22 November 2008

BERANGKATLAH MISS PEGGY

Akhir datang juga. Sebuah kepastian. Ujung kehidupan duniawi. Saat kabar berpulangnya Miss Peggy, guruku, kuterima menjelang sore hari, rabu 19 November 2008 lalu, sejenak aku terpaku. Tidak, tak ada kesedihan dalam hatiku. Dia telah berjuang untuk hidup. Dan ketika semuanya selesai, ketika sebuah riwayat usai, sesungguhnya ini adalah kabar kemenangan seorang manusia. Kemenangan melawan rasa sakit. Kemenangan melawan pergulatan batin. Kemenangan atas kehidupan yang nisbi. Maka yang dapat dilakukan, bagi kami, hanyalah menyiapkan dan menyelesaikan segala prosesi yang sesuai dengan adat istiadat dan aturan manusia. Prosesi yang sebenarnya hanya demi kenyamanan kehidupan kita sebagai manusia yang masih ada di dunia ini. Selebihnya, bagi dia, apapun yang terjadi setelah dia melewati titik akhir ini, tinggal menjadi kenangan, satu jejak hidup yang telah dituntaskannya, dan kini hanya dia yang tahu apa yang dihadapinya sendiri.

Maka saat kami, mantan murid-muridnya, mengangkat tubuhnya yang tak lagi bergerak ini, suatu beban kehidupan telah menjadi suatu kenangan atas riwayat yang ditinggalkannya. Hidup, pada akhirnya adalah pergulatan menghadapi diri sendiri. Apakah kita hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, atau pun dalam kesunyian seorang diri, semuanya hanya berarti bagi diri kita. Dan inilah tubuh, daging, yang ditinggalkannya, yang sebentar lagi akan lenyap setelah proses kremasi usai. Dia hidup sendiri tetapi tidak sendirian. Ada suatu ide, suatu pemikiran, suatu teladan, yang telah ditanamkannya kepada kami. Ya, kehidupan dalam dagingnya telah selesai, tetapi roh pengetahuan yang diturunkannya kepada kami akan tetap bersama kami, bersama cara kami berpikir, bersama corak kehidupan kami, yang akan kami turunkan kepada anak-anak kami, turun temurun. Dan dia telah menjadi suatu sejarah yang takkan bisa terhapuskan, walau waktu baginya telah berlalu.

Dia hidup sendiri tetapi tidak sendirian. Kesan itulah yang amat mendalam dalam hatiku saat ini. Tak seorang pun yang dapat mengatakan dirinya tak punya arti. Selalu, ya selalu ada hal yang dapat kita berikan kepada dunia ini. Sadar atau tidak, keberadaan kita adalah sesuatu yang pasti membuat kita selalu memiliki arti. "There are no more dancers, but only the dance" demikian kata sebuah pepatah. Tak ada lagi para penari, yang tersisa hanya tarian. Sebagai penari kehidupan, dia telah berlalu, namun tarian yang telah dipersembahkannya selama masa keberadaannya di dunia ini, akan tetap kekal dalam ingatan dunia. Selamat jalan ibu guruku. Selamat memasuki cahaya kehidupan barumu. Kami tidak bersedih. Kami takkan bersedih. Karena kami tahu bahwa, "kau takkan kembali lagi kepada kami, tetapi kami akan pergi kepadamu, kelak".

Tonny Sutedja

MENUJU AKHIRMU

Berangkat menjelang petang

Kau panggul waktu

Dan kisah


 

Mendung menghias langit

Ada tetesan gerimis

Keharuan


 

Tapi jangan ada

Duka


 

Setiap hidup

Akan ke sana

Akhirnya


 

Yang tertinggal biarlah

Sebuah keheningan yang

Sendiri


 

Namun kutahu bahwa

Kau tidak tinggal

Sendirian


 

Berangkat menuju akhir

Sama seperti kelak

Kami


 

Sebagai dedaunan gugur

Akan bertumbuh

Tunas baru


 

: Tak berujung duka!


 

Tonny Sutedja

17 November 2008

LOSARI, SABTU DINI HARI

Hari masih gelap. Fajar belum lagi tiba. Aku duduk di atas tanggul tepian pantai Losari setelah lelah berlari mengitari sepanjang jalan Penghibur dan Metro. Sabtu dini hari. Jalanan ramai dengan puluhan insan yang melakukan aktivitasnya masing-masing. Belasan pasang muda mudi kulihat berjalan bergerombol, sambil ngobrol dan bercanda. Belasan orang lainnya nampak sedang berlari-lari dengan nafas yang terengah-engah, berusaha mempertahankan laju kecepatannya. Wajah-wajah yang tak bisa kukenali karena tersamar dalam kegelapan waktu pukul lima dini hari. Namun dapat kurasakan semangat mereka, semangat untuk hidup, semangat untuk menikmati hidup, semangat untuk tetap bertahan hidup.

Di trotoar, belasan anak-anak kecil juga kulihat sedang berjalan pelan, memunguti gelas dan botol plastik bekas minuman yang dibuang secara serampangan. Dengan tekun mereka mencari dan memunguti sampah-sampah plastik itu sambil riuh bercerita dan tertawa. Di tengah jalan beberapa mobil dan motor melintas pelan. Lalu, dari sebuah mobil mewah yang berjalan cukup kencang, terlempar keluar dua buah botol plastik minuman ringan. Dengan riuh, beberapa dari anak-anak kecil itu berlarian ke tengah jalan tanpa memperdulikan kendaraan lain yang melintas, tanpa memperdulikan keselamatan mereka sendiri, berebutan botol plastik yang dibuang tersebut. Seorang pengendara motor kulihat mengerem kendaraannya secara tiba-tiba sambil mengomel. Tapi tak ada yang peduli. Setelah mengambil botol-botol itu, anak-anak kembali ke atas trotoar, masih dengan tertawa-tawa riang.

Sabtu dini hari. Hari masih gelap. Fajar belum lagi tiba. Namun di sepanjang pesisir jalan Penghibur ini kehidupan menggeliat dengan segala keriuhan dan keceriaannya. Aku duduk sambil menyaksikan segala kejadian yang ada di depanku. Udara yang masih terasa cukup dingin menyegarkan paru-paruku. Puluhan atau mungkin ratusan wajah melintas di depanku, tenggelam dalam kegelapan, menyimpan rahasia kehidupannya masing-masing. Aku hanya salah satu dari gerombolan wajah yang saling berbaur, saling beraktivitas, namun dengan pikiran dan kesendiriannya masing-masing. Siapakah kita? Bagaimanakah kita bisa hidup? Mengapakah kita harus ada? Rombongan anak-anak kecil berjalan dengan perlahan dan tenag setelah sejenak tadi nampak riuh memperebutkan botol-botol plastik yang dibuang secara serampangan dari atas sebuah mobil mewah yang melaju kencang.

Jauh di sebelah barat, di batas antara laut dan langit, tak nampak sesuatu apapun selain kelam. Dan samar-samar suara gelombang terdengar menghempas di pesisir tanggul ini. Beberapa kerlap-kerlip cahaya timbul tenggelam di ujung sana, mungkin berasal dari perahu nelayan yang sedang melaut untuk mencari ikan. Sedang di sebelah timur, pada ujung atap gedung-gedung yang berdiri kaku, kulihat secara perlahan langit mulai menampakkan semburat jingga di tepi beberapa kumpulan awan yang mengapung. Ah, fajar akan segera tiba. Namun, di atas jalan raya depanku, suasana masih gelap. Dan puluhan atau bahkan ratusan wajah terus mengalir, bergerak dari ujung ke ujung, mencari kesegaran diri di sabtu dini hari ini.

