28 Februari 2011

MEMBAYANGKAN DAN MENJALANI

Saat terbangun di pagi hari, atau di waktu apa saja, pernahkah kita membayangkan apa yang akan kita hadapi selanjutnya? Mungkin kita mendengar suara kokok ayam, detik jam dinding, atau bahkan bunyi rintik hujan yang turun saat subuh tiba, dan saat itu perasaan kita terasa hening dan damai. Saat itu, kita pasti sama sekali tak membayangkan hal-hal buruk akan terjadi. Kita pasti tak memikirkan perbuatan-perbuatan tak menyenangkan yang akan kita lakukan. Atau dilakukan orang lain pada kita. Ya, kita terbangun di saat dimana kita mungkin tahu apa rencana yang akan kita lakukan hari ini, tetapi kita pasti tak dapat memastikan kenyataan sesungguhnya yang akan kita hadapi nanti.

Membayangkan dan menjalani hidup sesungguhnya dua hal yang berbeda, yang sering tak seiring sejalan dengan apa yang kita pikirkan dan kita kehendaki. Kenyataan bahkan seringkali bertentangan dengan kemauan kita. Karena itu, kita tak harus sedih dan kecewa. Atau merasa sakit hati bahkan merasa dikucilkan dan tak berguna sama sekali. Percayalah, kita tidak sendirian menghadapi kenyataan ini. Kita tidak pernah sendirian. Tiap orang, dengan kesadaran dan kehidupan masing-masing, secara umum akan memiliki pengalaman yang sama. Walau pasti, reaksi terhadap pengalaman hidup akan berbeda, tergantung dari bagaimana kita memandang hidup ini. Sesungguhnya hidup ini sederhana saja. Sederhana.

Sederhana, jika kita melangkah dengan kesadaran penuh bahwa apa yang kita alami serta apa yang kita rasakan saat ini berlangsung seringkali diluar kemampuan kita untuk mengaturnya. Namun, kita tetap dapat melakukan sesuatu yang berguna bagi diri kita selama terkait hanya dengan apa yang mampu kita perbuat. Diluar dari itu, kita harus menyadari bahwa, kita tidak mungkin menguasai pikiran dan perasaan orang lain, bahkan sekalipun kepada mereka yang kita pikir paling dekat dan intim dengan kita. Kita takkan pernah mampu merubah dan membentuk orang lain sesuai dengan keinginan kita. Karena kita bukan robot. Kita bukan benda mati. Bahkan tak jarang kita justru tak mampu untuk merubah diri kita sendiri. Maka jika kita sendiri tak mau dan tak sanggup untuk berubah, bagaimana bisa kita berhasrat untuk mengubah dan membentuk orang lain sesuai dengan keinginan kita?

Jadi saat ketika kita terbangun dari lelap, membuka mata dan mengembalikan kesadaran kita, serta menyaksikan betapa semua yang nampak sama seperti hari kemarin, sama dan tak berubah sama sekali seperti yang kita inginkan, kita tetap dapat berubah. Jika kita mau. Jika kita ingin. Kita semua hadir dengan kemampuan untuk mengubah diri, tetapi bukan mengubah orang lain. Kekuatan kita terutama pada bagaimana kita melakukan sesuatu yang mampu kita laksanakan untuk diri kita, bukan dengan memaksakan kehendak pada sesama sementara kita sendiri tak dapat menguasai hasrat, ambisi dan keinginan kita.

Maka di tiap pagi yang indah, kita bangun dengan satu pengharapan agar kita sendiri dapat berubah menjadi lebih baik dari hari kemarin. Dan menghilangkan segala hasrat untuk mengubah orang lain. Mari menikmati sejuknya udara pagi. Mari mendengarkan suara alam yang mengalun indah. Mari hidup dan menghidupkan dunia ini. Salam dan selamat pagi.

