22 Desember 2009

PANORAMA KEHIDUPAN

Seekor capung kulihat asyik melayang-layang, lalu hinggap di atas daun kembang melati di depan halaman rumahku. Pagi tiba dengan suasana yang tenang dan damai. Langit biru bersih dengan sekelompok mega nampak berkumpul di sebelah timur, di atas jejeran pegunungan yang membujur indah. Sayup-sayup kudengar alunan nada Ravel Bolero yang mengalun indah dan penuh semangat. Hidup, ah hidup seakan memiliki keindahan yang tak terbatas, jika kita mau menikmatinya. Di tiap momen, di tiap kesempatan, hidup selalu menawarkan keelokannya dengan sukarela dan penuh cinta. Masih perlukah kita merasa kecewa atasnya?

Udara sejuk menyentuh ujung-ujung kulitku. Segala perasaanku larut dalam keindahan yang tak tertuliskan dalam kata-kata. Tak ada satu pun kalimat yang mampu menggambarkan pengalaman kita secara utuh dalam mengalami hidup ini. Pengalaman kita amat bersifat pribadi, tak terungkapkan, walau mungkin dapat secara utuh dituturkan atau dikisahkan dalam bahasa yang ringkas. Bagaimana dapat kuceritakan apa yang kurasakan saat menikmati kesegaran udara yang memasuki dadaku, menyentuh kulitku dan angin yang membelai wajahku jika tidak secara nyata mengalami dan menikmatinya sendiri? Dapatkah kalian yang membacanya bisa merasakan secara langsung pengalaman itu?

Panorama kehidupan ini hanya dapat dialami secara langsung. Kita mungkin bisa membayangkan secara tak langsung, namun pastilah tak sama jika kita sendiri tak mengalaminya. Setiap kehidupan, setiap individu, memiliki perasaan subyektipnya masing-masing. Dan tentu saja, kita pasti memiliki tanggapan yang berbeda, bahkan walau itu pengalaman yang sama. Kita, manusia, adalah mahluk yang bebas dalam pemikiran kita masing-masing. Dan tentu saja, tak seorang pun, bahkan atas nama apapun, mampu memaksa kita untuk menyeragamkan cara memandang suatu pengalaman hidup. Tak seorang pun.

Dan ini sungguh suatu anugerah yang menakjubkan yang telah diberikan kepada kita, manusia-manusia yang fana ini, oleh Sang Pencipta. Kita diberikan hidup untuk dijalani. Untuk dinikmati. Kita diberikan kebebasan untuk memutuskan apa yang baik bagi kita. Dan apa yang tidak. Kita adalah mahluk bebas yang dibentuk dari debu. Dan kelak akan kembali menjadi debu. Namun, walau kita serapuh jambangan tanah liat, kita memiliki kekuatan untuk memilih dan menentukan akan kemana kita bawa hidup kita sendiri. Keputusan-keputusan itulah yang akan menentukan nilai kemanusiaan kita. Sebab kita bukanlah batu-batu kerikil yang hanya bisa tergeletak diam dan pasrah.

Seekor capung nampak berayun-ayun di atas kelopak bunga melati yang mengharumkan sekelilingnya. Dan langit biru. Dan suasana yang damai dan tenang. Bukankah setiap saat kita dapat menikmati kesegaran dunia ini? Bukankah setiap saat kita bisa menerima pesona alam yang indah ini? Kita, ya semuanya tergantung hanya pada kita. Hidup itu indah jika kita mau menikmatinya. Karena segalanya telah disediakan bagi kita. Segalanya telah ada di seputar kita. Hanya, seringkali luput dari perhatian kita. Hanya karena kita terlalu terkunci dalam perasaan kita saja. Sehingga gagal memandang betapa sederhananya hidup ini. Betapa sederhananya.

Tonny Sutedja

21 Desember 2009

WAKTU DAN KITA

Semakin kita mengejar waktu, semakin tak mampu pula kita menikmatinya. Semakin kita menikmatinya, semakin kehilangan pula kita. Jadi apakah makna waktu bagi kita? Mengapa sering kita merasa bahwa kita tak punya cukup waktu untuk hidup? Ataukah memang waktu memang tak pernah memiliki kita? Betapa kita sering merasa terasing darinya, seakan perjalanan hidup yang kita tempuh ini, tak berjalan seiring dengan sang waktu. Apakah waktu telah meninggalkan kita? Ataukah kita yang meninggalkan sang waktu? Mungkin inilah ironi kehidupan kita.

Kian panjang kita jelajahi kehidupan ini, kian terasa pula betapa hidup kita hanya menggapai angin. Titik demi titik kita capai, tetapi tak pernah kita merasa cukup dan mencoba untuk berhenti sejenak memikirkan apa yang telah kita raih. Hidup berjalan dalam waktu yang teramat panjang dan seakan kekal. Padahal, kita sadar, atau terkadang sadar, bahwa kelak, ada satu titik akhir dari perjalanan kita dalam waktu yang tak pernah usai. Sejarah telah melampaui abad demi abad, dan masih akan berjalan abad demi abad, tetapi kesadaran kita yang sederhana memusat pada waktu keberadaan kita saat ini. Hanya saat ini.

Dimanakah kita sekarang? Apa yang telah dan sedang kita lakukan kini? Akan menuju kemanakah kita esok? Apakah langkah-langkah kita telah berderap di jalan yang kita inginkan? Ataukah kita sedang merasa perih, kecewa dan bahkan putus asa karena ternyata tak mampu meraih apa yang kita angankan? Bahwa hidup ini telah berlangsung dalam kecepatan yang tak mampu kita kuasai sepenuhnya. Dan segala harapan kita telah kandas dalam keping-keping kecil jauh di masa silam, sehingga tak mampu lagi kita tata menjadi suatu bentuk yang utuh saat ini?

Kita hidup dengan kesadaran yang sering terasa asing. Waktu lewat melintas, dan kita berupaya menggapainya dengan sia-sia. Kita tak pernah memiliki sang waktu. Kita selalu ditinggalkan sang waktu. Sadar atau tidak. Dan kita tersentak saat menyadari bahwa daya dan kemampuan hidup kita kian terbatas. Sementara waktu tak pernah menunggu kita, kita seakan terpatok di sudut yang sama, terus menerus. Waktu berubah dan semestinya kita pun harus berubah. Mengikuti sang waktu. Bagai aliran air sungai yang mengalir menuju muaranya. Tetapi siapkah kita dengan perubahan itu? Siapkah kita?

Lihat! Terkadang langit mendung dan hujan turun. Terkadang langit cerah dan matahari bersinar terik. Dan alam berjalan dengan satu kepastian. Mengalir bersama waktu. Datang dan pergi. Hadir dan musnah. Sama namun berubah setiap saat. Namun, dalam pikiran kita, dalam perasaan kita, semuanya sering tak pernah berubah. Kita merasa gagap dengan perubahan dan bahkan menentangnya, karena merasa bahwa itu tak sesuai dengan keinginan dan harapan kita. Padahal, apakah artinya keinginan dan harapan kita dalam perjalanan sang waktu yang tak terbatas ini? Apakah artinya?

Waktu tak pernah menunggu kita. Kita harus mengalir bersamanya. Alam, walau dalam komposisi besarnya seakan tetap, tetapi dalam detailnya takkan pernah sama. Dan kita adalah detail-detail yang selalu berjalan semakin hari semakin menua, dan suatu saat kelak akan lenyap dan berganti. Bagai kembang di taman yang datang dan pergi. Kita adalah waktu saat ini. Kita adalah sekarang. Sebab itu, berjalanlah bersamanya. Ikutilah sang waktu. Nikmatilah dia. Sesaat dan hanya sesaat, kita ada. Lalu tiada. Maka mengapa menyia-nyiakan hidup ini dengan hanya menunggu? Kemungkinan selalu terbuka. Setiap saat. Setiap waktu. Berubah dan lakukanlah perubahan. Hidup kita tidaklah kekal. Tidak kekal.

Kita mungkin memiliki impian-impian. Kita mungkin memiliki harapan-harapan. Tetapi, dalam waktu, siapakah kita selain hanya sebintik noktah yang hanya lewat selintas lalu sirna begitu saja? Pada akhirnya, kita akan menua lalu lenyap menghilang. Pada akhirnya toh, segala kesadaran kita akan tenggelam dalam lintasan sejarah. Pada akhirnya kita tak memiliki apa-apa selain kenangan yang perlahan-lahan akan dilupakan dan diabaikan. Pada akhirnya, kita semua akan usai.....

Maka apapun yang telah terjadi, terjadilah. Kita takkan bisa untuk mengembalikan masa lalu. Kita takkan mungkin untuk membalikkan waktu yang telah lewat. Kita hanya ada saat ini. Sekarang. Dan toh, itu tetap berguna untuk dijalani. Tetap berguna untuk dinikmati. Masa depan yang mungkin terasa asing, suram dan bahkan gelap, bagi kita, tidak berarti bahwa kita kehilangan kemungkinan-kemungkinan terbaiknya. Tidak. Waktu selalu mengandung kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga. Selalu ada keajaiban yang menunggu kita. Hanya kita perlu mencarinya. Hanya kita perlu mengadakan perubahan dan menjadikan apa yang telah lampau sebagai acuan untuk hari esok kita. Siapkah kita?

Semakin kita mengejar waktu, semakin tak mampu pula kita menikmatinya. Semakin kita menikmatinya, semakin kehilangan pula kita. Memang demikianlah hidup, kawanku. Memang demikianlah hidup. Kembang melati yang kemarin terlihat segar dan mengharumkan lingkungan sekitarnya, hari ini mungkin telah gugur dan kehilangan keharumannya. Tetapi sia-siakah hidupnya jika begitu? Tidak. Tentu tidak. Sebab, dia telah melakukan baktinya kepada alam. Dan demikianlah seharusnya kita. Apapun yang kita alami, apapun yang telah menerpa kita, apapun itu, kita hidup dalam waktu yang terus berubah. Maka mari mengharumkan dunia ini dengan keberadaan kita saat ini. Bersama waktu sekarang. Kini. Besok adalah hari lain pula. Yang penuh kemungkinan. Dan kita harus mengubah kemungkinan itu menjadi yang terbaik bagi dunia. Yang terbaik bagi kita. Yang terbaik bagi Sang Pencipta. Sebab kita telah memberikan yang terbaik dari diri kita kepada-Nya. Kepada-Nya.......

Tonny Sutedja

18 Desember 2009

ESOK

Esok. Apa yang kita pikirkan saat ini tentang hari esok? Apakah kita merasakan adanya suatu harapan ataukah hanya dipenuhi dengan ketakutan dan kekhawatiran? Esok. Siapakah yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi? Mungkin kita saat ini sedang merencanakan banyak hal, memprediksikan banyak kemungkinan atau malah meyakini hasil yang akan memuaskan kita, tetapi siapa yang dapat memastikan hasilnya? Hidup penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang terkadang jauh dari jangkauan pemahaman kita. Dan sering tak tertebak. Sering tak tertebak.

Apa yang kita rancang, apa yang kita bangun dan apa yang kelak ingin kita raih sebagai suatu keberhasilan, mungkin dalam sekejap bisa lenyap oleh suatu musibah yang tak terpikirkan sama sekali. Dan berapa besarkah dana yang telah kita keluarkan? Berapa banyakkah pengurbanan yang telah kita jalani? Bukankah semuanya itu nisbi belaka? Tetapi patutkah kita merasa marah, kecewa atau bahkan putus asa saat ditimpa musibah? Saat segala yang kita angankan sirna hanya dalam waktu sekejap. Saat pembangunan yang memakan waktu, berbulan atau malah bertahun-tahun, musnah hanya dalam hitungan menit? Kita memang dapat merencanakan sesuatu, tetapi bukan hak kita untuk memastikan apa yang akan kita raih kelak. Bukan hak kita sama sekali.