Duduk di atas tanggul pantai Losari, merasa terasing dari lautan wajah yang bergerak, duduk di antara puluhan insan lainnya yang sedang beristirahat dan merenung sambil memandang ke seputarnya, tiba-tiba aku merasa kehilangan diriku. Ya, siapakah kita di antara mereka? Siapakah kita yang mungkin merasa paling berbahagia atau paling bersusah hati? Siapakah kita yang mungkin merasa paling penting dan karena itu sering menganggap diri kita sebagai pusat dari kehidupan? Tidakkah kita hanya setetes air di antara lautan yang sedemikian luas ini? Setetes air yang memang ada namun tak perlu membanggakan keberadaannya. Sebab kehidupan lain toh, sama pentingnya dengan kehidupan kita sendiri. Hanya sering tak kita rasakan. Sering kita lupakan. Karena kita hanya terpaku pada kehidupan kita sendiri. Kita. Dan anak-anak kecil itu, dengan riangnya mengejar-ngejar botol-botol plastik yang sudah kita anggap sampah, hingga tak peduli dengan keselamatan mereka, mungkin agar dapat menjualnya untuk memperpanjang kehidupan mereka. Kenalkah kita pada mereka? Kenalkah mereka pada kita?

Di pesisir Losari, sabtu dini hari, langit mulai kelihatan cerah. Sebuah hari baru telah tiba. Sebuah harapan baru akan hadir. Dan aku hanya satu tetes air di antara lautan kehidupan yang sedemikian luas ini. Hanya setetes air saja. Tetapi, saat aku bangkit berdiri dan mulai berjalan untuk kembali ke rumahku, tiba-tiba aku pun sadar. Inilah aku. Walau hanya setetes air yang nampak tak berarti, bagaimana pun, aku ada dan hadir, untuk membentuk sebuah lautan luas dalam kehidupan ini. Ya, tanpa setetes air ini, adakah kehidupan dapat terbentuk? Kita selalu punya arti, bagaimana pun kecilnya kita. Sebab tanpa kita, takkan ada hidup. Dan untuk itulah kita berguna dalam kehidupan ini. Kita selalu berguna.

Tonny Sutedja

15 November 2008

MENANTI CAHAYA BARU

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

(NISAN – Chairil Anwar)


 

Tubuhnya terbaring hampir tanpa gerakan. Hanya mata dan suaranya yang sesekali terdengar memanggil dan berbicara kepada kami, yang menandakan bahwa ibu ini masih hidup dan tetap memiliki kesadaran yang baik. Sementara itu, kaki, lengan dan badannya membengkak, dan nampak selang infus yang terpasang menembus dadanya, serta selang oksigen yang memasuki hidungnya. Ya, ibu tua ini praktis tak mampu lagi berbuat apa-apa. Sel-sel kanker telah menyebar dan menggerogoti seluruh organ-organ tubuh dalamnya, membuatnya lumpuh dan hanya bisa menanti suatu keajaiban untuk sembuh kembali.

Aku sering memandang ibu itu saat mengunjunginya di ruang ICU. Matanya sesekali terbuka, memanggil perawatnya untuk minum, lalu dipejamkannya kembali. Tetapi aku tahu, bahwa dia tidak tidur. Tidak. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Tetapi aku lalu bertanya-tanya pada diriku, jika aku ibu itu, jika aku yang berada dalam kondisi yang sama dengannya, apakah yang sedang kupikirkan? Apakah yang harus kupikirkan? Jika aku tahu bahwa waktuku sudah dekat, jika aku sadar bahwa sekarang tak ada apa lagi yang bisa kulakukan selain menanti, menanti datangnya ketak-sadaran abadi, menanti kematianku sendiri, apakah yang mampu kupikirkan? Aku tidak lagi menguasai tubuhku, dan hanya kesadaranku yang tersisa untuk tetap berpikir, ya, apakah yang dapat kupikirkan saat itu?

Aku melihatnya dengan terharu. Matanya yang terpejam, ada setetes bintik air di ujung pelupuk matanya yang terkatup, wajahnya yang tua dan berkerut, rambutnya yang dipilin mulai memutih, tubuhnya yang terbungkus selimut putih, dan kedua tangannya menjulur yang nampak besar membengkak dan cairan yang sesekali keluar dari pori-porinya, dengan telapaknya yang membuka seakan meminta sesuatu. Apa yang sedang dimintanya? Tidak, tak ada yang sakit, katanya, jika aku menanyakan padanya, adakah yang sakit pada tubuhnya. Tak ada yang sakit. Dan dia hanya menanti. Menanti, sama seperti kami yang sesekali datang mengunjunginya, menanti. Apa lagi yang dapat dilakukan selain dari menanti, bukan?

"Bukan kematian benar menusuk kalbu. Keridlaanmu menerima segala tiba" ya, tiba-tiba aku teringat pada sajak Chairil Anwar untuk neneknya ini. Bukan kematian yang bisa menggetarkan kita namun bagaimana saat-saat kita harus menghadapinya, terutama jika kita mengalami situasi yang sama dengan ibu ini. Saat kesadaran kita masih amat baik, saat kemampuan berpikir kita masih amat jernih, tetapi tubuh kita sudah mulai kehilangan kehidupannya, mulai rusak dan membusuk, dan kita sadar bahwa tak ada sesuatu pengobatan pun yang bisa dilakukan lagi untuk mencegah kematian raga ini. Tak ada sesuatu lagi yang bisa kita lakukan, selain menanti. Menanti. Dan menanti.

Dan menanti adalah suatu keajaiban. Ya, menanti adalah suatu keajaiban. Pada saat itu, kita dapat merasa takut dan khawatir akan apa yang nanti kita hadapi. Atau kita mungkin juga tidak peduli dan pasrah saja melawan kelemahan raga ini. Atau mungkin kita enggan untuk kalah, dan tetap berupaya untuk bertahan hidup dengan melawan kerusakan raga kita. Apapun yang saat itu kita rasakan dan pikirkan, pada akhirnya tetap merupakan suatu keajaiban dalam makna kehidupan ini. Kesadaran kita, daya pikir kita, pengharapan kita, akan diuji secara total dalam menerima dan menghadapi kenyataan hidup itu.

"Hidup hanya menunda kekalahan.....sebelum pada akhirnya kita menyerah" demikian tulis Chairil Anwar dalam sajaknya yang lain, Derai-Derai Cemara. Aku melihat ibu ini, aku merasakan pergulatan dan perjuangannya menghadapi kelemahan raganya, rasa sakit dan deritanya dalam menerima dan menghadapi penyakitnya, persiapannya dalam menjalani dan menghadapi perjalanan menuju akhir, tiba-tiba aku merasa bahwa hidup bukannya menunda kekalahan, tetapi sesungguhnya hidup ini hanya menunda kemenangan kita. Ya, kemenangan melawan rasa sakit dan derita tubuh. Kemenangan dari problem-problem dan kesesakan hidup. Kemenangan dari keberadaan fisik di dunia fana ini.

Waktu berlalu. Tepat di depanku, ibu tua ini nampak memejamkan matanya. Wajahnya tenang. Ada setetes cairan di ujung pelupuk matanya. Rambutnya yang beruban nampak dikelung rapi. Dia sedang menanti. Berpikir dan menanti. Sementara di luar gerimis jatuh rintik. Tiba-tiba aku merasa sunyi dalam hati. Hidup, ya hidup ini, pada akhirnya harus kita hadapi sendirian. Seorang diri. Sambil menanti akhir dari suatu perjuangan panjang, pergulatan-pergulatan kehidupan, pengabdian kepada sesama dan dunia, dan di ujungnya, kita semua akhirnya akan menanti akhir, menanti datangnya sebuah cahaya, cahaya baru, kehidupan baru, sebuah kemenangan jiwa kita atas raga yang lemah ini. Dan itulah keajaiban yang sedang menanti kita. Karena kita bukanlah sedang menanti keajaiban, namun keajaibanlah yang sedang menanti kita semua. Keajaiban. Kita sedang menanti cahaya baru kehidupan kita. Sama seperti ibu tua ini sedang menanti cahaya baru kehidupannya sendiri.


