29 Maret 2013

REMBULAN JUMAT AGUNG


Mengambang jauh tinggi
Rembulan bercahaya
Seakan menyapa bumi
Yang bergelimang duka

Tak ada mega
Tak ada suara
Hening menggapai surga
Lagu duka sang kelana

Tetesan air mata
Mengalir perlahan
Rindu pada jiwa
Kidung melantun

Langkah hidup
Demikian panjang
Namun tetap
Jejakmu menghilang

Kucari dirimu
Kau mencariku
Kau diam aku bisu
Kita lelap dalam beku

Mengambang tinggi di angkasa
Rembulan bersinar anggun
Dan disini aku berdiam jiwa
Tanpa suara memohon ampun

Manusia, ah manusia
Siapakah engkau sehingga
Merasa paling perkasa?”

Tonny Sutedja

JEJAK


Jumat Agung. Ribuan wajah. Ribuan kisah hidup. Sama tertunduk saat memperingati momen sengsara dan wafat Yesus di salib. Kutatap wajah-wajah itu sambil merenungkan betapa sengsara adalah milik semua orang. Milik siapa saja. Dan jika Yesus sendiri mengalami sengsara itu, mengapa kita harus luput darinya? Tidak. Sengsara tidak pernah khusus milikku, tidak juga khusus milikmu atau hanya milik mereka. Dalam hidup kita, selalu ada jejak-jejak duka derita yang kita alami setiap saat. Setiap waktu. Kita tidaklah istimewa sendirian.

Demikianlah, hidup yang kita jalani ini, kadang menyeret kita dalam sesal dan kebencian. Dalam putus asa dan sakit hati. Seakan-akan kita dan hanya kitalah sendiri yang dikhianati, kita dan hanya kitalah yang diperlakukan tidak adil, dibohongi bahkan dilukai dan dihancurkan. Mereka yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemilik duka lara, tataplah pada wajah-wajah yang setiap saat nampak di sampingmu, di depanmu, dimana pun berada dan sadarilah betapa banyaknya jejak duka yang tampil di setiap kehidupan ini. Hidup kita tidaklah istimewa. Hidup kita tidaklah berbeda satu sama lain. Sebab jika kita percaya bahwa Yesus mengalami derita yang demikian pahit dan nyeri, mengapa kita sendiri harus luput darinya? Bukankah itu tidak adil?

Jumat Agung. Ribuan wajah dengan ribuan kisah hidup. Ribuan jejak yang telah ditinggalkan dalam setiap kisah keberadaan seseorang. Dan kulihat seorang ibu tua meneteskan air mata saat tiba saatnya dia bersujud mengenang wafat-Nya. Apa yang dipikirkannya? Apa yang dikenangnya? Jejak-jejak kehidupan apakah yang telah dilaluinya? Bukankah kita yang pernah mengalami derita dapat juga memahami derita orang lain? Dan jika kita mau jujur pada diri sendiri, kita dapat menyadari betapa beratnya perjuangan menjalani hidup ini. Tidak ada perbedaan di antara manusia, yang berpunya maupun yang tidak, setiap derita punya ke-khas-annya masing-masing.

Siapakah kita sehingga harus merasa istimewa dan khusus? Siapakah kita sehingga patut merasa bahwa kita dan hanya kitalah pemilik kehidupan ini, pemilik nestapa yang paling lara? Siapakah kita sehingga patut merasa sebagai satu-satunya yang ditidak-adili dan disengsarakan? Siapakah kita ini? Tidakkah setiap kehidupan yang terkandung di balik wajah-wajah yang ada di sekitar kita punya jejak-jejak dukanya sendiri? Punya jejak-jejak deritanya sendiri? Tetapi di saat lain, bukankah mereka tetap dapat tersenyum lepas dan tertawa gembira? Tidakkah kita juga demikian adanya? Mengapa kita takut dengan diri sendiri? Mengapa kita gentar menjalani hidup ini? Tidakkah harapan selalu ada, bahkan di saat terkelam sekali pun. Harapan selalu ada dan pasti akan datang di saatnya nanti. Yang kita butuhkan hanya percaya dan percaya bahwa setiap jejak yang kita tinggalkan pasti ada gunanya. Setiap derita yang kita alami pasti ada manfaatnya. Nestapa saat ini adalah jalan salib yang harus kita jalani menuju titik dimana tak ada yang lain selain dari cahaya kebangkitan kita. Maka jangan takut. Jangan bimbang. Percayalah. Hidup kita ini, apapun adanya, selalu akan meninggalkan jejak yang bermakna bagi kehidupan semua insan. Kita tidak sendiri dan tidak akan pernah sendirian.