Demikianlah saat membaca berita tentang penghancuran sebuah gedung ibadah yang sedang dibangun sekejap aku merasa terperangah. Bingung dan sedih. Juga setelah mendengar dan membaca komentar-komentar tentang peristiwa itu. Ada apakah dengan kita? Mengapa sebagian dari kita demikian dipenuhi kebencian dan dendam? Apa bukan karena hilangnya keadilan? Apa bukan karena masalah-masalah yang ada sering dibiarkan mengambang tanpa penyelesaian? Apa karena kita takut terbuka karena dapat menyakiti diri kita sendiri? Ataukah karena kita sering tak menyadari keadaan sekitar atau hanyut dalam kepentingan sepihak demi sesuap nasi hari ini? Siapa yang salah?

Esok. Masihkah kita punya harapan? Ataukah hanya dipenuhi kekhawatiran, ketakutan dan kebimbangan? Kesadaran kitalah yang dapat mengubah kondisi saat ini. Kesadaran untuk dapat bersikap adil, jujur dan terbuka. Untuk dapat menyelesaikan semua persoalan dengan terbuka dan tanpa memihak. Bahkan saat kita merasa salah, kita harus mengakui kesalahan tersebut dan tidak menyembunyikannya dengan beraneka macam alasan. Atau melipatnya dalam se gepok kekayaan yang kita miliki. Kita harus adil, adil terhadap diri sendiri, adil terhadap orang lain, adil terhadap Sang Pencipta. Sebab, lihat, demikian banyak persoalan yang terjadi dengan meng-atas namakan keadilan Tuhan, tetapi kita sendiri tak pernah berbuat adil terhadap sesama kita. Allah, Sang Pencipta, yang adalah Maha Esa.

Bukankah jika kita mempercayai dan meyakini ke-ESA-an Sang Pencipta, maka kita juga layak yakin bahwa semua insan di alam raya ini adalah ciptaan-Nya? Jadi tidakkah jika kita berbuat tidak adil terhadap alam raya ini, apalagi atas nama-Nya, berarti kita meragukan keadilan Tuhan sendiri? Kita yang sering menghukum orang atas nama-Nya, apalagi orang-orang yang sama sekali asing bagi kita, bukankah hanya mencederai hakekat keesaan-Nya? Sebab semua diciptakan oleh Allah yang sama. Semua akan diadili oleh Tuhan yang sama. Dan kita, insan ciptaan-Nya, tak punya hak untuk bertindak sebagai Sang Pencipta, apalagi bertindak seakan-akan kitalah sang penguasa yang harus menentukan benar salahnya seseorang. Sebagai ciptaan, kita semua berhak untuk hidup dan memuliakan nama-Nya. Dan apa pun yang kita lakukan, benar atau salah, biarlah Dia yang kelak mengadili kita. Dia Sang Maha Adil.

Esok. Mampukah kita mengubah diri kita sendiri? Mampukah kita menundukkan hasrat dan ambisi kita sendiri? Mampukah kita menerima kenyataan yang lain dari apa yang kita pikirkan? Mampukah kita percaya bahwa bukan hanya kita yang memiliki kebenaran itu? Mampukah kita saling memberi jalan, memberi ruang gerak, memberi kesempatan bagi orang lain yang berbeda dengan kita? Mampukah kita berbuat adil? Jujur dan terbuka? Serta mau menerima kesalahan-kesalahan kita dan menerima kesalahan-kesalahan sesama kita? Tetapi lebih dari itu, mampukah kita merasa tidak benar sendiri? Mampukah kita meyakini bahwa kita bukan satu-satunya pihak yang puhak untuk hidup di dunia ciptaan-Nya yang indah ini? Jika itu bisa kita lakukan, percayalah, bahwa ahri esok yang indah akan songsong bersama. Dengan kedamaian. Dengan ketentraman. Tuhan menyertai orang-orang yang saling menyayangi walau berbeda satu sama lain. Sebab Dia hanya Satu. Dia Esa.

Tonny Sutedja

17 Desember 2009

AKU INGIN BERTUTUR PADAMU

Aku ingin bertutur padamu

Dengan suara gerimis fajar

Aku ingin bertutur tentang

Lembut angin membelai pipi

Aku ingin bertutur dari

Lubuk terdalam hatiku sepi


 

Bukankah angin membawa gerimis

Dengan hening ke dalam mimpimu

Bukankah gerimis membawa rindu

Untuk menyegarkan kering jiwamu


 

Aku ingin bertutur padamu

Walau kata mendadak bisu

Aku ingin bertutur tentang

Suka yang membalut duka

Aku ingin bertutur dari

hati yang meminta harap


 

Terbang melayang jauh tinggi

Serpihan lara yang berlalu

Menembus jauh ke ujung langit

Setelah merayap dasar sepi


 

Aku ingin bertutur padamu

Lewat gerimis sahabat kita

Aku ingin bertutur tentang

Kemilau bintang balik mendung

Aku ingin bertutur dari

Balik bayang malam sirna


 

Lewatlah bayang-bayang

Lewat menembus kelam

Datanglah cahaya fajar

Datang membuai alam

Gerimis

Gerimis

Mengusir jiwa gersang

Perlahan menyuburkan

Bumi yang kelu


 

Dan langkah-langkah kita

Dan langkah-langkah kita

Berderap di keheningan

Sepi namun rindu

Sepi namun rindu


 

Tonny Sutedja

16 Desember 2009

HUKUM

Lampu pengatur lalu lintas telah berubah, dari kuning ke merah. Namun, dua buah mobil, becak dan beberapa motor masih melaju lurus ke depan, berusaha dengan cepat melintasi perempatan jalan yang ramai itu. Tetapi, tepat saat berada di pertengahan jalan, kendaraan lain di arah kiri, dengan lampu pengatur lalu lintas yang telah menyala hijau pun mulai bergerak. Menerobos dengan cepat melaju ke depan. Sejenak, terjadilah kemacetan pas di tengah perempatan jalan. Nampak pengendara mobil ber plat merah yang tadi menerobos lampu merah membuka kaca kendaraannya, dan sambil membunyikan klakson dengan suara yang memekakkan telinga, marah-marah kepada kendaran yang menghalangi jalannya. Aku menyaksikan drama di siang hari yang cukup terik itu dengan bingung. Kok, sudah melanggar, marah lagi ketika merasa terhambat. Padahal, siapakah sebenarnya yang menghambat perjalanan orang lain?

Hukum dan peraturan dibuat untuk dilanggar, kata seorang temanku. Jika demikian adanya, mengapa hukum dan peraturan harus dibuat dengan susah payah? Dan memakan biaya besar pula? Betapa kerapnya kita baca dan saksikan sendiri, ada pelanggar hukum dan aturan, yang jika kepergok, lalu melindungi dirinya di balik hukum yang sebelumnya telah dilanggarnya sendiri. Hukum telah menjadi suatu arena permainan. Dan orang-orang merasa senang jika ternyata berhasil mengelabuinya. Namun jika gagal, dia akan berlindung di baliknya. Seperti sebuah permainan, hukum dibaca bukan untuk mencari keadilan, tetapi untuk dikelabui dan untuk melindungi kepentingan diri. Dan kita hidup dalam budaya jalan raya yang tidak teratur, lalu lintas yang semerawut, yang seakan dikejar kepentingan yang amat sangat mendesak, padahal kemudian, mungkin saja kita hanya duduk-duduk sambil menikmati secangkir kopi kental di sebuah kafe yang menyenangkan.

Sambil menunggu giliran saat lampu pengatur lalu lintas bernyala hijau, aku menyaksikan pertengkaran sesaat di tengah kemacetan yang terjadi karena kendaraan saling menyilang dan tak ada yang rela untuk mengalah. Dan mobil yang telah menerobos lampu merah itu tetap berdiri tepat di tengah perempatan sambil terus menerus membunyikan klaksonnya. Terperangkap bersama sebagian kendaraan lain yang berada di jalurnya tak bisa bergerak sama sekali. Namun beberapa motor dan becak yang tadi ikut melintas bersamanya telah menghilang entah kemana. Dan tak ada seorang pun polisi lalu lintas yang nampak di siang terik ini. Akhirnya, giliran di jalurku pun kembali tiba. Lampu hijau menyala dan aku melanjutkan perjalananku bersama mobil plat merah yang tadi terperangkap karena kesalahan sendiri. Selintas aku melihat wajah sang sopir yang nampak menggerutu namun sama sekali tidak memperlihatkan kesan bersalah. Menggerutu dan merasa tidak bersalah. Ah, bagaimana kita bisa mengatur orang lain jika kita sendiri tak sanggup mengatur diri sendiri? Bagaimana kita bisa mengatakan keadilan jika kita sendiri tak adil? Bagaimana kita bisa menyuarakan kebenaran jika kita sendiri tak berbuat benar?

Hukum dan peraturan dibuat untuk dilanggar. Jika tidak ada hukum dan peraturan, maka tidak akan ada pelanggaran. Apakah memang demikian? Kita melakukan banyak hal yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi saat kita terpojok, kita selalu berlindung dibalik undang-undang itu. Jadi, untuk apakah aturan itu dibuat? Untuk dibeli, kata temanku lagi. Untuk dibayar dan diselesaikan secara kekeluargaan. Jadi bagaimana nasib mereka yang tidak mampu membeli? Mereka yang tidak berdaya membayar? Mungkin kita hanya bisa menunggu dengan sabar, menaati semua hukum dan aturan, karena sadar bahwa hukum dibuat untuk kita, untuk mereka-mereka yang tak memiliki kekuasaan-kekayaan dan kekuatan. Atau kita harus sama sekali tidak punya apa-apa, dan hanya seperti pengendara becak itu yang dengan leluasa melanggar aturan lalu lintas karena tak sesuatu pun yang dapat lagi diperas dari kita. Dengan perasaan letih dan sedih aku melanjutkan perjalananku sambil memikirkan apa yang telah terjadi saat ini. Letih dan sedih karena sadar betapa semerawutnya lalu lintas kehidupan kita. Betapa semerawutnya....

Tonny Sutedja

14 Desember 2009

HARTA DALAM HATI

Mengapakah setiap kali jika kita membayangkan kehidupan yang senang dan bahagia, kita selalu memikirkan segepok uang tunai dan harta yang berlimpah? Apakah memang, jika kita memiliki materi segudang, maka kita pasti akan merasa senang dan bahagia? Apakah memang demikian? Tetapi mengapa kita pernah mengenal orang-orang yang mempunyai harta yang berlimpah dengan masalah yang segudang pula? Dan kita pun mengenal orang-orang yang tidak memiliki banyak harta tetapi senyum kegembiraan selalu terbayang di wajahnya? Jadi, dimanakah letak perasaan senang dan bahagia itu?

Kekayaan memang tidak menjamin kebahagiaan seseorang, tetapi tanpa kekayaan kita mungkin tidak mampu berbuat apa-apa. Tetapi apakah kemampuan berbuat apa saja yang kita kehendaki lalu menjamin bahwa kita akan bahagia? Tidak, tidak begitu. Kekayaan yang terbesar sesungguhnya telah kita miliki. Harta dalam hati. Hati yang gembira dan bahagia merupakan satu-satunya harta yang peling bernilai yang mampu dimiliki oleh manusia. Tak peduli berapa banyak atau bahkan tak ada sama sekali sesuatu barang berharga yang kita miliki, selama kita sanggup untuk tersenyum dan tertawa gembira, kita telah memiliki hidup ini. Kitalah pemilik kehidupan.