 

Kepada Miss Peggy, Guruku

Tonny Sutedja

13 November 2008

TEHNOLOGI CANGGIH

Suasana hening, di suatu cafe, minggu siang. Berdelapan, aku dan teman-teman, duduk mengitari sebuah meja bulat, sementara di depan kami tersaji cangkir kopi dan beberapa piring roti kering. Di luar, mendung menutup langit, dan sesekali hujan jatuh rintik. Ada yang bertutur tentang politik, ada yang berkisah tentang persoalan ekonomi dan ada pula yang hanya tersenyum, duduk dengan tenang mendengarkan pembicaraan itu. Empat orang lagi, dengan tenang membuka laptop mereka dan nampaknya mulai berkelana di dunia maya lewat hotspot yang tersedia. Tak ada sesuatu yang berarti. Tak ada sesuatu yang mengherankan.

Aku melihat ke seputar. Hanya ada beberapa pegunjung siang itu. Meja dan kursi sebagian besar kosong. Pembicaraan teman-temanku nampak menguasai keheningan tetapi tak seorang pun yang mau peduli. Empat orang teman lainnya, yang sedang berkelana di dunia maya, kelihatan serius dan sesekali ada senyum tersungging di bibir mereka. Kami berdelapan, bermuka-muka secara fisik. Tetapi tiba-tiba aku merasa ganjil. Benarkah kami berdelapan? Benarkah empat orang teman yang sedang asyik chatting itu bersama kami sekarang?

High Tech. Tehnologi canggih. Di jaman modern ini, kata orang, kemajuan tehnologi telah menghilangkan sekat waktu dan tempat bagi umat manusia. Dan aku melihat pada teman-temanku yang sedang sibuk chatting, mungkin sedang bersenda gurau atau membicarakan sesuatu yang serius dengan seseorang yang tak kami kenal, jauh di ujung bumi sana. Aku sendiri tak tahu apa yang sedang mereka ketikkan dalam tombol-tombol keyboard laptop mereka. Tetapi tiba-tiba aku merasa terasing dan ada jarak yang jauh antara kami, kami dekat secara raga tetapi jauh, bahkan tidak terhubung sama sekali dalam komunikasi saat kami sedang berhadapan muka ini. Hal ini mengherankan bagiku.

Dan inilah ironi kemajuan tehnologi sains dan komunikasi. Sering kita merasa jauh lebih dekat dengan seseorang yang berada jauh di ujung bumi daripada seseorang yang sedang berada langsung di depan kita. Bahkan sering kita mengetahui sesuatu peristiwa yang terjadi di daerah-daerah atau negara-negara lain yang jauh sementara apa yang sedang berlangsung di depan rumah kita sendiri, sama sekali tak kita ketahui. Kemajuan tehnologi membuat kita terpesona dan larut dalam beragam informasi yang, bagai gelombang tsunami, melanda kita di dunia maya. Namun, tetangga kita yang saat ini mungkin sedang kesulitan, mungkin sedang menderita, mungkin sedang berduka cita atau mungkin sedang diterpa musibah, luput dari pengetahuan kita. Mengherankan?

Tidak. Saat kita sedang membaca tulisan ini, kita tahu, bahwa kebanyakan dari kita bukanlah mereka-mereka yang saat ini sedang mencari nafkah sambil menjajakan barang di mal-mal mewah. Kita bukanlah mereka yang saat ini berada di perempatan jalan sambil menjajakan koran atau hanya menadahkan tangan. Kita bukanlah mereka yang saat ini sedang menyabit atau mengolah kebun dan sawah sambil dengan rasa syukur melihat ke langit yang mendung. Kita bukanlah mereka yang saat ini sedang berada di tengah laut yang bergelombang sambil, dengan rasa was-was, menebarkan jala dan mengharapkan tangkapan yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya. Karena sebagaian besar dari mereka bahkan tak tahu apa itu internet.

Suasana hening, di sebuah cafe, minggu siang. Kami berkumpul bersama untuk berbincang-bincang, namun toh, aku merasa bahwa ada jarak yang terentang antara kami. Walau dekat secara fisik, kami jauh dari hati dan rasa. Komunikasi nampak lebih intens pada tombol-tombol keyboard daripada lewat kalimat-kalimat yang kami utarakan. Maka, saat pertemuan kami nantinya usai, apakah yang tertinggal di memori kami adalah hasil perbincangan antara kami secara fisik, ataukah justru hasil dari perbincangan lewat chatting dengan seseorang yang berada jauh di sana? Entahlah. Di luar cafe ini hujan mulai menderas.

Tonny Sutedja

10 November 2008

DERITAMU SUNYI

Hujan mengiris kota

Kota mengiris hidup

Suara-suara memanggil

Mimpi-mimpi terjual

Di bawah lampu jalan

Di bawah lampu jalan

    

Langit merah di atas

Tanah merah di bawah

Kaki-kaki merangkak

Lorong-lorong sepi

Di dalam hati sunyi

Di dalam hati sunyi


 

Katakan padaku katakan

Duka memberati bahu

Melangkah 'nembus kelam

Sendirian mencari hidup

Bawa sunyinya sendiri

Bawa dukanya sendiri


 

Tangis hujan lebur

Menetes ke lebuh

Satu dalam jiwa

Teriakkan satu kata

Satu kata teriakkan

Pedih!


 

Hujan mengiris kota

Kota mengiris hidup

Menetes tangis

Menetes tangis

Dari duka terbuka

Dari sepi menikam


 

Pantulan lampu jalan

Wajah-wajah kosong

Suara-suara memanggil

Tawa-tawa dipaksa

Sunyi. Duka. Tawa

Dimanakah Dia?


 

Dimanakah Dia?

Adakah Dia dalam hujan?

Adakah Dia dalam duka?

Adakah Dia dalam sepi?

Adakah Dia dalam tangis?

Hujan mengiris hidup


 

Tetesan-tetesan air

Hujan dan airmata

Melebur dalam isak

Jangan bicara padaku

Jangan bicara padaku

Hanya hampa semata


 

Hanya hampa semata

Hujan mengiris kota

Kota mengiris hidup

Di bawah lampu jalan

Di dalam hati sunyi

Dia bilang cinta


 

Dia bilang cinta

Padaku menggulir duka

Dengan perut perih

Kucari hidup dalam malam

Cinta dan kebohongan

Kebohongan dan cinta

Semuanya masuk akal


 

Inikah yang kau cari?

Ambil dan dapatkan

Demi hidupku sehari

Ambil dan dapatkan

Demi hidup anakku

Ambil dan dapatkan

Demi hidup kesayanganku

Semuanya masuk akal

Cinta dan kebohongan


 

Pedih hati mengenangNya

Tak datangkah Dia?

Mengapa diam saja?

Mengapa diam saja?

Sendirian terbelit utang

Hutang terlahir hidup

Hujan mengiris hidup

Hidup mengiris hati

Dia diam saja


 

Dia diam saja

Engkau diam saja

Mereka diam saja

Sambil menudingkan tangan

Sambil mencibir kepadaku

Airmata dan hujan

Bersatu dalam hidupmu

Bersatu dalam hidupmu


 

Sepi. Sepinya. Sendiri

Di bawah lampu jalan

Tak ada kata

Tak ada suara

Hanya tangis

Hanya tangis

Dalam tawa riang

Dalam tawa riang


 

Tonny Sutedja

09 November 2008

MALAM TANPA SIANG

Aku memiliki segala-galanya, kecuali kebahagiaan, kata seseorang kepadaku. Bagaimana caranya mendapatkan kebahagiaan itu? Adakah kebahagiaan itu? Dan apakah kebahagiaan itu? Mengapa tak pernah kurasakan? Apakah memang dia ada? Setiap saat yang kurasakan hanyalah kekosongan. Hampir setiap malam aku melarikan diri ke keramaian, ke dunia yang gemerlapan, bersama teman-teman, bersama mereka yang kubayar, bersama mereka yang mau menikmati kesenangan, namun tetap ada rasa hampa dalam diriku. Ya, aku memiliki segala-galanya kecuali kebahagiaan. Mengapa bisa begitu hidupku? Mengapa?

