13 Agustus 2009

BEN

Matanya memandangku. Tetapi tak menatapku. Pandangannya kosong. Wajahnya hampa. Ah, siapakah dia sekarang? Dimanakah dia yang dulu? Mengapa pikiran bisa sedemikian penuh misteri? Perubahan apakah yang terjadi dalam jutaan sel-sel otaknya, sehingga dia yang pernah kukenal dulu, nampak berbeda sekarang? Kemanakah perginya dia? Tak adakah secuil kenangan yang masih tersisa dalam hatinya? Pengalaman apakah yang telah dilaluinya sehingga segala apa yang pernah dihadapinya di masa yang lampau musnah tanpa sisa? Adakah dia masih sosok yang mampu berpikir dan merasakan, ataukah saat ini hanya sisa tubuh yang hidup tetapi bukan siapa-siapa lagi?

Aku memandang ke wajahnya yang saat itu nampak tenang tetapi tanpa perasaan. Dia tak mengenaliku. Tidak mengenali kami semua. Bahkan saudaranya pun menjadi bukan siap-siapa baginya. Dari tuturan yang kudengar, sering dia tiba-tiba mengamuk, bangkit dari kungkungan kediamannya dan melontarkan dirinya ke segala arah tanpa terkontrol. Hanya tenaga tiga bahkan empat orang yang saat itu mampu menguasai kekuatan tak terduga yang tiba-tiba meloncat dari tubuhnya yang nampak ringkih dan kecil itu. Di saat-saat lain, saat-saat yang tenang, dia hanya duduk termenung dan tak peduli dengan lalu lalang orang yang ada di sekelilingnya. Dia seakan tak hadir sama sekali.

Mengapakah manusia bisa berubah menjadi demikian drastis? Dia, yang dulu kutahu cukup pandai dan tampan, sehingga menjadi favorit gadis-gadis sahabat kami kini nampak bagaikan sesosok robot tanpa pemikiran dan perasaan. Ada banyak hal dalam hidup ini yang menjadi misteri. Ada banyak penjelasan yang mungkin bisa kita dapatkan, mulai dari buku-buku kedokteran mengenai pengetahuan sel-sel otak hingga buku-buku psikologi tentang perubahan kepribadian, namun selalu menyimpan banyak pertanyaan bagi kita pribadi. Terutama saat menyaksikan langsung perubahan yang terjadi terhadap orang-orang yang pernah kita kenali dengan akrab. Inikah dia? Mengapakah dia bisa berubah sedemikian drastisnya? Mengapa? Apakah ini sungguh bagian dari kehidupan kita? Apakah kita ini memang hanya bagian-bagian sel yang tumbuh dan hidup dengan pemikiran yang tergantung pada sel-sel mikro pada otak kita? Bahkan saat aku menulis catatan ini, aku masih berpikir, akukah yang menulis ini, atau hanya akibat koordinasi dari sel-sel dalam otakku sendiri yang mungkin suatu saat dapat berubah dan mengubah diriku? Bagaimana menjawabnya?

Matahari di luar nampak amat terik. Dunia seakan bergerak sendiri. Dan pemikiranku juga bergerak sendiri. Tak ada saling persentuhan. Tak ada saling ketergantungan. Dia, tiba-tiba dengan tangkas memutar kedua lengannya dan menggerakkannya di udara seakan sedang melukis sesuatu yang tak jelas ujudnya. Lalu mendadak dia tertawa keras. Tanpa peduli pada kami. Tanpa peduli pada orang-orang yang ada di sekelilingnya. Seseorang teman, yang ikut dalam rombongan kami berkata, 'lihat, dia mulai kesurukan...' Kesurukan? Dimanakah ruang buat ilmu pengetahuan? Bisakah dibuat suatu jalinan antara dunia keilmuan dengan dunia tanpa ujud ini? Dan, jika demikian, bagaimanakah kita memandang dan memikirkan kehidupan kita ini?

Demikianlah, saat kami meninggalkan rumah sakit jiwa itu, aku diganggu oleh pertanyaan mengenai makna pemikiranku sendiri. Segala hal menjadi ganjil adanya. Sadarkah aku akan keberadaanku saat ini? Sadarkah aku saat mulai memikirkan dan merenungkan sesuatu? Adakah aku hidup di dunia yang nyata atau sebenarnya mengawang di dunia maya, sama seperti yang lainnya, dan untuk pada akhirnya nanti semua tergantung pada apa-apa yang terjadi dalam sel-sel tubuhku sendiri? Ataukah ada sesuatu yang kasat mata yang mampu mengubah kekuatan pemikiranku, masuk dan menguasainya, sehingga aku menjadi tak ada sama sekali? Dan aku hanya bisa pasrah dan tertunduk takluk padanya? Pengalaman hidup yang saat ini kujalani, pemikiran dan perenungan yang saat ini kulakukan, perbuatan-perbuatan yang saat ini kuperbuat, apakah semua itu ada maknanya? Ataukah sekedar kontribusi dari jutaan sel-sel yang kebetulan kumiliki saja? Jika demikian siapakah aku sebenarnya?

"Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada) adalah kalimat menakjubkan yang ditulis oleh filsuf Rene Descrates (1596 – 1650). Bagaimana jika kita tidak lagi mampu berpikir apa-apa, sama seperti sahabatku itu, tetapi masih bernafas dan hidup? Apakah itu artinya kita sesungguhnya tidak ada lagi di sini, saat ini? Apakah itu tandanya bahwa kita tidak lagi hidup? Tetapi bukankah dia masih tetap ada, hadir dan hidup bersama kita? Ada banyak misteri dalam hidup dan pemikiran kita, memang. Ada banyak hal-hal yang kita pertanyakan tanpa satu jawaban yang pasti. Dengan perlahan, aku berjalan di lorong-lorong sempit rumah sakit jiwa ini, sambil sesekali melempar pandang ke arah ruang-ruang yang gelap, muram dan sepi untuk kemudian keluar dari gerbangnya dan dengan perasaan tergetar menyambut cahaya yang menyilaukan dari matahari yang bersinar amat teriknya. Udara panas tiba-tiba menyergap tubuhku. Udara panas dan jalanan yang lengang. Aku memandang semuanya, menghirup nafas dalam-dalam sambil mencoba untuk merasakan aroma dunia ini. Aku, ternyata, ada. Dan apapun yang terjadi, aku tetap ada. Siang terasa panjang. Amat panjang.

Tonny Sutedja

07 Agustus 2009

MALAM DI PANTAI LOSARI

Bayang-bayang kelam mulai turun di langit kota. Pendaran lampu jalan, kendaraan dan dari bangunan yang berjejer di sepanjang pantai mulai berkelap-kelip. Keramaian menyambut akhir pekan seakan timbul langsung dari dalam bumi, dan membanjiri daratan dengan para remaja dan para penjaja kaki lima yang mencari hidup mereka. Aku selalu terpesona pada panorama itu. Insan-insan yang berjalan tanpa arah, hanya untuk menikmati kebersamaan di malam panjang itu. Pasangan-pasangan yang duduk sambil bercengkerama di tepi pantai dan memandang keramaian lalu lintas. Deretan panjang kendaraan terparkir di sisi jalan, sebagai saksi bisu keberadaan mereka yang ingin menghabiskan waktunya dalam suasana yang menyenangkan.

Mungkin, di sinilah aku mengaca diri. Saat memandang ke keramaian yang terbentang di depanku, kutemukan diriku menjauh dan menarik diri dari segala keriuhan itu. Berupaya memahami apa yang terjadi, kutemukan jejak-jejak yang telah lampau dan kini seakan menghilang perlahan. Barangkali memang bukan masanya lagi untuk hanyut dalam keriuhan itu. Barangkali juga hanya perasaanku sendiri yang merasa jauh dan terasing dari segala gegap gempita itu. Aku senang duduk sambil memandang dari kejauhan segala ledakan kegembiraan para remaja sambil berusaha untuk mengenang kembali masa laluku sendiri. Suatu kecengengan paruh baya.

Dan di langit yang perlahan mulai menghitam kelam, bintik bintang dan cahaya rembulan redup diterpa oleh cahaya gemerlap kota yang sedang bergembira. Di sini, aku duduk sambil mendengarkan lagu-lagu generasiku sendiri. Jauh, terpencil jauh dari keramaian lalu lintas yang mulai memadat, aku menemukan kegamanganku sendiri saat menyadari betapa jarak membentang lebar antara kami yang duduk jauh di atas teras bangunan megah ini dan mereka-mereka yang sedang mengalir di jalan. Padahal kami sama ada. Kami sama hidup. Tetapi tak mungkin dipungkiri, jarak membentang antara kami. Dan kami hidup di dunia masing-masing. Dengan batas masing-masing.

Di tengah keramaian, dari ketinggian yang jauh, aku melihat dua orang anak lelaki kecil sedang mengatur parkiran sepeda motor sambil berdiri di tengah jalan yang ramai, tanpa memeperhatikan keselamatan mereka sendiri. Mereka sedang mencari hidupnya. Dan jauh, jauh di tengah kegelapan selat makassar, aku melihat beberapa lampu-lampu berkedap-kedip. Lampu-lampu dari perahu nelayan yang sedang bertarung mencari kehidupan mereka sendiri pula. Dan jauh, jauh di atas, langit yang kelam seakan menyambut kegembiraan dunia dengan diam. Teramat diam.

Tonny Sutedja

PURNAMA

Sia-siakah hidup di dunia ini? Ada yang hidup dengan berpikir dan merenung. Ada hidup dengan berbuat dan melakukan. Ada yang berpikir dan berbuat. Tetapi tahukah siapa sebenarnya diri kita ini? Kenalkah kita padanya? Mengapa terkadang kita merasa kesepian dan terpencil seorang diri? Mengapa terkadang kita merasa sulit untuk dipahami? Merasa sulit untuk berbaur dan mengikuti pikiran dan perbuatan orang-orang lain? Tersesatkah kita seorang diri di jalan hidup yang sunyi ini, tanpa seorang pun mampu untuk mengenal diri kita? Siapakah kita? Dimanakah kita? Mengapa kita harus ada?

Malam ini purnama bersinar dengan indahnya di langit. Cahayanya yang jernih nampak bening berpendar menerpa alam. Dedaunan pohon-pohon nampak diam membeku. Tak ada angin. Suasana jalan sepi seakan turut menikmati keindahan cahaya yang dipancarkan oleh sang dewi malam. Aku memandang ke langit, memandang ke bulatan yang bercahaya tersebut sambil berusaha untuk menyerap keindahannya ke dalam jiwaku. Dan betapa mustahilnya menuliskan di sini pengalaman yang kurasakan saat itu dengan kata-kata dan kalimat bahasa. Pengalaman hidup memang sering tidak untuk dituturkan. Hanya untuk dirasakan. Secara pribadi. Secara amat pribadi.

