13 September 2012

MENJELANG FAJAR


Menjelang fajar merupakan saat-saat terindah dalam hidupku. Langit yang belum lagi terang, udara yang masih terasa dingin, kabut yang sesekali muncul dan bintang-bintang yang masih menampakkan dirinya. Semuanya membawa ketenangan dan kedamaian dalam hatiku. Menjelang fajar adalah puisi bagi jiwaku. Dan sebagai puisi, aku merenungkan keindahannya demi menemukan makna keberadaanku di dunia ini.

Sesekali kudengar nyanyian keindahan alam. Sesekali kudendangkan lagu yang sendu. Sesekali merasa asing dan merana. Terasa jauh terkucil dari keramaian dunia. Menyerap segala kesenyapan dari alam. Dan mengosongkan kembali pikiranku dari segala macam persoalan yang mengusik hidup. Inilah aku, yang menjadi bagian dari alam dalam satu noktah debu saja. Membayangkan saat aku menengok ke google earth, mencari lokasiku saat ini, lalu pelan-pelan menarik mouse untuk mencakup bola bumi. Betapa kecilnya aku. Betapa aku hanya titik yang tak berarti di keluasan alam semesta ini.

Namun, di dalam hatiku, aku adalah dunia yang sesungguhnya. Di dalam perasaanku, dunia adalah sesuatu yang menetap dan menjadi pusat kehidupan. Dan di dalam pikiranku, aku menjadi ada dan menjadi sumber dari pengalaman atas derita atau kebahagiaan alam semesta ini. Aku. Yang hanya senoktah debu di keluasan alam semesta yang tak terselami, betapa sering merasa tak mampu menyelami diriku sendiri. Dengan kepastian dan kekacauanku. Dengan kebimbangan dan keyakinanku. Rapuh namun merasa kuat. Tak berarti namun penuh makna. Terkucil sekaligus membaur.

Menjelang fajar adalah saat-saat terindah dalam hidupku. Saat terang belum lagi mengusir kegelapan, saat bintang masih berbinar-binar, saat udara masih terasa sejuk. Bersama keheningannya aku merasa damai. Karena dapat merenungi hidup ini. Karena punya kesempatan untuk mengenal diri sendiri. Karena alam semesta terasa demikian damai. Dan indah memukau. Sehingga sesekali aku bisa mengidungkan lagu yang membuat jiwaku melayang tinggi. Mengembara hingga ke ujung-ujung yang jauh dan asing. Ke ujung yang tak terjelajahi saat keriuhan mengusik dan udara sesak oleh suara riuh.

Dalam keheningan, kata selalu kehilangan makna. Dalam keheningan, dapatlah kutemukan diriku yang nyata. Dalam keheningan, siapakah aku selain dari bagian dari alam semesta yang tak terbatas? Alam semsta yang tak memiliki waktu. Sementara diri ini ada dalam keterbatasan yang pasti. Aku mencari tetapi sering tak menemukan. Aku memperebutkan sesuatu yang sering akhirnya tak punya arti apa-apa saat memilikinya. Tetapi memang, kepuasan hanya sesaat saja. Karena yang terpenting, bukan apa yang harus kumiliki, tetapi bagaimana aku memperjuangkannya. Demikianlah adanya hidup ini. Demikianlah adanya.

Menjelang fajar adalah sebuah puisi yang indah. Dengan kalimat tanpa kata. Dengan nyanyian tanpa nada. Karena akulah kata sekaligus nada yang diharapkan untuk mengisi dan memaknai keberadaannya. Maka hidup ini berarti selama aku menghargai dan mau menikmati keheningan alam yang memukau ini. Bagaikan galaksi yang sendirian menjelajahi semsta luas, aku sendirian tetapi tidak seorang diri. Merasakan betapa kehidupan menjadi sahabat yang intim tetapi sekaligus terasa asing. Sebuah pusi yang indah namun bisa berubah menjadi prosa yang panjang dan melelahkan.

Dan sesaat setelah matahari pagi menyembulkan dirinya, sadarlah aku bahwa hidup harus dijalani. Bukan hanya dirasakan. Bahwa hidup harus dialami. Bukan sekedar dipikirkan. Bahwa pagi telah membawa prosa panjang yang meninggalkan keheningan dengan puisinya yang lembut itu. Prosa yang terkadang menjemukan tetapi tetap menjadi bagian dari kehidupan ini sendiri. Pagi tiba dengan denyut keriuhannya. Dan hiduppun berlanjut terus. Terus. Sampai waktu kehidupan ini usai. Tetapi tak berujung. Hari lain masih menunggu. Menjelang fajar lain masih akan datang. Dan aku hanya mampu untuk menunggu. Menunggu.

Tonny Sutedja

LIRIH


Hujan mengguyur bumi
Angin membelai wajah
Kan kulantunkan laguku
Untukmu yang sepi
Dingin

Mendung memenuhi langit
Beriringan airi merintik
Laguku dalam sunyi
Mengalum dengan lirih
Duka

Hidup seakan mimpi
Membawa langkah kemana
Kucari engkau diam
Bersama nada sepi
Menanti

Tak kutahu lagi
Kemana
Langkah
Membawa
Kepadamu

Hujan mengguyur bumi
Melimpah dalam duka
Sepi
Dingin
Menanti

Tonny Sutedja


12 September 2012

LAMBANG


Kau hendak mengenal Tuhan? Maka janganlah kau menjadi pemecah persoalan. Seyogyanya kau pandang sekelilingmu dahulu, dan di situ, kau akan melihat Tuhanmu, sedang bermain dengan anak-anakmu.”
(Sang NabiKahlil Gibran)