Terkadang, kita merasakan betapa segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Sebagaimana yang kita dambakan. Kita merasa mampu, tetapi tidak punya kesanggupan untuk meraih apa yang kita ingin capai. Mengapa? Apakah rencana Sang Pencipta bagi kita? Mengapa segala sesuatu nampak kacau dan tak mampu tertata dengan baik dalam hidup ini? Apa yang diharapkan-NYA bagi kita? Apakah keberadaan kita hanya suatu kesia-siaan? Dan kehadiran kita hanya suatu kesalahan? Mengapa kita tak penah merasa bahagia? Mengapa kita selalu merasa gagal dan gagal? Mengapa kita selalu merasa kecewa dan dikecewakan? Mengapa kita tak lagi mampu untuk berbuat sesuatu? Mengapa?

Tetapi, bahkan saat kita tak punya sesuatu pun yang dapat kita banggakan, kita tetap memiliki satu harta yang tak mungkin lenyap, tak mungkin dicuri dari kita. Harta dalam hati. Kita memiliki kemampuan untuk merasakan, memikirkan dan menikmati hidup ini. Sesederhana dan seminim apa pun yang kita miliki. Kita memiliki hidup yang berharga untuk dijalani. Untuk dinikmati. Untuk ditempuh. Setiap saat kita bisa tersenyum, setiap saat kita mampu tertawa riang, saat itu pun dunia akan tertawa bahagia bersama kita. Apa yang perlu kita sadari hanyalah bahwa, kita memang tak harus berhasil menggapai segala keinginan, hasrat dan ambisi kita. Tak harus. Tetapi pikiran kita, hati kita, bisa tetap riang jika kita mensyukuri keberadaan kita di dunia ini. Mensyukuri hidup kita sendiri.

Maka segala kekayaan duniawi, segala ambisi dan hasrat manusiawi, hanya menjadi semangat pendorong untuk mencapai harapan kita. Sebagai pendorong, tetapi bukan sebagai satu-satunya hal yang harus kita miliki agar kita bisa bahagia. Tidak. Hidup hanya sederhana. Sadarilah harta terbesar dan satu-satunya yang kita punyai. Kebahagiaan tidak terletak pada apa yang telah kita miliki, tidak pada pada apa yang telah berhasil kita raih, tetapi kebahagiaan kita ada pada kesadaran bahwa kitalah pemilik kehidupan ini, pemilik yang mampu menguasai kebahagiaan kita sendiri. Jika tak memiliki apa-apa dan tak mampu berbuat apa-apa, setidaknya kita tetap memiliki hidup ini. Jika kita merasa kecewa dan tak bisa meraih segala impian kita, bagaimana pun kita masih punya waktu. Kehidupan ini, ada dalam jiwa kita. Ada dalam perasaan kita. Ada dalam cara bagaimana kita memikirkan apa yang kita sedang alami. Hidup bukan untuk dikeluhkan, tetapi untuk dinikmati. Harta yang paling utama ada dalam hati kita: kemampuan untuk menyadari bahwa kita adalah pemilik kehidupan kita sendiri.

Memang, hidup senantiasa ada dibawah bayang-bayang hasrat, ambisi, keinginan dan nafsu kita pada kekuasaan-kekuatan-kekayaan. Tetapi hidup bukanlah kekuasaan-kekuatan-kekayaan secara materi duniawi. Hidup kita ada dalam hati kita. Ada dalam cara kita berpikir mengenai makna keberadaan kita pada kenyataan duniawi. Sebab itu, semuanya itu semestinya dapat kita sesuaikan dengan kenyamanan dan kebahagiaan dalam hidup yang sedang kita jalani ini. Maka harta kita yang terutama, bukan pada apa yang kita miliki tetapi pada apa yang kita pikirkan, pada apa yang mau kita rasakan. Penderitaan, kekecewaan dan sakit hati terjadi karena kita sendiri yang mau merasakan, dan bukan sebab dia harus ada. Carilah harta dalam hatimu, dan pergunakanlah dengan semangat kegembiraan yang tulus. Tanpa mengharapkan imbal jasa. Tanpa menghasratkan balasan yang sesuai dengan keinginan kita. Harta kita ada dalam hati kita sendiri...

Tonny Sutedja

13 Desember 2009

SEMUA ADA WAKTUNYA

Semua ada waktunya. Semua ada saatnya. Mungkin besok. Atau beberapa hari kemudian. Atau minggu depan. Atau bulan depan. Tak seorang pun bisa tahu kapan. Kita harus menunggu. Tetapi semua ada masanya. Yang kita perlukan hanya semangat. Dan kesabaran. Semangat dan kesabaran. Agar jika kesempatan tiba, kita dapat meraihnya dengan sukacita. Dengan penuh rasa syukur. Seharusnya demikianlah hidup ini kita jalani. Demikianlah kesulitan ini harus kita lalui. Dengan menempuh waktu yang sering terasa tanpa ujung. Namun percayalah, penantian kita takkan abadi. Penantian kita akan berbuah manis. Pada saatnya kelak. Pada akhirnya kelak.

Siang menjelang petang. Lelaki muda itu berdiri termanggu di lantai lima Mall megah itu. Dia memandang ke bawah, ke lalu lalang manusia yang lewat seakan tak pernah letih. Manusia-manusia yang penuh kesibukan, walau dia sendiri tak tahu apa yang mereka sedang kerjakan. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Dan hatinya berselimutkan kesedihan. Dia merasa tak berdaya. Dia merasa tak berguna. Hampa dan putus asa. Semangatnya telah sirna dalam gelapnya masa depan yang tak dikenalnya sama sekali. "Aku tak punya harapan lagi.." bisiknya dalam hati. "Aku tak diberi kesempatan untuk hidup. Untuk berbuat sesuatu sesuai dengan bakatku..." Dia mengenang seorang gadis manis yang lincah, kekasih hatinya, yang telah meninggalkannya. Dia mengingat segala lamaran kerja yang telah dikirimkannya tetapi ternyata sebagian besar telah dikembalikan setelah disisipi selembar ucapan terima kasih atas perhatiannya dan menyusul penolakan halus.

"Ah, aku ini manusia tanpa daya. Aku ini orang yang tak diperlukan dan tak berguna sama sekali...." bisik hatinya pilu. "Apa lagi yang harus kulakukan? Tak ada. Tak ada lagi alasan bagiku untuk hidup. Tak ada lagi kesempatanku untuk berbuat sesuatu bagi keluargaku, bagi kekasihku, bagi masyarakat, bagi dunia ini. Aku ini manusia yang tergusur. Dan semua telah melupakan aku..." Hatinya pedih, amat pedih. Kekecewaan dan rasa putus asa telah menutupi segala kemampuannya untuk menyalakan secercah harapan. Semangatnya telah padam. Dia mengatup kedua matanya. Jemarinya menggenggam pagar tangga Mall dengan erat. Dia menarik nafas panjang. Dan didorongnya tubuhnya ke bawah dengan keras. Melepaskan pegangan tangannya dan membiarkan tubuhnya melayang, melayang ke bawah, lalu menghempas ke bumi setelah sekejap melentik dengan keras ke atas sekali. Sejenak, dia pun diterpa rasa sakit yang menusuk pada dadanya. Paru-parunya seakan meledak, dan mati rasa menyergap kedua kakinya.

Ada teriakan manusia. Teriakan histeris dan penuh rasa kaget. Ada banyak wajah yang mengerumuninya. Wajah-wajah yang asing. Ada tangan-tangan yang menyentuh tubuhnya dengan sangat lembut. Dia merasakan letupan-letupan nyeri yang timbul tenggelam di sekujur tubuhnya. Dia merintih kesakitan. Tetapi pikirannya tetap sadar di tengah segala hiruk pikuk lantai dasar Mall itu. Lalu pakaiannya mulai terasa basah. Basah oleh darahnya sendiri yang menyembur dari luka di dadanya. Luka akibat tulang rusuk yang patah dan melenting keluar menembus kulitnya. Kemudian samar-samar dia merasa tubuhnya diangkat ke atas tandu dan dibawa ke sebuah mobil ambulans. Lalu suatu kegelapan menyelubungi kesadarannya. Dia pingsan.

Beberapa saat kemudian, dia tersentak sadar saat merasakan suatu tikaman nyeri menembus dalam paru-parunya. Dia mengaduh kesakitan. Lalu, samar-samar dia mengenal satu suara yang memanggili namanya. Suara yang terasa amat jauh, namun amat akrab di telinganya. Suara yang rasanya amat dikenalnya, tetapi anehnya, dia tak bisa mengingatnya kembali sekarang. Suara siapakah? Adakah itu suara dari seseorang yang pernah mencintainya? Adalah itu suara dari seseorang yang dekat padanya, tetapi telah lama dilupakannya. Adakah itu suara dari seseorang yang menyayanginya, tetapi tak pernah disadarinya? Bahwa saat dia tenggelam dalam duka lara, dan dengan pikiran yang tak mampu lagi dikendalikannya, ternyata ada orang-orang yang masih mengharapkannya tetapi tak pernah dia kenali? "Ah, ibu... ibuku......"

Wanita tua itu memeluk tubuh anaknya dan berteriak histeris. Tubuhnya yang kurus nampak semakin ringkih tak berdaya. Suaranya tersendat-sendat, keluar dari antara isak tangisnya. "Anakku, anakku... mengapa kau lakukan itu? Mengapa? Tak tahukah engkau? Ya, tak tahukah engkau, bahwa hanya beberapa saat lalu, kau telah menerima surat panggilan kerja, anakku. Surat panggilan untuk bekerja. Ya, mengapa kau harus melakukan hal ini, nak? Bagaimana dengan ibumu sekarang? Bagaimana dengan aku, nak. Lihatlah, aku tua tetapi aku masih tegar merawatmu, menjagamu dan tetap siap untuk menghidupimu. Mengapa ini semua harus terjadi justru pada saat seharusnya kau bisa bergembira karena telah diterima untuk bekerja? Mengapa, nak ......"

Lelaki muda itu mendadak tersentak. "Aku diterima kerja? Aku punya pekerjaan? Ah, penantianku tidak sia-sia ternyata. Tetapi ah, sudah terlambat sekarang. Sudah terlambat......" Dia merasakan suatu tikaman nyeri di dalam jantungnya. Tikaman nyeri penyesalan yang sekarang sudah tak berguna sama sekali. Tak berguna sama sekali. Bagaikan hantaman godam, dia tiba-tiba merasakan suatu beban yang berat luar biasa di dadanya. Dengan susah payah dia mencoba untuk menghirup udara, tetapi rasa nyeri membuat dia tersentak. Tangannya mencengkeram keras tiang ranjang di ruang ICU itu. Lalu gelap pun tiba. Gelap pun tiba. Lelaki muda itu pun berlalu......

Semua ada waktunya. Semua ada masanya. Yang kita butuhkan hanyalah menunggu. Menunggu dengan sabar. Tanpa kehilangan semangat. Karena kita memiliki harapan. Kita tetap memiliki harapan. Jangan menyerah. Jangan pernah menyerah, kawanku...