Maka siapakah kita, selain dari insan yang amat pribadi, dengan perasaan dan pemikiran sendiri. Dengan memandang purnama yang menerangi langit malam itu, aku memandang diriku yang hadir di dunia ini, bukan hanya sebagai bagian dari dunia, tetapi bahkan adalah dunia yang kurasakan seorang diri. Tanpa aku, tanpa kehadiranku di dunia ini, dapatkah aku mengatakan bahwa dunia ini ada? Dapatkah kukatakan bahwa engkau ada? Dapatkah kupastikan bahwa dia ada? Tidak, tentu tidak. Kesadaran kitalah yang membuat keberadaan kita menjadi pasti. Dan tanpa kehadiran kita di sini, saat ini, kita semua hanyalah kemustahilan belaka.

Cahaya rembulan bersinar dengan kecemerlangan yang menghanyutkan diriku. Purnama di langit yang jernih tanpa mega secuil pun. Dan di bumi, pepohonan diam membeku, seakan turut larut dalam suasana syahdu yang dipancarkan oleh bumi saat menyambut keindahan alam ini. Ah, hidup tidaklah sia saat kupandang langit malam ini. Tidak sia. Ada banyak hal yang telah, sedang dan akan kita alami, tak mungkin dapat kita tuliskan atau tuturkan dalam kata-kata untuk dipahami. Hidup ada untuk dinikmati, untuk direnungkan, untuk dipahami. Tetapi bukan untuk dituliskan di sini. Hidup kita seakan menjadi rembulan yang terkadang bercahaya purnama, namun terkadang pula tenggelam dalam kegelapan malam. Segala sesuatu punya masa masing-masing. Segala sesuatu punya kesempatan sendiri-sendiri. Dan kita adalah pribadi yang telah, sedang dan akan mengalami kesempatan-kesempatan indah ini. Kesempatan yang indah. Sampai akhir tiba. Bukankah demikian?

Tonny Sutedja

06 Agustus 2009

IN MEMORIAM: WS RENDRA

Sajak adalah sihir

Dalam bentuk kata

Berdengung dalam

Ribuan rasa


 

Sajak adalah jiwa

Dalam ungkapan hasrat

Memanggil kala

Nurani terbakar


 

Dan kita adalah burung

Dan kita adalah langit

Dan kita adalah mega

Dan kita adalah takjub


 

Jiwamu mendamba

Kata dan laku menyatu

Gairahmu menyala

Dia dan kau satu


 

Tapi kata adalah mimpi

Dan mimpi adalah sajak

Yang bagai sihir meluap

Dalam jiwa yang sepi


 

Pergi! Pergilah!

Berteman angin, cinta dan lagu

Kita tulis sajak dalam sepi dunia

Dan sisakan debu buat surga


 

Tonny Sutedja

03 Agustus 2009

RAHASIA TUHAN

Seorang kawan pernah bertanya kepadaku:

Mengapa langit itu biru?

Mengapa laut itu biru?

Mengapa gunung itu biru?

Mengapa bunga-bunga itu harum?

Mengapa panorama itu indah?

Ah, kawanku, aku tak tahu

Itu rahasia Tuhan

Itu rahasia Tuhan


 

Kita dapat menjelajah jauh

Menuju ke inti bumi

Menuju ke tepian langit

Menuju ke ujung yang tak terjangkau

Tetapi mengapa alam mesti ada?

Tetapi mengapa kita mesti hadir?

Ah, kawanku, aku tahu

Itu rahasia Tuhan

Itu rahasia Tuhan


 

Kita menapaki hidup

Waktu demi waktu

Kita lahir, hidup dan mati

Bertemu dan berpisah

Mengenang dan melupakan

Mengalir dalam sejarah

Mengalami sensasi demi sensasi

Mencintai, membenci, merindu

Rasa yang berkelana jauh


 

Kita menapaki waktu

Hingga akhir tiba dan

Kita pun lenyap gugur

Tetapi

Siapakah kita ini?

Siapakah kita ini?

Ah, kawanku, aku tahu

Itu rahasia Tuhan

Itu rahasia Tuhan


 

Betapa besarnya

Betapa kecilnya

Betapa sulitnya

Betapa mudahnya

Betapa beratnya

Betapa ringannya

Perjalanan mencari

Makna

Tak kenal usai


 

Dan kemana ujung

Setelah kita patok

Tonggak-tonggak

Keberadaan kita

Sebuah istirah panjang

Menanti

Siapakah kita

Selain kenangan

Yang demikian rapuh?


 

Kadang kita letih

Kadang semangat kita bangkit

Kadang kita pasrah

Kadang jiwa enggan menyerah

Kadang hidup memberat beban

Kadang tawa menggirang hati

Ah, siapakah kita, kawanku?

Siapakah kita?

Siapa?


 

Selain sepi menghimpit jiwa

Selain asa membakar hasrat

Selain duka memencil hidup

Selain suka memacu gairah

Kita ada

Kita hidup

Kita di sini

Untuk apa?

Untuk apa?