Jumat Agung. Ribuan wajah. Ribuan kisah hidup. Semua tertunduk mengenang sengsara Yesus. Seorang ibu tua terisak-isak. Seorang bocah kecil menatap dengan matanya yang besar pada salib lambang Kristus tergantung. Dan di luar hujan turun deras. Hujan turun dengan deras. Sungguh, kurasakan betapa kehidupan ini semua menyatu dalam jejak yang sama. Setiap derita selalu mengandung harapan. Setiap kegelapan selalu punya cahaya. Sebab tiga hari setelahnya, Paskah tiba. Dan Yesus bangkit. Dan Yesus hidup. Bersama-Nya, kita semua dapat memastikan bahwa tidak ada yang abadi selain dari kebenaran bahwa setiap derita punya ujung. Bahwa setiap nestapa pasti akan usai. Langkah-langkah duka kita sekarang kelak akan menjadi jejak yang indah dalam kenangan. Itulah hidupku. Itulah hidupmu. Itulah hidup setiap orang. Maka marilah meninggalkan jejak yang berguna, entah pahit entah manis, agar menjadi teladan bagi siapa saja. Bagi dunia seluruhnya. Seluruhnya.

Tonny Sutedja

PRESTASI


Apa artinya hebat?” tanya seorang temanku yang cukup terkenal piawai dalam membantu kepanitiaan acara-acara besar. “Apa artinya berhasil?” tanyanya. “Jika kita tahu bahwa sesungguhnya kita bisa berbuat lebih dan lebih lagi jika saja kita tidak terbentur pada masalah dana, pada sumber daya manusia dan sikap pimpinan yang hanya mementingkan tampil diri tanpa mau peduli dengan kondisi yang nyata. Apa artinya menjadi terkenal bila kita tahu bahwa ada banyak kelemahan yang kita miliki?”. Wajahnya muram. Dan nampak demikian tak berdaya dan putus asa.

Aku terhenyak. Dan memahami betapa sikapnya itu mengandung kebenaran. Pemikiran yang sering sama kualami juga. Dalam rapat-rapat perencanaan, betapa banyaknya keputusan yang dibuat oleh para pimpinan demi membuat sebuah acara yang memukau. Tetapi nyatanya, di lapangan, saat pelaksanaan, dimanakah mereka semua? Hanya beberapa orang yang mau dan rela untuk bertarung agar rencana-rencana itu dapat berjalan dengan baik. Dengan mengorbankan waktu, dana dan tenaga hingga tuntas. Tetapi saat acara puncak berlangsung, mereka yang bekerja secara tak terputus surut ke belakang karena yang tampil kemudian adalah para pimpinan yang dengan membanggakan diri mengatakan bahwa itu semua adalah hasil karya mereka. Tanpa rasa bersalah. Tanpa rasa sesal. Tetapi bukankah itu sudah jamak? Mereka adalah pimpinan dan yang lain hanya pekerja?

Maka barangkali soalnya bukan pada kenyataan di lapangan apakah sesuai hasil perencanaan, tetapi pada perbedaan antara ide dan kerja. Sebab dalam pengalaman, memang ada yang mampu memikirkan rencana yang bagus tetapi belum tentu dapat menjalankannya sendiri, dan ada pula yang piawai bekerja untuk menghasilkan sebuah karya yang bagus tetapi mungkin tidak mampu memikirkan dan merencanakan karya itu sendiri. Setiap orang pada akhirnya memiliki prestasi yang sesuai dengan talenta mereka masing-masing. Dan jelas kita tidak dapat menyalahkan mereka. Kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kemampuan yang memang berbeda maka tugas kita hanyalah melaksanakan apa yang kita mampu. Bukan saling menyalahkan. Bukan pula saling melempar tanggung-jawab.

