28 Januari 2013

KALAH


Kita semua bisa dan mungkin pernah mengalami kekalahan dalam perjuangan mewujudkan harapan kita. Dan bagaimana menerima kekalahan itu akan menentukan kwalitas kita sebagai manusia. Jika kita menerimanya dengan besar hati lalu belajar darinya, kita akan menjadi pemimpin yang jauh lebih baik, lebih kuat dan lebih berhasil menempuh masa depan kelak. Tetapi bila kita menerimanya dengan menyalahkan orang lain, tanpa usaha untuk merenungkan kesalahan yang telah kita lakukan lalu belajar dari kegagalan itu, kita hanya akan menjadi seorang pecundang, picik dan hanya mementingkan diri sendiri.

Maka kekalahan tidak perlu membuat kita sedih, kecewa dan sakit hati. Ya, bukan kekalahan yang menakutkan kita tetapi sikap dan perilaku kita dalam menerima kekalahan itulah yang patut membuat kita menyesal atau bangga pada diri sendiri. Kwalitas seseorang bukan ditentukan dari hasil suatu usaha melainkan dari sikap menjalani dan menerima apapun yang terjadi dari usaha itu. Sebab jika kita percaya bahwa masih banyak kesempatan selama kita memiliki waktu, kita tetap memiliki kesempatan untuk memulai kembali perjuangan kita. Dengan mengubah diri. Dengan memperbaharui semangat. Dengan menyadari bahwa selalu akan ada yang kalah dan menang. Hidup memang demikian adanya.

Namun jika kekalahan kita terima dengan menyalahkan orang lain, dengan menyalahkan keadaan atau bahkan menyalahkan apa saja yang membuat kita gagal, apalagi bersikap membohongi nurani kita dengan memaksakan kemenangan di saat kita jelas kalah, kita telah bersikap tidak jujur dan menjadi sosok yang penakut dalam menerima kegagalan itu. Ataukah kita punya kepentingan tertentu demi untuk memaksakan konsesus agar kepentingan kita tidak diusik? Sesungguhnya, jika kita bersikap demikian, tanyalah ke dalam diri terdalam kita, pantaskah kita menjadi pemenang yang baik? Bukankah mereka yang tidak mampu berbesar hati menerima kegagalan pun tidak layak menjadi seorang pemimpin yang baik? Sebab tujuan perjuangan hanya demi kepentingan diri atau kelompok kita sendiri saja bukan demi kepentingan bersama.

Mereka yang mampu menerima kekalahan dengan lapang dada, dan belajar dari kekalahan itu, adalah mereka yang pantas untuk diperjuangkan kembali. Sebaliknya, mereka yang menolak menerima kekalahan apalagi dengan memaksakan kemenangannya sendiri – kalau perlu dengan mempersalahkan dan mengurbankan orang lain – walau jelas bahwa dia telah kalah, sesungguhnya adalah seorang pecundang yang berpikiran picik dan tidak pantas lagi diperjuangkan. Sangat tidak pantas.

Oleh sebab itu, marilah memberi keteladanan yang baik kepada masyarakat. Mari memberikan harapan kepada masyarakat. Bahwa tujuan hidup ini bukan hanya soal kalah atau menang. Tetapi sikap dan keberanian menghadapi yang terburuk demi masa depan yang terbaik. Kita semua patut menyadari keterbatasan kita dengan berani menerima kenyataan. Dengan jujur terhadap kebenaran. Dengan demikian, kita dengan bangga mewujudkan harapan bersama bahwa setiap kegagalan bukanlah akhir dari kehidupan ini. Melainkan sebuah awal baru. Kesadaran baru. Bahwa kita dapat terkalahkan tetapi tidak menjadi pengecut dan pecundang yang ingin lari dari kenyataan sambil membohongi diri sendiri. Jujurlah pada kehidupan ini. Jujurlah kepada kepada masyarakat dan dunia. Dan yakinlah, bahwa bukan hanya kemenangan yang dapat membuat kita bangga. Kekalahan pun, jika diterima dengan lapang dada membuat kita menjadi sosok yang patut dibanggakan.

Tonny Sutedja

DARI MANA SEPI DATANG


Pada dedaunan yang bergerak
Terhembus angin. Aku bertanya
Kemanakah dia pergi?

Apakah dia mengejar
Si burung merpati. Yang
Membawa ranting zaitun?

Pada tanah yang basah
Tersiram hujan. Aku bertanya
Kemanakah dia mengalir?

Apakah dia menuju
Ke sumbernya. Yang
Mengisi relung kosong?

Pada langit yang mendung
Tertutup awan. Aku bertanya
Dari manakah dia datang?

Apakah dia berasal
Dari kemurungan dunia. Yang
Menyimpan rindu?

Sebab ketika kita kehilangan
Kata. Tersisa hanya kesenyapan
Dan tanpa ujung

Tonny Sutedja

27 Januari 2013

TUHAN ITU HARAPAN


Bahkan dalam saat mendung pekat menutup langit, percayalah, bahwa selalu ada matahari di belakang awan walau tak nampak. Selalu ada harapan di balik sebuah situasi yang seakan-akan tanpa jalan keluar. Hidup bukanlah sebuah jalan yang lurus sebab jika jalan itu hanya lurus ke depan, tanpa kelokan tanpa tanjakan atau turunan, bagaimana kita dapat menikmati keindahan sebuah lembah atau kepermaian pegunungan yang membujur dengan udara yang sejuk dingin? Bukankah kita harus melewati segala rintangan sebelum kita dapat menyaksikan panorama alam yang indah menakjubkan itu?

Sebuah musik, sebuah lagu yang terasa indah dalam pendengaran kita pun butuh sebuah proses panjang dari ide, instuisi hingga menjadi irama merdu yang kita nyanyikan sekarang. Sebuah film yang menyentuh perasaan dan pikiran kita selalu berawal dari inspirasi tentang kehidupan yang lalu dibawakan secara apik dengan penuh emosi dan proses rekaman hingga dapat kita tonton bersama di gedung-gedung bioskop atau walau hanya di kamar kita dalam bentuk cakram disk. Maka memang, segala sesuatu yang kita alami sekarang dan saat ini hanya sebuah proses panjang menuju keabadian kelak. Yang takkan pernah kita pastikan ujudnya. Yang takkan pernah dapat kita ramalkan. Walau tetap kita dapat berharap. Berharap.

Dengan demikian hidup sesungguhnya adalah sebuah harapan. Dan tak seorang pun yang dapat meninggalkan harapan itu tanpa meninggalkan kemanusiaan kita. Maka jika saat ini hidupmu seakan-akan dalam kegelapan yang sungguh pekat, seakan-akan tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menerobos pekatnya penderitaan, kesunyian dan kekecewaan kita, percayalah bahwa di balik semua itu selalu ada matahari yang menanti saatnya untuk menyinari kembali kehidupan kita. Kesempatan dalam waktu yang tak bisa dapat dipastikan kapan tetapi pasti akan datang mengunjungi kita kembali. Di satu saat yang tak pernah kita duga. Di satu ketika yang mungkin ketika itu kita telah menyangka bahwa segala-galanya telah selesai bagi kita.

Maka mari kita tetap jaga semangat kita untuk tak pernah berhenti berharap. Mari kita hadapi hidup ini dengan senyum walau mungkin terasa pedih dalam hati. Mari kita bergulat dengan kesulitan dan ketidak-mampuan kita dan dengan tetap mempertahankan semangat untuk ada dan untuk hidup. Dan percayalah, Tuhan kita selalu ada bahkan di balik situasi yang seakan tanpa kehadiran-Nya. Sebab jika kita bisa memahami bahwa di balik awan mendung setebal apapun selalu ada matahari di belakangnya, maka kita pun akan yakin bahwa di balik situasi hidup yang seakan tanpa jalan keluar selalu ada Tuhan menanti saat-Nya untuk hadir dan membuat segala kekelaman itu menguap sirna. Sebab Tuhan adalah harapan kita. Kita semua.