Bila kalian menggunakan pujian atau celaan untuk membeda-bedakan, itu berarti, kalian membuat berhala-berhala pujaan.”
(Musyawarah BurungFaridu’d-din Attar)

Pernahkah kita, yang meyakini keberadaan Tuhan, merenungkan mengapa demikian banyak warna di dunia ini? Mengapa demikian banyak perbedaan di antara kita? Mengapa harus ada kejahatan, keburukan dan penderitaan di sekeliling kita? Mengapa Dia, yang kita percayai sebagai sumber kebaikan sering terasa mengabaikan dan membiarkan kekacauan terjadi? Mengapa? Mungkinkah karena banyak dari antara kita yang lebih menyukai kata daripada makna?. Lebih menyayangi lambang daripada laku? Lebih mencintai diri kita daripada Sang Pencipta sendiri? Karena memang, jauh lebih sulit untuk beriman daripada beragama. Jauh lebih sulit untuk berpikir dan memahami daripada bertindak dan mengikuti apa saja yang dijejalkan kepada kita. Jauh lebih sulit untuk berpikir dan belajar daripada sekedar mengikuti perasaan dan ambisi kita.

Padahal, jika kita sadar bahwa kita semua hanyalah mahluk ciptaan yang setara, mahluk ciptaan yang mempunyai kelemahan dan kekuatannya masing-masing, mahluk ciptaan yang bukan hanya memiliki kemampuan untuk merasakan saja tetapi juga untuk belajar memahami, kita akan menyadari bahwa kita semua seharusnya mengenal dunia ini sama seperti kita sendiri mengenal diri kita. Tetapi toh, betapa seringnya kita juga tak mampu untuk mengenal dan memahami diri kita sendiri. Jika demikian, mengapa kita bisa merasa tahu dan mengenal sesama kita? Bahkan merasa tahu dan memahami Sang Pencipta? Sebab, bukankah jika kita merasa tahu dan menahami Sang Pencipta kita, seharusnya kita juga sadar dan paham mengapa Dia membuat begitu banyak perbedaan diantara ciptaan-Nya sendiri. Tidakkah demikian?

Jadi, jika Sang Pencipta membuat demikian banyak perbedaan, itu semua pasti bukan ketidak-sengajaan karena jika demikian, artinya Dia tidak mampu untuk membuat segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak. Keaneka-ragaman diantara kita sesungguhnya adalah anugerah yang dikaruniakan kepada kita agar kita semua mampu menyadari kehidupan ini. Walau keseragaman nampak seakan baik dan sesuai dengan harapan kita, itu tidaklah berarti bahwa keseragaman sesuai dengan keinginan-Nya. Sebagai ciptaan, kita masing-masing punya hak untuk mencari dan mencintai Sang Pencipta dengan apa yang kita pahami. Bukankah musik yang indah tak mungkin tercipta dari nada tunggal? Dan bukankah kita akan kehilangan segala daya kehidupan jika kita tidak memiliki perbedaan dalam cara hidup kita?

Maka kekerasan hingga perang sesungguhnya terjadi bukan karena kehendak Sang Pencipta tetapi karena kehendak dan egoisme kita sendiri. Terkadang untuk kenyamanan dan kebanggaan kita. Terkadang bahkan karena kita merasa tahu apa yang menjadi pikiran Sang Pencipta. Dan sementara kita terus bertanya-tanya mengapa harus ada perbedaan, kita lalai untuk mencoba merenungkan mengapa harus tidak? Renungkanlah seandainya yang ada hanya kebaikan, hanya ada keseragaman pikir, bahkan hanya ada kebahagiaan semata dalam hidup kita di dunia ini, maka bagaimana kita dapat mengenal kebaikan, kebahagiaan dan ketakjuban akan cara pandang orang lain yang sering tak mampu kita bayangkan sekali pun. Bukankah perbedaan itu justru indah karena pengalaman kita yang berbeda satu sama lian? Tidakkah demikian?

Jadi untuk mengenal Sang Pencipta, janganlah bersikap sebagai pemecah persoalan, tulis Kahlil Gibran. Tetapi belajarlah dari anak-anak kecil yang berkumpul dan bermain bersama-sama, sesekali mungkin akan bertengkar tetapi sekejap kembali bersahabat. Karena hidup bagi mereka hanya sekedar permainan. Dan bermain selalu berarti ketidak-seragaman dalam kemampuan sehingga terciptalah sesuatu yang menyenangkan. Mereka yang tidak saling memuja atau membenci hingga menjadi berhala bagi dirinya, tulis Faridu’d-din Atar. Maka bersama mereka, Sang Pencipta menjadi sahabat sejati bagi kita. Bagi kita semua.

Hidup menjadi indah karena perbedaan. Bukan karena keseragaman. Dan janganlah hidup demi lambang semata, tetapi marilah merenungkan makna dalam relung jiwa kita yang terdalam. Dan disanalah kita belajar untuk bermain bersama Sang Pencipta. Kita tak perlu menjadi pemecah persoalan. Kita hanya bermain bersama dengan persoalan kita sambil menyadari bahwa bukan dalam pujaan atau pun kebencian kita dapat menemukan kebenaran tetapi kebenaran akan menemukan kita dalam sukacita permainan hidup masing-masing. Tersenyumlah, jangan merengut saja. Tertawa gembiralah karena kita sadar bahwa ada tangis dukalara. Karena airmata tidak hanya ada saat kita berduka cita. Terkadang, kekurangan kita justru jauh lebih bernilai daripada kelebihan kita. Terkadang dalam kebahagiaan yang dalam pun kita bisa menangis. Kita akan menangis. Marilah bermain dengan hidup ini. Marilah bermain bersama Tuhan. Tanpa menjadikan Dia sebagai berhala. Mari.