Tonny Sutedja

12 Desember 2009

NATAL DI MALL

Silent night. Holy night

All is calm. All is bright


 

Lagu-lagu natal bersenandung indah di tengah keriuhan lalu lalang manusia. Dan para penjaga dan pramuniaga toko nampak berjejer dengan apik sambil mengenakan pakaian santa klaus. Merah dan putih mendominasi ruang-ruang toko yang gemerlap dengan aneka macam perhiasan yang melambangkan natal dan tahun baru. Udara sejuk berhembus memenuhi ruang raksasa ini dari pendingin udara. Aku berdiri menyaksikan semua itu dari tepian void lantai tiga sebuah mall, bebas dari pergerakan kerumunan manusia yang terus mengalir, berputar-putar tanpa arah. Natal telah tiba. Sebuah pohon cemara raksasa nampak menjulang tinggi di lantai dasar Mall ini, hijau berselimut putih dari kapas yang dibuat melingkar dengan aneka cahaya yang kerlap kerlip mengelilinginya. Di puncaknya, sebuah bentuk bintang besar, berwarna kuning bersinar cemerlang. Tinggi sendirian.

Lagu natal. Pohon terang. Keramaian. Aku melihat sekelompok gadis-gadis berdiri di depan pohon cemara raksasa itu, sambil menengadah menatap dengan takjub. Seorang nampak berbicara kepada teman-temannya. Entah apa. Dan mereka tertawa riang. Kegembiraan. Ketakjuban. Ruang yang lapang dan terang benderang. Toko-toko yang menjajakan aneka jenis barang untuk aneka jenis kebutuhan, baik diperlukan atau pun tidak. Dan di depan etalase sebuah toko yang menjual permainan anak, seorang gadis cilik berpakaian sederhana, nampak terbelalak melihat sebuah boneka barbie seukuran tubuhnya sendiri, boneka yang menawan dengan pakaian yang amat indah. Tangan gadis cilik itu kulihat mengelus kaca etalase seakan ingin menyentuh boneka itu. Tetapi ada batas yang tak mampu diraihnya. Ada batas antara dia dan boneka barbie yang indah itu. Dan lagu-lagu natal terus mengalun. Lembut di tengah keriuhan bagaikan membawa mimpi ke tengah kenyataan hidup. Mimpi di tengah kenyataan.

Tiba-tiba aku teringat sebuah dongeng indah dari Hans Christian Andersen, Gadis Penjaja Korek Api. Seorang gadis yang menjajakan korek apinya di tengah suasana natal, di tengah udara dingin membekukan dengan salju yang melayang indah bagaikan kapas. Di tengah dunia yang hening dan terasa damai, gadis itu meringkuk di sudut sendirian dan kesepian. Saat orang-orang bergembira bersama sanak keluarganya, dia terkucil tanpa teman. Dia menyalakan dan menghabiskan satu per satu korek api dagangannya untuk mengusir gigilan tubuhnya. Untuk bisa bertahan hidup. Sambil menikmati impian yang indah. Sambil terus berharap. Hingga akhir tiba. Hingga akhir tiba. Ah, tidakkah banyak di antara kita yang sedang dan masih senasib dengan gadis cilik itu? Di sini, di mall yang megah dan cemerlang ini, di mall yang terasa sejuk dan mewah ini, hidup terasa bagaikan mimpi, yang dekat namun tak teraih. Bagaikan gadis cilik yang memandang dengan takjub boneka barbie itu, namun tak bisa dielusnya. Tak mampu diraihnya.

Natal telah tiba. Tetapi dimanakah kesunyiannya? Dimanakah kekudusannya? Dimanakah keheningannya? Dimanakah kecemerlangannya? Di mall yang indah dan mewah ini, aku menyaksikan manusia datang dan pergi, lewat memintas waktu, tak menghiraukan dan tak dihiraukan. Semua sibuk, bergegas dengan tujuan masing-masing. Tujuan yang sering tak punya kepastian. Tanpa ujung. Dan hidup yang tenggelam dalam keramaian adalah hidup yang sepi. Namun tidak hening. Manusia yang terkucil dalam keramaian. Manusia yang tak tahu entah kemana. Tak tahu untuk apa hidup ini. Semua mengalir lepas begitu saja. Namun tak kemana-mana. Dan gadis cilik di depan etalase toko dengan boneka barbie yang terpajang di balik kaca tebal itu menatap dengan penuh kerinduan, berharap tetapi sadar bahwa ada yang tak bisa diraihnya. Ada yang tak mampu diraihnya. Hidup sekedar hanya mimpi indah seorang gadis penjaja korek api yang mengurbankan dagangannya sekedar untuk mencoba bertahan. Sekedar untuk bisa menikmati impian indahnya, saat satu per satu korek apinya dinyalakan. Hingga habis. Hingga tuntas.

Aku menyaksikan manusia yang terus menerus mengalir di dalam mall terbesar di kotaku. Aku melihat lautan wajah-wajah asing yang lalu lalang di depanku. Aku menyaksikan para pembeli yang sedang tawar menawar dengan pramuniaga dan pegawai toko. Aku memikirkan kehidupan yang ada pada mereka. Dan aku ingin mengetahui apa yang sedang mereka pikirkan saat itu. Adakah natal di hati mereka? Adakah kerinduan akan kelahiran Sang Penebus sempat teringat oleh mereka? Ataukah hanya keinginan untuk membeli sesuatu demi untuk menikmati sebuah hari dimana kita bebas dari pekerjaan rutin kita dan menikmati pesta dan acara yang mengagumkan namun tak bermakna? Dan sama seperti hari-hari pesta lain, akan diisi dengan perayaan dan pesta pora belaka? Ah, tiba-tiba aku teringat pada gadis penjaja korek api itu, gadis yang tubuhnya meringkuk tak berdaya di tengah kemilau keindahan salju yang melayang bagaikan kapas. Bagaikan kapas.....

Tonny Sutedja

11 Desember 2009

MASALAH DAN KEAJAIBAN

"Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan." (Mat 7: 7-8)

Masalah selalu ada dalam hidup ini. Dan bukankah masalah itulah yang mebuat hidup kita tidak hambar dan membosankan? Masalah yang membuat koran, majalah, tabloid, televisi, radio serta dunia maya di internet menjadi laris dan ribuan orang mampu menghidupi diri dan keluarganya dengan masalah-masalah itu. Tak seorang pun mampu mengelak dari masalah yang datang setiap hari. Tak seorang pun akan luput darinya, sekuat dan semampu apapun dia.

Maka, jika saat ini kita sedang mengalami masalah, janganlah takut. Dan jangan pula menunggu keajaiban terjadi, menunggu dan berharap semoga masalah itu dapat mendadak lenyap. Hidup ini bukan dongeng. Hidup ini adalah sebuah kenyataan yang pasti. Kenyataan yang kita alami. Sendiri. Seorang diri. Dan sadarilah, betapa seringnya masalah itu kelak akan membuat kita menjadi kuat dan berhasil. Sebab, dengan masalah itulah kita bisa menciptakan terobosan yang mengagumkan dalam hidup kita.

Kelemahan kita, ketak-berdayaan kita, kemiskinan kita, bukanlah suatu hal yang harus disesalkan. Tetapi jadikanlah itu sebagai suatu tantangan untuk diterobos, dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya. Jangan merasa tak sanggup sebelum kita berupaya untuk menggapai harapan-harapan kita. Sebelum kita berupaya, jangan pernah menyerah. Mintalah, carilah dan ketoklah semua kesempatan yang dapat kita pilih. Dan bertanggung-jawablah atas pilihan yang telah kita putuskan. Jangan putus semangat. Dan jangan putus asa. Hidup memang bukan dongeng. Hidup adalah kenyataan yang harus dihadapi. Harus dihadapi.

Bahkan jika pilihan kita ternyata salah, jika keputusan kita ternyata gagal, jangan lalu putus asa. Selama kita masih hidup, kita tetap memiliki kesempatan lain yang terbuka. Ada saatnya kita jangan memikirkan apa yang kita tidak miliki, tetapi pergunakanlah apa yang telah kita miliki. Dan jika kita merasa tak memiliki apa-apa, siapakah yang sungguh-sungguh tidak memiliki apa-apa? Paling tidak, kita memiliki diri kita, semangat kita, tenaga kita. Pergunakanlah apa yang kita punyai. Yang kita miliki.

Dan jika kita merasa kehilangan harapan, jika kita merasa tak sanggup lagi untuk menghadapi persoalan yang demikian menghimpit diri, kenistaan yang demikian memalukan hati, keterpencilan yang demikian menikam jiwa, mintalah kepada-Nya, berharaplah kepada-Nya dan percayalah kepada-Nya. Dan Dia akan hadir dalam diri sesama kita, dalam diri orang-orang yang mungkin kita lupakan. Carilah dan ketoklah hati mereka. Berusahalah, berjuanglah, maka kelak kita akan menemukan keajaiban. Bukan keajaiban yang mendadak seperti yang kita angankan, tetapi keajaiban setelah perjuangan panjang kita. Saat itu, kita akan merasa lega. Merasa puas dan bahagia. Karena Dia telah mengatakan pada kita, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan." (Mat 11: 28 – 30)

Percayalah kepada-Nya. Percayalah juga kepada diri kita. Hidup ini memang penuh masalah, tetapi itulah yang mengasyikkan dari kehidupan ini. Tanpa masalah, kita pun hidup tanpa kemungkinan untuk berhasil, tanpa keinginan untuk maju, tanpa kesempatan untuk meraih kebahagiaan kita. Maka berdirilah, jangan takut. Jangan gentar. Hadapilah hidupmu. Berjuanglah selalu. Bangkitlah dan pergilah meminta, mencari dan mengetok dunia. Maka dunia akan mempersembahkan kepadamu, kemurahan-Nya sendiri. Kemurah-hatian dari Sang Pencipta semesta....

Tonny Sutedja

10 Desember 2009

RETAK

"Saya tidak mengerti" katanya kepadaku. "Pernikahan kami sudah memasuki tahun yang ke empat dan seharusnya kami sudah saling mengenal satu sama lain. Tetapi, dalam setiap masalah, bahkan yang paling tak berarti pun, dia selalu melaporkannya kepada ibunya. Dan keluarganya pun selalu mau ikut campur dalam urusan kami. Ya, keluarganya selalu mengintervensi permasalahan kami yang terkadang hanya karena sesuatu yang sederhana dan seharusnya dapat kami selesaikan berdua saja, bisa menjadi tak terkontrol dan membesar. Itu yang membuat saya jengkel. Saya capek dan muak dengan semua itu...". Matanya nampak berkaca-kaca. Wajahnya yang gemuk, dan biasanya selalu menampilkan senyum dengan banyak seloroh ringan, kini nampak serius dan tegang.

Dia, temanku, seorang pria yang berusia 37 tahun. Percakapan ini kami lakukan di sebuah resto kecil dan sepi. Baru saja beberapa hari lalu dia "menghilang" sehingga sempat merepotkan keluarga dan bahkan teman-temannya, yang harus pontang panting mencari keberadaannya. Ternyata dia 'menyepi' di sebuah hotel untuk menenangkan diri setelah satu pertengkaran sengit dengan istri dan keluarga istrinya. Keluarga yang nampak dari luar seakan harmonis dan tidak memiliki persoalan. Mereka memiliki tiga orang anak yang sungguh manis dan cerdas. Dan tak seorang pun yang menduga bahwa ada 'ketegangan' yang terjadi di antara mereka.

Aku kenal mereka cukup lama. Saat-saat pacaran mereka cukup panjang dan penuh keriangan, karena sifat temanku ini yang periang. Aku memandang dia dan merenungkan, betapa ada hal-hal yang tak sepenuhnya bisa dipahami dalam kehidupan bersama. Saat-saat indah dimana hanya ada aku dan kau, ternyata melupakan kami dan kamu. Seorang individu tidak hadir sendirian. Dan sebuah keluarga diciptakan untuk menjadi kita, bukan hanya dari aku dan kau tetapi juga dan semestinya dari kami dan kamu. Dan jika ternyata kita hanya tahu tentang kau dan gagal mengenal kamu, akan terjadi banyak kejutan saat menjadi kita kelak.