 

Aku pun tak tahu

Tak tahu

Itu rahasia Tuhan, kawanku

Itu rahasia Tuhan

Rahasia Tuhan

Carilah DIA selalu


 

Tonny Sutedja

UNGGUN DI PUNGGUNG BUKIT

Kulihat unggun di punggung bukit

Nyala di malam tak berbintang

Kulihat caya samar mengusir kelam


 

Mendaki ke puncak menuju harap

Memanggul beban dalam kembara

Semata berbekal semangat hati


 

Kita adalah mahluk tak terpatahkan

Jatuh berkali bangkit berkali

Ini tanganku, mana tanganmu, raih aku


 

Pada akhirnya kita toh sama raib

Dan saat bunga-bunga ditebarkan atas makam

Unggun telah kita nyalakan di puncak sana


 

Kaki-kaki kita yang kecil

Tak henti melangkah naik

Jalan masih panjang, masih teramat panjang


 

Kitalah laron yang berterbangan di malam sepi

Mencari cahaya mencari harapan mencari asa

Tapak-tapak kita terjejak dalam bisu malam


 

Tak ada kata mundur tak ada kata takluk

Menuju unggun di punggung bukit

Saat memasuki malam tanpa bintang


 

Lalu saat bertemu nyala yang berkobar

Kita masuki dia, kita lebur bersamanya

Sebab kitalah juga unggun yang tak pernah padam


 

Perjalanan yang kita tempuh ini terbatas

Tiba di titik akhir, saat usia menguras saat

Kita songsong keabadian bersama DIA


 

Sebab kita dan DIA adalah SATU

Sebab kita dan DIA adalah SATU

Sebab kita dan DIA adalah SATU


 

Tonny Sutedja

02 Agustus 2009

SAAT PESTA USAI, WAKTU BELUM USAI

Pesta telah usai. Tirai telah turun. Dan kita masing-masing pulang sambil membawa beragam rasa. Ada yang senang, gembira, sedih, biasa-biasa saja dan bahkan mungkin ada pula yang dipenuhi kekecewaan karena harapan-harapan yang sebelumnya diangankan tidak tercapai. Pesta telah usai, sama seperti kehidupan ini, ada awal dan ada akhir. Tak ada yang abadi. Semuanya lewat bersama waktu yang lalu melintas.

Ingatan apa yang masih tersisa saat ini? Harapan apa yang masih menggantung dalam hati? Kehidupan datang dan pergi. Silih berganti. Ada yang lahir. Ada yang mati. Ada yang tertawa. Ada yang menangis. Bukankah hidup selayaknya memang demikian adanya? Beragam kejadian serentak terjadi di atas bumi ini. Namun hanya satu dua yang mampu menarik minat kita, dan karena itu diberitakan pada koran-koran yang terbit setiap hari. Berjuta, bahkan bermilyar peristiwa dialami oleh masing-masing individu yang hidup dan mampu merasakan dan berpikir. Namun hanya beberapa yang kemudian kita tahu. Tetapi yang pasti, apa yang telah kita alami, apa yang telah kita rasakan, apa yang telah kita pikirkan, adalah hak milik kita pribadi. Dan itu tak mungkin kita sangkal dan hindari. Kita ada. Kita hidup. Kita merasakan. Kita berpikir. Kita sendiri.

Terkadang kita merasa letih. Terkadang kita merasa tak berdaya dan tak berguna sama sekali. Terkadang kita bahkan merasa terkucil jauh dari kehidupan yang nyata di luar sana. Kita merasa pecah berkeping-keping, jatuh berhamburan, tanpa mampu menghindari hantaman kejadian yang tak kita inginkan saat tiba menerpa kehidupan kita. Terkadang kita bahkan merasa putus asa dan ingin mengakhiri semuanya itu. Kita ingin berseru dengan suara nyaring: "Cukup, cukup sudah semua ini....." Berapa banyak diantara kita yang tak pernah mengalami saat-saat kelam itu? Berapa banyak diantara kita yang mampu untuk terus hidup dalam aura kemenangan dan keceriaan sebuah pesta kehidupan yang nyata terasa? Berapa banyak? Ah, mungkin tak seorang pun yang tak pernah merasakan perasaan kekecewaan, ketakberdayaan dan keterkucilan dalam hidupnya. Dan kita bukan kekecualian. Bukan.

Pesta telah usai. Tirai telah turun. Dan lampu-lampu ruang pun telah dimatikan. Suasana kelam. Sayup-sayup aku mendengarkan nyanyian indah dari Scorpion: "..... Just when you make your way back home. I find some time to be alone. I go to see the place once more......" Ya, saat pesta telah usai, terkadang kita ingin balik kembali. Mengulang masa yang telah silam. Mencoba menemukan kebahagiaan dulu. Atau mencoba memperbaiki kesalahan dulu. "..... I climb the stage again this night. 'Cause the place seems still alive. When the smoke is going down....." Tetapi mampukah kita mengulang masa lalu? Bisakah kita kembali ke saat-saat lampau? Ah, semuanya hanya ada di kisah-kisah fiksi yang bisa kita tonton sambil mengunyah snack depan layar bioskop atau Monitor kita. Yang lewat takkan kembali lagi. Takkan.

Namun waktu belum usai. Kita pun belum berakhir. Ada, dan selalu ada harapan yang menggantung di depan kita. Kesalahan yang telah terjadi di masa lalu memang tak mungkin diperbaiki lagi, tetapi kita masih mungkin untuk merubah kesalahan itu sebagai pelajaran lalu mengubahnya menjadi kebahagiaan. Mengapa tidak? Tak ada sesuatu yang abadi. Kesalahan pun takkan abadi. Dan kebahagiaan yang dulu menghinggapi kita, mengapa tak mungkin kita temukan kembali di masa depan? Semuanya bisa. Semuanya mungkin. Dan semuanya tergantung pada pikiran dan tindakan kita saja. Tergantung pada diri kita. Bukan pada orang lain. Atau lingkungan lain. Kita adalah mahluk yang diberkati. Kita adalah mahluk pilihan, yang diciptakan oleh Sang Empunya Kehidupan dengan semangat dan Roh-Nya sendiri. Kita memiliki daya. Kita memiliki pikiran. Kita memiliki talenta. Pergunakanlah itu demi Dia, bagi kita juga.