Tonny Sutedja

FANA


Buat Deo
Setiap bayi lahir bersama pesan bahwa Tuhan belum putus asa pada manusia
(Burung-Burung Liar, 77 – Rabindranath Tagore)

Bunga-bunga indah pada akhirnya akan layu, gugur, membusuk lalu menyatu dengan tanah. Demikianlah betapa sementaranya hidup ini. Namun, ketidak-abadian tidak berarti bahwa semuanya sia-sia saja. Betapa pun juga, walau hanya sesaat yang singkat, dia telah memberikan keindahan dan keharumannya kepada dunia. Dan dunia pun tak pernah sama jika dia tak pernah hadir. Setiap keberadaan selalu membawa berita bahwa hidup itu ada. Dan indah. Dan tak pernah sia-sia.

Maka kelak, bilamana hidupmu terasa berat, percayalah bahwa kita tidak sendirian. Tidak pernah sendirian. Manusia harus bergulat dengan dirinya sendiri untuk meraih pemahaman tentang makna keberadaannya di dunia. Kita memang sendirian dalam menghadapi pergulatan itu, tetapi karena setiap orang mengalami hal yang sama, maka kita tidak boleh menganggap bahwa hanya kita sendiri yang berbeban. Tuhan menciptakan keberadaan kita bukan untuk pasrah dan menyerah pada kesulitan-kesulitan. Dia menciptakan kita untuk berjuang menghadapi dan menerima kesulitan itu sebagai sebuah berkah bagi kehidupan.

Keberadaan kita sendiri menyiratkan bahwa Tuhan tak pernah putus asa dalam membuat kita ada. Dan karena Dia tak pernah bosan kepada kita, mengapa kita harus menyerah serta ingin melarikan diri dari kesulitan kita? Memang, kita bukanlah Tuhan sendiri, tetapi kita harus ingat bahwa Dia memberikan kita untuk dunia sebagai berkah, dan karena itu kita mempunyai kewajiban sekaligus kesempatan untuk membagikan berkah yang telah kita terima kepada dunia.

Demikianlah, setiap kelahiran selalu bermakna bahwa Tuhan percaya kepada kita yang diciptakan-Nya dan sebab itu, kita haruslah menjaga kepercayaan itu sebagai suatu tanggung jawab kepada-Nya. Tanggung jawab untuk tidak mudah menyerah kepada kesulitan yang harus kita hadapi. Tanggung jawab untuk membagikan diri kita kepada dunia, bukan sekedar untuk kedamaian kita saja, tetapi terlebih-lebih untuk kedamaian bagi seluruh alam semesta. Dan percayalah, dunia ini ada karena kita ada. Tanpa keberadaan kita, maka dunia ini pun tak akan ada. Kita berarti dan selalu berarti dalam kehidupan dunia.

Bunga-bunga yang indah itu pada akhirnya memang akan layu, lapuk, gugur dan kemudian membusuk serta menyatu kembali dengan bumi. Tetapi baik saat mekar maupun saat dia kembali ke bumi, dia selalu akan membagikan berkah keberadaannya bagi alam semesta yang hidup. Dengan membagikan keindahan dan keharumannya. Dengan menjadi humus yang menyuburkan kehidupan baru. Jadi percayalah bahwa tidak ada kehidupan yang sia-sia. Tidak ada kehidupan yang tak bermanfaat. Kehidupan, secara keseluruhan, adalah hadiah terindah Tuhan bagi kita. Kita semua.

Maka apapun kelak yang akan kita alami, apapun kelak yang menjadi kesusahan kita, saat tersisihkan, saat terabaikan, saat diperlakukan tak adil, saat tak berdaya karena situasi dan kondisi yang tak mau dan tak mampu mendukung kita, percayalah bahwa kita selalu bisa bangkit selama kita mau untuk berjuang. Selama kita tidak enggan untuk berpikir dan mempergunakan segala talenta yang kita miliki. Ya, kita lahir bukannya dengan tangan hampa, sebab kita memiliki diri, pikiran dan hidup kita sendiri. Dan selama kita tidak kehilangan kepercayaan kepada diri kita sendiri, dunia pasti akan memberikan kepercayaannya kepada kita. Hiduplah bersama keyakinan itu, anakku. Hiduplah bersama keyakinan itu.

Tonny Sutedja

09 September 2012

YANG BAIK DAN YANG BURUK


Even so, near the grave
I believe the time will come
When the spirit of good will conquer
The power of malice and evil
(Boris Pasternak)

Entah mengapa, kadang aku berpikir, bahwa kecintaan pada Sang Pencipta dapat menjadi kebencian pada manusia. Kecintaan yang membuahkan sikap fanatik untuk mengubah segala sesuatu menjadi mutlak sesuai dengan apa yang, menurut sang pencinta, dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dan karena itu memandang kelemahan manusiawi sebagai musuh yang harus dibasmi dan dimusnahkan. Bahkan jika perlu dengan menafikan hak hidup ciptaan Sang Pencipta itu sendiri. Padahal, sadar atau tidak, seringkali dibalik semangat untuk mengadili kelemahan manusiawi tersembunyi kepentingan pribadi agar dapat diakui sebagai pembawa kebenaran. Tetapi apakah kebenaran itu?