Dapatkah kita mengenali sosok-sosok yang membentuk kepribadian seseorang? Mampukah kita untuk memahami, tidak hanya sifat pasangan kita, tetapi juga sifat keluarga pasangan kita? Saat-saat pacaran yang indah hanya mampu kita kenali hingga di ruang tamunya, dan kita takkan pernah tahu apa yang terjadi di balik kamar keluarganya. Dan ketika sebuah keluarga dibentuk, kita tidak hanya menerima dia sebagai pasangan hidup kita, tetapi juga mereka yang berada bersama dia. Dan dalam pengalamanku, ada banyak masalah, bahkan sebagian besar masalah, yang terjadi bukan karena sifat dan kepribadian pasangan yang telah saling memahami, tetapi karena adanya perbedaan sifat, tradisi dan kebiasaan keluarga yang melingkupinya. Dan itulah resiko sebuah pernikahan.

"Aku sadar bahwa kebiasaan mereka untuk saling membantu sangat luar biasa. Terkadang kami mengalami masalah finansial, dan keluarganya dengan sukarela dan tanpa pamrih selalu siap membantu. Tetapi haruskah soal-soal pribadi antara kami juga direcoki? Haruskah sampai masalah makanan dan dapur, bahkan kamar tidur kami juga diatur? Haruskah itu? Aku tak bisa menerimanya, ya jujur saja, tetapi aku pun tak mampu untuk menolaknya. Keluarganya sungguh baik dalam hal-hal tertentu, tetapi juga, menurutku, sungguh buruk untuk hal-hal lainnya. Aku capek. Aku memang capek... Tetapi apa yang harus kulakukan? Coba, apa yang harus kulakukan..." katanya dengan penuh rasa frustrasi dan kekesalan.

Aku melihat ke wajahnya yang lesu tanpa tahu harus menjawab apa. Apa yang dialaminya sekarang adalah sebuah tantangan sulit bagi kehidupan kebersamaan mereka, suami dan istri. Dan tidakkah istrinya juga harus menyadari tantangan itu? Menyadari bahwa ada sesuatu yang selayaknya menjadi rahasia mereka sendiri, dan tidak perlu dibuat melebar ke seluruh keluarga besar mereka. Tetapi aku sadar juga betapa sulitnya dia untuk melakukan hal itu, sebab sudah menjadi sifat istrinya yang amat dekat dengan ibunya untuk meluapkan isi hati kepada sang ibu. Dengan demikian, persoalan terjadi sebenarnya karena ada kesulitan komunikasi antara mereka. Dia telah gagal untuk membuat dirinya menjadi tempat curahan hati istrinya sendiri sehingga istrinya harus meluapkan perasaannya kepada orang yang dia rasa paling dekat kepadanya, ibunya sendiri.

Dan memang, banyak perkawinan retak hanya karena ketak-mampuan kita untuk menerima orang-orang lain di lingkungan pasangan kita. Kebersamaan dalam perkawinan memang bukan hanya ikatan dua individu yang bersatu menjadi keluarga kecil, tetapi juga dan terutama ikatan dua keluarga yang berbeda untuk saling terkait, saling menerima dan saling memahami. Jika itu tidak terjadi, jika itu gagal dipahami, terjadilah krisis. Aku tak mampu menjawab pertanyaan temanku ini. Aku hanya berharap bahwa dia, dan juga istrinya, mampu untuk menghadapi guncangan tersebut secara bersama-sama. Secara bersama-sama.

Tonny Sutedja

09 Desember 2009

AKIBAT KERUSUHAN

"Hancur! Semua hancur...." bisik lelaki paruh baya itu. Dengan sedih dia memandang ke tempat usahanya yang porak poranda akibat kerusuhan yang terjadi beberapa saat lalu. Beberapa laptop yang dipajangnya lenyap tanpa bekas. Pecahan kaca berserakan dimana-mana. Empat orang pegawainya nampak tertuduk lesu di sudut stand yang berukuran 4 X 6 meter itu. Kebingungan dan nampak tak berdaya. "Siapa yang harus menanggung semua ini? Siapa? Mengapa para perusuh itu tak mau tahu kesusahan orang lain? Modal yang terkumpul dengan susah payah, dan kredit yang telah kuambil dari suatu Bank, bagaimana aku harus mencari gantinya? Hanya dalam waktu sekejap semuanya lenyap tak berbekas. Tak berbekas. Apalagi yang harus kulakukan? Bagaimana lagi aku harus membayar gaji para pegawaiku? Mengapa para perusuh itu hanya memikirkan kepentingan diri mereka saja? Ya, sekarang hancurlah semua...."

Di lorong yang panjang dalam Mall ini, banyak orang yang lalu lalang tanpa tahu harus melakukan apa. Semua nampak bingung. Sebagian nampak frustrasi dan trauma atas peristiwa itu. Di suatu stand lain, seorang bapak tua duduk termenung. Matanya memandang ke etalase yang kini telah kosong dan tak berpelindung kaca lagi. Serakan kaca nampak berhamburan di lantai. Aku merasakan bahwa, walau matanya menatap ke arah etalase yang hancur itu, pikirannya melayang entah kemana. Dan para pegawai, dan para pekerja yang menggantungkan hidupnya, hidup anak-anaknya, hidup keluarganya pada kegiatan usaha itu nampak berkumpul dengan diam. Dan untuk pertama kalinya aku merasakan, betapa kesunyian bisa muncul di tengah banyak orang. Di antara banyak orang.

Pernahkah kita merasa peduli pada kesusahan orang lain? Bisakah kita merasa prihatin dengan kehidupan orang lain? Ataukah kita hanya, dan selalu hanya, merasa bahwa kesusahan dan keperihan kitalah yang terasa berat, jauh lebih berat dari kesulitan orang lain? Bahwa kita ini sudah menderita, karena itu kita layak juga untuk membuat orang lain menderita? Bahwa kita ini adalah kurban dan sebab itu kita layak untuk mengurbankan orang lain? Apa yang kita alami, apa yang kita rasakan, memang akan selalu terasa jauh lebih menikam hidup kita, tetapi toh, kita tak bisa berpikir bahwa kita dan hanya kitalah yang mengalami kesulitan dan kepahitan hidup. Bahwa hanya kitalah yang paling menderita di dunia ini, karena itu kita pantas untuk berbuat apa saja demi membilas sakit hati kita. Tidak, bahkan jika pun kita memang merasakan derita yang amat sangat, percayalah bahwa mungkin saja ada orang lebih menderita, jauh lebih menderita dari kita. Hanya mereka berdiam diri. Dan jika kita hanya memusatkan perasaan pada diri kita, kita takkan pernah bisa merasakan derita orang lain. Takkan pernah....

Pecahan beling. Sobekan kain. Hancuran metal. Semua nampak berserakan di depanku. Dan jika kita mampu untuk turut merasakan kesedihan yang mengambang di jejeran stand dalam Mall ini, kita akan menemukan harapan-harapan yang sirna. Rencana-rencana yang mungkin tak akan terlaksana. Bahkan tangis anak-anak yang kelaparan. Perut-perut yang keroncongan. Biaya pendidikan yang tak terbayar. Hidup yang mandek dan bahkan mundur ke belakang. Mengapa kita tak pernah bisa peduli pada penderitaan orang lain? Mengapa kita tega untuk menjadikan orang lain sebagai kurban baru karena kita sendiri merasa telah dikurbankan? Mengapa? Marilah kita merenungkannya dengan hati yang terbuka. Dengan jiwa yang lapang. Dan temukanlah derita kita, kesengsaraan kita, keterpencilan kita, kehampaan kita pada diri sesama yang nampak seakan-akan memiliki sesuatu yang jauh lebih daripada kita. Dan jika kita gagal menemukan kesengsaraan kita pada diri sesama kita, maka nyata pula bahwa kita takkan berhasil untuk mengenal kehidupan ini. Kita gagal untuk hidup. Gagal....

Tonny Sutedja

BEBAN

Manusia mungkin dikalahkan, tetapi tak pernah terkalahkan. Tubuh bisa dihancurkan, tetapi jiwa tak akan terhancurkan. Maka ketakutan dan kekhawatirannya, kebimbangan dan keterkucilannya, hanya sesaat dalam waktu yang nyata. Lalu kemudian akan sirna ke dalam keabadian. Namun, siapakah yang dapat menahan imajinasi manusia? Siapa yang mampu melarang apa yang bisa dan apa yang tak bisa untuk dipikirkan manusia? Seringkali, beban berat itu bukan karena harus melaksanakan aturan yang ditetapkan baginya, tetapi justru karena aturan itu sedemikian mudah dilanggar dan dianggap nihil sama sekali. Manusia mungkin dikalahkan, tetapi tak pernah, takkan pernah terkalahkan.

Demikianlah kita berjalan mengikuti sang waktu, kita berjalan bersama sang waktu, kita berjalan tanpa menyadari sang waktu, karena kita berjalan dengan beban pemikiran kita sendiri. Sebab, kita menerima kenyataan yang ada dengan kesadaran tentang waktu yang samasekali terlupakan selama kita menikmati kesibukan sehari-hari kita. Dan bukankah kita harus mengakui kebenaran, betapa seringnya kita harus mengatakan, bahwa kita tak punya waktu? Bahwa apa yang kita alami, apa yang kita hadapi, apa yang kita nikmati saat ini, bukanlah kita dalam waktu yang nyata, melainkan kita yang hidup dalam bayang-bayang ketak-sadaran, kealpaan dan ilusi tentang waktu yang tak nampak. Padahal kita semakin menua. Kita kian menua....

Lalu siapakah kita jika bukan kita yang bergerak dalam sejarah perjalanan waktu yang demikian tak terbatas ini? Siapakah kita jika bukan kita yang mengisi sepenggal demi sepenggal waktu yang demikian panjang dari awal keberadaan kehidupan hingga ke ujung yang tak teraih oleh pemikiran kita? Obsesi-obsesi kita, Ketakutan dan keraguan kita, kekecewaan dan keputus-asaan kita, kemungkinan-kemungkinan kondisi kita, keberadaan relatip kita, kelak, kemanakah semua itu akan berlabuh? Mengapa kadang kita begitu nekad, bahkan sering dengan perasaan sukarela dan tanpa pamrih, untuk mengorbankan kesempatan kita hanya demi untuk menyalakan api semangat yang kita anggap benar?

Benar? Apakah kebenaran itu? Sanggupkah kita memastikan suatu kebenaran? Yakinkah kita terhadap kebenaran itu? Kita, ya kita sendiri, diluar dari apa yang dianggap sebagai kebenaran oleh opini umum. Senyatanya, setiap kebenaran selalu mengandung keraguan dan ketidak-pastian. Dan siapa pun yang pernah menganggap kebenaran yang dimilikinya sebagai kebenaran mutlak, suatu saat kelak mungkin akan kecewa. Mungkin akan kecewa. Sebab kenyataan yang mendatanginya tidak sebagaimana kebenaran yang dibayangkannya. Sebab, antara pikiran dan tindakan, antara perasaan dan perbuatan, antara teori dan bukti nyata, seringkali terbentang jurang yang lebar. Jurang yang teramat lebar. Dan tak terseberangi.