Apa artinya hebat? Apa artinya prestasi?” Tidak, menurutku semuanya tidak ada artinya selain dari hanya menjalankan apa yang dapat kita lakukan. Kita masing-masing. Sehingga secara bersama semuanya dapat berjalan dengan baik dan berhasil. Maka prestasi sesungguhnya tidak tergantung pada orang per orang melainkan hasil dari kerjasama yang baik sesuai dengan apa yang dapat dilakukan masing-masing kita yang terlibat. Sesuai dengan kemampuan diri. Sebab, bukankah walau tidak bisa memegang seperti tangan, tetapi kaki dapat berjalan yang tidak bisa dilakukan oleh tangan? Dan walau tak bisa mendengar, mata dapat melihat hal yang tak dapat dilakukan oleh telinga? Dengan demikian, seluruh tubuh bermanfaat sesuai dengan fungsinya masing-masing? Maka perlukah kita merasa kecewa atau sakit hati karena perbedaan-perbedaan itu?

Demikianlah, walaupun kadang kita merasa terganggu oleh sikap dan perbuatan dari mereka yang kita anggap mencuri prestasi kita, mungkin itu terjadi karena kita menganggap bahwa sebuah prestasi adalah milik kita sendiri. Milik orang per orang, bukannya hasil sebuah tim, sebuah kepanitiaan secara menyeluruh. Maka bila kita dapat memahami bahwa walau seakan-akan hanya orang-orang tertentu saja yang menikmati hasil karya keseluruhan, sebuah prestasi sesungguhnya adalah hasil karya semua yang terlibat maka kita pun dapat menerima bahwa mereka yang tampil di acara-acara hasil karya kita sesungguhnya mewakili kita semua. Bukan mewakili dirinya saja. Sebab memang harus ada yang tampil ke depan. Harus ada yang dapat menampakkan kebanggan tim. Jika tidak, apa gunanya prestasi itu?

Tonny Sutedja

27 Maret 2013

ARTI SEBUAH RENUNGAN


Kata hanya dapat ditulis dan dibayangkan tetapi tak mampu dan tak mungkin sama dengan kenyataan yang sesungguhnya. Kadang kata dapat dibayangkan jauh lebih atau bahkan kurang dari makna kata itu sendiri. Demikianlah jika kita membaca kata gembira, kecewa atau sepi, kita hanya bisa membayangkan bagaimana perasaan itu sesuai dengan pengalaman diri kita sendiri, bukan pengalaman nyata dari sang penulis. Tetapi bagaimana pun, kata-kata yang tertulis selalu dapat mengajarkan kepada kita bahwa bukan hanya kita yang pernah atau sedang mengalami apa yang tertulis itu walaupun pasti berbeda dalam situasinya masing-masing.

Sebuah tulisan, baik tentang pengalaman maupun tentang suatu peristiwa, seorang penulis sering hadir bersama perenungannya tentang kehidupan ini. Dengan demikian kita tahu dan paham bahwa selalu ada nuansa yang berbeda bahkan dalam pengalaman yang mirip atau sama sekalipun. Dan dari pemikiran itulah kita dapat mencoba memahami diri kita sambil berusaha untuk memahami orang lain. Mencoba untuk mengenal kepribadian kita sambil berupaya untuk mengerti kepribadian sesama. Maka sebuah tulisan, terutama tulisan yang bertutur tentang pengalaman hidup seseorang selalu dapat dijadikan cermin kehidupan. Sebagai contoh sekaligus pelajaran. Memang hidup tidaklah sederhana namun juga tidak perlu dipersulit dengan hanya menenggelamkan diri dalam keakuan kita. Baca dan pahamilah. Lalu temukanlah diri kita sendiri di dalam kata-kata yang mengalir itu.