1 Maret 2011
Tonny Sutedja

21 Februari 2011

PETANG DI TELUK KENDARI

Menakjubkan! Langit bagaikan tersaput warna jingga dengan latar menara MTQ yang menjulang kokoh. Sebuah perahu kecil menjadi siluet, diam dalam kesunyian senja. Dan udara yang sejuk membawa kedamaian masuk membelai jiwa. Aku menikmati panorama alam yang membentang indah di hadapanku, takjub merenungkan betapa keindahan yang muncul setiap saat sering luput dari perhatian kita hanya karena kita terpaku hanya pada kepentingan diri sendiri. Lihatlah, lalu lalang orang yang melintas di sepanjang jalan by-pass tanpa sekali pun ingin menengok apalagi untuk berhenti sejenak menikmati keindahan ini. Hidup ini indah, sungguh indah, jika kita mampu menyadarinya. Mau menghentikan sejenak langkah kita, kesibukan kita dari mengejar hasrat, ambisi dan keinginan kita. Dan merasakan keberadaan kita di dunia ini. Menakjubkan!

Petang di teluk Kendari, atau dimana pun kita berada. Di pegunungan. Di padang gurun. Di laut yang tenang atau berombak. Di saat udara indah cerah maupun saat badai menerpa menakutkan jiwa. Kita senantiasa punya kesempatan untuk sejenak menghentikan langkah, untuk sejenak menikmati dunia. Untuk sejenak memikirkan, bukan hanya apa yang terjadi pada kita tetapi apa yang ada di luar kita. Sebab, kita tak hidup hanya dari kerisauan, kekhawatiran maupun kesedihan kita. Sebab, kita memiliki banyak kemungkinan yang ada di luar diri kita sendiri. Jika kita mau menyadarinya. Jika kita mampu menyadarinya. Angin yang berhembus membelai wajah. Warna warni langit. Tetes rintik hujan. Semuanya dapat membuat kita terpana sejenak, membuat kita menyadari betapa sesungguhnya tak berartinya kegelisahan kita. Kita semua.

Maka di sudut yang terpencil dan sunyi ini, di tepi pantai yang hening, aku memandang ke perahu yang sedang berlabuh sambil merenungkan perjalanan menembus lautan yang telah ditempuhnya. Berapa banyakkah badai yang dilaluinya? Berapa seringkah ia merasa khawatir, bimbang bahkan putus asa saat berlayar menuju ke tujuan yang diinginkannya ketika gelombang tinggi, arus deras dan tiupan angin kencang menerpanya? Sungguh, saat ini, ketika aku melihatnya mengayun perlahan di laut yang tenang, aku berharap dia berpikir betapa sebenarnya segala kecemasan itu sekarang terasa tak berarti. Sungguh tak berarti. Masa depan memang selalu menyembunyikan kecemasan karena kita tak tahu apa yang dapat terjadi saat kita dirundung malang. Masa depan bahkan sering terasa menakutkan karena ketidak-pastiannya sendiri. Namun, bukankah kita semua hanya melintas dalam waktu, kita semua harus melayari perjalanan hidup yang pasti ini, dan kelak kita dapat dengan damai menikmati ketenangan saat semuanya telah usai?

Menakjubkan! Hidup ini memang menakjubkan jika kita mampu untuk sejenak berhenti dan melupakan segala apa yang sedang kita hadapi untuk menikmati apa yang sedang dijalani oleh dunia ini. Sebab dengan demikian, kita sadar bahwa kita tidak sendirian walaupun terasa sepi. Alam yang indah selalu ada dalam jangkauan pandangan kita. Alam yang dapat membuat kita lelap. Alam yang menghidupi kita. Alam yang membuktikan keberadaan kita. Alam yang memberikan segala-galanya buat kita yang mau menerima dia apa adanya. Alam milik kita. Dan kita miliknya. Jadi mari berhenti sejenak untuk menikmati dia. Mari berhenti sejenak untuk mengucap salam kepadanya. Mari berhenti sejenak untuk bersyukur karena kita ada bersamanya. Kita. Insan-insan yang penuh pesona. Sebab bukan tidak mungkin, alam pun berhenti sejenak memandang kita dengan terpesona, berpikir tentang keajaiban pemikiran kita. Menakjubkan!