Sebagai seorang pemilik usaha yang amat kaya raya, dia memang memiliki segala-galanya. Istri yang cantik, tiga orang putri yang manis, rumah mewah, beberapa mobil mengkilap terparkir di garasi dan para pegawai yang setiap saat siap dipanggil untuk memenuhi keinginannya. Apa yang kurang? Ya, apa lagi yang kurang? Dari sisi penampilan luar, dia telah memiliki semua hal yang diinginkan orang lain. Yang diharapkan orang lain. Yang diimpikan orang lain. Namun, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya? Hidup ternyata, tidak berlangsung sebagaimana yang nampak. Dan memang tidak. Kita tak pernah mampu mengetahui isi hati seseorang hanya dengan melihat apa yang nampak padanya, apa yang dimilikinya, apa yang dikerjakannya. Hati, rasa, bisa jauh dari gambaran ideal yang kita saksikan sehari-hari.

Sebab itu, seharusnya tidak gampang bagi kita untuk mengadili orang lain tanpa memahami perasaannya. Tidak mudah bagi kita untuk menjadi hakim, selama kita tak mau untuk mencari tahu isi hatinya. Apa yang dialaminya sehari-hari? Tenggelam dalam kesibukan untuk mengatur usahanya? Tenggelam dalam hubungan antar manusia yang hanya berdasarkan untung rugi? Tenggelam dalam memberi dan membagi senyum yang hanya untuk basa-basi belaka? Aku tahu, dia amat tersiksa dalam menjalani kehidupan demikian. Bahkan, pernah, dia mengeluh tentang keluarganya yang tidak pernah memahami perasaan dan keinginannya. Dia tidak menyukai kehidupan yang mewah dan penuh basa-basi, tetapi toh dia harus menjalaninya demi kemakmuran hidupnya. Dia berkata bahwa dia ingin hidup di suatu rumah yang sederhana, di suatu tempat yang tenang dan tanpa keriuhan pesta pora yang sebenarnya tidak disukainya, namun kulihat, bahkan semakin dalam dia terbenam dalam hidup yang tidak disenanginya itu. Semua demi relasi. Semua demi orang-orang lain, bahkan keluarganya sendiri yang terus mendorongnya untuk menjalani hidup yang hiruk pikuk itu. Hiruk pikuk, namun penuh kekosongan dalam batinnya. Dimanakah kebahagiaan itu, tanyanya?

Aku tak tahu. Sungguh, aku tak mampu menjawabnya. Kadang, kupikir, kita harus melakukan tindakan yang amat radikal, meninggalkan semua kebiasaan kita, melepaskan semua kesenangan fisik yang kita nikmati, dan memulai hidup baru bersama orang-orang yang sederhana. Hidup tanpa tergantung pada orang lain. Hidup tanpa kuasa untuk memerintah dan menentukan nasib orang lain. Hidup dan melakukan apa saja dengan kemampuan sendiri. Hidup dalam kesederhanaan para kaum papa. Tetapi, dapatkah kita menjalani hidup demikian, tanpa merasa kehilangan kehidupan kita kembali? Dan karena itu, bisa saja membuat kita kembali tidak berbahagia? Maka apakah kebahagiaan itu, teman?

Sesungguhnya, kebahagiaan tidak tergantung pada kata dan definisi. Kebahagiaan tidak bisa kita cetuskan dengan kalimat-kalimat yang indah dan bermakna. Kebahagiaan hanya bisa kita rasakan jika kita mau, apapun kondisi kita saat ini. Kebahagiaan datang dan berasal dari pikiran kita, dari perasaan kita, dari anggapan kita pada hidup yang sedang kita jalani ini. Jika merasa bahagia, kondisi apapun yang kita alami saat ini, takkan bisa menghapuskannya dari pikiran kita. Tetapi jika kita tidak merasa bahagia, apapun yang kita miliki -bahkan dunia sekalipun- takkan mampu kita datangkan dalam hati kita. Takkan pernah.

Hidup yang kita jalani ini, adalah malam dan siang, bertukar rupa setiap saat. Tetapi jika kita merasa bahwa kita hanya mengalami malam tanpa siang, itu bukan karena memang siang tidak ada. Siang tetap ada, namun tidak kita rasakan. Karena kita hidup bersama dan hanya mengenal malam saja. Siang yang tiba akan tetap menjadi malam yang suram, karena hati perasaan kita menolak untuk mengakui terang itu. Karena dalam terang pun ada kegelapan yang tidak nampak, kegelapan yang berasal dari hati kita yang terus menerus mengharapkan terang itu muncul. Terang ada tetapi kita gagal untuk mengenalnya. Kita gagal.

Maka dimanakah kebahagiaan itu dapat kita temukan? Dapat kita rasakan? Dapat kita nikmati? Kebahagiaan terletak pada senyum anak-anak kecil yang setiap pagi kita temukan di perempatan jalan sambil menjual koran pagi agar mendapatkan uang untuk diberikan kepada orang tuanya agar mereka bisa memperpanjang hidup. Kebahagiaan terletak pada tawa riang para buruh dan pekerja yang berkumpul dan bercanda walau mereka sadar bahwa upahnya tak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya yang mendasar, tak cukup untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Kebahagiaan terletak pada mereka-mereka yang sebenarnya tak mampu untuk hidup layak, namun tetap menjalaninya karena mereka sadar bahwa hidup ini bukan sebuah beban, namun anugerah dari Sang Pencipta. Kebahagiaan bisa terdapat dimana-mana, namun tak bisa kita temukan karena kita hanya mampu untuk melihat ke dalam diri kita saja. Ke dalam perasaan kita saja. Ke dalam kehidupan kita saja.

Aku memiliki segala-galanya kecuali kebahagiaan, katanya. Maka, dapatkah kita membenarkan kata orang bahwa kebahagiaan dapat dibeli dengan harta yang kita miliki? Marilah kita renungkan pagi ini ...............

Tonny Sutedja

05 November 2008

AKU RINDU PADAMU

Aku rindu pada

Kata pelembut sukma

Aku rindu pada

Sapa penghilang duka

Aku rindu pada

Tawa pengusir duka

Aku rindu pada

Tatap penyejuk rasa

Aku rindu pada

Mu


 

Tonny Sutedja

SEORANG BOCAH SEORANG RAJA

Malam, hujan dan dingin

Tersimpan rapi

Dalam mimpi bocah kecil

Berlapis spanduk tipis

Tergolek atas trotoar

: Siapakah dia?

Sepi menjawab

Langsung ke dasar jiwa

: AKU


 

Akulah kata yang kau tulis dalam sepi

Akulah sepi yang kau temu dalam hidup

Akulah hidup yang kau temu dalam hati

Akulah hati yang kau temu dalam mimpi

Dalam mimpi sang bocah cilik

Yang tertidur di emperan toko beralas karton

Dan berselimut spanduk tipis

Akulah dia

: AKU


 

Malam, hujan dan dingin

Di Yerusalem seorang bocah lahir

Seorang Bocah. Seorang Raja

Namun

Siapa yang tahu sepi menikam jiwanya?

Terselip dalam mimpi

Bocah-bocah yang tertidur lelap

Di emperan-emperan jalan

Tepat dibawah lampu jalan

Yang padam?