Sebab itu, bagiku sendiri, sebuah tulisan yang baik selalu dapat membuat kita merenung dan menyadari kenyataan hidup. Selalu membuat kita berpikir dan bertindak untuk berubah, menyesuaikan diri dengan kenyataan. Karena kesadaran bahwa kita tidaklah sendirian. Kita tidaklah istimewa. Juga tidak pernah menjadi yang paling. Sehingga kita tidak perlu menyesali diri. Pun tidak usah membanggakan diri. Yang kita butuhkan hanya kesadaran diri. Bahwa selalu ada nuansa dalam setiap pengalaman seseorang dalam menyikapi sejarah hidupnya. Dalam menghadapi peristiwa yang dialaminya sendiri-sendiri.

Maka dalam kata selalu terkandung makna yang hanya kita bayangkan sesuai dengan pengalaman hidup masing-masing tanpa pernah dapat disamakan kepada setiap orang. Sebab itu, bagaimana pun, kata selalu hadir bersama pengertian yang sama dalam kandungan yang berbeda. Dan itulah makna tulisan, hadir untuk dipahami, direnungkan dan menjadi pelajaran kehidupan. Setiap orang sama dalam kapasitas yang berbeda. Maka jangan membuat sebuah tulisan menjadi keramat. Jangan pula membacanya dengan bayangan yang tunggal dan kekal. Itu tidak akan dan mustahil terjadi. Mustahil selama kita semua memiliki pikiran dan pengalaman yang unik. Kita masing-masing. Dan jika kita tetap melakukan itu, akhirnya kita akan kecewa karenanya. Dan akan gagal memahaminya.

Tonny Sutedja

26 Maret 2013

RENUNGAN


Dapatkah sikap dan tingkah laku seseorang dirubah? Dapatkah manusia berubah jika tanpa keinginannya sendiri? Bahkan bila pun dengan keinginannya sendiri, itu tetap bukan hal yang mudah. Ada keterbatasan-keterbatasan dalam polah pikir kita yang sungguh menjadi tembok penghalang dengan tingkah laku kita. Dan kadang, walau kita tak ingin melakukan sesuatu, namun ternyata kita gagal bukan karena kita tidak mau berhasil namun karena ternyata hasrat dan nafsu kita jauh lebih kuat daripada pemikiran kita. Atau jangan-jangan kita lakukan itu secara otomatis tanpa mau bersusah payah untuk memikirkannya lagi.

Kita bukan robot yang hanya bisa berfungsi sesuai dengan program yang telah ditanamkan dalam memori kita. Memang betul itu. Tetapi kadang-kadang kita lebih senang menjadi robot dengan mengikuti apa saja yang telah disampaikan dan diajarkan kepada kita tanpa mau memikirkan kembali. Karena haruslah diakui bahwa berpikir sungguh adalah pekerjaan yang sangat melelahkan dan menguras tenaga. Jauh lebih meletihkan dibanding kerja keras apapun juga yang dilakukan hanya oleh tubuh kita. Maka sungguh betul bahwa menghapal adalah pekerjaan yang jauh lebih mudah dibandingkan dengan memahami. Dan kadang aku berpikir, bahwa selama ini kita dididik untuk tahu, bukan untuk paham. Dan bagi kita sendiri, bukankah ujian yang hanya berupa pilihan antara benar dan salah jauh lebih menyenangkan daripada ujian yang mengharuskan kita untuk menuliskan alam pikiran kita? Karena kita enggan untuk berpikir sendiri. Karena kita tak mau menyulitkan diri dengan memahami mengapa dibanding dengan menjawab apa.

Maka dapatkan seseorang berubah? Dapatkah kita mengubah diri kita? Semua tergantung pada niat dan kemauan kita sendiri. Mampukah kita mempergunakan pikiran kita? Maukah kita bersusah payah untuk mencoba memahami daripada sekedar untuk menghapal agar tahu lalu tetap tinggal tahu sambil tak peduli mengapa kita harus tahu apakah yang kita tahu itu benar atau salah. Maka dua ditambah dua adalah empat. Mengapa dua tambah dua menjadi empat kita tak perlu tahu karena itu jauh lebih sulit daripada sekedar tahu. Tanpa pemahaman. Tanpa pemikiran. Tanpa kerja keras untuk memikirkannya. Padahal sesungguhnya, pengetahuan berkembang justru karena kita semua berusaha untuk paham dan kemudian mengembangkan pemahaman itu daripada hanya sekedar untuk tahu saja lalu semuanya menjadi tidak berarti apa-apa selain daripada selembar ijasah atau gelar yang terpampang di belakang nama kita.