Berikanlah senyum-mu pada dunia. Bagikanlah semangat-mu, walau mungkin tersisa hanya sedikit, pada semesta. Sebab, bukankah mereka yang memberi dari kekurangan-Nya sesungguhnya adalah pemberi terbesar dalam kehidupan ini? Dan bukankah Tuhan sendiri bahkan telah memberi hidup-Nya sebagai manusia untuk kemudian bangkit dalam kemuliaan Paskah? Jadi jangan takut tetapi percayalah bahwa selalu ada cahaya dibalik pekatnya hidupmu. Selalu ada harapan di balik kelamnya hidupmu. Selalu ada. Sebab Tuhan itu harapan. Tuhan itu harapan. Maka tersenyumlah pada dunia. Tersenyumlah baik di hari yang teramat sulit maupun di hari yang demikian indah. Maka berkat-Nya akan turun lewat senyum itu. Senyumlah pada dunia.......

Tonny Sutedja

24 Januari 2013

DI UJUNG KEHIDUPAN


Mengenang Anastasia Inska Horas

Hidup adalah perjalanan yang selalu berujung
Dan derita selalu akan berlalu
Jangan takut. Tetaplah melangkah
Kita ini hanya setetes air
Yang kelak kan kembali ke haribaan samudera

Tetapi walau hanya setetes air
Kita dapat sungguh berguna
Bagi kehidupan. Bagi semesta
Memuasi dahaga mereka yang haus
Dan Tuhan membuat kita untuk itu

Hidup adalah perjalanan yang selalu berujung
Dan derita pun akan segera lenyap
Dalam tonggak keberadaan kita
Akan memancang tiang harapan
Bagi sesama. Bagi dunia

Berpulanglah dalam damai
Lelaplah dalam kasih
Dan kami tahu bahwa
Banyak kalimat tak terucapkan
Akan bergema di telinga Tuhan

Hidup adalah perjalanan yang berujung
Dan kini tibalah engkau di tujuan
Lepaskan derita. Tinggalkan kenangan
Dalam kasih segalanya akan melebur
Betapa indahnya karya Tuhan
Betapa indahnya karya Tuhan
Bagimu.

Tonny Sutedja

BATAS


Tubuhnya yang kurus nampak mengerut ketika kulihat dia terbaring di atas ranjang rumah sakit itu. Wajahnya telah kehilangan seri. Dan matanya menatap ke langit-langi dengan pandangan kosong. Ketika dia kusapa, ternyata dia tidak lagi mengenaliku. Dan aku merasakan suasana yang hampa ketika dia hanya sanggup mengguman kata-kata yang tak dapat lagi dipahami. Lengannya, dengan jemari yang kurus nampak terkulai, memegang kertas tissu yang sesekali digerakkannya ke mulutnya. Dia sadar tetapi tidak sadar. Dia masih hidup tetapi nyatanya telah kehilangan kehidupan. Dia masih bernafas tetapi telah kehilangan daya untuk berpikir atau bahkan sekedar untuk mengingat diriku.

Beberapa waktu lalu, aku telah menerima kabar bahwa kondisinya menurun dengan drastis setelah terjatuh di dalam kamar mandi. Usianya yang sudah 76 tahun membuat tubuhnya lemah dan kehilangan semangat, bahkan sekalipun hanya untuk mencoba tersenyum. Kini, aku menatap dia dengan perasaan sedih. Membayangkan betapa dulu, tubuh ini menyimpan semangat yang demikian kuat dan kukuh sehingga seakan-akan semua hal ingin dikuasainya. Aku teringat pada kemarahan dan kata-katanya yang sering demikian menusuk hati. Aku terkenang betapa dulu seakan semua hal diketahui dan ingin dicapainya bahkan walau dengan kekerasan sekalipun. Sifatnya yang tak pernah mau kalah. Dan dengan kekuasaan dan kekayaannya, seakan semua orang harus tunduk kepadanya. Sungguh, tiba-tiba aku terkenang betapa dulu dia seakan takkan pernah dapat terkalahkan. Tak pernah dapat dikalahkan. Semua ingin dikuasainya. Semua ingin diaturnya. Semuanya.

Kini, saat aku berhadap-hadapan dengannya, kurasa betapa dia sungguh amat berbeda, sangat berbeda dengan dia yang kukenal bahkan walau hanya beberapa bulan sebelumnya. Betapa waktu berjalan seperti biasanya tetapi hidupnya merosot demikian cepat. Sangat cepat. Dimanakah semangat yang dulu pernah dimilikinya? Dimanakah segala ambisi dan hasratnya yang seolah tak pernah berujung? Dimanakah sikap keras kepala dan kekuatan yang seakan tanpa batas? Dimanakah semua hal yang membuatnya merasa seakan hidupnya takkan pernah berakhir? Seorang manusia yang seakan terbuat dari baja dan menafikan segala kelemahan manusiawi orang-orang sekitarnya? Dimanakah dia sekarang? Dimana?

Aku menatap tubuhnya yang tak berdaya itu. Dan tiba-tiba aku berpikir bahwa seharusnya kita harus menyadari keterbatasan diri kita. Hidup yang terbatas. Kemarahan yang terbatas. Dendam dan sakit hati yang terbatas. Kekuasaan dan kekuatan yang terbatas. Dan lihatlah, ketika saatnya tiba, pada akhirnya kita semua harus menyerah. Dan betapa sia-sianya semua ambisi dan hasrat kita. Betapa tak bermanfaatnya segala yang telah kita raih di ujung hidup ini. Segala pertengkaran, segala perkelahian, dendam dan benci, marah dan sakit hati, toh semuanya pada akhirnya akan sirna juga. Semua menjadi tak berarti dan tak berguna. Dan bahkan sebelum akhir tiba, dia sendiri telah kehilangan kesadaran dan ingatan bahkan sekalipun untuk mengenal dirinya sendiri.

Perlahan kudekati dia. Kugenggam tangannya yang terasa layu. Dan sambil menatap matanya, aku memanggil namanya. Dia menatapku tetapi hanya ada kehampaan dalam kedua bola matanya. Kubisikkan kalimat untuk menghibur dirinya, tetapi dia hanya mengguman singkat tanpa dapat kupahami maknanya. Tetapi aku melihat ada tetes air perlahan mengalir dari kelopak matanya. Dan aku sedih. Sangat sedih. Sungguh terasa betapa rapuhnya hidup ini. Sungguh betapa sia-sianya segala kekerasan hati kita jika kita kelak berhadapan muka dengan saat-saat akhir hidup ini. Sebab pada akhirnya toh, kita akan takluk dan kembali ke haribaan bumi. Kembali kepada Pencipta kita semua......

Tonny Sutedja

23 Januari 2013

SEBUAH PERJALANAN


Mobil yang kutumpangi berjalan merayap menembus malam yang kelam ditemani hujan yang cukup deras. Jarak pandang amat terbatas di tengah gelapnya jalan yang tanpa lampu penerang. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari lampu mobil kami. Perjalanan menuju Awalo, Konawe Selatan ini untuk menghadiri perayaan bulan Maria di sana. Di tengah jalanan yang asing bagiku, dalam suasana gelap dan jalan yang berkelok-kelok, serta hujan yang cukup deras, aku duduk di depan, di samping pengendara mobil ini, dengan sedikit kekhawatiran akan perjalanan yang seakan tanpa akhir ini.

Namun, di belakangku, kudengar orang-orang sedang bercanda. Seseorang menuturkan sebuah cerita lucu sementara yang lain tertawa riang. Dalam suasana untuk mengusir penat karena perjalanan panjang ini, dan dalam kondisi yang mencekam, tiba-tiba aku disadarkan pada tantangan kehidupan dalam perjalanan keberadaan kita di dunia ini. Sama seperti perjalanan yang kami lalui malam ini, seringkali suasana terasa sangat mengkhawatirkan dan sering nampak tidak menguntungkan tetapi selalu ada yang dapat dinikmati dalamnya.

Hidup, bahkan dalam kegelapan yang bagaimana pun juga, selalu punya sisi terang. Bukan dari situasi yang sedang menjepit kita tetapi dari hati dan pikiran kita sendiri. Jangan pernah takut. Kita tak perlu tergantung pada apa yang ada di luar kita karena apa yang nampak seakan-akan tanpa harapan di luar selalu dapat teratasi dengan semangat yang berada di dalam diri kita. Penderitaan kita, kegagalan kita, musibah apapun yang sedang kita alami hanya berasal dari luar sementara sesungguhnya kita dapat menerima segalanya itu dengan hati riang. Jika kita mau. Jika kita sadar. Bahwa semua yang terjadi mungkin di luar kemampuan kita untuk mencegahnya tetapi bagaimana penerimaan kita terhadapnya selalu berasal dari dalam diri dan hati kita sendiri.