Pesta telah usai. Tirai panggung kini tertutup rapat. Lampu-lampu pun telah dipadamkan. Suasana menjadi hening. Jauh dari riuh gelak tawa kegembiraan dan sorak sorai kesenangan. Tetapi besok, ya masih ada dan masih akan tiba hari esok, dimana tirai kembali diangkat, lampu-lampu akan dinyalakan dan pesta dimulai dengan segala kemeriahan dan keceriaannya. Kita perlahan akan menaiki satu persatu anak tangga, menuju pentas yang gegap gempita, dan menyanyikan lagu-lagu indah dan riang. Sebab kita mahluk yang pantang menyerah. Kita mahluk dan cermin dari Sang Pencipta sendiri. "... This is the place where I belong. I really love to turn you on. I've got your sound still in my ears. While your traces dissapear....." Biarkanlah bayang-bayang masa lalumu lenyap, berganti dengan kegemilangan masa depanmu. Hidup! Hidupilah hidupmu! Waktu belum usai.....

Tonny Sutedja

DRAMA KEHIDUPAN

Senin. Hari menjelang malam. Jalanan cukup ramai. Aku sedang melintas di jalan pengayoman. Di tepi jalan, berhadapan dengan Mal Panakukang, aku melihat sepasang remaja sedang bertengkar. Tiba-tiba sang pria menempeleng sang wanita yang kemudian jatuh terjerembab. Wanita itu masih dalam posisi terduduk, sang pria menendang wajah wanita itu sambil mengucapkan kata-kata yang tak kudengar jelas. Wanita itu menangis. Aku memelankan kendaraanku. Demikian pula beberapa kendaraan lain yang saat itu melintas. Kami semua terpana. Beberapa orang yang sedang berjalan melintas kulihat berhenti sejenak menonton lalu buru-buru menyingkir. Wanita itu terus menangis, sementara sang pria kemudian berlenggang pergi meninggalkannya. Suara klakson yang memekakkan telinga menyadarkan keterpanaanku, membuatku melajukan kendaraanku dan melewati wanita yang terduduk sendirian itu. Sambil terus menangis. Kami melihatnya tetapi tak seorang pun berani menghampiri wanita itu. Kami lewat begitu saja, menjauh dan menghilang di antara lautan kendaraan yang merambat pelan. Dan malam hampir tiba.

Kekerasan. Apa yang terjadi dengan kita di waktu-waktu ini? Apakah kita telah kehilangan kepekaan perasaan kita? Setiap hari, setiap saat, kita menonton lewat televisi, kita membaca di lemaran koran dan majalah, kita mendengarkan lewat radio, kita bahkan mungkin mengalaminya sendiri, kekerasan telah menjadi hidangan sehari-hari yang terasa membosankan. Terkadang kita muak. Terkadang kita menikmatinya dan menjadi topik pembicaraan yang hangat. Namun, jelas bahwa, seperti hidangan yang teramat sering kita nikmati, jarang bahkan tak ada lagi yang merasa heran ataupun tersentuh dengan peristiwa kekerasan yang terjadi setiap saat. Hidup mengalir bersamanya, menjadi bagian yang tak terpisahkan dan bahkan semacam tradisi yang bisa kita maklumi. Mengapa ini harus terjadi? Mengapa kita bahkan kadang menjadi bagian dari padanya? Mengapa kita semakin mudah marah dan melampiaskan kemarahan, kekecewaan dan kekalutan kita sendiri kepada orang lain? Kepada orang-orang yang justru mungkin sama sekali tak bersalah? Mengapa? Sakitkah kita? Ataukah memang kita semakin kehilangan perasaan halus kita? Dimanakah kasih sayang, cinta terhadap sesama, saling perhatian dan berbagi yang telah diajarkan kepada kita semua? Mau kemanakah kita semua ini?

"Kehalusan budi kita telah mati dibunuh oleh kenikmatan tontonan" demikian ungkap seorang temanku, suatu saat yang lalu. "Jadi buku-buku puisi tidak pernah laku" lanjutnya lagi. "Bahkan prosa pun semakin banyak yang hanya menjadi pajangan semata. Lihatlah di toko-toko buku, yang laku hanya buku-buku yang mau mengajarkan kita tindakan-tindakan cepat, jalan pintas yang mudah, bagaimana – how to – mencapai apa yang kita hasratkan dalam beberapa langkah..." Kita semakin senang menyaksikan tontonan di televisi dalam bentuk sinetron yang menjual mimpi, film ala cinderella yang bersepatu kaca. Atau tentang perselingkuhan yang dibayangi dengan kehidupan mewah dan nikmat sehingga kita tanpa sadar mengamini sebagai sesuatu yang logis dan tak perlu ditolak. Berjalan-jalan di Mal, dan akan kita temukan lautan manusia yang sedang melihat-lihat aneka macam benda dan asesoris yang menarik dan indah, menjajakan dirinya bukan dalam kegunaan tetapi dalam daya pukau dan kesenangan untuk dinikmati. Siapakah kita ini semua? Hanya penikmat benda materikah? Maka uang, harta dan kemewahan semakin mengejar kita dan membuat hidup kita terus menerus dalam tekanan untuk mau dan mau dan mau memilikinya. Maka tak heran, kita lalu menjadi keras, sensitip dan mudah meledak saat harapan-harapan, ambisi-ambisi dan nafsu serta hasrat kita tak bisa kita penuhi. Sayang....