Setiap kebenaran selalu mengandung tanda tanya. Setiap kebenaran yang terlalu diagung-agungkan selalu menyimpan persoalan. Persoalan, karena setiap manusia hidup bersama beban pemikiran dan perasaannya masing-masing. Juga dengan situasi dan kondisi yang sulit untuk dipahami bahkan oleh mereka yang paling akrab sekalipun. Dan tak ada yang dapat memastikan siapa yang memiliki beban yang paling berat atau ringan. Sebab sesungguhnya, tak ada beban terberat atau pun teringan di dalam kehidupan ini. Beban setiap orang hanya mampu dirasakan dan dialami oleh masing-masing pribadi. Maka siapa pun yang mengatakan bahwa dia memiliki kebenaran, itu hanya kebenaran dalam cara pandangnya sendiri. Bukan milik orang lain.

Sebab itu, kita tidak menilai kebenaran Sang Pencipta dari sudut pandang kita saja. Kita tak dapat menafsirkan sabda-sabda Sang Pencipta dari pikiran kita. Pikiran yang kita bangun dari bagaimana kita hidup. Bagaimana kita mengalami dan merasakan pengalaman yang telah membentuk kita. Kita bukan mereka. Kita hanya sendirian. Informasi apapun yang kita serap, semirip bagaimanapun dia, takkan pernah sama dalam pikiran kita. Hidup memang tidak sederhana. Sebab itu, dalam kerumitannya, hidup jangan kita persulit dengan satu garis lurus yang menurut kita benar. Apalagi dengan memaksakan kebenaran kita kepada sesama. Kepada dunia. Apalagi sampai melakukan penghancuran hanya demi anggapan kebenaran dari sudut pandang kita. Kelak kita akan kecewa. Kelak bahkan kita dapat menyesali semuanya. Menyesali kebebalan kita. Menyesali ambisi dan tindakan kita. Betapa sia-sianya. Hampa dan tak berguna bagi kemanusiaan.

Siapakah kita sehingga kita layak menganggap dunia yang ada dalam pemikiran kita adalah alam semesta? Siapakah kita sehingga kita layak mencintai Sang Pencipta dengan membenci ciptaan-Nya? Siapakah kita sehingga kita merasa punya hak untuk membela Sang Pencipta dengan membasmi semua ciptaan-Nya? Siapakah kita sehingga kita bahkan rela untuk menghancurkan diri kita sendiri, menghancurkan ciptaan yang dikasihi-Nya, hanya demi anggapan bahwa apa yang kita lakukan adalah sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya? Siapakah kita? Bukankah jika mau, Sang Pencipta sendiri lebih dari hanya mampu untuk mengubah apa yang telah diciptakan-Nya menjadi sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya? Tetapi tidak! Dia mencintai kehidupan yang telah diciptakan-Nya. Dia mencintai kita. Aku, kau, kita, mereka. Dia mencintai kita semua. Dan karena itu, Dia menciptakan kita dengan harapan agar kita, sebagai ciptaan-Nya, dapat mencari dan menemukan Dia dengan cara kita masing-masing. Dengan menjalani kehidupan ini. Dengan masing-masing mencoba dan berupaya untuk menemukan makna keberadaan kita di alam semesta ini. Dengan berbuat tanpa merusak, tetapi bahkan demi membangun kehidupan segenap alam semesta ciptaan-Nya. Kita ada untuk mencintai, bukan untuk membenci satu sama lain.

Maka kecintaan kepada Sang Pencipta haruslah dijalani dengan sikap untuk berusaha memahami dan mencintai kelemahan segenap ciptaan-Nya. Sebab setiap insan kehidupan pasti memiliki kelemahan dan kekuatannya sendiri-sendiri. Di alam pemikiran kita, tak ada yang bisa mengetahui apakah kebenaran yang kita pahami adalah sungguh suatu kebenaran mutlak. Tak ada. Kebenaran yang kita pikirkan saat ini hanyalah kebenaran milik kita sendiri. Pasti bukan milik sesama. Apalagi milik alam semesta. Bahkan jangan-jangan bukan juga milik Sang Pencipta yang, karena kecintaan-Nya pada kehidupan, telah membuat kita ada. Dia mencintai kita semua. Tanpa batas. Jadi layakkah kita membatasi ciptaan-Nya sekedar hanya dalam benak pikiran kita yang terbatas ini? Layakkah itu? Layakkah?

Tonny Sutedja

07 September 2012

SENJA


Kini senja telah tiba
Tak banyak lagi kata
Untuk diucapkan
Hidup hanya dijalani
Diam dan
Menunggu

Membisu bukit di kejauhan
Di bawah serakan awan hitam
Tangisan dan tawa
Sesayup menggema
Dari latar lewat
Sisakan sepi membisu
Sunyi

Kini senja telah tiba
Bayang malam menerpa
Dengan jemari yang gemetaran
Hadapi waktu ketidak-pastian
Menunggu
Satu kepastian
Datang
Sendiri

Angin datang
Dan pergi
Bisu

Tonny Sutedja

05 September 2012

DEO (2)


Setiap kali memandang bayi kecil ini, setiap kali pula aku merasa takjub. Takjub betapa kehidupan bertumbuh setiap saat. Dari ketak-berdayaan menuju ke tak-terdugaan. Dari keringkihan menuju ke kekuatan yang penuh daya gerak. Betapa ajaibnya kehidupan yang telah diberikan kepada kita. Dan kurenungkan, saat memegang jemarinya yang mungil ini, sebuah daya untuk mengubah dan berubah. Sebuah daya untuk terus menerus menyerap dari alam apa yang tak dikenalnya menjadi miliknya sendiri. Hidup ini sungguh sebuah mukjizat yang menakjubkan. Seandainya kita mau belajar darinya. Belajar darinya.