Tonny Sutedja

06 Februari 2011

BANGKU

Sebuah bangku tua nampak berdiri sendirian di gudang tempat penyimpanan benda-benda yang tak terpakai lagi. Sebuah bangku tua dengan cat yang telah habis terkelupas dimakan waktu nampak merana sendirian. Entah sudah berapa lama bangku itu tersembunyi di gudang yang terlupakan itu. Yang memang jarang, ya teramat jarang dimasuki orang. Aku membayangkan, betapa dulunya bangku itu berdiri dengan gagah di ruang rumah yang saat itu pun masih baru, dengan cat berwarna cerah, siap menerima siapa saja yang ingin mengistirahatkan tubuhnya setelah sekian lama berdiri. Tanpa memilih. Tanpa mengeluh. Malah tanpa peduli. Siapa saja.

Bangku tua itu berdiri diam, seakan menantang kita untuk berkaca diri. Betapa kita sering mirip dengannya. Mungkin, pernah ada saatnya dulu, kita merasakan kebanggaan saat dihargai, dielu-elukan serta mendapatkan tempat yang terhormat di pertemuan apa saja. Tetapi kini mungkin kita merasa disingkirkan, dianggap tidak ada dan bahkan dikucilkan dari setiap pertemuan, bahkan pertemuan keluarga sekali pun. Dan begitulah memang hidup ini. Kita harus menerima apa adanya. Sebab, bukankah jika kita tidak pernah merasa dihargai, kita juga tak mungkin merasa dilecehkan sekarang? Jika kita tidak pernah merasa bangga terhada diri sendiri, kita juga tak bisa mengenal rasa kecewa saat ini.

Ya, pengalaman mengajarkan kita pada banyak hal. Pengalaman mengharuskan kita untuk selalu belajar mengenal diri sendiri. Tidak setiap saat kita harus merasa bangga. Tidak setiap waktu kita harus dihormati. Tidak selalu orang harus tunduk dan mengikuti kemauan kita. Pada akhirnya, toh, kita harus belajar untuk tahu kemampuan diri sendiri. Keterbatasan kita. Dan kemajuan serta kesempatan-kesempatan yang juga dimiliki orang lain yang pada akhirnya membuat apa yang tidak mungkin menjadi mungkin bagi mereka. Memang betul, kita tidak mungkin untuk menguasai dan menghasrati semua hal. Semua hal.

Dengan pelan dan hati-hati aku lalu duduk di atas bangku tua itu. Mencoba untuk merasakan kembali kemampuannya menahan beban tubuhku. Mencoba untuk mendengarkan derit suaranya saat harus menanggung beban yang lama tak dilakukannya. Dan ternyata dia berhasil. Sama seperti aku berhasil untuk sejenak mengistirahatkan tubuhku di atasnya. Kemungkinan-kemungkinan untuk gagal selalu ada. Tetapi kemungkinan-kemungkinan untuk berhasil pun tak pernah sirna. Dan pada akhirnya, hidup memang adalah kemungkinan yang harus kita jalani demi untuk menemukan kepastian hidup ini. Tak ada yang pasti. Tak ada yang mutlak pasti dan benar sebelum kita semua mengalaminya sendiri. Sendiri.

Maka ketika aku merenungkan tentang mereka-mereka yang merasa memiliki dan meyakini kepastian kebenaran mereka sendiri, aku sering bertanya-tanya, bagaimana kita dapat meyakini dan mempercayai kebenaran kita sedangkan apa yang akan kita alami besok pun kita tak pernah dapat meyakininya dengan pasti? Siapa pun yang saat ini merasa bercahaya dalam kemegahan kekuasaan-kekuatan-kekayaan, bisakah dia memastikan bahwa kelak dia takkan senasib dengan bangku tua yang telah digudangkan, sendiri dan kesepian. Karena ternyata kebenaran yang diyakininya telah terbantahkan oleh waktu. Hari ini. Esok. Siapa yang tahu apa yang dapat kita alami?

Aku memandang ke bangku tua yang kududuki ini. Aku merasakan kelapukan kayunya, dan kerentanan besi yang menopang tubuhnya. Tetapi aku tahu bahwa dia telah belajar banyak tentang sejarahnya sendiri. Kejayaannya dulu. Kerentaannya sekarang. Ah, masihkah dia merasa bangga bahwa ternyata dia masih sanggup untuk menopang tubuhku? Masihkah dia merasa puas bahwa ternyata dia masih bisa dan dapat berguna bagi pemakainya? Masihkah dia berbangga bahwa dalam ketidak-berartiannya, ternyata dia masih berguna bagi orang yang penat seperti diri ini ini? Jika demikian, sungguh bermaknalah keberadaannya. Sekarang.