Senin. Hari mulai malam. Berada di kepadatan lalu lintas, aku menyaksikan manusia-manusia yang tak lagi saling menyapa. Bunyi klakson bertalu-talu seakan ingin mengusir semua pengendara lain dan menjadikan jalanan ini miliknya sendiri. Saling serobot, bahkan saat lampu pengatur lalu lintas sudah menyala merah pun sering kendaraan yang tak sabaran terus melaju maju, sehingga terjadi antrian panjang di sisi jalan lain yang bertanda hijau. Hidup kian tak mudah ditata. Dan saat-saat dimana orang-orang merasa dirugikan, terjadilah saling umpat yang tak jarang dilanjutkan dengan pertengkaran keras. Dan di sisi lain dari kehidupan, saat kita berada di dalam cafe yang dingin dan bersejuk diri, kita saling bercanda dengan teman-teman maya kita di dunia yang jauh dan tak pernah kita temukan dalam kehidupan nyata kita. Maka teman-teman kita adalah teman-teman yang maya, sedang di kehidupan nyata kita, yang ada hanya lawan, saingan dan orang-orang yang tak saling kenal dan tak saling menyapa lagi. Ah, siapakah kita? Inikah dunia modern kita? Aku melajukan kendaraanku, menuju pulang, buru-buru meninggalkan wanita yang tadi mengalami kekerasan itu, meninggalkan kesemerawutan lalu lintas, meninggalkan jejak-jejak kesombongan manusia. Pulang, untuk bersembunyi di rumahku yang tenang dan mulai menulis untuk kalian, teman-temanku di dunia maya. Teman-teman yang bahkan mungkin takkan pernah bersua secara muka dengan muka. Siapakah kita, teman?

Tonny Sutedja

DUNIA KANAK YANG HILANG

Anak-anak itu bermain, melompat dan saling bertepuk tangan. Anak-anak itu menari, memutarkan tubuh mereka yang mungil sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dan di dalam ruangan yang tak terlalu besar ini, mereka seakan menjadi penguasa dan penghuni satu-satunya yang ada. Suara canda dan tawa mereka memenuhi udara, dari sudut ke sudut. Anak-anak selalu memiliki semangat, impian dan harapan yang tak pernah tuntas. Mereka memiliki berjuta pertanyaan, keingin-tahuan dan bermain bersamanya. Mereka mempunyai banyak hasrat dan keinginan tanpa perasaan untuk memiliki dan menguasai. Anak-anak. Lihatlah tubuh-tubuh mungil yang dengan lincahnya bergerak itu. Tak pernah bisa diam. Tak pernah bisa tenang. Bagi mereka, hidup adalah suatu permainan. Hidup adalah suatu kegembiraan.

Demikianlah aku memandang ke arah kumpulan anak-anak yang sedang bermain dalam aula itu. Sejak kapan kita meninggalkan masa-masa itu? Sejak kapan kita lalu menjadi sedemikian serius dan rakus, dan menginginkan untuk dapat menguasai dan menaklukkan? Untuk membuat orang-orang lain menjadi serupa dalam pikiran kita? Sejak kapan kita menghasratkan satu keseragaman dalam segala hal dan saling menyalahkan satu sama lain bila ada yang terasa berbeda dari kita? Sejak kapan kita demikian berambisi untuk menguasai dan menaklukkan seluruh dunia atas nama Yang Satu demi hasrat dan gairah pribadi kita? Sejak kapan itu berawal? Dan mengapa? Bukankah masa-masa kecil kita, yang terasa sedemikian jauh di belakang, tak pernah menawarkan kepada kita hal-hal itu? Sebab, hidup hanyalah sebuah permainan. Hidup seharusnya menjadi suatu kegembiraan.

Sebuah bom meletus. Kurban pun berjatuhan. Bersalahkah mereka? Mengapa harus saling memusnahkan? Mengapa harus saling menghancurkan? Demi apakah? Demi rasa ketidak-adilan? Demi hasrat untuk membangun kebersamaan dan keseragaman? Demi ambisi-ambisi pribadi? Rasa dendam dan sakit hati? Demi kekuasaan atau bahkan agama? Menyusun suatu rencana yang rinci dan pelik, membuat satu paket bom dengan ketelitian yang tinggi, lalu menautkan pada tubuh hidup yang dengan rela siap mati sambil menyeret sesamanya yang kebetulan berada bersamanya. Mereka-mereka yang tidak saling mengenal. Lalu siapakah yang menjadi kurban selain dari kemanusiaan kita? Mengapa harus? Mengapa? Pada siapa pertanyaaan ini akan diajukan? Pada diri kita sendiri?

Aku memandang ke belasan anak yang sedang bermain itu, sambil memikirkan betapa banyaknya orang-orang yang telah kehilangan dunia kanak-kanak mereka. Dunia menjadi terlalu serius, menjadi terlalu keras, menjadi terlalu angkuh, menjadi terlalu dingin. Dunia yang menolak mata-mata indah dan tubuh-tubuh yang bergerak dengan lincah dalam permainan-permainan kanak-kanak kita. Dunia yang menolak kebersamaan dalam perbedaan. Dunia yang menolak ketidak-seragaman dalam permainan yang sering nampak kacau tetapi tetap indah dan bisa saling dinikmati dengan aturan tak tertulis. Jiwa, pada hakekatnya menolak kekerasan dan hanya menghasratkan bermain dengan nada gembira dan saling bertepuk tangan dengan riang. Namun, saat satu pihak memaksakan keinginan dan membangun kekuasaan untuk menguasai, pihak lainnya akan mulai melawan dan melancarkan serangan balik. Maka segala cara pun ditempuh. Kekerasan. Bom. Korban-korban berjatuhan. Sampai kapan ini harus terjadi? Sampai kapan? Dan akan berujung dimanakah semua ini?