Dan kukira, inilah kita sekarang. Saat ini. Kita belajar sekedar untuk tahu, bukan untuk paham. Dan ilmu yang kita tahu hanya karena kita ingin lulus dan mendapat selembar ijasah, bukan untuk bekal pengembangan pemikiran lebih lanjut tetapi sekedar mengejar pekerjaan, posisi atau pangkat yang lebih tinggi. Hanya untuk kesenangan fisik, bukan demi pengembangan pemikiran. Demikianlah kadang aku bertemu dengan mereka yang telah memiliki sederet gelar tetapi dengan pemikiran yang sederhana. Hitam putih. Sesuai teks baku. Tanpa pemikiran sendiri. Bahkan gagal memahami mengapa demikian. Lalu, untuk itukah kita belajar? Hanya untuk tahu, tidak untuk merubah diri dan pemikiran kita? Untuk itukah? Entahlah.

Tonny Sutedja

MASA LALU


Entah mengapa, ada orang yang mau melupakan masa lalunya. Seakan-akan masa lalunya sama sekali tak ada. Seakan masa lalunya sama sekali tak berarti baginya. Dan yang ada saat ini hanya sekarang. Padahal kita ada sekarang karena telah melewati waktu kemarin. Telah melalui waktu yang, sepahit apapun, selalu punya makna di hari ini. Paling tidak, kita dapat belajar dari waktu yang lewat. Dan tak seorang pun tanpa masa lalu. Tak seorang pun langsung ada sekarang dan hanya sekarang.

Dengan merobek kenangan, kita hanya berupaya untuk lupa dan bahkan dapat gagal untuk belajar hidup. Gagal untuk memperbaiki dan mengubah diri. Kekecewaan kita tidak tanpa arti. Kelemahan kita tidak tanpa guna. Segala apa yang telah kita lalui merupakan patok-patok kenangan akan kegagalan dan keberhasilan kita. Dan dapat dan sering membuat kita merenungi kehidupan kita dulu. Tentang siapa kita. Tentang bagaimana sikap kita. Tentang apa saja keinginan kita. Maka bila kenangan itu disobek dan dilupakan, kita akan menjadi sosok tanpa kenangan. Dan karena itu tanpa perkembangan menjadi lebih baik dari waktu yang telah kita lewati sebelumnya.

Maka bukankah lebih baik jika kita biarkan segala yang telah terjadi tetap tersimpan dalam sejarah hidup kita. Karena kita toh tak mungkin mengatakan tidak pada kenyataan yang telah berlangsung itu. Justru dari segala peristiwa yang telah menjadi sejarah itulah kita mampu dan harus bisa belajar untuk hidup. Untuk memperbaharui diri. Untuk makin mengubah diri. Untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Segala yang telah terjadi, biarlah terjadi. Kita tak mungkin bisa mengulang atau pun menghapusnya. Kita hanya bisa dan harus belajar dari padanya di masa sekarang demi masa depan yang lebih baik. Demi hari esok yang lebih menyenangkan.

Maka siapapun kita, seharusnya menyadari bahwa keadaan kita sekarang tak bisa lepas dari pengalaman hidup kita di hari kemarin. Kita mustahil menghapus apa yang telah menjadi kenangan. Walau pun sekuat apa kita berusaha, itu tetap hal yang mustahil. Bahkan dengan upaya untuk menghapus masa lalu itu, kita hanya hidup dengan kedok seakan-akan semuanya langsung ada. Seakan-akan dengan tidak memiliki masa lalu, beban kita akan jauh lebih ringan. Tidak. Sekeras apapun upaya kita untuk lupa hanya akan menciptakan ketakutan dalam diri kita. Ketakutan jika mungkin ada yang akan tahu. Ketakutan jika pada akhirnya kedok kita akan terbongkar. Ketakutan...

