandaian yang telah dibagikannya kepada kami. Hidup selalu berarti bila kita mau membagi kebaikan kepada orang-orang lain. Hidup baru berarti jika kita dapat saling berbagi. Miss Peggy, guruku bahasa Inggrisku, telah membuktikannya itu. Dan kini saatnya, kami sebagai mantan murid-muridnya, meneruskan ilmu yang telah diberikannya kepada kami semua. Miss Peggy, Tuhan memberkatimu selalu.

Tonny Sutedja

UNTUK DUNIA?

Situasinya kacau balau. Ibu muda itu dengan histeris berteriak kepada beberapa jururawat yang sedang berkumpul di lorong sebuah rumah sakit swasta. Anaknya, seorang putra yang berusia sekitar 8 tahun dan sedang berada di atas ranjang dorong, nampak tersengal-sengal dengan muntahan membasahi baju piyama indah yang dikenakannya. Seorang gadis berpakaian pengasuh anak – masih amat belia – mengikutinya dari belakang dengan bengong dan wajahnya pucat ketakutan. Anaknya sedang dibawa masuk ke unit gawat darurat rumah sakit itu. Udara siang hari itu demikian panas dan menyengat. Segera dua orang dokter muda, mungkin co-ass, memasang selang infus dan menyuntikkan obat ke tangan anak laki-laki itu yang tak mampu lagi untuk bersuara. Aku melihat situasi itu dengan perasaan prihatin. Sakit apakah anak itu?

Beberapa hari kemudian, aku kembali bertemu dengan ibu muda tadi, yang kali ini ditemani suaminya, saat menunggu di depan apotik rumah sakit swasta itu. Aku menghampirinya dan menanyakan kondisi putranya. "Syukur", katanya, "anakku sudah mulai pulih". Lalu dia menceritakan sebab anaknya harus diopname. Ternyata putranya itu keracunan makanan. Keluarga itu tinggal di sebuah perumahan elit. Hari-hari mereka diisi dengan kesibukan menjaga toko dan anak mereka hanya dijaga oleh pengasuh anak, mungkin yang kulihat beberapa hari lalu. Mereka selalu menyediakan kue-kue dan snack di sebuah meja kecil di rumah mereka. Tetapi karena kesibukannya, berangkat ke toko setiap pagi jam enam dan baru balik ke rumah menjelang jam sepuluh malam, mereka tak pernah memperhatikan masa kadaluarsa makanan yang ada di atas meja kecil itu. Ternyata, ada kue kering yang sudah kadaluarsa hampir setahun lalu. Kue itulah yang kemudian dimakan oleh putranya, yang membuat dia mendadak muntah-muntah dan keracunan. Dengan takjub aku mendengar kisah mereka. Dan dengan takjub pula aku merenungkan kehidupan sekian banyak di antara kita yang sedang berjuang untuk hidup dan mengejar kekayaan.

"Aku berusaha agar bisa hidup layak" kata ibu muda tadi. Tetapi, sampai batas manakah hidup yang layak itu? Pantaskah kita mengejar kekayaan dan kemakmuran dengan mengurbankan kehidupan keluarga kita? Apakah kekayaan kita pergunakan untuk hidup, ataukah kita hidup demi mengejar kekayaan? Betapa banyaknya dari antara kita, yang saat ini hidup dengan rumah yang amat mewah, dengan kendaraan lebih dari cukup untuk dipergunakan, dengan kekayaan yang takkan habis dipakai untuk hidup secara layak sebagai manusia, tetap berusaha mengejar lebih dan jauh lebih banyak lagi. "Toko kami ramai, amat ramai sehingga kami bahkan sering tak sempat makan siang lagi. Hari libur pun sering kami terpaksa harus buka karena para pelanggan terus memesan barang dari kami...." tutur ibu tadi. Dengan heran aku menatap mereka. Terpaksa? Siapakah yang memaksa mereka? Para pelanggan itu ataukah uang yang dibawa oleh pelanggan itu? Dan jika untuk menjadi kaya, kita harus merasa terpaksa, lalu apakah arti kebebasan yang dimiliki oleh kekayaan itu? Karena kata orang, hanya orang-orang yang mampu yang bebas melakukan apa saja. Tetapi nyatanya?

"Dunia ini cukup untuk memenuhi semua kebutuhan manusia, tetapi takkan pernah cukup untuk semua kerakusan manusia", demikian kalimat Gandhi yang terkenal itu. Dan memang demikianlah adanya. Seringkali kita tak mampu lagi untuk tahu dan sadar batas antara yang layak dan lebih. Batas antara kebutuhan dan ambisi kita. Maka kita melupakan semua hal yang menyangkut seputar kita. Kita hidup untuk diri kita sendiri. Kita hidup demi ambisi kita saja. Kita tak puas. Kita tak pernah merasa puas. Kita selalu menginginkan yang lebih dan lebih lagi. Sering tanpa batas. Dan saat kita sadar bahwa, dengan berbuat demikian, ada banyak kehidupan di luar diri kita yang telah kita kurbankan, seringkali sudah terlambat untuk mengubah cara hidup kita. Seringkali sudah terlambat.....