Demikianlah, sementara suasana jalan dan alam di luar kami nampak mencekan dan sama sekali tidak menampakkan cahaya kecuali yang berasal dari lampu mobil kami ini, di tengah suasana yang dapat menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran dalam diri kami dalam perjalanan yang seakan tak berujung, kami semua seakan tak menyadarinya. Lelucon diceritakan. Tawa ria meledak. Dan seorang anak bernyanyi riang, lalu kami pun mengikuti iramanya. Bagiku, ini sungguh menakjubkan. Dalam suasana dan kondisi yang terasa mengandung bahaya dan tidak menguntungkan, hidup terasa menyenangkan. Penuh tawa dan bersama iringan lagu yang indah. Menakjubkan, memang.

Maka, wahai, bagi siapa pun yang sedang mengalami situasi yang sulit dalam hidup ini, percaya dan yakinlah, bahwa situasi yang sulit itu dapat dan harus kita terima bukan dengan keluh kesah atau pasrah dalam kekecewaan menerimanya, tetapi justru harus dengan semangat untuk menyambut kondisi itu dengan kegembiraan dalam hati sebagai suatu cobaan dunia yang takkan dapat mengubah hati dan semangat kegembiraan jiwa kita. Suasana mungkin teramat buruk. Kondisi kita mungkin sangat jelek. Tetapi hati dan semangat kita tetap berkobar dengan suka cita. Dan harapan.

Dan setelah perjalanan kurang lebih 3 jam lebih menembus malam, hujan dan gelap, pada akhirnya kami tiba di tujuan dengan selamat. Aku lega. Dan bersyukur. Bahwa perjalanan yang tadinya terasa seakan-akan tak berujung ternyata telah sampai. Dan kekhawatiran serta ketakutan yang sebelumnya menggaluti hidup ternyata semuanya sekarang nampak sia-sia adanya. Perjalanan ini jadi indah bukan hanya karena panorama alam yang menakjubkan tetapi dan terutama karena semangat yang kami, para pengendara dan penumpang mobil ini, menjalaninya dengan hati riang dan penuh tawa. Dan musik. Harapan ternyata ada. Selalu ada.

Tonny Sutedja

CODA


Tak ada kesunyian yang abadi sama seperti tak ada keramaian yang kekal. Mereka yang mengharapkan kesunyian abadi hanya akan menemukan kerinduan dan mereka yang mencintai keramaian kekal hanya akan menemui kesepian dalam hidupnya. Sebab segala sesuatu ada waktunya, tulis Pengkhotbah. Sebab, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya”.

Memang demikianlah hidup ini berjalan. Maka bukan soal bagaimana menghadapi kesunyian diri, atau bagaimana menerima keramaian dunia, melainkan menemukan keseimbangan dalam pengalaman tersebut. Sebuah lagu yang indah pasti mengandung saat-saat tertentu dimana musik berhenti agar kita bisa menikmati keindahan iramanya, meresapkan ke dalam jiwa nada yang telah lewat untuk dapat menangkap esensinya.

Sesungguhnya memang, setiap momen dapat kita nikmati, dan setiap peristiwa mampu kita lalui bilamana kita tahu saat-saat untuk berhenti di sela-sela karut marut hidup ini. Dan merenungkan serta belajar dari semua pengalaman yang telah terjadi. Semua peristiwa memiliki dua sisi. Bahkan dalam masa sepahit apapun, selalu akan mengandung sisi yang manis. Demikian pula dalam momen yang manis selalu menyimpan sisi pahitnya sendiri. Tak ada yang berdiri sendiri. Semua punya waktunya.

Maka siapa pun yang menginginkan kekekalan di dunia yang fana ini akan kecewa. Mereka yang mengharapkan kesempurnaan akan gagal untuk hidup secara layak. Kelemahan kita justru merupakan kekuatan kita. Ketidak-kekalan kita justru merupakan sebuah anugerah. Kita harus belajar menerimanya sebagai suatu pengalaman dalam hidup yang berjalan. Hidup memang adalah suatu sarana pembelajaran.

Jadi apabila saat ini kita tertawa, nikmatilah tanpa perlu meratapi tangis yang kelak akan terjadi. Dan apabila kita menangis, nikmatilah dengan kesadaran bahwa sesaat kemudian tawa kita dapat lepas. Bersama waktu, kita akan berjalan terus. Dan kita harus mengalami dan belajar dengannya. Sepanjang kehidupan kita. Sebab, “ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari”.

Demikianlah kita harus hidup. Tanpa sesal berkepanjangan. Kesunyian dan keramaian akan datang silih berganti. Tawa dan tangis akan saling berganti menjadi pengalaman yang berarti bagi kita. Hidup ini adalah mengalami. Dan dalam pengalaman itu kita belajar untuk menerima. Menerima apapun juga yang terjadi. Sebab semua ada akhirnya. Semua ada masanya. Hiduplah dengan pengalaman itu. Apa adanya. Sebagaimana mestinya.

Tonny Sutedja

21 Januari 2013

MUSIK KEHIDUPAN KITA


Hidup sesungguhnya sebuah musik indah yang diciptakan oleh Tuhan kepada alam semesta yang menakjubkan ini. Dan kita, masing-masing dengan perbedaan yang unik, membuat satu harmoni yang selaras dengan kehendak-Nya. Tanpa perbedaan itu, yang ada hanya suara monoton tanpa makna dan hambar. Maka siapa pun yang ingin membuat satu keseragaman haruslah ditolak walau pun menurut mereka, itulah kehendak Tuhan. Sebab jika memang itu adalah kehendak Tuhan, mengapakah Dia harus menciptakan beragam pemikiran, beragam perasaan, beragam suku, bangsa, agama, kepercayaan, ras dan mahluk? Padahal kita percaya akan ke-Maha-Kuasa-an Tuhan? Jadi jangan takut tetapi percayalah bahwa jika kita merasa bahwa ada perbedaan antara kita dengan yang lain, itu bukan suatu kutukan. Tetapi anugerah. Syukurilah itu.

Maka tak seorang pun dapat memastikan apalagi memaksakan kebenarannya sendiri. Tak seorang pun berhak dan sebab itu merasa wajib menuntut mereka yang berbeda untuk mengikuti kebenaran yang menurutnya sungguh benar. Menuntut keseragaman seakan menciptakan sebuah musik kehidupan baru yang monoton dan sama sekali tak sejalan dengan keberadaan semua mahluk di dunia ini. Sebab bukankah, tanpa aneka nada, tanpa aneka suara, tanpa aneka alat, sebuah musik yang indah takkan tercipta? Dan apa yang indah hanya dapat terjadi dari aneka perbedaan dan ketidak-samaan di antara kita. Dan sesungguhnya, bukan keseragaman yang harus kita perjuangkan melainkan hak masing-masing mahluk untuk berbeda. Untuk itulah kita ada di dunia ini. Untuk itulah kita diciptakan.

Ketidak-adilan terjadi bukan karena perbedaan. Ketidak-adilan terjadi karena mereka yang memaksakan kehendak dan kesenangannya sendiri. Mereka yang merasa lebih pantas atau lebih layak dibandingkan dengan sesama yang lain. Ya, ketidak-adilan terjadi ketika manusia kehilangan tanggung-jawab kepada sesama dan hanya mau hidup dalam lingkup dirinya. Hanya mau hidup dalam lingkup kepercayaannya. Ketidak-adilan terjadi karena manusia tidak mau peduli lagi dengan perbedaan, bukan karena perbedaan itu sendiri. Mereka yang hanya memperjuangkan kekayaan, kekuatan dan kekuasaan bukan demi untuk sesama tetapi dan terutama untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Dibutuhkan kesadaran baru dalam melihat sesama kita. Bukan sebagai beban meliankan sebagai rahmat. Sebagai anugerah untuk lebih mencintai perbedaan demi terciptanya musik kehidupan yang indah. Dan jika itu kita sadari, kita akan menciptakan sebuah musik kehidupan yang menakjubkan. Sungguh menakjubkan.