Dan cahaya langsung mengusir kelam

Tepat dalam mimpi sang bocah

Yang lelap?


 

Tonny Sutedja

SEBELUM DILAYANI, LAYANILAH.....

Malam sudah larut saat aku menerima telpon dari Paroki bahwa ada seorang umat yang meninggal beberapa saat lalu. Aku bingung mendengar berita itu, karena setahuku dan juga setelah memeriksa daftar keluarga yang kumiliki, alamat yang disebutkan tak tercatat sama sekali. Namun aku kemudian mengunjungi rumah duka tersebut lalu memperkenalkan diri. Yang meninggal, seorang bapak – usianya masih muda, 44 tahun – dan ternyata telah beberapa tahun menetap di lingkungan ini. Bapak itu meninggal secara mendadak akibat serangan jantung.

Betapa kematian kerap kali datang tiba-tiba, tanpa ada isyarat atau tanda-tanda, bagaikan pencuri yang datang tanpa diketahui waktunya oleh tuan rumah. Dari istri bapak itu, aku menerima informasi betapa bapak itu sebelumnya nampak sehat-sehat saja. Yang jadi masalah adalah, setelah sekian lama mereka tinggal di lingkungan kami, mereka masih tak kami kenal karena tak pernah mendaftarkan diri. Walau kemudian aku tahu, bahwa bapak ini ternyata cukup aktip di Paroki lain. Pelayanan yang berlangsung secara mendadak kemudian membuat keluarga yang berduka merasa kecewa karena tak banyak umat yang hadir saat doa-doa penghiburan diadakan. Namun, bagaimana pun pelayanan tetap kami laksanakan dengan semestinya hingga upacara penguburan selesai dilaksanakan dua hari kemudian.

Kematian datang sering tanpa terduga. Dan semoga hal ini dapat menjadi pelajaran bagi mereka-mereka yang menganggap dirinya masih muda, kuat dan sehat. Bahwa hidup tak seharusnya membiarkan diri kita tak peduli terhadap lingkungan, terhadap sesama di sekitar, juga terhadap administrasi gereja – khususnya di Paroki tempat kita berdiam saat ini. Bahwa seandainya terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan, kematian misalnya, pada akhirnya kita akan membutuhkan orang-orang lain. Terutama umat di Lingkungan. Mengapa kita harus selalu meminta dilayani sementara tak sedikitpun kita peduli pada pelayanan apalagi mau melayani? Mengapa kita kemudian kecewa jika tak dilayani - karena merasa bahwa kita harus dan wajib dilayani – sementara sedikitpun tak terpikirkan oleh kita untuk mau mengenal tetangga-tetangga kita yang terdekat agar kita dapat saling membantu dan menguatkan saat menghadapi masa-masa sulit? Mengapa?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghinggapiku jika terjadi peristiwa-peristiwa serupa. Dan sesungguhnya, tak hanya sekali kejadian yang sama terjadi. Sebagai pengurus Lingkungan, aku harus menerima pernyataan-pernyataan umat lain yang seringkali kritis saat aku mengundang mereka untuk hadir dalam doa-doa penghiburan di keluarga yang tak terdaftar dan tak mendaftarkan diri. Tapi mungkin mereka benar, itu jika mengikuti perasaanku juga. Hanya satu hal yang seharusnya menjadi pegangan bagi kita, saat keluarga masih berduka, saat jenasah masih ada, tak seharusnya memang kita, sebagai satu kesatuan umat gereja, meninggalkan keluarga yang berduka itu. Tak seharusnya. Dan juga bagi mereka yang selama ini merasa tak peduli dengan Lingkungannya, mereka yang saat ini merasa dirinya kuat, sehat dan mampu, tak terpikirkah oleh anda bahwa pada akhirnya kita akan membutuhkan sesama untuk melayani kita? Jadi sebelum kita harus dilayani, marilah melayani....

Kematian sering datang tiba-tiba. Seperti pencuri, dia hadir saat tak seorang pun menyangkanya. Sebab itu bersiap-siaplah selalu. "Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga." (Mat 24: 43-44). Semoga renungan ini ada gunanya bagi kita semua. Kata seorang teman, "Marilah kita banyak mendoakan sebelum kita didoakan. Marilah kita banyak menjenguk mereka yang membutuhkan kita, sebelum pada akhirnya kita dijenguk. Marilah kita banyak mengantar sebelum pada akhirnya kita akan diantar........"


 

Tonny Sutedja

ANAK KECIL DALAM HUJAN

Malam pukul 21.00. Hujan deras mengguyur. Jalan Veteran terasa sepi dan gelap. Entah mengapa, banyak lampu jalan yang padam. Sementara genangan air nampak mulai memenuhi tepian jalan. Aku lewat amat pelan sambil memperhatikan sekelilingku dengan seksama. Malam itu malam minggu, namun tak nampak orang-orang yang biasa berkumpul untuk menonton balapan liar seperti yang biasa terjadi di malam-malam minggu yang cerah. Dan menjelang perempatan Jalan Landak Baru dan Lama, aku melihat sesosok tubuh seorang anak, usianya mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun, meringkuk di sudut pintu sebuah ruko yang tertutup rapat. Dengan hanya berselimut sebuah kain spanduk, nampak seperti spanduk kampanye seorang calon walikota dalam Pilkada beberapa waktu lalu, anak itu kulihat tertidur dengan nyenyak. Malam yang dingin dan deru hujan yang deras tak sanggup untuk mengganggu keasyikan anak itu dari lelapnya. Aku lewat bersama beberapa kendaraan dan dua buah becak, melintas jauh di tengah jalan, menghindari genangan air di sisinya, sambil melirik ke arah anak itu sekejap. Hanya sekejap. Lalu anak itupun menghilang dari pandanganku.

Jauh meninggalkan anak itu, terlindung dari udara malam yang dingin dan basah, di dalam kamarku yang hangat dan terang, aku kembali memikirkan anak tadi. Siapakah dia? Dimanakah orang tuanya? Saudara-saudarinya? Keluarganya? Mengapa sampai dia harus tertidur di atas trotoar depan sebuah ruko tanpa perlindungan sama sekali? Dimanakah kepedulian mereka-mereka yang mengenalnya? Teman-temannya? Apakah yang diimpikannya saat tertidur lelap dalam hujan dan dingin di sudut pintu depan ruko itu? Pedulikah dia dengan hidupnya? Apakah dia sedih, kecewa dan merasa putus asa menghadapi kehidupannya sendiri? Sendiri? Berapa banyakkah anak-anak lain yang mengalami nasib seperti dirinya? Anak-anak yang mungkin tak diinginkan, disisihkan dan dilupakan oleh kita semua? Yang sesekali mungkin kita sadari keberadaannya saat kita merasa dirugikan oleh tindakan anak-anak yang tersisih itu, saat mereka melakukan hal-hal yang menyentuh kepentingan kita? Namun, jika tidak, tak pernah kita anggap ada dan tak pernah kita pikirkan kesepian-kesepian mereka, kemiskinan-kemiskinan mereka, ketak-berdayaan mereka menghadapi dan menerima hidup yang bagi mereka terasa amat keras dan pahit. Ya, keras dan pahit, jika kita mau memikirkan dan mengambil posisi mereka sekali-sekali saat melihat anak-anak itu berjuang untuk bisa tetap hidup.