Ibu muda tadi, sambil memegang tangan suaminya, berkata padaku dengan lembut: " Kami sadar kini, bahwa apa yang saat ini kami miliki, sudah jauh lebih dari cukup untuk hidup layak. Kami tak mau lagi anak kami terpaksa harus mengurbankan hidupnya demi apa yang kami anggap hidup yang layak. Karena yang layak itu, harus punya batas. Jika tidak, itu bukan hidup yang layak lagi..." Dan tiba-tiba aku teringat pada keluarga-keluarga yang tinggal di perkampungan kumuh. Yang tetap tersenyum, walau hidup yang mereka jalani sehari-hari, dalam pandangan keluarga muda itu, tidak layak sama sekali. Tetapi toh, mereka menikmatinya. Mereka tetap menikmatinya, mungkin dengan banyak keluhan. Karena kesadaran bagi seorang manusia tentang layak atau tidaknya hidup mereka, hanya berarti bahwa kita hidup untuk dunia ini saja. Padahal, ada yang jauh lebih layak lagi untuk dijalani, saling berbagi, saling memperhatikan dan saling mengucap syukur atas keberadaan kehidupan ini.

Suami-istri muda itu kemudian nampak membimbing putranya yang masih tertatih-tatih, melangkah di selasar rumah sakit swasta itu. Aku menatap mereka dari kejauhan, sambil berharap, agar semoga dengan peristiwa itu, mereka sadar bahwa sungguh ada yang jauh lebih layak untuk dijalani daripada sekedar hanya mengejar apa yang mereka anggap hidup yang layak. Perhatian. Cinta kasih. Rasa syukur atas apa yang telah dimiliki. Bertiga, mereka nampak ceria. Bertiga mereka saling bertutur, mungkin tak ada artinya sama sekali, tetapi toh mereka tahu bahwa saat itu mereka memiliki kekayaan yang jauh, jauh lebih berharga daripada apapun di dunia ini. Mereka memilki kehidupan itu sendiri.

Tonny Sutedja

28 Oktober 2008

MENEMBUS KABUT

Berempat kami menembus kegelapan malam. Gerimis yang turun membasahi mantel kami. Kabut mengambang seakan asap yang lembut membungkus tubuh kami. Jarak pandang hanya setengah meter ke depan. Dan tanpa membawa senter atau penerang lain, kami melangkah diam-diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, meniti di atas pematang sawah yang berlumpur dan licin. Hawa cukup dingin walau tak sampai menggigilkan dan beruntung pula bahwa hujan tidak sampai menderas. Kami sedang menuju ke sebuah desa di Bone untuk menjenguk orang tua teman kami yang sedang sakit tetapi tak menyangka bahwa desa tersebut demikian sulit dan tak terjangkau oleh kendaraan yang tumpangi sehingga terpaksa harus menitipkan kendaraan kami di sebuah rumah makan di tepi jalan raya lalu berjalan kaki menembus kabut malam.

Suara percikan air. Gesekan sepatu yang sesekali terpeleset karena licinnya tanah. Dan tak ada cahaya sama sekali. Yang nampak di depan kami hanya kabut putih dan sesekali nampak merahnya langit karena tertutup mendung tebal. Selain itu, tak nampak apa-apa. Aku berdoa semoga hujan tidak menderas, bahkan semoga berhenti sama sekali. Masih berapa panjangkah perjalanan ini harus kami tempuh? Dengan tertatih-tatih, kami terus melangkah, maju ke depan, menuju ke tujuan. Berempat kami tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Diam. Tak seorang pun bersuara. Canda dan tawa yang tadinya memenuhi perjalanan kami di atas kendaraan yang kami tumpangi seakan sirna, tenggelam dalam masa lalu yang terasa jauh. Jauh sekali.

Sehari sebelumnya, saat kami putuskan untuk berangkat menemani teman kami yang ingin menjenguk ayahnya, yang katanya sedang sakit keras, tak pernah kami bayangkan akan menemui situasi ini. Tetapi hidup memang demikian. Kita tak pernah tahu apa yang akan kita alami nanti. Keputusan dibuat, lalu kita harus jalani secara tuntas. Tak perlu ada keluhan. Dan juga tak berguna. Sebab, saat kita berada dalam situasi yang sulit sekarang, kita tahu bahwa waktu tak mungkin dibalik ke belakang. Yang ada harus kita terima sebagai resiko dari keputusan kita. Dan dengan rasa tanggung jawab atas keputusan itu, kami tahu bahwa kami harus berjalan terus ke tujuan yang kami inginkan. Kami tak mungkin kembali dan tak akan berbalik.