Upaya kita yang terbaik bukanlah dengan melupakan masa lalu kita, tetapi mengingatnya dan belajar darinya agar segala kesalahan dan kekecewaan dulu tidak terulang kembali. Agar kita tetap sadar akan diri kita. Hidup kita adalah sejarah milik kita yang melewati waktu-waktu keberadaan kita di dunia ini. Kitalah yang punya kekuasaan dan kekuatan untuk memperjuangkan hidup kita sendiri. Bukan orang lain. Tak perlu malu dengan apa yang telah terjadi. Tak perlu merobek semua kenangan dan membuangnya ke lupa sehingga menjadi sia-sia dan tak berguna. Mari belajar untuk hidup. Mari belajar untuk menerima diri kita apa adanya. Mari belajar dari masa lalu kita, memperbaiki diri sekarang, dan menuju masa depan yang lebih bermakna. Jangan hidup dengan kedok dan jangan pula hidup tanpa sejarah. Kita adalah kita. Kemarin, hari ini dan kelak. Karena percayalah bahwa Tuhan tidak menciptakan kita hanya untuk hari ini. Tuhan menciptakan kita dengan sepenuh kehadiran kita di dunia ini. Hiduplah dengan dan bersama kenyataan itu.

Tonny Sutedja

ETIKA


Suatu siang, saat aku sedang berkendara, sebuah mobil melintas. Mobil yang di tubuhnya terpampang nama sebuah perusahaan ternama, yang baru pagi hari saya baca di koran lokal mengadakan aksi “Peduli Lingkungan”. Tiba-tiba dari dalam mobil tersebut terlempar keluar hamburan kulit rambutan dan tisu bekas. Aku terpaksa melambatkan kendaraanku agar hamburan sampah itu tidak menerpa diriku. Beberapa kendaraan lain kulihat melakukan hal yang sama. Aku memandang mobil itu, yang nampaknya tidak peduli, terus melaju dengan cepat sambil tetap menghamburkan sampahnya. Perasaanku gemas tetapi tak mampu berbuat apa-apa.

Aku pun mengingat kembali kalimat-kalimat berbunga yang tadi pagi kubaca, dari seorang wakil perusahaan itu tentang manfaat kebersihan, tentang etika untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Betapa mudahnya kalimat-kalimat itu meluncur keluar dan di saat yang lain, ternyata hanya menjadi sampah bagi para pengendara dan penumpang mobil milik perusahaan yang sama. Tetapi inilah potret buram dari kondisi kita saat ini. Kata-kata indah hanya tertinggal di mulut, lain yang diucapkan lain yang dilakukan. Apa yang kita sering ucapkan seringkali hanya pemanis agar kita dihargai dan dipuji oleh mereka yang tidak melihat sendiri perbuatan kita yang sesungguhnya.

Kita senang hidup dengan pencitraan belaka. Dalam banyak hal, etika yang kita katakan semakin kehilangan arti bila dikaitkan dengan apa yang kita lakukan setiap saat. Dan itu tidak hanya terkait dengan mereka yang kita anggap tidak berpendidikan cukup. Mereka yang bahkan memiliki banyak gelar di belakang namanya, mereka yang telah banyak belajar dan banyak tahu, ternyata, jika kita kenal kata dan perbuatannya, sebenarnya adalah mereka yang ternyata tidak mampu untuk berpikir sendiri. Pengetahuan hanya untuk dihapalkan dan hapalan itulah yang menjadi pernyataan namun tidak diamalkan dalam laku sehari-hari.

Demikianlah, kita hidup dalam dan bersama jebakan kesendirian dan kesepian, bukan hanya karena kita memang seorang diri tetapi lebih kerap karena kita hidup untuk diri sendiri saja dan tidak mau terlibat serta enggan untuk bertanggung-jawab secara sosial kepada masyarakat. Kita menganggap bahwa cukuplah pengetahuan itu sebagai bahan hapalan, sebagai pemanis kalimat saat diwawancarai tanpa memahami dan mendalami pengetahuan itu. Gelar didapat hanya dari hapalan semata, bukan pemahaman. Ilmu untuk diketahui bukan untuk dipikirkan dan dikembangkan. Betapa sia-sianya. Betapa tidak bermanfaatnya.