Di dalam kamarku yang hangat dan terang, sambil mendengarkan alunan musik dan ditemani secangkir teh hangat, tiba-tiba aku merasa risau dengan hidup ini. Berapa banyakkah rasa sepi dan tak berdaya yang pernah kualami? Berapa banyakkah hasrat dan ambisi yang masih ingin kuraih dan kureguk? Mengapa semuanya terasa tak pernah cukup? Mengapa jika hasrat, ambisi dan cita-cita yang ingin kuraih itu mengalami kegagalan, seringkali aku mengalami kekecewaan, kekesalan dan kemarahan yang membuat aku sedih, tak berdaya dan bahkan terkadang merasa putus asa? Bagaimana pula dengan pemikiran, perasaan dan penghidupan anak kecil yang tadi kulihat di emperan ruko itu? Sedihkah dia? Kecewakah dia? Ataukah ini suatu perbandingan yang tidak masuk akal? Tidak masuk akal? Bukankah anak itu juga seorang anak manusia seperti diriku? Sementara aku berdiam di sebuah rumah yang dapat melindungiku serta menghangatkan tubuhku, jauh dari cucuran air hujan, anak tadi meringkuk dengan lelap walau aku tahu bahwa terkadang tempias air hujan yang turun deras sesekali membasahi tubuhnya yang kecil itu. Membasahi tubuh kecilnya yang menggigil kedinginan tanpa mampu ditemani secangkir teh hangat seperti yang saat ini kuhirup dengan enak. Kuhirup dengan enak dan rakus....

Maka sambil menulis renungan ini, aku mendengarkan suara lirih dari Ralph McTell: "So how can you tell me, you're lonely. And say for you that the sun don't shine.... (Streets of London). Ya, bagaimana kita dapat berkata bahwa kita menderita, kita kesepian, kita gagal, kita kalah, kita sakit, kita patah hati, kita putus asa, lalu mungkin ingin menghabisi hidup ini, jika kita tak pernah merasakan kehidupan mereka-mereka yang tak memiliki apa-apa. Mereka-mereka yang setiap malam tak punya tujuan, tak punya kata pulang, tak memiliki perteduhan, tak seorang pun yang menghangatkan hati dan tubuhnya, tak memiliki apa-apa sama sekali. Dan anak kecil dalam hujan tadi masih bisa tertidur dengan nyenak. Nyenyak sekali. Bahkan hujan deras dan dingin pun tak mampu untuk mengusik mimpi-mimpi yang sedang dialaminya. Tidakkah malam ini kita pantas memimpikan dia?

Tonny Sutedja

03 November 2008

SEJARAH ORANG-ORANG KECIL

Dalam sejarah, kita belajar dan mengetahui tentang peperangan-peperangan besar. Serta nama para pemenang yang jaya. Kublai Khan. Aleksander Agung. Churchill. Hayam Wuruk-Gajah Mada. Syailendra. Tetapi tahukah kita nama para prajurit yang, dengan keberanian dan ketakutannya, menjadi pelopor di medan pertempuran itu? Kenalkah kita nama-nama prajurit yang, terluka dan cacat atau malah tewas di medan tempur, demi untuk mencapai kemenangan yang diharapkan tersebut? Siapakah mereka?

Demikian juga, saat kita berdiri di depan bangunan-bangunan kolosal, Taj Mahal, Piramid, Borobudur dan dengan terpana serta takjub menyaksikan kebesaran dan kemegahannya, kita mungkin akan mengenang para pendiri bangunan bersejarah tersebut. Syah Jehan. Raja-raja Ramses. Keluarga Syailendra. Tapi pernahkah kita tahu nama para tukang batu, para kuli bangunan, bahkan para mandor yang telah dengan susah payah, dengan cucuran keringat dan juga air mata, telah mendirikan bangunan yang demikian menakjubkan kita itu? Siapakah mereka?

Sejarah pada akhirnya hanyalah mencatat nama para pembesar, para penguasa dan panglima perang. Prajurit-prajurit yang bertarung di medan tempur untuk meraih kemenangan itu, tukang-tukang dan pekerja bangunan yang bekerja keras untuk mendirikan bangunan tersebut, semuanya tenggelam dalam waktu. Dan sejarah melupakan mereka. Padahal, apakah artinya nama-nama para pembesar, penguasa dan panglima tersebut jika tak ada orang-orang kecil tersebut? Bagaimana kemenangan bisa diraih jika tak ada para prajurit? Bagaimana sebuah bangunan bisa berdiri jika tak ada para tukang dan pekerja? Tetapi siapakah mereka?

Demikianlah catatan ini kutulis ketika seseorang berkata betapa tak berartinya dirinya saat dia menceritakan kegagalannya dalam meraih impian untuk berkuasa. Tak berarti? Apakah yang dimaksudkan dengan berarti? Apakah artinya bisa menjadi orang-orang besar, penguasa yang jaya atau menjadi panglima yang kelak akan tercatat dalam sejarah? Perlukah kita untuk harus menjadi seseorang yang tercatat? Perlukah? Jika demikian, sungguh menyedihkan nasib para prajurit dan pekerja-pekerja yang telah mengurbankan segala-galanya demi sesuatu yang akan tercatat dalam buku-buku diktat kuliah namun melupakan mereka.

Namun kita semua tahu betapa hidup sebenarnya tak serumit itu. Kebenaran sebuah sejarah sesungguhnya terletak pada pengalaman kita untuk hidup dan menghidupi diri. Sejarah mutlak adalah apa yang saat ini kita lakukan. Suatu kenyataan, bukan impian. Mungkin, kita kelak takkan dikenang dalam catatan-catatan tertulis di ruang kuliah atau di dalam kitab manapun juga di masa depan. Namun, kita telah ada. Dan kita saat ini nyata ada. Maka sebenarnya kita tak perlu merasa kecewa dengan peran yang kita jalani sekarang. Sebab ingatlah, tanpa para prajurit, takkan ada kemenangan. Tanpa para tukang dan pekerja bangunan, takkan berdiri bangunan yang sedemikian menakjubkan itu. Tanpa kita, dunia ini tak ada. Takkan ada sama sekali. Bukankah demikian adanya?

Tonny Sutedja

JL. BUMI 21, MAKASSAR

Angin perlahan mewujud
Dalam mendung dan gerimis
Tangis
Tercecer di atas jalan berlumpur
Tangis
Terbaur bersama genangan air hitam
Tangis
Aku tahu. Saatnya tiba. Bahwa
Angin perlahan mewujud
Lewat waktu
Lalu

Lebuh sepi. Tanpa mimpi
Gerimis. Hampa
Mengalir waktu ke selokan bau
Dan kata. Dan kata
Tertutup mendung
Terbawa mengalir bersama
Hening

Bercakap pada alam aku
bertanya padamu
Langit
Mendung
Kaukah aku?
Akukah kau?
Kaukah kau?
Akukah aku?
Tapi sepi
Datang. Menendang mimpi-mimpi
bertanya padaku
Jiwa
Rasa
Siapakah kau?
Siapakah aku?
Siapakah kita?
Siapakah?

Angin perlahan mewujud
Menunggu datangnya senja
Sepi dan dingin menikam jantung
Duka
Larut dalam hidup tanpa saat
Duka
Sisa kata melarung tangis
Duka
Saatnya tiba. Aku tahu. Bahwa
Angin perlahan mewujud
Lewat waktu
Lalu

Tiada kata
Lebuh sepi
Tiada mimpi
Tangis dan duka
Bercakap pada alam aku
bertanya padamu
Dimanakah diri?
Mengapa hidup?
Harus ada
Tanpa tiada

Genangan air mengalir
Ke selokan bau
Hitam mengalir tak kemana
Sosok diam adalah aku
Disini
Terbenam
Dalam waktu
Terbenam dalam waktu
Dan sepi
Datang
Menikam
Dalam jiwa
Menikam dalam jiwa

Tonny Sutedja

02 November 2008

BEBERAPA PERTANYAAN UNTUK DIPIKIRKAN

Di persimpangan jalan Sudirman-Ratulangi-Sungai Saddang-Karunrung Makassar, ada sebuah spanduk besar terpampang. Bunyinya: MENGEMIS: NO! SEKOLAH: YES!. Aku melihat ke spanduk besar tersebut, yang merupakan sosialisasi Peraturan Daerah (PerDa) mengenai Anak Jalanan. Salah satu isi PerDa tersebut adalah larangan bagi siapa saja untuk memberi sedekah kepada anak-anak jalanan yang biasa berkumpul dan mengemis di perempatan jalan yang cukup ramai itu.