Ah, anak-anakku, dunia semakin kehilangan kalian. Dunia pun semakin kehilangan masa kanak-kanak mereka. Dunia, ya dunia ini menjadi makin dewasa, tua, angkuh tetapi sekaligus menakutkan bagi kalian. Kemanakah kalian harus bermain sekarang? Mungkin hanya dalam mimpi-mimpi kalian. Ya, mungkin hanya dalam mimpi-mimpi kalian, tawa riang dan canda gurau dapat bergema, tanpa takut diancam kemarahan para orang tua dan dewasa lainnya. Padahal hidup adalah suatu permainan. Hidup adalah suatu kegembiraan. Hidup adalah kalian.

Tonny Sutedja

01 Agustus 2009

SEBUAH NUANSA DI SIANG HARI

Ada dedaunan luluh

Kataku,

Luluhlah kepadaku

Sejenak masa silih

Luluh aku

Padamu


 

Ada kata terucap

Diam

Berucaplah kepadaku

Kelak

Aku berucap

Padamu


 

Siang terik menyengat

Jalan hening menikam

Gersang!

Irama, iramaku

Kemana kau

Pergi?


 

Mengapa hanya sunyi

Dedaunan luluh

Kata tak terucap

Yang menguap

Terbakar lagu

Padamu


 

Sepercik air

Dalam embun

Memerciki dahagaku

Di siang yang terik

Sambil bernyanyi

Tanpa nada


 

Sebab kita adalah

Kata tanpa kata

Tanya tanpa tanya

Diam tanpa diam

Luluh tanpa luluh

Angin lewat

Sejenak hanya

Lalu

Membiar hilang

: kemana akan pergi?


 

Entah.


 

Tonny Sutedja

PERUBAHAN-PERUBAHAN

"Ah, dia tidak berubah. Masih tetap sama seperti dulu...."

"Ah, dia telah berubah banyak. Sekarang sudah sombong. Tidak mau bergaul lagi...."

Demikianlah percakapan yang sering kudengar saat reuni yang diadakan di sekolahku beberapa waktu lalu. Berubah atau tidak berubah. Waktu mengalir panjang. Dan kita semua terbawa bersamanya. Mengalir bersama melewati banyak liku dalam kehidupan ini. Apakah yang membuat perubahan-perubahan itu? Apakah mereka memang masih sama seperti yang dulu? Ataukah mereka telah berubah menjadi sesuatu yang berbeda? Tetapi, bagaimana dengan kita sendiri? Masih samakah kita? Atau, jangan-jangan, kitalah yang telah berubah, sehingga semua kita pandang berubah juga? Kita memandang dunia dari sudut kita berdiri, yang mungkin secara sadar atau tidak, kita telah bergeser dari titik yang satu ke titik yang lain. Jadi, siapakah yang telah berubah sebenarnya? Orang lain? Atau kita?


 

Setiap hal. Ya, setiap hal di dunia ini mengalir bersama aliran waktu. Kita melihat dan merasakan perubahan-perubahan yang nampak di depan kita. Namun sering tak bisa merasakan perubahan yang terjadi dalam diri kita sendiri. Pada tubuh kita sendiri. Pada pemikiran kita sendiri. Seakan kita masih sama dan tetap sama. Perubahan hanya terjadi di luar diri kita. Padahal, ada berapa banyak cita-cita dan impian kita yang gagal kita raih? Ada berapa banyak rasa sakit dan kekecewaan yang telah menggerogoti perasaan kita? Ada berapa banyak rasa hampa, kesepian, keterkucilan dan ketak-berdayaan yang pada akhirnya telah membuat kita menjadi keras, tegar dan kukuh dalam menyikapi hidup ini? Tidak! Tak banyak memang dari kita yang mampu menyadari perubahan-perubahan pada diri sendiri. Kita hanya mampu melihat perubahan-perubahan pada diri orang lain. Dan hidup memang demikian adanya.


 

Padahal, dengan berjalannya waktu, kita semua yang terseret bersamanya, telah mengalami banyak perubahan. Semua hal berubah, tetapi juga tidak berubah. Semua hal yang kita pikirkan, kita rasakan dan kita resapkan dalam kehidupan ini, adalah nuansa-nuansa perubahan yang tergantung pada bagaimana kita menyikapi hidup kita sendiri. Maka diri ini, patutlah bercermin untuk melihat berapa banyak hal yang telah mengubah sikap kita dalam memandang hidup. Kita semua telah berubah. Bukan hanya orang lain. Bukan hanya teman-teman kita. Dan jika kita memandang seseorang tidak berubah, itu tidaklah berarti bahwa dia memang tidak berubah. Setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda dalam perjalanan mereka melintasi waktu. Setiap orang mempunyai pemikiran dan karakter pribadi yang unik, dan di titik itulah, dengan kesadaran sendiri, kita akan memandang perubahan-perubahan dengan cara kita masing-masing.