Demikianlah, di malam yang kelabu itu, berempat kami menembus kabut, melaksanakan apa yang telah kami rencanakan. Hampir sejam kami berjalan pelan bagai siput, tertatih-tatih dalam jarak pandang yang hanya sejengkal, saat mendadak di depan kami muncul beberapa kilasan cahaya di kejauhan. Cahaya yang berpendar-pendar dari beberapa rumah panggung yang berdiri berjauhan. Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak menerpa pantai. Kampung ini ternyata terletak di tepi pantai Teluk Bone. Lalu muncul beberapa sosok tubuh menjemput kami. Salah seorang yang aku kenal, adalah kakak perempuan teman kami. Ternyata, kami telah tiba di tujuan.

Kami lalu diantar ke rumah mereka. Dengan segera kami melepaskan mantel yang kami kenakan. Mantel yang telah menjadi amat basah. Tetesan air menetes ke atas beranda rumah panggung itu. Kami lalu diantar menaiki deretan anak tangga kayu lalu masuk ke sebuah ruang tamu kecil. Udara tidak cukup hangat untuk mengusir dingin yang menerpa kami namun cukup menyenangkan karena kami merasa terbebas dari terpaan gerimis. Dengan hidangan secangkir kopi hitam yang hangat dan sekaleng biskuit, kami tahu bahwa pada akhirnya kami telah tiba di tujuan. Sungguh menyenangkan dapat duduk santai di tengah ruang yang kering setelah sebuah perjalanan yang basah. Aku melonjorkan kakiku, tersenyum pada teman-teman dan mereka yang menyambut kami lalu mulai ngobrol mengenang saat-saat perjalanan tadi. Apalagi saat kami diberitahu bahwa kondisi ayah teman kami ternyata saat ini sudah membaik. Syukurlah, pikirku.

Setelah beristirahat sejenak, kami lalu memasuki ruang tidur, tempat ayah teman kami terbaring. Nampak orang tua itu sedang tidur lelap. Disini, jauh dari keramaian kota, jauh dari pengobatan kedokteran yang modern, sakit menjadi suatu proses alamiah dari tubuh. Tak ada selang infus. Tak ada peralatan canggih untuk mendeteksi kehidupan. Jauh terpencil dari hiruk pikuk apa yang dinamakan dunia modern dimana aku berasal, tiba-tiba aku merasakan suatu keakraban dengan sakit dan maut. Tak ada yang perlu ditakutkan. Tak ada yang harus dikhawatirkan. Semuanya adalah proses normal dari alam. Dan semuanya harus kita jalani, ya pada akhirnya semuanya harus kita alami. Sama seperti sebuah perjalanan panjang menembus kabut dan menjadi satu siksaan bagi kami sebelum tiba di tempat ini, hidup harus dan akan berjalan sesuai alurnya ke tujuan kita yang satu. Dan jika itu memang akan terjadi, haruskah kita menjalani hidup ini dengan kekhawatiran dan ketakutan terus menerus? Bukankah segala rasa takut dan khawatir kita akan sia-sia saja?

Perjalanan kami saat itu telah usai. Namun besoknya, kami semua akan kembali menempuh perjalanan pulang. Kembali ke kota asal kami. Dan kukira, inilah siklus kehidupan itu. Berjalan menembus kabut. Berjalan menerima kehidupan. Berjalan dalam duka dan suka. Berjalan terus selama tujuan belum tercapai. Berjalan dan tetap berjalan. Karena akan ada saatnya, kelak, kita semua akan tiba di tujuan kita. Disuguhi secangkir kopi hangat dan sekaleng biskuit. Kita berjalan bersama cinta dan harapan demi untuk membagikan kehangatan bagi orang yang membutuhkannya. Dan kehangatan bagi semangat dan rasa sayang kita sendiri. Hiduplah dengan tetap menjalani kehidupanmu. Apapun itu. Kabut. Gelap. Basah. Dingin. Lumpur. Letih. Apakah artinya semua itu saat kita telah tiba di tujuan hidup kita, teman?

Tonny Sutedja

KEABADIAN

Ada bunga di mataku

Ada lagu di hatiku

Ada impian di harapku

Ada waktu di sisiku


 

Dimanakah kau?


 

Bulan terang di langit

Lepuh ditelan pagi


 

Jejak langkahku kini

Terpeta atas bumi diam


 

Tak ada harapan, katamu

Kita yang telah tertinggal

Hanya serupa sisa unggun

Mati tersiram hujan subuh


 

Dimanakah aku?


 

Perjalanan panjang

Haruskah terhenti?


 

Tidakkah ada jejakmu

Tertinggal dalam waktu?


 

Malam selalu tiba, kataku

Juga pagi akan datang

Bagai siklus. Berputar

Hidup tak pernah tetap


 

Dimanakah kita?


 

Dalam malam

Ada waktu


 

Dalam pagi

Ada saat


 

Ada bunga di matamu

Ada lagu di hatimu

Ada impian di harapmu

Ada waktu di sisimu


 

Ada aku bersamamu

Selalu

Abadi

.