Manusia memang bisa dikalahkan, tetapi tetap tak terkalahkan. Tubuh fisik kita mungkin dihancurkan, tetapi siapa yang bisa menentukan apa yang harus kita pikirkan, apa yang mesti kita impikan, apa yang harus kita imajinasikan? Siapa, selain kita sendiri? Keberadaan kita, dunia kita, hidup kita, berpusat pada apa yang kita pikirkan. Pada apa yang kita inginkan. Dan selama kita menghadapi hidup dengan menerima apa yang kita miliki, dan memanfaatkan apa yang kita punyai, serta melakukan apa yang kita sanggupi, kita tahu, bahwa kita tak terkalahkan. Takkan terkalahkan.

Maka pilihlah kemungkinan yang ada. Berjuanglah dengan jalanmu. Tetapi jangan menutup hati dengan pemikiran orang lain. Sebab manusia tak bisa dikalahkan hanya dengan pemaksaan dan kekerasan. Dan kami, kamu, mereka, kita semuanya adalah manusia yang sama dan memiliki kemungkinan-kemungkinan yang sama pula. Di atas semuanya, Sang Pencipta memandang kita dengan penuh kesabaran. Dengan penuh kasih. Dan kita yang telah menerima keberadaan kita, harus mengalirkannya pula kepada sesama kita. Kepada dunia. Semuanya. Dan kelak, akan kita pertanggung-jawabkan pribadi demi pribadi atas apa yang telah kita lakukan dalam hidup ini. Dalam hidup ini.

Tonny Sutedja

DEMO

Jalanan dipenuhi massa yang menyebabkan terjadinya kemacetan panjang. Gelombang demi gelombang datang dengan menumpang di atas truk, melintas menentang arus jalan dan melanggar rambu lalu lintas. Teriakan gegap gempita dengan yel-yel yang nyaring menyuarakan tentangan terhadap pelanggaran hukum serta korupsi yang terjadi di negeri ini. Semuanya berbaur dan tak terarah. Semuanya nampak kusut tanpa satu kebersamaan.

Aku menyaksikan semua itu dari sisi jalan di depan fly over yang baru dibangun depan perasaan takjub dan bingung. Takjub, melihat betapa sedemikian tak teraturnya demonstrasi yang dinamakan demonstrasi damai itu. Bingung karena melihat betapa mereka menentang pelanggaran hukum yang terjadi justru dengan cara melanggar hukum itu sendiri. Dengan alasan moral apakah mereka menolak pelanggaran hukum jika mereka sendiri ternyata melakukan pelanggaran yang sama? Bagaimana mereka mau menegakkan keadilan dengan ketidak-adilan? Dan berseru untuk menegakkan kebenaran dengan sikap yang tidak benar? Luar biasa....

Kelompok demi kelompok massa itu bergerak menyusuri jalan raya di kota ini. Beberapa kelompok kecil nampak melakukan pelemparan, melakukan aksi-aksi meminta dana hampir dengan setengah memaksa, serta kemudian terlibat bentrok dengan aparat penegak hukum. Bagaimana caranya mereka dapat meminta penegakan hukum jika mereka sendiri ternyata tidak memperdulikan hukum yang ada? Dan Jika melakukan kesalahan, mereka selalu berlindung di balik hukum yang telah dilanggarnya. Mungkin, inilah sebabnya hukum di negara ini tak pernah bisa diberlakukan dengan benar. Mungkin.

Maka, berada di tengah kemacetan ini, di tengah sinar matahari yang sedemikian teriknya, aku menyaksikan suatu sandiwara kehidupan yang bersembunyi di balik topeng-topeng kebenaran, keadilan dan kejujuran tanpa sedikit pun menampakan perbuatan yang sama. Semua bisa dilakukan. Semua bisa dilanggar. Hanya berbekal jaket almamater dan predikat sebagai calon cendekiawan, ternyata sama sekali tak menampilkan sikap yang arif, bijak dan berakal sehat. Bahkan sering tanpa nurani sama sekali.

Dengan perasaan sedih, aku bertanya-tanya dalam hati. Inikah calon-calon pemimpin negara ini kelak? Inikah calon-calon pemikir dan ahli negara ini kelak? Akan kemanakah kita akhirnya jika hal-hal demikian terjadi dan terus terjadi? Mampukah kita merubah apa yang kita anggap buruk di negara ini dengan tindakan yang brutal dan rusuh ini? Mau kemanakah kita sebenarnya? Mau kemanakah? Sungguh bisakah kita membuat perubahan menuju keadaan yang lebih baik dengan melakukan tindakan-tindakan yang demikian kisruh ini? Aku tak tahu. Aku ragu...........

Tonny Sutedja

08 Desember 2009

MANGSA DAN PEMANGSA

Vladimir: Yah! Ayo kita pergi!

Estragon: Ya, ayo pergi....

(Mereka diam tak bergerak)

[Waiting For Godot – Samuel Beckett]

Apa yang kita pikirkan mengenai masa sekarang? Ada keadaan samar yang dibenarkan. Ada kebenaran yang disamarkan. Dan semua fakta yang membingungkan. Akhirnya, yang tertinggal hanya kata dan kata. Kata dan kata. Memenuhi isi halaman depan koran pagi dan sore. Memenuhi topik-topik utama tabloid dan majalah. Berseliweran dalam siaran televisi dan radio. Semua ingin bicara. Semua tak mau diam. Lalu, yang fakta atau dianggap fakta pun tenggelam diam-diam ke balik layar. Sambil senyum sinis. Sambil senyum sinis. Luput.

Tetapi, ah, siapa yang mengatakan bahwa hal ini sulit. Bukankah semuanya terasa lucu? Cecak merayap diam-diam menguber mangsa. Buaya merayap diam-diam menyergap mangsa. Dan sang mangsa hanya tertinggal pasrah. Menerima nasib. Tanpa tahu kebenaran yang sesungguhnya. Hanya mampu mengeluh. Atau mengutuk. Dipermainkan oleh ketak-tahuannya. Dipermainkan oleh keingin-tahuannya. Semuanya buram dan samar-samar. Tetapi sang mangsa pun bisa bangkit dan menjadi pemangsa yang penuh nafsu untuk memangsa. Maka kini, semua jadi mangsa sekaligus pemangsa. Tak ada kebetulan. Tak ada kebetulan.

Sebab nyata, justru apa yang samar dan buram itulah yang paling menarik minat. Sebab ketak-tahuan selalu mengundang keingin-tahuan. Dan kita merasa bangga jika merasa tahu sesuatu yang sangat samar. Sebab akan menjadi topik yang tak kunjung usai diperbincangkan. Bukankah, dalam keadaan yang samar, kita akan semakin merasa asyik dan menikmati banyak kebebasan tanpa takut dikenali. Bukankah kita seringkali menjadi mangsa sekaligus pemangsa atas apa yang kita kira satu kebenaran yang demikian samarnya, sehingga semua jadi meragukan. Tetapi keraguan yang kita yakini sebagai kebenaran, membuat kita justru siap menerkam mangsa-mangsa yang mungkin tidak mengetahui apa-apa. Tak tahu apa-apa. Sadarkah kita akan hal ini? Sadarkah kita?

Kejujuran. Keterbukaan. Dimanakah itu semua? Jika kita takut dan ragu untuk membuka diri, bukankah itu pertanda bahwa kita takut untuk jujur terhadap kenyataan sesungguhnya yang telah terjadi. Dan ketika mendadak kita merasa menjadi kurban dari lautan kata yang bertaburan, beranikah kita bertanya pada diri kita sendiri, mengapa kita takut untuk jujur serta membuka diri atas apa yang sesungguhnya telah terjadi? Mengapa diam? Mengapa mempersalahkan pemangsa kita? Sebab pada akhirnya, kita adalah mangsa sekaligus pemangsa itu sendiri. Mangsa dan pemangsa itu sendiri.

Maka kini saatnya menunggu. Menunggu. Walau kita sadar bahwa, kita hanya akan menunggu kedatangan Godot yang tak pernah kita kenali. Menunggu sesuatu yang mungkin takkan tiba. Selamanya. Kejujuran. Keterbukaan. Fakta.

Tonny Sutedja

SEBUAH FILM. SEBUAH KISAH. SEBUAH LAGU.

Lelaki itu memandang ke panorama di luar jendela kaca yang amat lebar dan memenuhi sekeliling ruangan tamu itu. Dan di luar, alam gemerlap dalam warna putih, dengan salju yang perlahan-lahan turun, bagaikan kapas yang melayang-layang, rindu untuk segera menyentuh bumi. Dalam kesenyapan yang seakan tak berbatas itu, sayup-sayup mengalun melodi indah dari sebuah lagu, sebuah lagu yang membisikkan harapan. Harapan di masa depan. Harapan untuk kemungkinan yang lebih baik dari saat itu. "Somewhere my love, there will be song to sing ......."

Demikianlah salah satu adegan dalam film klasik "Doktor Zhivago" yang kutonton pertama kali di usiaku yang masih sangat remaja, namun amat terpatri dalam ingatan hingga saat ini. Sebuah penggambaran akan kesunyian hidup. Sesosok insan di tengah luas dan heningnya alam raya ini. Sendirian menantang gejolak sosial yang sedang melanda Rusia saat itu. Novelnya sendiri, yang ditulis oleh almarhum Boris Paternaks, kemudian memenangkan hadiah nobel sastra pada tahun 1958.

Betapa keindahan seringkali menyembunyikan rasa duka. Betapa keheningan dan kedamaian senantiasa berdampingan bersama kesepian dan kehampaan hidup. Dan kita senantiasa hidup bersama impian kita, bersama harapan kita senantiasa menemukan kenyataan yang tak selaras dengan apa yang kita angankan. Jauh di dalam hati, kita sering bertanya-tanya tentang keberadaan kita sendiri. Tentang perasaan terkucil yang tidak nyata, sering bahkan di tengah keramaian dan kemeriahan dunia. Kita sering merasa kehilangan tujuan hidup, seringkali merasa ditinggalkan seorang diri, dan bahkan tak mampu untuk keluar dari belenggu kesulitan yang membelit kita.

Sepi. Demikianlah, aku bermenung diri saat menyaksikan panorama indah dari film itu. Betapa perihnya, tetapi juga betapa indahnya rasa sepi itu. Ada hal yang tak mungkin kita ungkapkan dalam kata-kata maupun dalam tulisan, bagaimana mahir pun kita mampu melakukannya. Sepi mengawang bagai kabut di tengah alam yang membentang sunyi namun indah tak terkira. Manusia yang mencari dan terus menerus mencari kedamaiannya. Manusia yang bertanya dan terus menerus bertanya tentang makna keberadaannya di dunia ini. Manusia yang sepi namun tak pernah kehilangan harap. Dan alam yang demikian rela membuka diri kepadanya. Kepadanya.

Namun, dalam gelombang rasa sepi dan damai yang menghujam ke dalam hati kita secara serempak, ternyata sering kita temukan serpih-serpih harapan yang, walau samar-samar, indah dan mempesona. Kebesaran alam. Keanggunan dunia. Dan pada akhirnya, tangan Sang Pencipta Semesta ini. "Even so, near the grave. I beleieve the time will come. When the spirit of good wil conquer. The power of malice and evil" demikian tulis Paternaks dalam sebuah sajaknya yang indah. Ada duka. Ada harap. Dan kita tahu, ya betapa kita tahu, bahwa sepahit apapun hidup ini, ada yang tak mungkin terkalahkan. Ada yang tak mungkin terpatahkan. Harapan kita. Semangat kita. Keyakinan kita.

"Somewhere my love, there will be song to sing. Although the snow. Cover the hope of spring ......." Di suatu tempat, kekasihku. Ada lagu yang dapat dinyanyikan. Walaupun salju. Menutupi harapan musim semi.