Demikianlah hidup kita singkat dalam kurun sejarah yang hanya Tuhan mengetahui ujungnya. Jangan sia-siakan hidup yang singkat ini dengan saling membenturkan diri karena soal keyakinan, karena soal pemikiran dan kesenangan kita saja. Kita tak sendirian di dunia ini. Kita atau kelompok atau suku atau ras atau bangsa atau bahkan kepercayaan kita bukanlah pemilik kehidupan. Maka sungguh sia untuk memperjuangkan keyakinan demikian di antara keberagaman yang telah diciptakan Tuhan sendiri. Marilah merenungkan indahnya perbedaan itu. Terang akan kita sadari keberadaannya karena adanya gelap. Dan toh, tak seorang pun mampu mengusir dan meniadakan kegelapan malam selain berharap bahwa pagi akan segera tiba kembali. Karena baik terang maupun gelap adalah ciptaan Tuhan semata. Jadi jika demikian adanya, mengapa kita enggan menerima perbedaan diantara kita sendiri? Mengapa kita merasa wajib menyamakan kebenaran kita kepada sesama yang berbeda keyakinan? Mengapa?

Bukankah justru kita semestinya bersyukur karena adanya perbedaan itu? Sifat-sifat baik akan muncul karena adanya sifat-sifat yang buruk. Perbuatan yang cemerlang akan hadir karena adanya perbuatan yang tercela. Dan bukannya dengan semangat untuk mengenyahkan yang buruk kita hidup tetapi dengan makin memperteguh semangat kebaikan itu. Dengan demikian, hidup kita kan menjadi bermakna kepada Sang Pencipta. Musik kehidupan kita akan beralun dengan indah karena nada-nadanya saling melengkapi dalam perbedaan masing-masing. Dengan saling menerima ketidak-samaan itu, kita mempertegas kebesaran Tuhan. Bahwa karena kehendak-Nya kita berbeda karena itu perbedaan harus kita syukuri. Sebab itulah anugerah-Nya yang terbesar kepada kita. Anugerah yang terbesar bagi kita. Semua.

Tonny Sutedja

SAAT MENUA


Lihat tangan ini
Gemetar. Katamu
Hari sudah senja
Dedaunan menguning
Sebentar lagi akan
Gugur. Katamu

Kaki tak lagi
Lincah. Katamu
Dimakan jarak
Malam telah tiba
Membawa sepi
Tiba. Katamu

Duduk di beranda
Sendirian
Merajut kenangan
Tentang harapan
Yang lenyap
Sepi. Katamu

Bisik-bisik hadir
Kemana pergi
Bayangan. Katamu
Menemani angin
Berhembus lenyap
Diam. Katamu

Sebab usia dan
Kenangan menyatu
Dalam ingatan
Perlahan menyeret
Hidup menuju
Akhir. Katamu

Berkesiur
Dan sirna
Berkesiur
Dan sirna
: Menunggu!

Tonny Sutedja

19 Januari 2013

MUSIM


Hujan deras di pagi hari. Mendung tebal menutupi langit di atas Anduonohu. Sesekali petir menyambar bersama suaranya yang bergemuruh menakutkan. Jalanan masih sepi. Tetapi aku melihat tiga orang anak sedang berjalan dengan mantel hujan mereka, nampak saling berceloteh sambil tertawa-tawa, dan memanggul erat tas yang terkait di punggung mereka. Dengan perlahan mereka melompati genangan air sambil meniti trotoar yang lebar menuju arah ke sebuah SD. Cuaca yang buruk tidak mengusik kegembiraan mereka sama sekali. Panorama ini sungguh mengharukan. Panorama ini membuatku merenung tentang hidup ini.

Anak-anak selalu menakjubkan. Mereka dapat menangis dan marah karena keinginannya tidak dikabulkan tetapi dalam sekejap dapat tertawa gembira karena tawaran lain telah diberikan. Mereka dapat bertengkar karena memperebutkan sesuatu tetapi dalam sekejap larut dalam permainan bersama dengan asyiknya. Dan bukankah anak-anak itulah sesungguhnya penghuni surga seperti sabda Yesus: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 19:14).

Anak-anak memang selalu menakjubkan kita. “Setiap bayi lahir bersama pesan bahwa Tuhan belum putus asa pada manusia” (Rabindranath TagoreBurung-Burung Liar, 77). Tidak, Tuhan tidak pernah putus asa kepada manusia memang. Tetapi semakin jauh usia menyeret kita ke arah kedewasaan, semakin jauh pula kita dari kegembiraan masa anak-anak kita. Kita menjadi demikian mudah mengutuk cuaca yang buruk. Kita demikian panjang mengingat kekecewaan kita. Kita demikian lama mengenang kepahitan hidup. Dan, walau Tuhan tak pernah merasa putus asa terhadap kita, kita sering merasa putus asa terhadap-NYA.

Petir menyambar dan anak-anak itu bersorak, walau aku merasa demikian khawatir. Namun, mereka bertiga demikian bersemangat sehingga tetap berjalan sambil berpegangan tangan. Dengan wajah yang polos, mereka menembus hujan dengan mantel hujan yang kedodoran. Tanpa takut. Penuh harapan. Sesuatu yang sering terlupakan oleh kita, para orang tua, bahwa hidup, walau penuh dengan kesulitan dan tantangan, selalu menyimpan rahasia berkat yang harus kita nikmati.

Sebab memang, ada banyak hal yang tidak dapat kita kuasai. Ada banyak peristiwa yang tak akan mampu kita duga sebelumnya. Maka haruskah kita merasa kecewa dan sakit hati bila segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang kita harapkan? Haruskah kita merasa putus asa bila segala sesuatu yang tak pernah kita inginkan menimpa kita? Haruskah kita kita berpikir bahwa kita telah diperlakukan secara tidak adil bahkan oleh Tuhan sendiri bila segala rencana dan hasrat kita tidak dapat kita raih? Tidakkah kita, seperti juga anak-anak itu, dan kita pun pernah menjadi salah satu dari mereka, dulu, sadar bahwa hidup menyimpan sesuatu yang lebih indah daripada cuaca buruk atau musibah yang sedang berlangsung. Lagi pula, siapakah kita sehingga menghasratkan agar segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan ambisi kita? Siapakah kita ini?

Hujan deras di pagi hari. Langit kelam. Dan petir. Dan guruh. Ketiga anak-anak itu kulihat menghilang di balik deretan ruko dan pepohonan satu dua yang tumbuh di tepi jalan. Dan tiba-tiba aku sadar bahwa kita, sama seperti anak-anak itu, harus tetap melewati musim yang buruk. Harus tetap berjalan menembus hujan dan cuaca yang tidak mendukung. Dan walau, tetap kita wajib melindungi diri ini dengan mantel hujan yang mungkin kedodoran juga, kita mesti dapat menerima segala kesulitan itu tanpa banyak mengeluh. Bahkan menikmatinya sebagai satu anugerah lain dari Tuhan sendiri. Kita toh tidak dapat memilih apa yang baik atau tidak baik sesuai dengan keinginan kita sendiri. “Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2:13).


Tonny Sutedja

18 Januari 2013

DINIHARI


Pukul 4 dinihari. Dari jendela kamarku, aku menatap keluar. Gerimis. Jalan lengang. Pantulan lampu pada genangan air. Tak ada yang melintas. Hanya bunyi tetesan air yang terdengar sayup. Kehidupan masih lelap dalam tidurnya. Sambil menikmati udara yang sejuk, aku meresapkan kesendirianku ini. Dengan rasa damai. Dengan penuh damai.

Sungguh, sesekali menikmati kesendirian akan membuat kita larut dalam perenungan tentang keberadaan diri. Tanpa suara, kita dapat mencari dan menemukan hati kita dengan lebih jujur dan jernih. Dan memang, seringkali kata-kata takkan mampu menaklukkan keheningan. Takkan pernah mampu. Setiap kali kita merasa kehilangan diri, setiap kali kita merasa ditinggalkan dan tersisih dari kehidupan, masukilah kesendirian. Dan nikmatilah tubuh dan jiwamu. Hanya dengan demikian, kita akan dan dapat menemukan keberadaan kita secara nyata. Bahwa kita ada. Bahwa kita hidup. Disini dan sekarang.