Maka pada akhirnya, yang dapat kita lakukan dalam kehidupan ini hanya, bagaimana kita berbuat dan berguna bagi sesama. Dan bukan dengan kukuh memperjuangkan pendapat kita sendiri lalu memaksakannya ke sesama bahkan dengan kekuatan-kekayaan-kekuasaan yang kita miliki saat ini sehingga rela mengurbankan orang lain agar kita berjaya. Sebab kejayaan itu ternyata hanya semu. Kekuasaan kita akan berakhir. Kekuatan kita akan usai. Dan kekayaan kita akan sirna. Dan saat kita tidak memiliki apa-apa lagi, tinggallah kita teronggok sepi seperti bangku tua ini. Seperti bangku tua ini. Yang bahkan, mungkin bangku ini masih jauh lebih berguna daripada tubuh fisik kita yang akan menjadi debu. Menjadi debu.

Sejarah telah mengajarkan kita betapa relatipnya kebenaran yang kita yakini. Siapa yang tidak berpikir bahwa para pendiri candi borobudur yang demikian indah dan megah itu, tidak meyakini kebenaran mereka? Tetapi dimanakah mereka sekarang? Dimanakah para tukang, mandor, perencana, pendiri dan penguasa yang memungkinkan candi itu dibangun? Dimanakah mereka? Kini, tertinggal satu monumen indah, megah namun bisu yang diam menantang zaman. Menantang zaman.

Sebuah bangku tua berdiri di antara rongsokan barang yang tak terpakai lagi. Sebuah bangku tua yang nampak kesepian, terlupakan dan seakan tidak punya arti apa-apa lagi. Dan jika pada akhirnya hidup ini pun berakhir sama, mengapa kita demikian ngotot mempertahankan, memperjuangkan dan bahkan memaksakan serta malah menghukum dan sampai membunuh siapa pun yang tidak setuju dengan kebenaran yang kita yakini? Bukankah lebih berarti jika kita berbuat sesuatu yang berguna terhadap kehidupan daripada mematikan kehidupan itu? Bukankah lebih berarti jika kita memelihara dan menumbuh-kembangkan kehidupan daripada menelantarkan dan membuatnya layu dan mati? Dan bukankah itu pula yang dikehendaki Sang Pencipta kita seperti yang kita sendiri yakini. Lalu mengapa kita justru bertindak mengerdilkan dan malah ingin menguasai kehidupan ini seakan kitalah Sang Pencipta itu sendiri. Benarkah kita? Tidak merasa bersalahkah kita? Siapakah kita ini? Siapa?

Tonny Sutedja

API

Perlahan-lahan, api pun padam. Menyisakan hanya asap putih, puing dan isak tangis mereka yang kehilangan tempat bernaung.  Di tengah area perkampungan yang masih membara, aku melihat sebatang pohon, masih berdiri tegak dengan batang menghitam hangus dan daun yang terkulai layu. Aku melihat wajah-wajah yang terkesima, tak berdaya dan pasrah menerima kenyataan pahit yang akan segera mereka hadapi. Hidup adalah kenyataan, entah kita kehendaki entah tidak, yang wajib kita jalani. Demikianlah......

Demikianlah, saat kita memandang sebuah musibah dari kejauhan, dimana kita tidak terlibat di dalamnya dan hanya dapat merasakan apa yang mungkin sedang dirasakan mereka yang mengalami, kita bisa merasa sesak dan pilu. Tetapi bagaimana pun, kita hanya merasa. Tanpa mengalami. Apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang senyatanya mewujud, tak pernah bisa kita pahami sepenuhnya. Dan kebenaran. Dan keadilan. Dan kenyataan. Semua kita kurung dalam alam pikiran dan perasaan kita yang sering tak bisa dan tak mau kita langkahi untuk keluar dari kenyataan hidup kita. Karena apa yang lain, apa yang beda, apa yang tak sama dengan kita, sungguh sulit untuk bisa kita pahami. Kita terlalu mau memudahkan pemikiran kita. Kita terlalu malas untuk menghadapi kerumitan manusia. Kita lebih suka menyederhanakan kehidupan yang tak pernah sederhana ini, sementara apa yang bisa kita sederhanakan kita jadikan rumit. Rumit......