Tonny Sutedja

07 Desember 2009

HUJAN

Mendadak, hujan turun. Sangat deras. Dan aku pun buru-buru menepi. Aspal yang panas seakan mengeluarkan asap saat diterpa air. Trotoar depan deretan toko tepi jalan rappocini raya ini kini dipenuhi para pengendara motor yang enggan untuk basah kuyup. Namun, sekelompok anak-anak kulihat memenuhi jalan sambil berseru-seru dan bermain di bawah cucuran air hujan. Baju mereka telah basah kuyup, namun tak ada yang peduli. Kegembiraan nampak meluap-luap di wajah mungil mereka. Seorang anak malah nampak membuka bajunya sambil berjoget dan tertawa riang. Hujan turun. Deras sekali. Dan kami yang menghindarinya asyik menyaksikan anak-anak yang justru menikmati derasnya hujan itu.

Tetapi kemudian, seorang ibu nampak muncul. Lalu dengan wajah yang nampak kesal, dia menarik tangan seorang anak dan, sambil memukulinya, menyeretnya ke dalam sebuah rumah. "Sudah mama bilang, jangan main hujan, nanti kau sakit..." terdengar suara ibu itu sayup-sayup diantara suara kucuran air. Wajah anak itu tiba-tiba nampak ketakutan, lalu menangis. Dan beberapa temannya yang tadi asyik bermain di tengah derasnya hujan yang menerpa bumi, nampak berdiri kaku dan terdiam. "Sudah saya larang kau, anak nakal, sudah saya larang kau. Kenapa kau tidak ingat, eh? Masuk!" Dengan patuh anak itu mengikuti ibunya yang nampak sangat marah. Sambil menangis tersedu-sedu. Hujan turun dengan derasnya....

Aku menyaksikan kejadian itu, dan tiba-tiba teringat pada seorang penulis ternama, Mark Twain: "Jika anakku yang masih kecil ingin memegang seekor kucing, aku katakan, 'biarkanlah'. Pengalaman itu akan mengajari dia lebih dari beribu-ribu larangan". Seberapa banyakkah larangan yang telah kita ungkapkan kepada anak-anak kita? Apakah larangan itu sungguh memang sudah selayaknya kita buat, atau hanya untuk kepentingan kita saja yang tak ingin merasa susah akibat tindakan mereka? Tidakkah kita merasa, betapa seringnya kepentingan dan kesenangan kita amat bertentangan dengan keinginan anak-anak kita? Dalam perbedaan itu, bukankah sering terasa bahwa anak-anak kita seakan-akan tidak punya hak untuk menikmati kegembiraan mereka? Karena kita mau direpotkan. Karena kita menolak untuk disusahkan akibat kesenangan mereka.

Namun, kita hidup dengan belajar mengalami. Pengalaman yang bisa baik dan bisa buruk. Kita tahu dan memahami hidup ini justru dari apa yang telah kita alami sendiri. Bukan hanya karena kita telah belajar dari pengalaman orang lain. Maka, apa artinya hujan bagi kita, jika kita tak pernah merasakan dan menikmati tusukan-tusukan air yang menerpa wajah kita? Apa artinya sakit jika kita sama sekali tak pernah mengalami sakit yang membantu kita untuk sadar betapa pentingnya untuk sehat? Apa artinya hidup jika kita tak pernah merasa dan menikmati hidup kita sendiri? Apa artinya semua itu jika kita sendiri tak pernah mengalaminya? Tak pernah merasakannya?

Hujan mulai reda. Tersisa gerimis yang perlahan jatuh dari langit. Kelompok anak-anak itu kini menghilang, entah kemana. Kegembiraan mereka telah sirna. Dan langit pun mendadak terang. Jalan yang tadinya sepi, kini mulai ramai oleh para pengendara sepeda motor yang tak mau menunggu lagi saat hujan sama sekali berhenti. Hujan datang dan pergi seakan hanya dalam satu perjumpaan sesaat dengan hidup kita. Dan trotoar di deretan toko ini pun mulai sepi. Matahari mendadak menampakkan cahayanya yang sangat terang dan terik. Lalu kesibukan pun mulai seakan hujan tak pernah turun. Kecuali sisa-sisa genangan air di sisi-sisi jalan yang berubah menjadi kolam-kolam kecil. Aku pun menghidupkan kendaraanku dan meninggalkan tempat itu. Melanjutkan perjalananku. Seakan tak pernah terjadi apa-apa. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.

Tonny Sutedja

06 Desember 2009

TIRTA

"Kita semua memiliki impian dan keinginan. Namun kita tetap harus menyadari kenyataan. Tentu, kita semua harus memperjuangkan agar impian dan keinginan kita dapat terwujud. Namun pada akhirnya, kenyataan itulah yang akan menentukannya. Maka kita harus realistis. Tak perlu merasa kecewa atau putus asa jika apa yang kita hasratkan, apa yang kita inginkan, pada akhirnya tak mampu kita capai. Sebab memang demikianlah hidup. Kita belajar dan terus menerus harus belajar untuk hidup menghadapi kenyataan yang ada. Tanpa kecuali....."

Bapak itu memandang kami sambil tersenyum. Wajahnya tenang dengan sedikit kerut pada dahinya. Matanya tajam, bibirnya melengkung tipis, segala yang kami lihat menampakkan keramahan dan kesabaran yang tanpa batas. Dan tiba-tiba kurasakan betapa waktu yang lampau dan waktu yang akan datang menyatu di saat ini. Sekarang. Tulus. Tanpa kepura-puraan. Dalam dunia kehidupan kita, dimana seringkali kita terpaksa harus memakai topeng untuk memagari perasaan kita, berapa banyakkah dari kita yang bisa jujur terhadap diri kita sendiri? Terhadap kehidupan kita sendiri? Dalam lingkungan yang mengelilingi kita, berapa banyakkah di antara kita yang tidak terpaksa harus hidup bersama kenyataan yang sesungguhnya tidak kita senangi? Lingkungan yang membuat hati nurani dan perasaan kita tidak menjeritkan luka?

Terkadang aku berpikir bahwa kepolosan dan kejujuran di masa sekarang ini hanya akan menimbulkan masalah. Kebenaran yang kita ungkapkan dengan terbuka, bisa dan akan menyebabkan luka dalam masyarakat yang kita sebut modern ini. Kita ingin, tetapi bisakah? Kita mau, tetapi dapatkah? Pada akhirnya memang, kita harus menyadari kenyataan. Kita kadang harus bermuka dua. Kita terpaksa harus menampilkan pikiran dan perkataan yang tidak jujur, terutama perasaan tidak jujur dalam nurani kita sendiri. Dan begitulah, hidup memang harus dilalui dengan dan bersama kehidupan lain. Kita tidak sendirian. Kita harus bersama-sama menjalani kehidupan ini dengan beraneka ragam pikiran dan perbuatan yang sering bertentangan satu sama lain. Kita harus realistis.

Dengan senyumnya yang tenang dan polos, dia berkata: "Hidup ini harus dijalani tidak dalam keadaan terpaksa. Hidup ini harus dijalani dengan satu kesadaran penuh, bahwa apa yang kita anggap baik bagi kita, belum tentu baik bagi sesama. Dan pilihan untuk bersikap itulah yang akan menentukan kebahagiaan kita. Dalam hal ini, kekerasan hati sama sekali tidak berguna. Sebab kita tak mungkin mencapai keinginan dan harapan kita dengan menyingkirkan semua orang yang tidak setuju dengan kita. Dan bukankah sudah hak setiap orang untuk mewujudkan impian dan keinginan mereka? Impian dan keinginan yang mungkin bertentangan dengan impian dan keinginan kita sendiri. Dan jika itu yang terjadi, dan pasti akan terjadi, siapakah yang bisa memastikan kebenarannya? Siapa?"

Kebijaksanaan itu seperti sungai yang mengalir. Sungai mengalir menuju muara, suatu aliran besar dan panjang, suatu kepastian menuju lautan keabadian. Tetapi dalam perjalanan menuju tujuannya, air yang mengalir amatlah fleksibel. Dia mungkin akan menghadapi dengan gigih segala rintangan yang menghadang, tetapi dengan mudah pula dia akan berbelok dan mengubah arah jika ternyata kekuatan yang menghadang itu terlalu kuat untuk ditaklukkan. Tidak, tak selamanya kegagalan itu merupakan bencana. Tak selamanya ketak-berhasilan itu merupakan ketak-beruntungan kita. Sebab, walau kita semua menghadapi kenyataan yang sama. Walau kita semua menghadapi kehidupan yang sama. Namun, kenyataan dalam hidup yang sama belum tentu selaras dalam pemikiran semua orang. Justru perbedaan itu adalah rahmat yang harus kita syukuri. Perbedaan itu membuat nuansa hidup menjadi indah dan bermakna. Jadi apa gunanya kita kecewa dan putus asa jika segala keinginan dan hasrat kita tak tercapai? Apa gunanya kita merasa sakit hati jika ambisi dan cita-cita kita tak tergapai? Apa gunanya?

Kita semua memiliki impian dan keinginan. Kita semua mempunyai hasrat, ambisi dan cita-cita. Tetapi seberapa banyakkah diantara kita yang bisa dan mampu mewujudkannya? Berapa banyakkah dari kita yang tidak pernah merasa kecewa karena kegagalannya? Maka pada akhirnya, bukan impian, hasrat, ambisi dan cita-cita kita yang menentukan kebahagiaan kita. Tetapi bagaimana kita melakukan dan menikmati proses menuju ke tujuan bersama yang pasti akan kita tuju kelak. Kita semua satu dalam perbedaan. Kita semua satu menuju muara kehidupan. Maka nikmatilah hidupmu hari ini. Tanpa perasaan ragu. Tanpa perasaan khawatir. Tanpa perasaan terkucil. Kita semua adalah mahluk-mahluk sepi yang mencari kedamaiannya secara bersama-sama. Secara bersama-sama.

Tonny Sutedja

04 Desember 2009

DESEMBER 2009

Aku dengar suara tetesan air yang menyentuh bumi. Bagai kidung indah. Aku dengar desahan angin yang membelai dedaunan. Bagai musik yang mengalun lembut. Aku melihat langit yang kelam tertutup mendung. Bagai sebuah simphoni yang apik. Aku merasakan udara dingin menyentuh kulitku. Bagai alunan nada yang membisikkan rindu. Desember tiba dalam sebuah gelombang waktu yang perlahan dan nyaris tak terasakan. Nyaris tak terasakan.

Ada gerimis. Ada tanah basah. Ada mendung. Ada kabut. Ada hati yang mencoba untuk mencari damainya. Waktu mengalir lembut. Musik mengalun indah. Angin membelai wajahmu. Dalam resah kata, kau temukan hening dalam alam yang diam. Hidup adalah sepenggal waktu yang singkat, sebutir pasir di padang gurun, setetes air di samudera, sebuah kata dalam novel yang teramat panjang. Sungguh tak berarti tetapi punya makna. Sebab, jika sebuah kata hilang, bukankah mengubah arti keseluruhan?

Kita adalah sosok-sosok sepi. Sosok-sosok yang mencari. Terus mencari. Dan sering tak menemukan. Tak pernah menemukan. Siapakah kita ini? Mengapa kita ada? Mengapa kita di sini? Mestikah kita mengalami? Kemanakah kita akan pergi? Dan mengapakah tak pernah kita temukan suatu kepastian yang mengikat pikiran kita? Siapakah yang pernah tiba dari masa depan? Tak seorang pun mampu menemukan kebenaran yang pasti. Tak seorang pun juga. Kita adalah sosok-sosok sepi. Senantiasa sepi.