Pukul 4 dinihari. Jalan yang lengang merefleksikan kesepian kita. Dan saat kita menangkap suara gerimis, kita pun menangkap perasaan kita. Sebagai tetesan air yang berputar dalam siklus kehidupan ini. Dari bumi kembali ke bumi. Dari asal kembali ke asal. Berputar bagai lingkaran tanpa ujung. Dan jiwa ini kekal. Dan rasa ini nyata.

Maka siapapun kita, bagaimanapun kita, percayalah, bahwa hanya dalam hening kita dapat menemukan makna diri sendiri. Hanya dalam sepi kita akan menemukan kehidupan kita yang murni. Dan jujur. Kita hanya bisa mengenal kehidupan ini jika berada di dalam dan bersamanya. Dari luar, kita hanya mampu menebak dan memperkirakan serta mungkin membuat kesimpulan yang belum tentu benar. Belum pasti benar. Apa yang nampak dari luar seringkali hanya topeng indah yang menyembunyikan duka dalam jiwa. Dan apa yang kelihatan riang dalam keramaian mungkin saja menyembunyikan kesedihan yang pahit dalam kesendirian. Sebab hanya mereka yang mengalami dapat dan mampu mengenal diri sendiri. Bukan orang lain. Bahkan yang terdekat dengan hidup kita pun takkan mampu. Takkan pernah mampu.

Pukul 4 dinihari. Germis. Suara tetesan air. Jalan yang lengang. Cahaya lampu yang berpendaran. Tak seorang pun lewat. Tak seorang pun nampak. Dan disini hanya ada diriku. Hanya aku. Dalam kesendirian perasaan yang jelas dan nyata. Bahwa aku ada karena merasakan. Bahwa aku ada karena merenungkan. Ada dan selalu ada. Hingga entah kapan....

Tonny Sutedja

MARAH


“Menjengkelkan! Saya merasa sakit hati dan kecewa terhadapnya. Apa yang saya minta tak pernah dilakukannya. Apa yang saya ingin dia lakukan tak pernah dilaksanakan. Hampir setiap hari dia membuat saya marah dan stres. Mau jadi apa dia nanti? Dia membuat saya menderita. Sangat menderita” kata seorang ayah kepadaku saat bercerita mengenai anak remajanya. Jelas sekali nampak betapa kemarahan dan frustrasi membuat dia meradang. Sangat meradang.

Marah. Seringkali kemarahan membuat kita kehilangan kontrol atas diri ini. Membuat kita larut dalam perasaan sehingga pikiran tersishkan. Entah, tetapi aku merasa bahwa sesungguhnya banyak atau sebagian besar perasaan marah dan kekecewaan yang kita alami bukan karena kegagalan kita menghadapi diri sendiri, tetapi karena kita merasa gagal membuat orang lain berbuat sesuai dengan apa yang kita harapkan. Keinginan kita untuk membuat orang lain sama dengan kita. Atau sesuai dengan pikiran kita. Tetapi tidakkah itu janggal?

Kita marah karena orang lain tidak mau mengikuti aturan kita. Kita kecewa karena orang lain tidak mau mengkikuti apa yang kita inginkan. Kita frustrasi karena orang lain tidak mau menjadi sama dengan kita. Dan terkadang, kita bahkan melakukan tindakan kekerasan hanya karena kita ingin memaksakan kehendak kita agar orang lain menjadi sama dengan kita. Atau lebih aneh lagi, sama dengan pikiran kita walau hidup kita sendiri belum tentu sesuai dengan apa yang kita pikirkan sendiri. Tidak pernahkah kita merasa bersalah karena perbuatan kita itu? Tidak pernahkah kita mencoba untuk merenungkan kegunaan dari keinginan dan harapan kita terhadap orang lain? Apakah kita memandang sesama kita sebagai manusia yang setara? Atau hanya sebagai robot yang harus sesuai dengan apa yang kita programkan kepadanya? Dan tak pernahkah kita pikirkan bahwa kekecewaan dan kiemarahan kita tidak hanya merugikan orang lain tetapi terutama merugikan hidup kita sendiri?

Mungkin memang ada kemarahan yang pantas karena kita sendiri telah melakukan kesalahan atau perbuatan yang tidak layak. Tetapi seberapa banyakkah rasa sesal karena perbuatan kita yang salah daripada rasa frustrasi karena perbuatan orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Nyatanya, jauh lebih sering kita menyesali orang lain daripada kita menyesali diri kita sendiri. Jauh lebih sering kita mau memaksa orang lain untuk berubah daripada memaksa diri kita untuk berubah. Jadi, jika kita sendiri ternyata gagal untuk memaksa diri kita untuk berubah, mengapa kita harus memaksa orang lain untuk berubah menjadi seperti kita? Atau mungkin kita merasa bahwa kebenaran kitalah yang pasti dengan K besar, tetapi apakah kebenaran itu selain daripada hanya ada di pikiran kita saja? Dan toh, setiap orang memiliki kebenaran dalam pikiran masing-masing. Dengan kata lain, masing-masing pikiran mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri. Dan sesungguhnya bukan hak kita untuk memaksakan kebenaran itu. Juga bukan kewajiban kita untuk mengubah orang lain untuk sama dengan pikiran kita. Bukan. Kita memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang memiliki perbedaan karena hidup ini beragam. Bukan seragam.

“Menjengkelkan! Saya merasa sakit hati dan kecewa kepadanya.....” Perlukah itu? Bergunakah itu? Haruskah itu? Aku tidak tahu. Tetapi sering aku merasa betapa banyak hal yang sia-sia terjadi dalam hidup kita ini karena kita hanya ingin mengurus dan mengatur orang lain sementara kita sendiri gagal mengurus dan mengatur diri sendiri. Kita ingin orang lain berubah sementara kita sendiri tak ingin berubah. Dan pada akhirnya, kita mejadi kecewa, sakit hati, menderita atau melakukan tindakan kasar yang semuanya berujung pada kegagalan kita untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Dan mempersingkat usia kita sendiri. Ah, betapa sia-sianya semua itu. Betapa sia-sianya.....

Tonny Sutedja

AKU


Separuh aku
Baik
Separuh aku
Jelek
Aku : Gamang
Mencari
Engkau
Siapa
Aku
?

Tonny Sutedja

SEMPURNA


Seringkali kita mengalami suatu peristiwa dimana kesalahan-kesalahan kecil terjadi, bahkan dalam sebuah ibadat yang paling utama. Seorang penyanyi mazmur yang salah dalam nada. Seorang pembaca yang salah mengambil ayat. Atau seorang dirigen lagu yang salah membaca not. Semua kesalahan itu biasanya berlangsung dengan cepat dan diperbaiki dengan segera tanpa merusak suasana ibadat itu sendiri. Dan kita semua yang hadir dan mengikuti ibadat tersebut dapat memaklumi ketidak-sempurnaan yang telah terjadi.

Hidup memang tidak mungkin menjadi sempurna persisi seperti apa yang kita harapkan. Ada jarak terbentang antara niat dan rencana kita dengan praktek dan kenyataan yang terjadi secara langsung. Maka perlukah kita merasa kecewa atau bahkan sakit hati jika segala apa yang kita harapkan tidak tercapai? Jika kita dengan sadar memaafkan dan memaklumi kesalahan yang terjadi pada semua orang, mengapa kita sering gagal untuk memaafkan dan memaklumi kesalahan yang menimpa kita sendiri? Siapa pun yang mengharapkan bahwa hidup ini harus sempurna, akan kecewa.

Bahkan Yesus pun mungkin kecewa jika Dia mengharapkan kesempurnaan demikian. Dan jika Dia menciptakan kita sebagai manusia yang sempurna, Yesus tak perlu hadir di dunia ini untuk mengalami penderitaan dan mati di salib. Tidak. Hidup ini memang tidak sempurna. Karena itu, setiap keinginan yang tidak terlaksana dengan baik, setiap harapan yang tidak terwujud, setiap perbuatan yang tidak sesuai dengan pikiran kita haruslah kita terima sebagai satu anugerah kelemahan manusiawi. Satu berkat bahwa karena ketidak-sempurnaan itulah membuat kita dapat menyadari betapa indahnya suatu pengurbanan.