 

Namun, di dalam segala perubahan yang telah kita alami, di dalam segala peristiwa yang telah kita dalami, pengalaman bersama selalu menyisakan kenangan yang bisa kita gali kembali. Ingatan pada masa lalu, bukan hanya untuk bernostalgia, tetapi terutama untuk belajar kembali, apakah hidup yang ada saat ini adalah pilihan kita yang terbaik, ataukah kita masih memiliki pilihan yang mungkin jauh lebih baik lagi, jika kita berani untuk memutuskan pilihan yang berbeda sama sekali. Dan kesempatan itu belumlah lenyap. Hidup tidak tergantung pada berapa lama kita ada di sini, sebab kita toh tak pernah bisa menebak akhir dari semua ini. Jalan masih panjang. Pilihan masih banyak. Hidup belum usai. Jadi jangan takut untuk mengubah diri. Jangan khawatir untuk membuat jalan baru. Usia kita tidak hanya bergantung pada waktu, tetapi lebih utama pada semangat yang kita miliki. Hidup selalu baru. Setiap hari. Setiap saat. Siapkah kita menjalaninya?


 

Tonny Sutedja

DARI KEJAUHAN AKU MEMANDANG

Perlahan-lahan kendaraan yang kami tumpangi melewati jalanan yang berliku, rusak parah dan dipenuhi dengan lumpur kecoklatan. Di sebelah kiri kami berdiri tebing yang terkelupas, nampak rapuh dan sesewaktu mungkin akan longsor. Di sebelah kanan menganga jurang yang cukup dalam dan menakutkan. Tak banyak pepohonan yang tumbuh rimbun. Senja menjelang tiba, namun di kejauhan masih nampak sayup bayangan pegunungan yang diterpa cahaya petang dalam warna kuning keemasan. Deretan bukit-bukit yang berwarna gelap dengan dasar melebar dari sebuah sungai yang mengering dan hanya menyisakan hamparan batu-batu kali. Dengan menderu-deru, kendaraan kami merangkak naik, terus naik. Menuju malino. Dan gelap malam pun perlahan mulai menutupi pandangan kami.


 

Fajar menyingsing. Hari baru tiba. Dari atas villa sederhana ini, aku memandang ke kejauhan. Suatu panorama yang menakjubkan, deretan pegunungan dan sawah nampak membentang luas hingga ke ufuk pandangan mataku. Samar-samar aku melihat liukan jalan yang telah kulalui petang kemarin. Semuanya kini nampak indah, dan bagaikan lukisan alam permai yang sering kusaksikan di dinding-dinding biro pariwisata. Tak nampak lagi jalan yang rusak, berlumpur dan gersang yang semalam kami lewati dengan susah payah. Aku menghirup kesegaran udara di saat fajar ini sambil merenung. Di antara teman-teman yang mendampingiku, kulihat wajah-wajah yang hangat, ceria dan penuh rasa persaudaraan. Hidup nampak sangat bermakna.


 

Ah, tidakkah benar, bahwa sesuatu yang nampak indah di kejauhan belum tentu seindah itu jika kita langsung berada dekat padanya? Apa yang kita lihat dengan penuh pesona, apa yang kita pandang dengan penuh rasa takjub dari kejauhan dan selalu membuat kita kagum, belum tentu akan nampak demikian saat kita telah berada dekat padanya. Hidup memang selalu menyimpan misterinya sendiri. Demikian pula kita selalu memiliki pahlawan dalam hati, profil yang demikian kita kagumi dan kita segani hanya karena kita memandang sosok itu dari kejauhan. Menakjubkan namun tak teraih. Tetapi apakah sosok yang sama masih akan membuat kita kagum dan takjub bila kita dekat dengan dia? Bila kita telah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari? Akankah ketakjuban dan kekaguman kita takkan luntur, saat kita tahu dan mengenal kelemahan-kelemahan manusiawinya? Sebab, siapakah yang sempurna di dunia ini? Panorama yang di kejauhan nampak demikian indah dan memukau, belum tentu seperti itu saat kita sendiri telah berada dan langsung menempuh perjalanan kita di tengah-tengah lokasi itu sendiri. Mungkin akan muncullah jalan yang bopeng, rusak dan dengan susah payah harus kita tempuh agar tujuan kita bisa tercapai. Ah, hidup ternyata tak seindah dongeng-dongeng masa kecil kita.


 

Tetapi, jika tujuan kita tercapai, jika sasaran telah kita raih, maka kini berdirilah kami di sini, sambil menikmati panorama yang demikian mengasyikkan ini. Tak ada lagi letih lesu akibat perjalanan panjang yang membuat tubuh kami terpaksa mengalami goncangan-goncangan hebat semalam. Semuanya terobati tuntas. Hidup memang tak pernah mudah, namun selalu ada ujung yang memukau. Jadi jangan bersedih dan kecewa. Jangan putus asa atau merasa mudah takluk. Hidup ini sebuah perjuangan. Perjuangan untuk meraih harapan. Perjuangan untuk mencapai puncak. Perjuangan untuk keindahan. Perjuangan bagi diri kita sendiri. Dan bagi keagungan Sang Pencipta. Kami, yang kemarin bersama-sama telah melewati suatu perjalanan panjang dan meletihkan, kini dapat saling memandang dan mengakui, betapa tidak sianya perjalanan itu. Betapa hasilnya jauh melampaui harapan kami sebelumnya. Dan inilah dunia kami. Inilah perjalanan kami. Inilah kami. Di sini. Berdiri dan memandang jauh ke depan. Ke bentangan panorama yang demikian merasuk mata dan jiwa kami. Para sahabat yang telah berpetualang. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Kesia-siaan hanya ada dalam hati, bukan dalam hidup. Maka jangan merasa sia-sia. Jangan pernah merasa sia-sia. Sebab hidup adalah harapan. Jika kita telah tiba di tujuan bersama kita. Tujuan bersama. Semua akan terobati.


 

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...