 

Tonny Sutedja

26 Oktober 2008

AKU ADA BERSAMAMU

Gerimis meluruh dalam jiwa

Sepi terasa menikam jantung

Malam gelap dalam mendung

Hati bersinar tanpa cahaya


 

Padamu kini kukirim salamku

Gerimis membangkitkan rumput layu

Berdesir dalam jiwaku lagu

Tentang cahaya tanpa sinarmu


 

Dedaunan bergerak terhembus angin

Kembang melati mekar mewangi

Dalam malam segera mengembang

Fajar membawa terang baru


 

Hidup bertukar rupa

Waktu bertukar detik


 

Aku mencari malam dan pagi

Aku mengejar bumi dan langit


 

Bersama gerimis dan malam

Bersama gelap dan sepi

Bersama jiwaku merindu sendu

Kubawa sajak ini kepadamu


 

Dalam lagu

Dalam puisi

Dalam kata

Dalam sepi


 

Aku ada bersamamu


 

Tonny Sutedja

DEPAN RUANG OPERASI

Kami duduk. Menunggu. Di depan kami, pintu ruang operasi masih tertutup rapat. Sebuah lampu merah menyala terang tepat di atasnya. Beberapa jururawat sesekali nampak melintas, mondar-mandir di antara kami dan pintu tertutup itu. Ketegangan terasa mengambang di udara. Dan dalam hati kami. Kami duduk menunggu. Tanpa daya sama sekali untuk berbuat sesuatu. Kami duduk menunggu dan hanya dapat memasrahkan diri pada waktu yang lewat amat lambat saat itu. Lambat sekali....

Sementara itu, dalam ruang operasi, sesosok tubuh sedang dikerjakan. Daging diiris. Perut dibuka. Dan sepotong usus sedang dipenggal. Bagian yang rusak karena tumor yang tumbuh padanya, dipotong dan dibuang. Lalu bagian yang masih baik disambung kembali, dijahit dan dimasukkan kembali ke tempatnya. Tetapi tentu, tidak lagi sesuai posisinya semula. Sebab ada yang bagian yang telah dihilangkan. Setelah itu, proses kebalikan berlangsung. Perut ditutup. Daging disatukan kembali. Dan dengan satu harapan, semoga tak terjadi konplikasi dan infeksi yang dapat mengakibatkan kerusakan fatal. Pada daging itu. Pada hidup.

Aku duduk, sambil memegang perutku sendiri. Membayangkan proses yang sedang terjadi di dalam ruang operasi tersebut. Dan terkenang saat sebuah kendaraan sedang diperbaiki di sebuah bengkel langgananku. Ah raga ini, tidakkah sama saja dengan kendaraan yang sedang dikerjakan di bengkel itu? Jika demikian, apa yang membedakannya? Aku duduk, dan dengan kekhawatiran yang dalam mengharapkan keberhasilan operasi itu, bukan karena raga itu. Tetapi untuk kehidupan yang kukenal. Tawa dan tangis yang pernah kualami bersamanya. Tukar pikiran dan obrolan yang saling menguatkan. Bahkan pertengkaran yang pernah terjadi antara aku dan dia.

Maka betapa raga ini sebenarnya tak punya arti apa-apa jika kita tak bisa berpikir dan merasakan. Dalam sekejap, raga ini dapat rubuh, rontok tak berdaya, namun pikiran yang dikandungnya takkan pernah sirna dari waktu yang ada dan pernah ada. Khususnya, jika pikiran dan perasaan pernah bertaut. Kita, selalu memiliki makna dalam kehidupan ini. Kita, selalu memiliki peran dalam perjalanan waktu keberadaan kita di dunia ini. Tak seorang pun dapat mengatakan dirinya tak punya arti. Tak seorang pun. Kita hidup, selalu bersama-sama dengan keberadaan orang-orang lain. Dan jika raga yang kita miliki saat ini, kelak, akan rusak lalu dikuburkan karena tak lagi berfungsi, apakah bisa kita pastikan bahwa keberadaan kita yang singkat di atas bumi ini, sungguh-sungguh akan lenyap pula? Tidak, waktu bisa lewat, namun kenangan keberadaan kita takkan pernah sirna. Tak akan pernah.

Depan pintu ruang operasi yang tertutup rapat ini, aku menatap pada sebuah lampu merah yang menyala terang tepat di atasnya. Di dalam ruang itu, aku tahu bahwa, sesosok tubuh sedang coba diperbaiki. Namun yang ada bukan sekedar sesosok tubuh. Yang ada adalah sebuah nama. Sebuah kehidupan. Sebuah nama yang punya makna bagiku. Bagi kami yang pernah bersamanya. Bagi kami yang mengenal sosok itu. Maka hidup, bagi kami, bukan hanya sekedar sesosok raga saja, tetapi sebuah jalinan persentuhan hidup yang tak akan pernah dapat kami putuskan dalam ingatan. Sebab itu, dengan perasaan cemas kami memandang ke pintu yang tertutup itu sambil merasakan ketegangan yang menggantung dalam perasaan kami. Akankah dia masih dapat bersama kami? Akankah kami masih dapat tertawa bersamanya?