Pengurbanan selalu muncul karena ketidak-sempurnaan manusia. Dan dalam pengurbanan itulah kita semua jadi bermakna bagi Tuhan. Karena kemuliaan hanya akan muncul dari balik pengurbanan sama seperti pengurbanan-Nya sendiri. Maka siapa yang selalu menginginkan kesempurnaan dan menolak mengurbankan perasaan, pikiran dan dirinya sendiri sungguh tidak memahami makna kemanusiaannya. Karena sesungguhnya dalam setiap ketidak-semurnaan manusiawi kita, senantiasa tersembunyi kesempurnaan Tuhan.

Kita membaca betapa Maria mengurbankan perasaan dan dirinya sendiri saat mengandung Tuhan. Kita membaca betapa Yusuf mengurbankan perasaan dan dirinya sendiri saat menerima Maria yang telah hamil sebagai istrinya. Kita membaca betapa Yohanes Pemandi mengurbankan dirinya sendiri untuk menjadi perintis bagi Yesus hingga harus mati dengan dipenggal. Kita membaca betapa bahkan Yudas pun harus mengurbankan perasaan dan dirinya sendiri dengan menghianati Yesus. Dan diujung segalanya, kita membaca betapa Yesus sendiri pun mengurbankan diri-Nya padahal sesungguhnya Dia memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk luput dari segala siksa derita itu. Dan bukankah semua itu terjadi demi manusia? Demi kita? Karena ketidak-sempurnaan kita semua?

Maka jika kita sendiri menolak mengakui ketidak-sempurnaan kita sebagai manusia, patutkah kita menerima kesempurnaan Tuhan? Siapapun kita. Apapun masalah dan kesulitan kita. Bagaimanapun pengalaman pahit dan kegagalan kita. Jangan takut tetapi percayalah. Bahwa kita memang manusia lemah. Kita memang hidup dalam ketidak-sempurnaan. Karena itu janganlah memaksakan kesempurnaan pada hidup ini. Jangan pula mengharapkan kesempurnaan pada sesama kita. Karena dalam ketidak-sempurnaan itulah Tuhan akan membuat kita sempurna. Kelak. Selama kita menyadari kelemahan kita. Selama kita mengikuti jalan hidup-Nya. Selama kita tidak menyerah pada hidup kita sendiri. Selama kita tetap berjuang menjalani hidup ini bersama Dia. Bersama Dia.

Tonny Sutedja

TUHAN ITU CINTA


Hidup ini kejam. Terkadang amat kejam. Dan kita harus menerimanya. Terpaksa harus menerimanya. Sebab memang begitulah hidup. Ada banyak pilihan yang salah. Ada banyak harapan yang tak terwujud. Dan setiap harapan kita hanya tinggal dalam impian. Dan tiap kali kita menghadapi situasi yang tidak diinginkan, dapat mematahkan semangat kita. Tidak setiap orang dapat menikmati hidupnya dalam ketenangan dan kebahagiaan. Tidak setiap orang mampu untuk mewujudkan segala yang diinginkannya dengan sempurna. Bahkan mungkin tak seorang pun akan mampu untuk membahagiakan dirinya sendiri dalam pikiran yang diangankannya. Hidup ini kejam. Siapa bilang tidak?

Tetapi Tuhan adalah cinta. Dan kita yang diciptakan sebagai gambaran citra-Nya harus menjalani apapun yang kita hadapi. Sekarang dan saat ini. Sebab itu, Dia telah memberikan teladan kepada kita semua. Bahwa hidup memang sering tidak menyenangkan. Ketidak-adilan. Kemunafikan. Kepentingan diri. Kesewenang-wenangan. Bukankah Dia sendiri bahkan telah mengurbankan diri-Nya dengan menerima kenyataan bahwa, walau pun berada dalam kebenaran, Dia harus disalibkan? Bahkan harus mati ditiang salib-Nya. Sementara tak satu pun yang datang menyelamatkan diri-Nya. Ditinggalkan dalam sepi. Sendirian menghadapi penderitaan-Nya. Rasa sakit dan pahit menerima segala kekecewaan, kepahitan dan kehancuran martabat-Nya. Didera. Ditelanjangi. Disodorkan air cuka. Ditikam. Hingga ajal tiba. Hingga maut datang. Tuhan adalah cinta.

Dan sesungguhnyalah, walau hidup ini sering terasa menyakitkan, sering seakan tanpa harapan, sering bahkan sama sekali tak menyediakan pilihan untuk keluar dari penderitaan itu, ternyata bahwa selalu akan ada kekuatan yang membuat kita harus bertahan hingga akhir tanpa membiarkan kebencian terhadap diri sendiri dan kepada orang lain. Sebab mereka tak tahu apa yang dilakukannya. Sebab mereka tak sadar bahwa segala perbuatan yang ditimpakan kepada kita adalah suatu ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan. Padahal sering mereka meng-atas nama-kan semua perbuatan itu sebagai kehendak Tuhan. Tetapi Tuhan jauh, ya jauh lebih memahami hidup kita sendiri. Kebenaran adalah milik-Nya. Kebenaran adalah hak-Nya. Bukan milik kita. Bukan hak kita. Tuhan adalah cinta.

Maka kita, siapa pun kita, yang sedang dan akan menghadapi pahitnya kenyataan, mesti menjalani hidup ini dengan suatu tekad agar tidak mudah untuk menyerah. Bahkan agar tidak pernah menyerah. Kita harus memperjuangkan hidup ini dengan penuh daya dan semangat. Derita hanya ada dalam hidup di dunia ini. Derita hanya akan kita terima bersama kenyataan sekarang dan saat ini. Tetapi watu tidak hanya sekarang. Dan kenyataan tidak hanya saat ini. Langkah demi langkah kita akan menuju ke hari esok. Sesuai waktu yang diberikan-Nya kepada kita. Dan karena kita tidak pernah mengetahui ujung perjalanan kita di dunia ini, kita harus menghadapi dan menerima segala kenyataan ini. Sambil tetap berharap pada perubahan. Sambil tetap memperjuangkan perubahan. Sebab Tuhan adalah cinta. Dan setelah penderitaan-Nya, Dia bangkit dengan penuh kemuliaan. Dan kelak, kita pun akan bangkit bersama kemuliaan-Nya.

Hidup ini kejam. Seringkali teramat kejam. Tetapi siapa bilang bahwa hidup yang kita jalani haruslah lurus, lancar dan segala sesuatu dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan? Siapa bilang bahwa kita harus selalu menerima kegembiraan tanpa secuil pun rasa kecewa, duka dan bahkan pahit menusuk selama kita hidup? Tidak kita, bahkan tidak juga Kristus sendiri. Jadi mari menerima dan menghadapi hidup ini dengan penuh kekuatan, kesabaran dan kesadaran bahwa segala sesuatu akan berubah menjadi indah pada waktunya kelak. Bahwa segala sesuatu pasti akan berujung pada kebahagiaan. Jika tabah menjalani hidup ini. Jika kita teguh menghadapi hidup ini. Jika kita tetap setia kepada-Nya. Tuhan itu cinta.

Dan kita pun adalah cinta. Sebagai gambaran citra-Nya di dunia ciptaan-Nya ini. Kita berikan cinta kepada dunia sama seperti teladan yang telah diberikan Tuhan sendiri kepada dunia ini. Setiap saat, sekarang dan esok, kita harus membagikan cinta kita kepada siapa pun karena segala sesuatu diciptakan oleh-Nya. Bahkan Dia telah mengurbankan diri-Nya sendiri bagi ciptaan-Nya sendiri. Jangan takut. Percayalah bahwa jauh di dalam lautan kekejaman hidup selalu tersembunyi harapan bahwa segala sesuatu dapat dan akan berubah. Bahwa cinta-Nya takkan pernah sia-sia. Takkan sia-sia. Dunia ini hanya sementara, tetapi Dia kekal. Dan Tuhan adalah cinta itu sendiri.

Tonny Sutedja

17 Januari 2013

GALAU


Di jaman yang serba cepat ini, dimana semua peristiwa dapat kita ketahui secara langsung pada saat yang berbarengan, dan setiap kejadian itu membuat kita dapat memberikan reaksi dengan segera, ternyata menyembunyikan satu kekosongan besar dalam hidup. Kekosongan yang lahir secara diam-diam, ada tetapi tak terasa. Kecepatan akses setiap hal yang terjadi membuat kita hanya dapat bereaksi secara simultan, datang satu lupa satu. Dan diujungnya berdiri dengan ponggah sesosok mahluk yang nyata tetapi tak nampak: ketak-pedulian apa yang telah lalu. Topik kita hanya berada pada masa kini dan sekarang, sehingga segala sebab menjadi terlupakan dan dilupakan.