Seorang bayi yang kini berkembang menjadi anak kecil yang dengan lincah meraih apa saja yang ada di sekitarnya. Dan merangkak menuju kemana saja yang dia inginkan. Tersenyum, tertawa, berkata-kata dalam kalimat tanpa makna dan sesekali menangis dalam suara yang teramat nyaring. Sungguh, inilah kita pada awalnya. Kita semua. Dan sementara memikirkan tentang diri ini sekarang, aku membayangkan apa saja yang telah kujalani di masa-masa yang silam. Kini. Saat ini. Disini. Betapa mengherankannya hidup yang telah dan sedang kita jalani ini. Dan demikianlah, ketika aku memandang wajah kecil dengan mata yang berbinar-binar, aku pun bertanya-tanya pula apa yang kelak akan dijalaninya.

Memang kita tak pernah dan tak mungkin dapat meramalkan apa kemungkinan yang akan terjadi nanti. Tetapi aku percaya bahwa semua kehidupan pada akhirnya akan belajar untuk hidup. Untuk ada. Dan sementara kita jalani hidup kita sendiri, kehidupan baru akan dan selalu akan berkembang pula. Segala sesuatu akan berubah. Segala sesuatu pasti berubah. Dan kita sendiri tak punya kemampuan untuk menahan perubahan itu. Terutama jika tidak menyangkut hidup kita sendiri. Maka yang dapat kita lakukan hanya menjalaninya sesuai cara kita masing-masing tanpa perlu berupaya untuk memaksakan kehendak kita pada dunia. Sebab, kitalah yang akan belajar dari alam, dan bukan alam yang belajar dari kita.

Setiap kali memandang bayi kecil ini, setiap kali pula aku merasa betapa tak berdayanya aku untuk menentukan suatu kepastian. Sesekali ada rasa khawatir. Sesekali timbul rasa gentar. Tetapi toh, aku tak mungkin mampu untuk menghentikan perubahan yang terjadi. Bahkan pasti aku mengharapkan perubahan-perubahan itu. Karena setiap perjalanan kehidupan ini selalu akan menemui pengalaman yang berbeda. Tak pernah sama. Dan terpikirlah, dimanakah kekhawatiran-kekhawatiranku di masa lampau sekarang? Bukankah pada akhirnya semua akan menguap lepas ke udara yang demikian luas dan demikian riang menyerapnya? Tidak, kekhawatiran itu belum tentu lenyap, tetapi kehawatiran itu pasti berubah. Terus menerus berubah.

Maka aku mengharapkan agar kehidupan yang baru yang akan ditempuh bayi kecilku ini berjalanan sesuai apa yang diinginkannya sendiri. Sebab seorang manusia pasti memiliki ciri khas masing-masing. Siapa pun dia. Setiap manusia pasti merindukan harapan dan pemikirannya sendiri. Dan kita tak bisa memaksakan sesuatu yang tidak alamiah. Kita hanya bisa mendidik, mengajar dan membagikan pengalaman kita tetapi bukan keinginan kita. Kita hanya bisa memberi teladan. Bukan membentuk dia menjadi sama dengan kita. Sebab kita bukan dia. Bukan.

Ah lihat, dia tersenyum padaku. Pada kita. Pada dunia. Sebuah mukjizat. Dapatkah kita membenci kehidupan yang indah ini? Dapatkah?

Tonny Sutedja

BULAN BIRU


Bulatan purnama mengapung
Atas pohon cemara hitam
Berdampingan dengan
Percik cahaya bintang
Menerobos kelam

Dan sekumpulan kunang-kunang
Berpendaran di dedaunan
Mengusir pekat
Sementara hening
Diam menenggelamkan kata

Tiba-tiba disini
Terang dan gelap
Menyatu dengan indah
Seakan tak berbatas
Antara duka dan suka

Betapa damainya
Betapa damainya

Dalam sunyi
Cahaya dan kekelaman
Menjadi mimpi indah
Tentang hidup
Yang sesaat hanya

Waktu
Purnama
Cemara
Kunang-kunang
Terang
Gelap
Hening
Indah
Tanpa kata
Damai di hati

Tonny Sutedja

ANGIE


Angie, Angie
When will those clouds all disappear?
(AngieThe Rolling Stones)

Hidup adalah pilihan. Pilihan adalah kesempatan. Tetapi kesempatan punya banyak wajah. Kadang mirip. Kadang bertentangan. Dan kita, ya kita, tak pernah tahu akan kemana ujung kehidupan yang telah kita ambil akan menuju kemana. Namun sekali keputusan kita buat, sekali tindakan kita lakukan, kita tak punya kesempatan lagi untuk mundur. Kita tak punya pilihan lagi selain dari menjalaninya. Dan sungguh, betapa akhirnya kita sering harus, terpaksa atau tidak, kita akhirnya jalani kehidupan ini dengan topeng. Untuk menyembunyikan kegentaran kita. Untuk menyembunyikan luka-luka kita. Untuk menyembunyikan kepahitan kita. Dan kapankah mendung kelam ini akan lewat? Dapatkah dia berlalu? Sanggupkah kita menghadapi dan menerimanya?