Kami duduk. Menunggu. Tak mampu berbuat apa-apa. Ah betapa seringnya kehidupan kita pun demikian. Sesuatu terjadi, sesuatu kita alami, dan kita tak mampu berbuat apa-apa selain dari menjalani hidup ini. Tetapi perlukah kita sesali? Perlukah kita kecewa? Perlukah kita merasa putus asa? Raga ini hanya sesosok daging yang serupa dengan kendaraan yang kita punyai, suatu saat akan rusak lalu dibenamkan ke bumi, menjadi sebuah sejarah yang menyatu bersama tanah. Namun kehidupan ini tak pernah akan berakhir begitu saja. Selalu ada kenangan yang akan dikenang. Dan menjadi abadi bersama kehidupan yang akan ada. Kelak.

Tonny Sutedja

25 Oktober 2008

DEMOKRASI

Pernahkah engkau membayangkan, seperti apakah rupa kita beberapa tahun kemudian? Seperti apakah hidup kita satu, lima atau sepuluh tahun ke depan? Dapatkah kau membayangkannya? Membalik kenanganku pada masa lampau, mengenang segala harapan dan semangat yang dulu pernah kumiliki, maka aku kini merasa betapa ganjilnya semangat menggebu-gebu, semangat tak mau kalah, semangat untuk bertarung menghadapi segala sesuatu yang nampak berbeda dengan jalan pemikiranku. Usia telah membuatku takluk. Pengalaman hidup membuatku sadar, bahwa pada akhirnya aku harus mengadakan kompromi terhadap orang lain, terhadap situasi lingkungan dan terhadap kondisiku sendiri. Hidup, pada akhirnya, adalah bukanlah sebuah medan peperangan. Hidup, ternyata adalah medan pemahaman terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi orang-orang lain yang berbeda denganku.

Demikianlah, hidup dimulai dengan, bukan kita saja yang ada dan punya hak ada di dunia ini. Hidup adalah kebersamaan yang diciptakan bagi semua. Untuk semua. Dan demi semua. Dari titik inilah, toleransi dimulai. Kesadaran bahwa kita tak sendirian, dan karena itu, menyeragamkan segala sesuatu sesuai dengan jalan pemikiran kita adalah hal yang mustahil. Dari pengalaman sejarah, kita belajar bahwa, untuk sesaat kita mungkin mampu memaksa orang lain dengan kekerasan dan ancaman untuk takluk dan mengikuti keinginan kita. Tapi hal itu takkan pernah akan abadi sifatnya. Akan tiba saatnya, keseragaman yang dipaksakan pecah menjadi kekacau-balauan yang bahkan jauh lebih buruk dari pada keadaan perbedaan yang dibebaskan terjadi. Dan seringkali juga, pemaksaan kehendak untuk keseragaman itu bukan berasal dari niat baik untuk semua, tetapi hanya demi kepentingan untuk berkuasa.

Dari sisi inilah, kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, misalnya tentang pro dan kontra sesuatu hal, bukan menjadi suatu jalan buntu bagiku. Sebaliknya, sikap pro dan kontra ini haruslah diterima sebagai sikap untuk kita menerima perbedaan itu sambil mencari pemecahan masalah tersebut. Bukan ditutup-tutupi atau bahkan dipaksa untuk ditutupi agar tidak bersuara sehingga seakan-akan nampak situasi yang aman dan kondusif. Padahal ada bara dalam sekam. Dengan mengizinkan tiap orang bersuara sesuai dengan pemikirannya, suatu saat kelak, kita bisa menemukan butir-butir pemikiran yang tak terduga-duga. Saat ini kita memang masih dalam proses belajar untuk saling mengeluarkan pendapat masing-masing, namun suatu saat nanti, saya yakin bahwa pada akhirnya kita akan menyadari dan menemukan saling pemahaman satu sama lain. Jadi selama sikap pro dan kontra tidak dibarengi sikap pemaksaan dengan kekerasan, biarlah berkembang dengan sendirinya.

Tonny Sutedja

24 Oktober 2008

DI SEPINYA MALAM

Gerimis mulai turun. Dan malam kian larut. Tetapi kantuk belum juga tiba. Aku duduk di depan beranda rumahku. Jalan lengang. Pohon Mangga berdiri sunyi. Tiada bunyi selain tetesan gerimis dari atas atap yang menggema ke dalam hatiku. Seekor kucing kecil, kurus, melintas tanpa menengok kiri kanan. Dan angin pun lenyap membuat dedaunan pohon mangga depanku jadi beku. Saat-saat seperti ini seringkali menjadi muram. Namun, saat-saat seperti ini pun mampu membuat jiwaku merasa damai.

Bahwa kehidupan ini, bagaimana pun adanya, mutlak ada dalam perasaan kita sendiri. Tak seorang pun yang mampu memaksa kita untuk bersedih jika kita menolaknya. Sebaliknya, tak seorang pun yang mampu membuat kita bahagia, apapun caranya, jika kita tak menginginkannya. Tubuh kita hanya sekedar daging dan tulang yang tanpa arti jika kita tak memiliki perasaan. Maka di sepinya malam seperti saat ini, aku mencoba untuk menikmatinya. Betapa sepi itu lalu jadi indah. Indah dalam hatiku.