Waktu mengalir. Dan hidup mengalir bersamanya. Kita mengalir bersama waktu. Tetapi waktu tak berujung, sementara kita tahu, bahwa kita punya masa. Sebab, pada akhirnya, kita akan menyerah. Pada akhirnya, kita akan berhenti bertanya. Dan siapakah yang dapat memastikan apa jawaban yang akan kita temukan kelak? Sementara langit menyimpan rahasianya sendiri. Akankah kelak kita temukan makna di dalamnya? Akankah? Dapatkah kau memastikannya?

Sebuah mimpi. Lagu mengalun. "I have a dream. A song to sing..." Ah, impian apakah yang kita miliki? Lagu apakah yang kita nyanyikan? Apakah tentang hujan yang membasahi bumi? Apakah tentang angin yang mengelus pipi? Apakah tentang mendung yang menutup langit? Desember tiba dalam diam. Tiba dalam diam. Dan kita tahu bahwa, hidup hanyalah sepenggal waktu yang mengalir singkat. Mengalir hingga ke muara waktu yang luas tak berujung. Dan suatu saat kelak, kita akan menyatu dalam kemaha-luasan samudra yang tak berujung. Kemaha-luasan samudra yang tak berujung.

Ayo, kidungkan lagumu. Alunkan nadamu. Kita hanya sebuah kata dalam novel panjang kehidupan dunia. Sebuah kata yang tak mungkin dihapus tanpa merubah makna keseluruhan. Kita adalah sebuah hidup. Jadilah berarti. Jadilah kata yang menyambung kata lain demi sebuah makna yang jelas. Jadilah indah. Jadilah bagian dari kehidupan yang panjang ini dengan melengkapinya. Desember telah tiba. Tahun duaribu sembilan......

Tonny Sutedja

03 Desember 2009

FAJAR

: Agatha Apriliani


 

Kebisuanmu adalah kebisuan fajar

Yang membawa langit merah

Dari malam yang tertinggal

Dalam keheningan sepi diri


 

Harum melati mengusap jiwa

Terbawa dalam belaian angin

Di pipimu memerah rasa

Dimana suara membisu sunyi


 

Ada embun di kelopak mimpi

Mengendap di dalam tidurmu

Dan saat terbangun berkidung

"Harapku bernyanyi riang"


 

Maka sang surya terbit

Bersama riang lagu burung

Udara sejuk menyentuh rasa

Dingin menembus jantung


 

Kebisuanmu adalah kebisuan hati

Kala makna memeras kata

Siapa kau di relung sunyi?

Yang menyentuh pucuk sepi?


 

Dengar, dengarlah desahan angin

Lihat, lihatlah fajar menyingsing

Bagimu, bagiku, bagi kita semua

"Indah menusuk rasa"


 

Dan suasana tak terlafalkan

Dan keindahan tak tertuliskan

Inilah dunia dalam bingkai

Hidup menyentuh rasa


 

Pagi tiba malam lelap

Dan kita. Dan kita.

Memeluk hari

Saat demi saat


 

Hidup!

Tonny Sutedja

KEAJAIBAN DALAM CUCI PIRING

"Saya suka cuci piring" kata gadis cilik itu.

"Mengapa?" tanyaku takjub.

"Karena saya suka melihat keajaiban setelah mencuci. Piring yang tadinya kotor dan berminyak bisa menjadi bersih dan mengkilap. Mengherankan....." jawabnya dengan kedua bola mata yang berpendar indah.

Keajaiban dalam cuci piring. Wah, ini sungguh tak terpikirkan olehku. Keajaiban dalam hal-hal yang sangat sederhana. Gadis cilik itu satu diantara lebih dari seratus anak yang berkumpul dan menikmati camping rohani yang diadakan oleh sekolah minggu gerejaku. Dan tiba-tiba aku melihat dan merasakan keajaiban pada kumpulan anak kecil itu. Ternyata hidup adalah keajaiban. Dan keajaiban tidak semata suatu peristiwa yang luar biasa, yang menakjubkan, yang menjadi buah bibir bagi banyak orang. Keajaiban itu sangatlah sederhana dan dapat dinikmati bahkan dalam peristiwa-peristiwa kecil sehari-hari. Ternyata, hidup kita ini dikelilingi oleh banyak keajaiban. Tahukah anda?

Maka kita yang saat ini sedang mengejar keajaiban, mengharapkan dan merindukan keajaiban, tetapi merasa kecewa dan putus asa karena tak pernah menemukannya, mungkin perlu belajar dari gadis cilik itu. Dengan tangan mungilnya, dia dengan tekun mencuci piring makannya dan menemukan keajaiban yang dicari banyak orang saat menikmati hasil kerjanya. Dari piring yang kotor menjadi piring yang mengkilap. "Saya suka mencuci piring, karena saya suka melihat keajaiban setelah mencuci....." Keajaiban setelah mencuci. Keajaiban setelah bekerja keras membersihkan sisa-sisa lemak dan menggosok piring makannya sendiri. Keajaiban setelah berusaha.....

Mengapa kita seringkali hanya duduk diam menunggu keajaiban itu datang dengan sendirinya? Tidakkah keajaiban itu pun butuh proses kerja yang tidak ringan? Mengapa seringkali kita merasa kecewa karena disepelekan atau dianggap tidak ada? Tidakkah kita sendirilah yang perlu membuktikan keberadaan kita? Mengapa kita harus tergantung pada orang lain? Mengapa kita harus menganggap diri kita harus diperhatikan, harus dicintai, harus dipuji sebagai bukti keberadaan kita? Bukankah kita sendirilah yang harus berupaya untuk memperhatikan, mencintai dan memuji keberadaan orang lain sehingga mereka bisa tahu bahwa kita ada? Keajaiban hanya akan muncul setelah kita bekerja keras. Setelah gadis cilik itu membersihkan piringnya, dan tidak perlu menanti orang lain yang datang membersihkan piringnya. Gadis cilik itu melihat keajaiban setelah mencuci piringnya sendiri....

Keajaiban itu sesederhana hidup ini. Hidup yang harus dijalani, saat demi saat, hari demi hari, dijalani dan dinikmati. Dengan mengeluh dan merasa kecewa tanpa berbuat apa-apa, kita hanya akan mendapatkan semakin banyak kekecewaan dan perasaan putus asa pun kian dalam. Dan keajaiban yang kita harapkan semakin menjauh dari kita. Dengan matanya yang berpendar indah, gadis cilik itu itu memandang piring makan yang kini mengkilap bersih setelah dia mencucinya. Inilah keajaiban itu. Inilah kegembiraan baginya. Dia tidak menunggu seseorang datang dan membersihkannya. Lalu akan merasa kecewa dan sakit hati jika ternyata tak ada yang mau membantunya untuk mencuci piringnya sendiri. Tidak. Dia bekerja sendiri. Dia berusaha sendiri. Dan menikmati hasilnya sendiri. Keajaiban ada setelah dia mencuci piringnya. Dan dia menikmatinya. Menikmatinya.

Tonny Sutedja

PANGGUNG SANDIWARA

Kata orang, hidup ini sebuah sandiwara. Kita berakting di atas panggung seakan-akan kita sendiri yang melakukan apa yang ditulis dalam skenario yang telah dicetak indah. Dan setelah usai, setelah layar diturunkan, kita menjadi sosok lain lagi, yang berbeda sama sekali. Kata orang, hidup ini dijalani dalam suatu skenario yang telah ditulis dengan indah untuk kita mainkan bersama. Namun, siapa yang tahu kebenaran apa yang telah perbuat? Siapa yang tahu apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan dan apa yang kita alami diluar panggung kehidupan ini, selain dari kita sendiri?

Hidup ini berjalan terus dalam waktu. Sebagaimana adanya. Sebagaimana harusnya. Tetapi pernahkah kita memikirkan bahwa kita, ya kita sendiri, sesungguhnya mampu untuk merubah skenario tersebut? Bahwa kita memiliki kesempatan untuk memilih jalan hidup kita sendiri? Bahwa setiap keputusan yang kita buat akan menentukan bagaimana kita akan hidup? Bahwa kita seharusnya bisa menolak ketergantungan kita terhadap apa yang ada saat ini jika kita mau berpikir, kita mau berusaha dan mau melakukan apa yang kita anggap sesuai dengan pilihan kita?

Apakah penderitaan itu, selain dari kekecewaan karena mengalami hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Yang tidak selaras dengan hasrat dan ambisi kita? Dan jika kita hanya duduk diam, menunggu tibanya suatu anugerah, suatu kesempatan yang kita inginkan, dan terus menerus berharap di depan situasi yang tidak memungkinkan ambisi dan hasrat kita terpenuhi, kita tak mampu lagi melihat kesempatan lain yang mungkin jauh lebih menarik dari apa yang dapat dijangkau oleh penalaran kita sendiri. Maka seringkali penderitaan itu kita alami bukan karena situasi atau kondisi yang tidak memungkinkan kita, tetapi karena ketak-mampuan kita untuk membuka diri bagi perubahan yang terjadi di seputar kita.

Sesungguhnya, hidup ini berjalan terus. Berubah terus. Dan kita pun seharusnya memahami dan menyadari perubahan-prubahan itu. Perubahan yang harus kita sadari dan bukannya ditolak karena tak sesuai dengan segala kemauan kita. Kita patut bersyukur karena kita bisa menikmati perubahan itu, dan bukannya menangisi perubahan itu. Waktu tidak menunggu kita. Kitalah yang harus mengikutinya. Kita ada sekarang karena hari kemarin namun kita hidup untuk hari esok. Bukan untuk hari kemarin. Masa lalu seringkali pahit, tetapi itu telah usai. Telah tenggelam dan tak mungkin kita kembalikan lagi. Tak mungkin kita ulangi lagi. Tak mungkin.

Barangkali hidup ini bukan sebuah sandiwara. Dan kita tidak berperan dalam skenario yang tetap. Karena kita hidup bersama banyak pilihan yang mampu kita lakukan. Dan setiap pilihan yang kita ambil, bisa merubah kehidupan kita, dan kehidupan dunia kita. Dan kelak, kita bertanggung-jawab, bukan karena penyesalan-penyesalan kita, tetapi karena kesempatan-kesempatan yang tidak kita ambil. Kesempatan-kesempatan yang kita lalaikan. Pilihan-pilihan yang tidak kita buat. Padahal, banyak jalan terbentang di depan kita. Padahal, banyak pilihan yang diberikan kepada kita. Dan kita tak perlu menunggu sedemikian lama untuk kemudian menyesali waktu yang telah lewat. Tak perlu menunggu dengan penyesalan yang tak berguna bagi siapapun.

Maka jalanilah hidupmu, sebagaimana kata hatimu. Putuskanlah apa yang harus kau lakukan tanpa menunggu terus waktu menelan masa sekarangmu. Apa yang telah terjadi di hari kemarin, biarkan lewat. Apa yang kau sesalkan saat ini, tinggalkanlah. Lihatlah, pagi ini matahari bersinar cerah. Ada banyak harapan yang menunggumu. Ada banyak kesempatan yang terbuka. Hidup ini nyata. Hidup ini bukan sandiwara. Kita memiliki kemampuan untuk memilih skenario apa yang kita inginkan. Dan sadarilah bahwa semakin kita larut dalam sesal dan kekecewaan, semakin kita ditinggalkan oleh waktu dan perubahan yang kita inginkan. Vita Brevis. Hidup ini singkat. Berbuatlah dan jangan tinggal menunggu tirai hidup kita diturunkan. Kesempatan tak pernah akan sama lagi. Tak pernah akan sama....

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...