Aku membaca spanduk tersebut sambil merenung: "Bagaimana jika uang dari hasil mengemis itulah mereka pergunakan sebagai biaya bersekolah? Tidakkah jika mereka dilarang mengemis maka itu berarti bahwa mereka juga akhirnya tak mampu untuk bersekolah? Bukankah sekolah berarti biaya? Bagaimana jika orang tua mereka tak sanggup untuk membiayai, bahkan untuk hidup sehari-hari sekalipun? Bagaimana jika negara sendiri tidak atau belum mampu untuk memberikan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh mereka? Bukankah mereka pun punya hak untuk memilih apa yang akan mereka jalani?"

Demikian juga, saat suatu malam, aku lewat, masih di jalan yang sama, nampak beberapa wanita penghibur dikejar dan bahkan ada yang terjatuh dan diseret ke sebuah mobil kap terbuka. Ada yang menjerit-jerit melawan, ada yang nampak menangis dan ada yang pasrah saja mengikuti perintah para Satpol PP itu. Tidak, aku tidak ingin membela pelacuran atau pornoaksi lainnya. Aku hanya ingin bertanya, "Bagaimana jika mereka tidak punya pekerjaan selain dari apa yang saat itu mereka lakukan untuk menghidupi keluarga mereka? Apakah yang mereka lakukan itu hanya untuk bersenang-senang saja? Saya pikir tidak. Sebagian besar dari mereka melakukan itu sambil, mengutip judul sebuah lagu pop dulu, "tangis dalam hati". Ada perasaan malu, perasaan bersalah, perasaan berdosa. Tetapi apa yang bisa mereka lakukan selain menjajakan diri mereka demi untuk sekedar penyambung hidup? Mereka tak punya gelar, mereka mungkin tak memiliki kemampuan untuk bersekolah. Salahkah mereka?

Hidup tidaklah sederhana. Serta tidak hitam putih seperti yang ingin kita permudah dengan pelarangan itu. Dan kita toh, tidak bisa dengan gampang menghakimi orang lain, jika kita sendiri tidak mampu untuk mengerti dan memahami serta menyediakan solusi bagi persoalan-persoalan yang mereka alami. Maka, saat Undang-Undang Pornografi disahkan DPR, aku ingin tahu, apakah sudah disiapkan pula solusi bagi pelarangan yang telah diundangkan tersebut? Adakah lapangan kerja bagi mereka-mereka yang tersisih, miskin dan tak berdaya untuk menghidupi diri? Adakah kesempatan yang terbuka bagi mereka-mereka yang tak berdaya, tak berpendidikan, tak punya koneksi untuk memasuki kehidupan yang lebih layak dan manusiawi sesuai yang diinginkan, juga oleh mereka? Adakah?

Aku tidak mau berpolemik soal pro atau kontra UU atau PerDa atau apapun jenisnya yang mengatur kehidupan rakyat. Tetapi jelas, ada hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan daripada hanya tindakan melakukan pelarangan atau bahkan penghukuman. Sebelum kewajiban negara bagi para penduduk yang miskin, terkebelakang, tak memiliki kekuasaan-kekuatan-kekayaan, dipenuhi, maka UU atau PerDa apapun yang dikeluarkan hanya akan dianggap angin lalu saja. Bahkan bisa menghasilkan konflik di masyarakat, fitnah hanya karena rasa sakit hati, dendam dan kekerasan dengan korban yang mungkin tak paham sama sekali mengapa dia harus dikorbankan.

Maka, sudahkah kita pikirkan hal-hal tersebut?

Tonny Sutedja

01 November 2008

KERAGUAN ADALAH KEBENARAN

Siapakah yang hidup tanpa pernah mengalami keraguan? Siapakah yang dapat mengatakan bahwa dia tahu segala hal tentang kebenaran? Siapakah yang dapat memastikan bahwa hidupnya adalah mutlak benar dan tanpa salah? Siapakah? Tak seorang pun. Kita selalu berteman dengan keraguan, diakui atau tidak, dirasakan atau tidak, pikiran kita selalu merasa bimbang. Selalu ada rasa gamang saat kita berbicara soal keyakinan bahwa apa yang kita katakan saat ini adalah pasti benar. Ya, kebenaran mutlak sesungguhnya hanya ada dalam kalimat-kalimat yang senang kita khotbahkan kepada para pendengar kita. Tetapi tidak dalam hati dan perasaan kita sendiri. Tidak dalam kehidupan nyata yang kita jalani. Sebab itu, hidup sesungguhnya selalu adalah keraguan. Tetapi di dalam keraguan itulah, di dalam pencarian pada kebenaran itulah, kita akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Tak ada yang sempurna di dunia ini. "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." (Yoh 8:7) Kata Yesus saat dihadapkan kepadaNya seorang wanita yang terbukti berbuat zinah. Adakah yang kemudian melemparkan wanita itu dengan batu? Adakah? Tidak. Karena tak seorang pun merasa memiliki kebenaran yang mutlak. Tak seorang pun yang merasa tidak berdosa di hadapan kehidupan dunia ini. Tetapi sayangnya, sudah menjadi jamak dan lumrah juga, bahwa seringkali kita merasa bahwa kebenaran ada bersama kita. Kebenaran yang kita inginkan. Karena itu, kita merasa kuat dan berkuasa, atas nama Tuhan, untuk mengadili orang-orang lain agar mau mengikuti kebenaran kita. Terkadang dengan tekanan. Terkadang dengan paksaan. Bahkan dengan kekerasan dan pembunuhan. Tetapi sekali lagi, apakah kebenaran itu? Hal yang sama ditanyakan oleh Paulus kepada Yesus. Namun tidak ada jawaban yang diberikan. Tidak ada, karena kita semua seharusnya tahu apakah kebenaran itu.

Ya, kebenaran berada dalam kemampuan kita untuk hidup dan menghidupi hidup. Kebenaran berarti ketidak-mampuan kita untuk memastikan segala sesuatu. Kebenaran adalah keraguan. Dan takkan pernah dapat kita pastikan sebelum waktunya tiba. Allah memberi kita kemampuan untuk berpikir, kebebasan untuk bekerja dan kemerdekaan untuk bebuat apa saja yang kita anggap benar. Kita anggap benar. Tetapi bukan kebenaran menurut Allah. Bahkan seorang penjahat yang dihukum salib bersama Yesus pada saat-saat terakhir diberikan pengampunan dan janji bahwa: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." (Luk 23:43) Maka jika demikian adanya, dapatkah kita memastikan kebenaran kita sendiri? Dapatkah kita?

Tak seorang pun yang hidup bersama kebenaran mutlak di dunia ini. Tak seorang pun yang hidup tanpa pernah merasa ragu dan bimbang atas keyakinan dan imannya. Dalam salah satu suratnya, Bunda Teresa menulis: "... bagi saya, kesepian dan kekosongan itu sedemikian dalam sehingga saya memandang tetapi tidak melihat-Nya, saya menyimak tetapi tidak mendengar-Nya. Lidah saya bergerak begitu saja dalam doa-doa, tetapi sesungguhnya tidak mengatakan apa-apa. Kegelapan menyelimuti saya, sepertinya semuanya telah binasa..." (Rahasia Bunda Teresa, Amadeus Susanto). Ya, sekali lagi, tak seorang pun selama dia masih hidup dan berada dalam kehidupan dunia ini yang dapat memastikan apa itu kebenaran. Sebab kebenaran hanya dapat dirasakan dan dilakukan, bukan diucapkan atau dijadikan sebagai sebuah kepastian dalam khotbah-khotbah panjang namun tanpa makna.