Pilihan selalu punya resikonya sendiri. Dan setiap resiko haruslah kita hadapi dengan tegar. Haruslah berani kita hadapii. Tanpa putus asa. Bersama pertanggung-jawaban pribadi. Bersama keberanian untuk menerima segala resiko. Kita toh sadar, mampu atau tidak, jalan yang kita tempuh saat ini adalah jalan yang punya awal. Sebab, segala sesuatu mempunyai awal, dimana kita hidup bersama keputusan yang sudah kita ambil sendiri. Jalan yang kita pilih sendiri. Sesal? Kecewa? Sakit hati? Menumpahkan kepahitan yang ada kepada orang lain bukanlah solusi. Tetapi mempersalahkan diri sendiri juga bukanlah sebuah obat penyembuh yang ampuh. Karena kita sadar, bahwa sesungguhnya, apa yang telah terjadi saat ini merupakan akibat dari apa yang telah kita putuskan kemarin.

Hidup memang adalah pilihan. Namun kita juga tak bisa menghakimi pilihan yang dijalani orang lain. Sebab kita bukanlah dia. Kita bukanlah mereka. Seandainya kita adalah dia. Seandainya kita adalah mereka. Dengan situasi dan kondisi yang sama. Apakah pilihan yang kita ambil bisa lain? Apakah bisa berbeda? Belum tentu. Setiap manusia, pada akhirnya, akan mengambil pilihan yang sesuai dengan dirinya sendiri. Dan saat itu, banyak hal yang yang mengharuskan kita untuk bertindak dengan memperhitungkan perasaan dan pemikiran yang tidak mungkin sama dengan situasi dan kondisi kita saat ini. Setiap pilihan tidak dapat dinilai sebagai baik atau buruk. Setiap pilihan hanya bisa berarti benar atau salah. Dan apapun juga, akibat-akibatnya menjadi tanggung jawab pribadi bagi kita semua. Dan itu harus dijalani. Harus dijalani.

Hidup tidaklah sederhana. Memang. Karena hidup selalu memiliki banyak pilihan dengan kesempatan-kesempatan yang tak pernah dapat kita pastikan akan menuju kemana akhirnya. Mempersalahkan orang lain atau mempersalahkan diri sendiri hanya berarti kita enggan untuk menanggung beban dari keputusan yang kita ambil. Kebenaran yang sesungguhnya adalah bagaimana kita bisa memperbaiki apa yang salah dan berjalan kembali menuju ke arah yang benar. Bukan hanya berdiri terpaku sambil menyesali segala yang telah terjadi. Sebab kita hidup dengan waktu yang melaju. Dan berhenti hanya akan membuat kita tertinggal atau ditinggalkan oleh sang waktu. Membuat kita tak kemana-mana kecuali kehilangan kehidupan di saat kita sendiri masih memilikinya.Sesungguhnya itu jauh lebih menyedihkan. Jauh lebih menyakitkan.

Maka memang, walau kita tak pernah tahu kapan mendung kelam ini berlalu, kita semestinya juga sadar bahwa di balik mendung kelam ini, matahari selalu ada. Dia hanya menunggu kesempatan untuk bersinar kembali. Dan selayaknya kita masih memiliki harapan untuk melihat cahayanya yang indah. Kehangatannya yang menyenangkan. Kita hanya perlu kesabaran untuk menunggunya. Kesabaran untuk menanggung semua akibat dari pilihan yang salah, Dan meraih kembali kesempatan untuk berubah. Sebab hidup adalah pilihan. Dan pilihan selalu ada di setiap jalan, salah atau benar, untuk memperbaiki arah kita. Maka jika kita salah dalam memilih, ubahlah arahmu. Hidup tidaklah buruk. Hanya perlu dirubah. Dan kita tetap punya kesempatan untuk itu. Selama kita hidup. Selama kita masih hidup.

Tonny Sutedja

04 September 2012

KATA

Hidup bukan kata. Namun sering kata menentukan hidup. Ada orang yang sedemikian terikat dengan kata, sehingga menganggap bahwa apapun yang telah tertulis adalah kebenaran mutlak. Sehingga dia mau dan dapat berbuat apa saja demi kata. Kata-kata yang tertulis, yang kita anggap bersumber dari hal yang mutlak benar, tidakkah dia mengalir melalui manusia yang memiliki pengalaman sendiri dalam menapak kehidupannya? Bagaimana kita dapat memastikan suatu kebenaran saat kita sendiri menyadari kelemahan kita sebagai manusia yang rapuh dan sering tak berdaya ini? Bukankah kita sering menyembunyikan ketak-berdayaan kita, dengan berpura-pura berdiri kokoh dan teguh memaksakan kebenaran kita sendiri, justru karena kita ragu terhadapnya? Hidup memang bukan kata. Tetapi mengapa kita sering memaksakan kata itu terhadap hidup?

Bandara Sultan Hasanuddin, suatu pagi. Puluhan, atau bahkan ratusan manusia nampak berseliweran, berkelompok atau hanya sendirian, di depanku. Ratusan wajah yang praktis terasa asing, jauh dan tak kukenali. Aku merasakan jejak-jejak kehidupan yang membaur, tersembunyi di balik wajah-wajah itu, di balik pikiran dan perasaan mereka. Siapakah mereka? Dari mana mereka datang? Dan akan menuju ke manakah mereka? Dari sudut pandang mereka, aku memikirkan juga mengenai diriku. Siapakah aku? Kenalkah aku seutuhnya mengenai diriku? Mungkin dan pasti aku mengetahui asalku, dan akan kemana diri ini, tetapi mengapa aku harus berasal dari situ? Dan mengapa aku harus menuju ke sana? Tidakkah, sama seperti mereka, sering aku sendiri tak tahu mengapa aku harus bergerak dalam perjalanan panjang kehidupan ini? Dan jika demikian, mengapa aku harus memastikan bahwa asal dan tujuanku adalah suatu kepastian mutlak yang, sering, kuanggap sebagai suatu kebenaran mutlak pula? Siapakah aku? Siapakah kita?