Menikmati kediaman malam itu, aku sering ingin menulis sebuah puisi. Malam yang panjang. Kelam yang dalam. Hati yang muram. Jiwa yang lengang. Di udara, lewat pula sesosok burung, entah apa namanya, melintas sambil berkepak-kepak. Dia meliukkan tubuhnya yang mungil, lalu sejenak mengambang di udara yang diam. Seakan mencari sesuatu. Apa yang diinginkannya? Apakah pasangannya yang mungkin telah lama pergi? Ataukah dia sedang menunggu pasangan yang belum dikenalnya tiba? Apapun juga itu, burung mungil itu mendadak terbang meninggi lalu lenyap, tenggelam di balik kelam malam. Aku pun kehilangan dia.

Gerimis tetap menirai malam. Udara dingin menusuk tulang. Di jalan yang lengang, kini kosong melompong. Tak ada yang bergerak. Semuanya jadi hampa. Tiba-tiba, sehelai daun terlepas dari ranting pohon mangga depanku. Sejenak dia mulai menari, seakan-akan bergembira ria, karena akan menuju ke bumi yang siap menerimanya. Dengan gemulai, dia menghampiri tanah, lalu memeluknya dengan lembut. Terlepas dari induknya, daun itu menemukan tempat kediaman baru, tanpa duka tanpa sesal. Apakah artinya duka dan sesal, jika akhirnya sudah demikian pasti? Hanya kesia-siaan belaka.

Maka saat itu, aku belajar. Aku tahu dengan suatu kepastian mutlak kemana akan menuju. Aku tahu dengan kebenaran pasti akan bagaimana akhir dari hidupku. Namun, tentu saja, yang aku tak tahu, hanyalah kapan saat itu tiba. Nah, jika ujungnya demikian pasti, apa gunanya segala sesal dan kekecewaan ini? Sisa berapa lamakah waktu yang akan kutempuh? Semuanya toh tak ada artinya, jika kita tahu bahwa, betapa panjangnya pun itu, akan tiba juga saatnya aku melakukan istirah panjang.

Di tengah malam, saat gerimis tiba, dan malam jadi demikian sepi, aku belajar dari sehelai daun yang terlepas dan menari menuju akhirnya. Sepi dalam jiwa. Sepi dalam hati. Sepiku damai. Dapatkah aku mengharapkan lebih dari ini? Dan bergunakah harapan itu? Baiklah aku akan bertanya pada daun yang gugur itu.....

Tonny Sutedja

AKU DAN PUISIKU

Di sini

Aku menunggumu

Di bawah kemboja

Aku berdiam

Nyanyikan laguku

Dan ada cahaya

Dari pelitamu

Pertanda hidup

Aku ada


 

Lirih

Suaraku beralun

Bawa aku

Ke lembahmu

Bersama lentera

Yang dinyalakan

Untukku

Dalam kelam

Aku lelap


 

Puisi

Aku menulismu

Di relung sepiku

Kita bertarung

Dalam hidup

Dalam waktu

Sebagai suar

Pertanda

Kita hidup


 

Kelak

Di kotaku

Kubawa nadamu

Satu per satu

Kucecerkan

Ke tanah bisu

Kau tahu

Sepiku

Kau pergi


 

Dan aku pun

Tak kembali

Padamu


 

Tonny Sutedja

KATA

Pada kata

Ada akhir

Pada akhir

Tiada kata


 

Lintasi malam

Lintasi pagi

Mencari waktu

Kemana pergimu?


 

Bulan ada

Lalu pergi

Hujan tiba

Lalu usai


 

Kelak cari aku

Di lorong kelam

Lokasi dimana

Tanpa aku


 

Pada kata

Ada akhir

Pada akhir

Tiada kata


 

Tonny Sutedja

GADOG

Fajar baru mulai menyingsing. Aku terbangun sambil melihat teman-temanku yang masih tidur, bergelimpangan di lantai, lelap dalam pelukan selimut masing-masing. Aku melangkah keluar dan berdiri di serambi depan sambil menatap langit yang perlahan mulai tersingkap dari kegelapan malam. Warna jingga semburat di tepian mega yang sedikit berserakan. Jauh di sana, puncak-puncak masih serupa siluet gelap dalam udara dingin yang menyegarkan tubuhku. Alam menyapaku dengan suatu keriangan, bagai kanak-kanak yang menemukan permainan baru, di usia yang kian menua ini.

Perlahan, semilir angin menghembus wajahku. Terasa lembut menembus ke jiwaku, suatu rasa damai dan menghangatkan jiwaku. Di sini, di Gadog, tempat aku berkumpul bersama teman-teman, berupaya menemukan sesuatu yang kini tinggal dalam kenangan. Berapa lamakah waktu yang telah lewat tanpa kami sadari? Berapa panjangkah peristiwa hidup yang telah kami langkahi tanpa saling mengetahui satu sama lain? Dapatkah kami kembali menyusun suatu riwayat dalam ruang waktu yang demikian terbatas ini?