Di jaman dimana komunikasi antar manusia berlangsung dengan mudah dan langsung lewat aneka macam perangkat keras yang berada di tangan kita, membuat ketergantungan kita pada peralatan itu menjadi mutlak sehingga kita sering lupa bahwa diri kita sesungguhnya merupakan perangkat yang paling canggih dan tak terkalahkan yang telah dikaruniakan Tuhan sendiri kepada kita. Cobalah membayangkan bagaimana seandainya kita lupa atau kehilangan perangkat keras itu seakan-akan hubungan kita dengan sesama telah putus sama sekali. Padahal, bukankah bersama dan di sekitar kita ada banyak sesama yang mengelilingi kita namun tak kita sadari karena selama ini kita hanya terpaku pada layar kecil di depan kita.

Jaman memang telah berubah. Penemuan tehnologi sains dan elektronika membuat hidup kita menjadi jauh lebih mudah dan segala yang kita inginkan seakan-akan dapat diraih hanya dengan mengklik sebuah tombol saja. Dan sahabat maupun lawan yang kita punyai semakin banyak dan mudah kita baca dan dengan demikian, mudah pula kita komentari atau bercakap-cakap dengan mereka. Lewat ketikan-ketikan pada tuts yang terkadang sangat kecil, kita merasa betapa kita telah terhubung dengan seluruh kehidupan di muka bumi ini. Namun pada saat ini, kita sering tidak sadar betapa kita telah kehilangan suara kita sendiri. Kita telah menjadi manusia yang berkomunikasi lewat perangkat canggih dan lupa pada karunia percakapan sehari-hari yang penuh keakraban. Kata dan senyum.

Maka pasar tradisional dimana tawar menawar menjadi tali penghubung antar kita perlahan-lahan tergusur oleh supermarket (kata yang canggih dan modern) yang tanpa membutuhkan suara manusia karena harga telah terpampang dengan pasti dan kita hanya menerima begitu saja tanpa menyadari betapa kita ternyata kehilangan senyum manusiawi kita saat harga disepakati bersama. Dan pernahkah kita menyadari ketika seorang sahabat sedang mengalami masalah atau kedukaan, kita seakan-akan telah memberikan perasaan duka dan simpati kita lewat tulisan pendek seakan-akan kita ikut merasakan hal yang sama tetapi sesungguhnya kita tidak terlibat sama sekalli? Pernahkah kita sadari bahwa itu jauh lebih mudah daripada datang dan hadir secara langsung serta ikut membantu persoalan mereka?

Memang, jaman telah berubah. Dan banyak yang generasi sekarang mungkin tidak menyadari betapa dulu, jika kita ingin mengetik sebuah makalah dengan mesin ketik, memperbaiki sebuah kata atau kalimat bisa berarti mengulang kembali semuanya dari titik dimana kesalahan itu terjadi. Sekarang, hal demikian teramat mudah untuk dilakukan. Atau pernahkan dibayangkan betapa dulu jika kita menonton sebuah acara di TV yang memiliki beberapa chanel, kita harus bangkit dari kursi kita untuk mengganti chanel jika ingin pindah ke lain saluran karena belum memiliki remote-control. Dan jika kita ingin bertemu serta bercakap-cakap dengan teman, kita harus keluar dari kamar kecil kita untuk berkumpul dengan mereka sambil berbagi kisah dan tawa bersama. Sekarang kita kehilangan semua kebersamaan tersebut.

Hidup mungkin jauh lebih mudah sekarang. Tetapi hidup ternyata juga jauh lebih terasing. Dan membuat kita sangat tergantung pada perangkat keras sehingga kita pun kehilangan wajah penuh senyum dan tawa, upaya lebih keras dan membuat tubuh kita bergerak untuk mencapai apa yang kita inginkan, semangat untuk membantu mereka yang kesulitan dengan turut hadir secara fisik dalam pergulatan hidup sesama. Sekarang dan saat ini, kita hidup hanya dalam bayang-bayang dalam pikiran kita bahwa kita telah berbuat hanya dengan mengetik. Dan bahwa kita telah mengetahui hanya dengan membaca. Kita melupakan serta kehilangan pengalaman langsung. Di ujungnya, berdirilah dengan angkuh walau sering tak disadari, ketidak-pedulian kita kepada hidup ini sendiri. Kita hidup bersama ratusan atau bahkan ribuan teman dan sahabat sementara kita sendirian dalam kamar kecil kita. Sendirian. Dan tetap galau. Atau bahkan makin galau?

Tonny Sutedja

09 Januari 2013

TUHAN


Kucari engkau dalam tanya
Kupastikan engkau dalam ragu
Kujalani hidupku dalam pasrah
Kuingin mati dalam musik-Mu

Tonny Sutedja

USIA


Hidup ini seperti mimpi. Dan waktu, seperti angin yang berhembus. Terasa tetapi tak nyata. Berapakah usia kita sekarang? Tiga puluh? Empat puluh? Lima puluh? Atau enam puluh tahun? Atau bahkan lebih? Coba renungkan apa makna waktu yang telah kita lewati? Kadang kita menyadari betapa tubuh ini mulai melemah. Dan langkah kaki kita tidak lagi segesit dulu. Tetapi sejujurnya, kita tidak merasa perubahan yang berarti dalam pikiran kita. Tubuh kita menua tetapi pikiran kita tidak. Mungkin kita telah menjalani banyak pengalaman, banyak petualangan, banyak peristiwa namun jarang kita menyadari betapa semua itu menjadi sejarah yang berarti dalam kenangan kita.

Hidup ini seperti mimpi. Dan ketika kita berada di masa ini, ketika kita sedang membaca tulisan ini, apakah kita pernah merenungkan panjang jalan yang telah kita susuri dan merasakan betapa waktu yang telah lewat sungguh punya arti yang penting bagi kita? Ataukah kita hanya memjalani hidup sama seperti hari-hari lalu, semua sama dan semua tetap, sambil menolak untuk mengubah atau melupakan bahwa kesempatan untuk berubah selalu ada setiap saat? Kita merasa senang dalam ketenangan dan bahkan sering tidak menyadari bahwa dunia di luar kita telah berubah, telah banyak berubah dan sungguh berbeda dengan saat usia kita masih kanak-kanak, saat kita masih remaja bahkan beberapa waktu sebelumnya.

Memang, terkadang menyedihkan mengenang betapa banyak waktu yang telah lewat dengan sia-sia, dan kita ternyata tidak melakukan apa yang sepantasnya kita lakukan untuk mengisi hidup ini. Tetapi toh, apa yang telah lewat takkan dapat kita ulangi. Apa yang telah silam takkan mungkin kita kembalikan. Karena nyatanya, kita hidup sekarang, hari ini, dan sebab itu kesadaran kita hanya untuk saat ini. Tidakkah itu yang sering kita alami? Dan walau kita sesekali merasa gamang terhadap waktu, kita jauh lebih menyukai untuk melupakan dan hidup seperti apa adanya sekarang. Maka esok akan datang sama seperti hari ini segera usai. Waktu seolah angin yang berhembus, terasa namun tak terlihat. Demikian pula dengan usia. Hidup memang seperti mimpi saja.

Sekarang, saat ini, kita semua hidup dengan kenangan, tetapi tak semua kenangan dapat kita ingat. Atau dapat kita tuturkan. Pada akhirnya, memang, kita hidup dengan dan bersama hari ini. Bergelut dengan kenyataan sekarang. Dan, walau terkadang kita tahu bahwa ada hal-hal yang tidak benar, ada hal-hal yang tidak seharusnya kita lakukan, kita telah kehilangan keberanian dan semangat untuk mengubah diri. Hidup pun kita jalani apa adanya. Sebagaimana adanya, bukan sebagaimana mestinya. Sebab kemestian pun, bagi kita, selalu meragukan. Kita tidak tahu. Kita tidak sadar. Kita menikmati hari-hari kita sendiri dalam lingkaran kenyamanan kita. Sendiri.