Pengalaman membuat kita sadar, betapa seringnya kita menggapai-gapai tujuan yang sering kita sendiri tak mengenalnya. Tujuan yang sering kita tak tahu untuk apa kita harus menuju ke sana. Dan jika demikian, seharusnya kita sadar bahwa kita adalah jiwa-jiwa rapuh yang berusaha untuk tegar, dan karena itu berupaya untuk memegang sesuatu yang kita bayangkan sebagai kebenaran tanpa mau bersusah payah untuk merenungkan apakah sesuatu itu sendiri. Kita bahkan menganggap bahwa sesuatu itu mutlak benar sehingga tanpa sadar kita menyamakan diri kita dengan sesuatu itu. Namun, bukankah itu hal yang sia-sia? Bukankah itu membuat diri kita terperosok dalam gua yang sempit dan gelap serta melupakan betapa dunia di luar kita sesungguhnya amatlah beraneka warna dan penuh keindahan. Sementara kita mengira bahwa hanya apa yang kita alami dalam kegelapan gua tersebut sebagai satu-satunya hal yang benar dan kemudian ingin memaksa dan menyeret sekeliling kita dalam keseragaman kegelapan yang sama, kita melupakan betapa indahnya kebebasan warna-warni panorama dunia.

Maka menyaksikan wajah-wajah yang ada di depanku, sosok-sosok yang terlibat dalam percakapan entah apa, tiba-tiba aku tahu bahwa, hanya dalam perbedaan pengalaman saja kita dapat saling berbagi, saling bertutur dan saling bersenda gurau. Sebab, jika kita semua punya imajinasi yang sama, apakah yang harus kita bagikan? Apakah yang harus kita tuturkan? Dan bagaimana bisa kita terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan sambil tertawa gembira jika kita tidak menyadari perbedaan diantara kita? Bukankah karena kita berbeda, maka hidup menjadi jauh lebih menyenangkan? Di tengah ruang tunggu bandara yang teramat luas dan sejuk ini, aku menyadari bahwa kata bisa membuat kita bersahabat dan bersaudara tetapi hanya dalam pengalaman saja yang membuat kehidupan ini indah dan bermakna. Kita memang hidup dengan kata, tetapi bukan kata yang menentukan kehidupan kita. Bukan kata.

Tonny Sutedja

CALON

Berapa banyakkah anak yang mampu
memancarkan terangnya?

Di suatu pagi yang cerah. Jauh di pedalaman. Belasan anak nampak bermain di tengah tanah lapang yang berdebu. Di atas rerumputan kering, mereka berlarian sambil meneriakkan kata-kata yang tak jelas artinya. Wajah-wajah yang kekanakan, penuh dengan senyum dan tawa, seakan hidup sama sekali tidak memiliki beban apapun juga. Wajah-wajah yang murni walau dengan pakaian yang seadanya. Bahkan beberapa terlihat kumal. Betapa mengagumkan. Betapa menyejukkan hati. Dan aku terpana sejenak memandang satu per satu wajah-wajah itu. Sungguh terasa dekat tetapi juga sangat jauh. Jauh dan asing. Tak terpahami.

Siapakah mereka? Apakah yang mereka angankan? Seberapa banyakkah yang telah mereka pelajari dalam kehidupan ini? Sudah bersekolahkah mereka? Tiba-tiba aku memikirkan jutaan anak di negari ini yang seusia dengan mereka. Jutaan anak yang penuh dengan kepolosan hati, kejujuran dan keceriaan, bakat-bakat awal yang belum terasah. Pikirkanlah berapa banyak dari antara mereka yang memiliki otak yang cemerlang tetapi gagal untuk berkembang, bukan karena mereka tak mau tetapi karena kondisi yang tidak memberi peluang sama sekali bagi mereka? Di tengah mahalnya pendidikan yang tidak mampu mereka raih. Ada perasaan sedih dan pahit jika kita menyadari betapa banyaknya bakat-bakat yang luar biasa pada akhirnya tersia-sia begitu saja. Mereka, calon-calon bunga kemanusiaan yang mungkin akan layu sebelum mampu mekar sepenuhnya. Sebelum mampu berbuah yang mungkin berguna bagi alam semesta.

Demikian pula saat memikirkan para calon pemimpin di negeri ini. Para calon pemimpin yang hanya bisa unggul jika memiliki dana. Pada akhirnya, pemimpin bukanlah mereka yang sanggup dan layak tetapi pemimpin adalah mereka yang mampu dan memiliki kekayaan sehingga dapat membayar apa saja untuk kepentingannya sendiri. Ada yang terasa salah disini. Tetapi hidup berjalan terus. Dan kita sadar bahwa sering kita tidak mampu berbuat apa-apa bukan karena kita tidak berusaha. Tetapi karena kita tidak mampu untuk membeli peluang itu. Padahal, peluang seharusnya tidak dapat dibeli dengan uang tetapi dengan bakat, kemampuan dan kepandaian. Seharusnya, siapa yang memiliki kemampuan dan bakat, pantas untuk mendapatkan peluang itu. Peluang bukan untuk dibeli dengan uang, tetapi diperjuangkan dengan kepandaian yang dianugerahkan Sang Pencipta kepada mereka secara khas dan unik.