Langit mulai terang. Ada suara kokokan ayam di kejauhan. Ada suara gonggongan anjing. Pohon-pohon yang tadi bersembunyi dalam selimut malam, perlahan menampakkan kehijauannya yang menyegarkan mata. Sat dua teman yang juga mulai terbangun, datang dan berkumpul bersamaku di beranda ini. Lalu kisah pun mengalir. Yang masuk akal maupun yang tidak. Apa bedanya? Bahkan saat ini, jika aku ditanya, apakah hidup ini masuk akal atau tidak, dapatkah aku menjawabnya? Semuanya tergantung pada apa yang saat ini sedang kami nikmati dan rasakan. Dan jika itu indah, apakah artinya masuk akal atau tidak lagi?

Karena hidup mengalir mengalir dan kami biarkan mengalir begitu saja. Kesulitan-kesulitan di tempat asal. Rasa kesal dan kecewa. Bahkan keputus-asaan karena sesuatu yang mungkin tak sanggup kita raih. Adakah artinya di tempat yang demikian indah ini? Alam menawan di depan. Sahabat menawan di sekitar. Libur singkat di Gadog ini, mampu membawa kehidupan ini berhenti sejenak dari rasa bosan dan menghilangkan keletihan menghadapi rutinitas sehari-hari. Dan saat kami berkumpul sambil bernyanyi bersama-sama, tak pedulinya lagu sedih atau gembira, tawa tetap mengambang memenuhi hati dan jiwa ini. Istirah yang meneduhkan.

Gadog. Dapatkah kita menyembunyikan hidup kita dari sesama? Dapatkah kita hanya lelap dalam diri kita saja? Dapatkah kita merasa tidak peduli dan tidak mengenal hal-hal lain selain kepentingan kita? Jika dapat, jadi apakah hidup ini? Terkurung dalam ruang sempit, empat buah dinding putih, sebuah PC atau Laptop, mengerjakan tugas-tugas yang menjemukan, sambil mencoba menghidupi hidup. Ah, tiba-tiba aku ingin menyanyikan sebuah lagu tentang cinta. Sebuah lagu tentang harapan. Sebuah lagu tentang alam, manusia dan kerinduan-kerinduannya. Sebuah lagu tentang kehidupan. "Hello...Hello...hello...." Maka sungguh menyedihkan jika hidup hanya berjalan, dari hari ke hari, tidak kemana-mana selain pada diri kita semata wayang. Maka kita akan menjadi sendirian menghadapi hidup. Sendirian menghadapi nasib. Sendirian menghadapi diri kita. Sementara dunia di luar menanti dengan keindahannya yang menakjubkan. Dunia luar yang indah menantikan kita semua. Ah, I have a dream........

Tonny Sutedja

JALAN


 

"Aku kecewa terhadap diriku. Aku merasa salah atas pilihan yang telah kulakukan. Dan bagiku saat ini, tak ada jalan untuk kembali lagi. Tak ada. Namun untuk meneruskan pilihan yang telah kuambil pun aku tak mampu. Jadi, haruskah aku berhenti sampai di sini? Sekarang? Aku ingin tetapi aku takut salah lagi. Aku takut...."

Bagaimanakah seseorang harus hidup? Siapakah yang mampu memastikan bahwa hidup yang dijalaninya adalah sungguh suatu kebenaran yang sempurna? Siapakah yang bisa menebak apa pikiran Sang Pencipta? Ah, bisa jadi ada yang memastikan dirinya bahwa jalan yang ditempuhnya saat ini adalah jalan kebenaran. Adalah jalan Tuhan. Tetapi bagaimana kita bisa memastikan kebenaran itu? Tidakkah pada akhirnya, kita sebagai manusia, hanyalah mahluk-mahluk lemah yang penuh keraguan dan sering merasa bimbang untuk menentukan sebuah kepastian? Sebab tak seorang pun mampu untuk menebak masa depannya. Tak seorang pun mampu untuk memutuskan masa kininya. Dan tak seorangpun mampu mengelak apa yang telah dilakukannya di masa kemarin.

Kita hidup dan berjalan ke depan dalam waktu. Kita hidup dan melangkah menuju apa yang kita harapkan. Di depan kita ada banyak persimpangan yang harus kita pilih. Dan setelah sebuah keputusan kita ambil, lalu kita melangkah maju, tak ada jalan mundur lagi. Waktu menyeret kita untuk mengikuti alur yang telah kita putuskan sebelumnya. Namun, tetap saja, dalam perjalanan kita, tetap akan ada persimpangan-persimpangan lain dimana kita kembali bisa memilih. Maka walau tujuan kita nampak jelas di depan, persimpangan yang kita ambil akan tetap menjadi tanggung jawab. Dan tak seorang pun bisa dipersalahkan saat kita memutuskan untuk mengambil arah itu. Pun tak seorang pun bisa mempersalahkan dirinya. Sebab kita harus sadar, bahwa kita tetap harus melangkah maju. Dan apapun yang telah kita pilih, dapatkah kita meramalkan ujungnya? Maka jika tidak dapat, mengapa kita harus merasa salah?