Tetapi salahkah itu? Entahlah. Aku tak tahu. Sebab itu tergantung pada kehidupan masing-masing dari kita. Kehidupan yang hanya bisa dijalani sendiri. Dialami sendiri. Dan dirasakan sendiri. Sebab itu, apa yang baik bagiku, belum tentu baik bagimu. Dan apa yang benar bagi kita, belum tentu benar bagi mereka. Kebenaran hanya ada dalam diri masing-masing orang dan selama kita hidup di dunia yang tidak kekal ini, selama kita masing-masing memiliki pikiran dan perasaan sendiri, kita harus menyadari bahwa tak seorang pun bisa memonopoli kebenaran itu. Kita bukan Tuhan. Dan kita tidak dapat bertindak seakan kita adalah penguasa kehidupan ini.

Hidup ini seperti mimpi. Sesaat saja dia ada tetapi kelak akhirnya kita akan menghadapi suatu kenyataan yang abadi. Sebuah kebenaran yang mutlak. Pada saat itulah, kita masing-masing akan menemukan apa itu kebenaran yang sesungguhnya. Maka kita bisa salah. Bisa juga benar. Biarlah masa depan yang memastikannya. Masa depan yang kelak akan menghakimi kita. Masing-masing. Sendirian. Mari menjalani kehidupan ini dengan penuh kesadaran bahwa kita ada. Mari menerima hidup ini dengan tanpa ragu untuk mengubah diri kita sendiri. Kepastian hanya ada dalam diri kita. Sungguh, hanya pada kita saja: kau, aku dan dia. Tidak pernah jamak. Tidak mungkin massal.

Tonny Sutedja

07 Januari 2013

LANGIT



Kita tahu bahwa kita ini hanya setitik debu di lautan sejarah yang tak terbatas
Kita tahu bahwa rasa sering tak bisa kita sampaikan dalam kata-kata
Kita tahu bahwa hidup ini sering terasa menjemukan dan mengecewakan
Kita tahu bahwa luncuran waktu tak pernah dapat kita hentikan

Langit kadang biru jernih kadang kelabu gelap
Langit kadang biru indah kadang hitam menakutkan
Langit memang menyimpan rahasia tak terjamah akal
Langit memang hanya membisu diam

Tetapi hidup bukan sekedar mimpi tanpa makna
Dia menyimpan kerinduan kita pada harapan
Bahwa kita akan menuju ke kebahagiaan
Dan dengan semangat kita melangkah maju

Tak seorang pun dapat meramalkan apa yang akan terjadi
Tak seorang pun dapat memutuskan nasib dirinya sendiri
Tak seorang pun dapat memastikan kebahagiaan hidup ini
Tak seorang pun dapat memuaskan kesenangan diri

Namun kesadaran akan hidup cukuplah menjamin
Bahwa kita dan langit selalu punya rahasia hidup
Yang memabangkitkan semangat untuk mencari
Susuatu yang tak terjangkau akal dan waktu

Kita tidak hidup di alam mimpi tetapi dapatlah tetap bermimpi
Kita tidak hidup dengan kepastian masa depan tetapi semuanya akan usai
Walau kita hanya debu di alam semesta tetapi tetaplah kita ada dan hadiri di sini
Sebagaimana adanya kepastian akan maut, keberadaan kita pun pasti

Bangkitlah wahai bangkitlah
Mari perjuangkan harapan di tengah ketidak-kekalan tubuh
Pikiran dapat menjangkau kemana dia ingini
Bahkan hingga akhir saat ketiadaan mengelilingi

Kita takkan pernah takluk walau mungkin kalah
Kita takkan pernah hancur walau mungkin jatuh
Siapakah kita selain dari ciptaan Allah
Yang diberi karunia untuk tak mudah patah

Kita memang hanya debu tetapi tetaplah bagian dari alam raya
Kita memang hanya tubuh tetapi telah memiliki jiwa
Dan langit tak pernah mampu membatasi kemampuan kita
Sebab Tuhanlah yang memberi kehidupan kepada dunia

Dan kita adalah ciptaan-Nya
Dan kita adalah ciptaan-Nya

Tonny Sutedja

JENTERA


Malam yang dingin. Dan hening. Tak ada suara mengusik. Hanya kesepian memenuhi jiwa. Dan pikiran yang mengembara jauh ke ujung tanpa batas. Sehari setelah tahun baru, sehari setelah kota meluapkan kegembiraan maupun kesedihannya, kini tenggelam dalam keletihan seusai pesta yang meriah. Tersisa hanya kesenyapan. Apakah yang kita pikirkan kini? Apakah yang kita rasakan saat ini? Resapkan segenap mimpi dan harapan dalam jiwa yang mendamba. Dalam jiwa yang sadar betapa tak terbatasnya hasrat menguasai hidup.

Setiap orang punya kesedihan dan kesenangannya sendiri. Setiap orang punya kehidupan yang dijalaninya sendiri. Dan kita tak perlu merasa risau karenanya. Sebab hidup ini bagai jentera yang menggulung benang-benang waktu yang kita miliki. Dan kita masing-masing punya kewajiban untuk menjaga agar benang itu tidak kusut. Dan agar waktu yang kita jalani dapat kita sadari dengan penuh. Maka kita harus memilinnya dengan tanggung-jawab. Dan tetap fokus pada harapan yang kita dambakan.

Sebab apakah yang harus kita syukuri selain bahwa kita tetap ada dan sadar pada keberadaan kita? Apakah yang layak kita pahami selain daripada waktu yang masih kita punyai dan bahwa hidup masih terus berlanjut? Dalam terang dan gelap, dalam suka dan duka, dalam apapun yang sedang kita alami dan kita pikirkan, kita masih dapat menghirup udara dengan bebas. Tidakkah itu sudah cukup bagi kita untuk tetap bersyukur atas segala karunia yang telah kita miliki sekarang dan saat ini? Banyak atau sedikit hanya nilai yang sangat relatip bagi kita masing-masing. Jentera kehidupan ini harus tetap dipilin dengan penuh tanggung-jawab agar benang-benang waktu kita tidak kusut. Agar kita dapat tetap menikmati dunia ini.

Malam yang dingin. Dan hening. Kulihat bintang-bintang gemerlap di langit. Bintik-bintik cahaya di lautan kegelapan. Menakjubkan. Tidakkah itu menunjukkan kepada kita bahwa selalu ada daya tahan dalam kegelapan apapun juga? Tidakkah itu berarti bahwa justru dalam kegelapan yang paling kelam barulah akan nampak kecemerlangan bintang-bintang itu? Sesungguhnya bukan kegelapan yang patut kita sesali, tetapi betapa terkadang kita gagal untuk menikmati indahnya kegelapan itu. Demikian pula, bukan kegagalan dan kekecewaan yang membuat benang-benang hidup kita menjadi kusut, tetapi karena kita sering tidak mampu untuk menyadari bahwa setiap kegagalan mengandung keindahannya sendiri. Bahwa kegagalan tidak pantas membuat kita kecewa berkepanjangan, tetapi justru harus membuat kita belajar dan memperbaiki kekusutan itu hingga jentera hidup kita tetap dapat berputar dan kembali rapi sebagaimana mestinya.

Gelap tak selamanya menakutkan. Kegagagan tak seharusnya membuat kita putus asa dan kehilangan semangat. Sebab harapan selalu ada. Dan semangat selalu kiita miliki. Jika mau dan sadar bahwa tak ada jalan yang lurus terus menerus. Tak ada terang yang bercahaya sepanjang waktu. Siang dan malam silih berganti. Hujan dan panas datang dan pergi. Demikian pula kesedihan dan kekecewaan kita. Justru dari kegagalan itulah kita dapat belajar apa yang salah. Justru dalam kegelapan hidup inilah kita mampu untuk melihat titik-titik cahaya yang dalam cahaya benderang tak mampu kita nikmati.

Demikianlah hidup ini. Kita belajar menikmati keindahannya, baik dalam kebahagiaan maupun dalam kesedihan. Jentera kehidupan kita harus tetap berputar hingga benang-benang waktu yang kita miliki habis. Dan saat itulah, dengan bahagia, kita dapat melihat betapa rapinya benang yang kita jalin dalam lentera kehidupan ini. Walau ada saatnya, pilinan di tengahnya tidak rapi atau malah sedikit kusut. Tetapi toh, kita menyelesaikan pilinan itu dengan baik. Dengan indah. Dan rapi. Secara keseluruhan.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...