Maka jika saat ini kita merasa tersudut karena sebuah peristiwa atau perbuatan yang dianggap salah, dan selama apa yang kita lakukan tak merugikan orang lain atau bahkan kita sendiri adalah kurban yang terjerat, janganlah kecewa. Jangan putus asa. Hidup tidaklah sesederhana teori-teori hukum dan pandangan manusia lain. Kita yang hidup. Kita yang mengalami. Kita yang merasakan. Kitalah bersama kebenaran itu. Ya, ada banyak hal dalam kehidupan ini yang tidak mutlak hitam kelam atau putih murni. Hidup berarti kita berada dalam dunia kelabu, dunia yang sering bahkan meninggalkan kita saat kita butuh, tak memberi kita air saat kita haus, tak menjenguk kita saat kita sakit, dan membiarkan kita telanjang saat kita tak punya pakaian, tak memberi kita tumpangan saat kita tergusur dan membiarkan kita lapar saat kita tak punya makanan. Maka pantaskah mereka lalu mendakwa kita sebagai orang-orang yang salah serta tersudut, dan karena itu harus dimusnahkan? Percayalah, saat kita disalibkan, Yesus akan berkata kepada kita: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." Demikianlah adanya kebenaran itu.

Tonny Sutedja

JURANG

Masihkah engkau sosok yang sama?

Terbang bersama angin dingin ke ujung bumi?

Melayang bersama kuntum-kuntum yang gugur?

Tidakkah sosok-sosok kita jatuhmemanjang?


 

Di ujung cahaya udara tak berujung

Sepi menikam langsung ke jantung malam

Dan kita coba raih keberuntungan

        Di tengah kemalangan

Kita coba raih segala impian dan hasrat

        Di tengah kesunyian diri

Malam

Dan keheningan

Membawa sosok-sosok kita jauh melayang

        Entah kemana – Entah kemana

Sebagai angin menderu lepas bebas

Bayang kita memanjang dalam relung sepi

Kau

Aku

Tetap tak terpahami


 

Tonny Sutedja

RESTO GIGI, 2008

Disinilah kita. Bermuka-muka

Bertutur tentang panjang langkah kita

Kata. Dan hanya kata

Mewakili sikap hati kita


 

Kembang mawar telah terpangkas

Dedaunan telah luruh ke bumi merangas

Letih mengoyak tubuh yang melemas

Kata dan hanya kata yang terlepas


 

Hangatnya malam. Hangatnya jiwa

Disinilah kita. Bermuka-muka

Ada suara nyanyian lepas ke udara

Dan kita tahu betapa fananya kita


 

Seakan mimpi terbang melayang

Seakan bayang mulai meremang

Seakan hidup akhirnya menjelang

Langkah kita kian memanjang


 

Waktu melepuh. Beringsut pelan

Kelak. Kita tahu. Hanya jalan

Berliku. Menanjak dan menurun

Semua mencari kebenaran. Kebenaran


 

Disinilah kita. Bermuka-muka

Rupa kita pun kian menua

Dan sadar. Ada yang tak terkata

Kita. Serupa kalimat tanpa kata


 

Tonny Sutedja

1 NOPEMBER 2008

Awal Nopember. Malam minggu. Udara cerah. Jalan macet. Aku terjebak di tengah kendaraan yang amat semerawut. Klakson berbunyi memekakkan telinga. Ada suara sirene. Beberapa mobil yang terparkir di sisi kiri dan kanan membuat jalan tersumbat hanya untuk satu kendaraan saja. Dan tak ada yang mau mengalah. Di perempatan, lampu jalan padam. Asap kendaraan menyesakkan dadaku. Raungan gas yang diputar penuh. Suara umpatan. Seorang penjual bakso mendorong gerobaknya, menyeberang ke tengah jalan, tanpa peduli kiri kanan. Dan tiga buah becak yang terparkir tepat di sudut jalan seakan tidak peduli, tetap tak bergeming. Maka sempurnalah kemacetan ini. Semuanya tak terkendali. Semuanya tak ingin diatur dan mengatur diri. Semuanya hanya ingin mencari keuntungan sendiri. Ah, jalan macet. Udara cerah. Malam minggu. Awal Nopember. 2008.

Apa arti kemajuan bagi kita? Apa arti dunia modern bagi kita? Apa arti pendidikan yang kita terima sejak usia dini hingga saat ini? Apa arti pemikiran-pemikiran dan ceramah-ceramah menawan yang setiap saat kita terima? Yang setiap hari memenuhi halaman-halaman koran dan majalah? Apa arti semua itu jika pada akhirnya, yang kita tahu hanyalah bagaimana berusaha hanya untuk memenangkan kepentingan kita saja? Jika kita tetap merasa bahwa aturan ada hanya untuk mengatur orang lain dan bukan kita? Aku terjebak di tengah kemacetan ini, sambil menonton aksi-aksi kendaraan dan para pengguna jalan lainnya yang tak satu pun mau mengalah. Maka bukannya persoalan-persoalan teratasi, namun menjadi kian kusut dan tak terkendali. Jika kepentingan kita yang paling utama, dan kita tak ingin untuk saling mengalah, akhirnya kita takkan kemana-mana. Yang ada hanya kekusutan. Dan kita terjebak tanpa mampu bergerak. Demikianlah kehidupan kita akan menjadi macet di titik dimana kita gagal untuk saling mengalah dan berbuat sesuatu bagi orang lain. Takkan ada yang bisa mengurai kekusutan ini selain diri kita sendiri.

Berada di antara impitan kendaraan yang menggeber gas dan membunyikan klakson dengan menggebu-gebu, tiga orang bocah lelaki cilik, dan salah satunya nampak menggendong bayi perempuan kecil yang mungkin adiknya, maju memotong untuk menyeberang jalan. Saat aku merasa heran mengapa orang tua anak-anak itu membiarkan saja mereka berkeliaran di tengah keliaran lalu lintas malam itu, kendaraan-kendaraan lain nampak memberikan jalan. Tak ada geberan gas. Tak ada suara klakson yang menjerit-jerit seakan tak sabaran harus mengalah. Tiga bocah cilik itu menyeberang dengan aman, salah satunya nampak tersenyum kepada seorang pengendara motor yang memutar kemudinya untuk melonggarkan jalan bagi mereka. Di tengah kesemerawutan jalan malam ini, tiga orang bocah cilik dan seorang bayi telah membuat pengendara yang tak sabaran menjadi sadar kembali. Bahwa ada sesuatu yang jauh lebih utama daripada hanya mementingkan diri dan kepentingan sendiri. Yang jauh lebih utama daripada sikap tak mau mengalah dan ingin menang sendiri. Maka salah seorang bocah kecil itu pun tersenyum pada mereka. Tersenyum dan berterima kasih.

Awal Nopember. Malam minggu. Udara cerah. Jalan macet. Namun ada yang jauh lebih penting dari segala pengejaran waktu dan perburuan ambisi yang membelit kita, yang membuat kita saling menyikut dan tak mau saling mengalah agar tidak merasa kalah. Selalu, ya selalu ada senyum syukur dan terima kasih atas perhatian yang telah kita berikan kepada orang-orang lain. Bahkan kepada bocah-bocah cilik sekalipun. Maka untuk apa segala umpatan, gerutu, geberan gas, pekak klakson itu? Jika kita mau saling mengalah, jalan akan terbuka bagi kita masing-masing. Berikanlah jalan, dan kita pasti akan menemukan jalan pula. Sabarlah, maka kita pasti akan tiba di tujuan kita. Semuanya hanya masalah waktu. Ya, semuanya hanya masalah waktu saja. Bocah kecil itu tersenyum kepada kami. Dan kami pun ikut tersenyum kepada mereka......

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...