Maka kembali saat aku melihat ke belasan wajah mungil yang sedang berkeliaran di lapangan berdebu jauh di daerah pedalaman ini, aku memikirkan betapa banyaknya bakat-bakat yang seharusnya menghasilkan sesuatu yang mengagumkan bagi dunia pada akhirnya pupus hanya karena mereka tidak punya kesempatan sama sekali untuk membayar pengetahuan sebagai dasar mengembangkan bakat-bakat mereka. Dan betapa banyaknya calon pemimpin yang seharusnya mampu untuk berkarya bagi negeri ini pada akhirnya harus gagal karena tidak memiliki dana untuk membayar peluang itu.

Maka aku memikirkan, betapa indahnya jika peluang dan kesempatan seharusnya tidak dapat dibeli dengan kekayaan-kekuasaan-kekuatan tetapi harus diperjuangkan dengan bakat-kemampuan-kepandaian yang layak. Dengan demikian, mereka yang tak punya dana sekali pun, tetap mampu untuk memberikan sumbangannya bagi kehidupan semesta. Dan bakat yang dimilikinya tidak pada akhirnya hanya terpuruk sia-sia begitu saja. Sebab, sungguh sayang jika anugerah yang seharusnya dapat memberikan sumbangan bagi kemanusiaan sirna tanpa makna sama sekali. Tetapi bisakah itu terjadi? Bisakah?

Tonny Sutedja

PINTU


Sebuah pintu menyiratkan sebuah harapan. Juga kekhawatiran. Karena sebuah pintu menjadi batas antara diri kita dengan dunia luas yang membentang dan penuh ketidak-pastian. Ada yang ingin agar pintu tersebut terbuka namun tak sering mampu untuk membukanya. Ada pula yang tidak pernah mau membuka pintu itu karena dia tak pernah tahu apa yang bakal ditemukan di baliknya. Namun, bagaimana pun, sebuah pintu yang tak pernah terbuka bukanlah sebuah pintu. Tetapi dinding. Dan apabila kita hidup hanya dalam ruang yang tanpa memiliki pintu, sesungguhnya kita tak memiliki hidup itu sendiri. Karena kita hanya hidup untuk diri kita sendiri tanpa pernah menikmati keindahan dunia luas yang, walaupun penuh dengan ketidak-pastian, juga keaneka-ragaman yang pantas kita hadapi sebagai sebuah pengalaman. Karena untuk itulah dunia ini diciptakan bagi kita. Untuk itulah kita hidup.

Tetapi sayangnya, seringkali kita lebih suka untuk menutup rapat pintu hidup ini karena ketidak-nyamanan kita akan kemungkinan apa yang akan kita hadapi di luar. Tanpa pernah menyadari bahwa pintu yang tertutup dalam ruang hati kita juga berarti menutup kesempatan bagi mereka yang berada di balik pintu itu untuk menikmati keindahan kita sendiri. Dan selama kita berada dalam dinding-dinding sempit kita, kita akan terkucil satu sama lain. Enggan untuk saling membuka diri. Enggan untuk saling mengenal. Enggan untuk saling membagikan diri. Enggan untuk mengetahui keberadaan dunia luar dan hanya hidup demi keberadaan kita saja. Kita lebih senang untuk hidup dalam lingkungan empat tembok tebal, dengan pintu yang tertutup rapat karena di dalamnya kita merasa aman dari perubahan yang mungkin mengganggu kenyamanan diri kita.

Pintu. Sesungguhnya setiap kehidupan memiliki pintunya masing-masing. Tak ada hidup yang tanpa pintu karena kita memiliki tubuh, rasa dan pikiran yang dapat kita kunci rapat-rapat dari dunia luar. Dan tak seorang pun dapat memasuki pintu kehidupan kita jika saja kita tidak mau membukanya bagi sesama. Tetapi jelas bahwa setiap pintu pasti dapat dibuka dan ditutup sekehendak kita, sebab jika tidak begitu, dia bukan pintu melainkan dinding. Hanya saja, seringkali kita mengubah pintu hidup ini menjadi dinding tebal dengan gembok raksasa yang semakin hari semakin berkarat karena tak pernah kita buka. Dan ketika itu terjadi, hidup kita pun menjadi terkucil satu sama lain karena kita tak pernah membiarkan apapun untuk masuk mengusik kenyamanan kita. Bahkan Tuhan pun tidak. Dan secara otomatis, kita tidak akan juga keluar untuk menyaksikan kenyataan lain yang membentang di alam lepas.

Padahal, pintu selalu punya makna kemungkinan. Dan harapan. Walau juga mengandung bahaya. Tetapi bukankah harus kita sadari bahwa hidup memang penuh kemungkinan agar bisa jadi indah dan bermakna? Bukankah justru dalam ketak-terdugaan itulah sering membuat kita jadi menikmati keindahan hidup ini? Sebab apabila kita mengharapkan kepastian selama kita hidup di dunia ini, sesungguhnya kita tidak lagi mampu untuk berbahagia. Dan jika itu yang menjadi keinginan kita, untuk apa lagi kita hidup? Ketidak-terdugaan. Kemustahilan yang terjadi. Mungkin sebuah mukjizat. Mungkin sebuah kejutan. Itulah yang membuat hidup ini tidak membosankan. Tidak pernah membosankan.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...