Demikianlah, kadang-kadang kita terperangkap pada perasaan sesaat saja. Sama seperti Yudas yang memutuskan untuk menghentikan hidupnya karena merasa bersalah, tetapi bukankah penjahat di samping Yesus pun diampuni dan dijanjikan tempat baginya di surga? Dan tidakkah, bahkan Yudas sendiri pun mungkin tak menyangka, bahwa akibat dari tindakannya, maka Yesus pun akan dipermuliakan dalam sejarah? Lalu, apakah pilihan kita saat ini salah? Apakah kita lalu kecewa dengan keputusan yang telah kita ambil? Siapa yang tahu apa yang ada di masa depan kelak? Maka tak ada jalan lain selain kita harus tetap melangkah maju ke depan. Untuk hidup dan berjuang untuk mengatasi kesulitan-kesulitan kita. Untuk memperbaiki dan mengubah akibat dari keputusan yang telah kita buat. Tak seorang pun layak dipersalahkan. Dan tak seorang pun layak mempersalahkan dirinya. Hiduplah dalam waktu, bertahanlah selagi waktumu belum tiba, dan kelak di depan Sang pencipta, berdirilah dengan khidmat namun bangga. Karena kau telah mampu untuk hidup. Kau telah mampu untuk berjuang sampai akhir. Pertandingan hidup belum usai. Usia belum berakhir. Tuhan memberkatimu selalu.

Tonny Sutedja

RACUN DUNIA

Sabtu, 2 Agustus 2008. Hari belum lagi siang. Dan mendung tipis mengarak di langit. Aku berkumpul bersama puluhan teman-teman di halaman SMA Katolik Rajawali, menikmati kebersamaan sambil mengenang masa lalu. Ya, kami sedang mengadakan reuni di awal bulan Agustus ini. Di atas panggung terbuka. Sekelompok siswa-siswi sedang bergerak dan bernyanyi. "Racun... Racun... Dunia....", sebuah lagu, yang kalau tak salah milik The Changcuters sedang mereka lantunkan. Seorang siswi berkacamata, dengan lincahnya bergerak, memutar tubuh sambil mengangkat lengannya seakan ingin menggapai langit. "Racun... Racun Dunia...." Aku terpana memandangnya dan turut menikmati lagu yang dilantunkannya dengan menggerak-gerakkan kakiku. "Racun... Racun Dunia...."

Ya, kami berkumpul, menikmati kebersamaan dan mengenang masa lalu, sambil ditemani sebuah lagu riang gembira tentang racun dunia. Aku tak ingin mengulas tentang makna lagu itu sendiri, yang menyatakan bahwa "wanita racun dunia". Aku malah memandang ke dalam jiwaku dan bertanya-tanya, "apakah memang kita telah menjadi madu bagi sesama kita, atau malah kita adalah racun itu sendiri?" Suatu lagu lain, dulu pernah tenar, bernada "Madu di tangan kananmu. Racun di tangan kirimu", kalau tak salah, ciptaan Ari Wibowo. Maka saat kita hidup bersama pilihan-pilihan kita, kita tahu betapa seringnya kita ragu akan pilihan itu sendiri. Kita, yang nampak dipenuhi kegembiraan dan kesedihan, siapa tahu, apa yang justru saat itu sedang kita pikirkan dan rasakan?

Barangkali itu juga sebabnya mengapa kita sering merasa kesepian. Bahkan di tengah keriuhan dan sorak sorai, kita merasa terkucil dan tak berdaya untuk ikut larut dalamnya. Walau mungkin kita ikut tertawa. Walau mungkin kita ikut bersorak. Hidup tak sesederhana apa yang nampak. Dan sebab itu, tak seorang pun yang patut menganggap dirinya memahami seseorang, jika diri sendiri masih meragukan pemahaman terhadap hidupnya sendiri. Namun, untuk itulah juga gunanya kita berkumpul dan bersorak bersama teman-teman kita. Untuk itu gunanya kita melakukan suatu reuni. Dengan saling berbagi, dengan saling membahagiakan satu sama lain, dengan saling menikmati kebersamaan-walau hanya sesaat itu- kita luput dari kekecewaan dan kesepian atas hidup kita sendiri.

Racun dunia. Ya, mungkin hidup kita di dunia terasa bagai racun yang menyelimuti setiap pori-porinya. Namun ada yang indah pada racun itu jika kita mau mencoba menikmatinya bersama satu sama lain. Dan dalam kebersamaan itulah, kita sadar bahwa racun pun mungkin jadi madu. Bahkan bisa jadi madu. Sebab jika tidak demikian, untuk apa lagi kita hidup bersama? Untuk apa lagi kita berkumpul dan bernyanyi bersama? Bahkan untuk apa lagi kita hidup jika kita hanya bisa menyendiri dan lepas jauh dari realitas? Maka, walau hidup itu racun, nikmatilah! Itulah tanggung jawab kita sebagai manusia.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...