Rumit. Betapa pun juga hidup memang tidak sesederhana yang kita harapkan. Kita harus menghadapi beragam sikap, beragam tata cara, beragam pikiran dan beragam perbuatan. Kenyataan yang harus kita sadari dan hadapi dengan tanpa menyederhanakan menjadi sama dan seragam sesuai dengan apa yang kita anggap benar. Banyak jalan ke Roma. Demikian kata sebuah pepatah. Dan jika banyak jalan ke Roma, mengapa kita hanya mau berpikir bahwa hanya ada satu jalan, jalan kita, keyakinan kita saja yang benar mutlak? Mengapa? Bukankah kita, dan seharusnya demikian, harus dan memang menyadari bahwa sesungguhnya kita ini manusia lemah yang dapat berbuat salah. Kita hanya debu. Debu.....

Debu. Api telah membakar semuanya menjadi debu dan puing. Apa yang pada mulanya berharga, kini teronggok tanpa arti sama sekali. Dan kita, manusia yang pernah merasa ponggah dan membanggakan diri dalam kesombongan bahwa kita mampu untuk berbuat apa saja, hanya dapat menunduk pasrah menghadapi kenyataan ini. Tetapi, tetapi ya, selalu muncul satu pertanyaan dalam hati kita. Layakkah kita menerima semua itu? Dan mengapakah kita harus mengalami semua ini? Dimanakah keadilan yang demikian sering kita dengungkan itu? Kemanakah kebenaran yang demikian gigih kita nyatakan itu? Bukankah, pada kenyataannya, kita dihadapkan pada apa yang kita anggap benar sendiri? Memangkah harus demikian adanya? Entah.......

Entah mengapa, aku melihat betapa para korban ternyata bukannya dibela, tetapi malah dijadikan tertuduh, terdakwa dan malah dihukum karena mereka berbeda dari kita. Berbeda. Salahkah mereka? Tidak bisakah kita menghargai cara mereka, walau berbeda dengan cara kita, untuk mencapai ke tujuan yang sama? Mengapa kita harus mewajibkan mereka untuk mengikuti cara kita? Dan enggan untuk menghargai cara mereka? Bukankah itu berarti bahwa kita tidak mau repot dan tidak mau dirumitkan dengan perbedaan itu? Padahal, kita juga sadar bahwa sesungguhnya kita hanya manusia yang lemah, yang juga bisa berbuat salah. Dan di hadapan Sang Pencipta, kita semua sama. Sama....

Sama dihadapan Pemilik Kehidupan. Sama dengan segala kekuatan dan kelemahan kita masing-masing. Sebab memang, tujuan kita kepada-Nya, bukan satu arah yang seragam. Maka kita perlu memahami bahwa, suatu tujuan yang pasti pun, tidak berarti bahwa jalan yang kita susuri harus pasti sama juga. Tidak. Manusia adalah mahluk yang mencari jalannya sendiri-sendiri. Dan di jalan kehidupan ini, kita salah jika menilai bahwa kita, sebagai insan yang lemah, dengan bangga mau memastikan kebenaran jalan kita sendiri. Apalagi dengan cara memaksa, mengadili, menghukum dan membasmi mereka yang tidak sesuai dan tidak ingin menuruti cara kita. Api......

Api. Kita bisa menjadi api yang baik, dengan menerangi kegelapan dan menghangatkan kehidupan. Tetapi kita juga bisa menjadi api yang buruk dengan membakar dan memusnahkan apa saja yang kita anggap salah dan merasa tak sesuai dengan pemikiran kita. Dan demikianlah, kita lalu membuat segala sesuatu menjadi puing, menjadi debu serta menyengsarakan kehidupan lain dimana kita tidak merasa terlibat di dalamnya. Karena kita mengira mereka beda. Kita menyangka mereka lain. Pohon kehidupan itu pun terkulai, layu menghitam dan mati. Ah, betapa seringnya kita ditimpa bencana bukan karena bencana itu terjadi demikian. Tetapi karena kita adalah bencana itu sendiri. Kita adalah bencana itu sendiri......

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...