Aku memandang mobil perusahaan yang meluncur cepat itu sambil menggerundel dalam hati. Dan merenungkan betapa etika yang tadi pagi kubaca di koran lokal itu tertinggal hanya pada kalimat yang indah tetapi tidak bermakna apa-apa dalam tingkah laku sehari-hari. Aku tidak tahu siapa pengendara maupun penumpang mobil itu, dan mungkin saja bukan orang yang sama yang berbicara, yang kata-katanya kubaca, tetapi jelas bahwa ada jurang lebar antara apa yang dicitrakan dengan apa yang dilakukan atas nama yang sama. Menyedihkan sekaligus ironis. Dan inilah potret kita. Inilah citra kita di hari-hari yang kian kehilangan etika walau tetap menjadi pemanis citra bagi yang tidak melihat secara langsung beda antara kata dan laku.

Mobil itu kemudian lenyap dari penglihatanku. Meninggalkan siang yang terik. Meninggalkan sampah yang berhamburan di atas aspal di tengah jalan yang terkelupas di sana-sini. Meninggalkan etika hanya sebagai teks indah di halaman satu koran lokal. Tanpa makna apa-apa. Tetapi jelas bahwa aku kehilangan kepercayaan pada kata-kata yang indah itu. Bahwa yang tertulis tinggal tertulis, tidak untuk dipahami. Tidak untuk ditanamkan dalam hati dan pikiran serta kemudian dilaksanakan dalam hidup kita sehari-hari. Setiap saat. Menyedihkan. Betapa kita telah demikian banyak belajar, demikian banyak mengetahui pengetahuan namun kita ternyata gagal untuk berpikir sendiri. Dan di ujungnya, kita tertinggal dalam sepi, bukan karena kita sendirian, namun karena kita lebih senang hidup tanpa tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Sungguhkah kita demikian adanya?

Tonny Sutedja

24 Maret 2013

APA KABAR?


“Hai, apa kabar?”
“Baik. Kalau kau?”
“Baik juga. Terima kasih”
“Syukurlah kalau begitu”
Begitulah percakapan yang umum kita dengar dan kita ucapkan setiap saat, jika kita bertemu dengan teman dan keluarga, terlebih bila dalam jangka kita tidak bersua dengan mereka. Dan entah, kita memang sungguh dalam keadaan baik-baik saja maupun dalam situasi yang teramat sulit, umumnya kita selalu menjawab bahwa semuanya baik dan tidak ada masalah apa-apa. Kita tersenyum walau dalam hati sedang gundah. Karena terkadang kita merasakan bahwa mereka yang menanyakan kabar kita sesungguhnya hanya bertanya sambil lalu. Karena demikianlah kebiasaan yang umum dilakukan oleh orang-orang. Demikianlah yang biasa dipercakapkan saat kita bertemu. Demikianlah.

Maka, walau keadaan kita sungguh buruk, kita tetap memberikan senyum pada orang-orang. Kita tetap memberikan sebuah harapan bahwa sungguh tak ada masalah dalam perjalanan hidup kita. Kita sering hidup dalam kontradiksi, saat apa yang kita tampakkan sama sekali berbeda dengan apa yang kita pikirkan. Dan kita rasakan. Untuk menunjukkan bahwa kita mampu hidup. Untuk menunjukkan bahwa tak ada beban yang tak dapat kita pikul. Kesedihan dan kesusahan kita cukuplah untuk diri kita sendiri. Dan sama sekali tak perlu untuk dibagikan kepada orang lain. Karena mereka tak pernah akan memahami. Karena mereka bisa berbuat apa?

Hidup seseorang memang sesuatu yang unik. Unik dan satu-satunya dalam riwayat masing-masing. Dan takkan pernah sama, walau pengalaman yang dialami mirip atau bahkan serupa. Apa yang ada di dalam pikiran seseorang, apa yang ada di dalam pikiran kita, siapa yang tahu? Bahkan jika pun kita mampu mengutarakannya, sering pengalaman kesusahan kita terasa berlebihan bagi orang lain. Maka jika hidup lebih mudah dengan menyimpan duka kita sedalam-dalamnya, mengapa kita harus mempersulitnya? Bukankah lebih baik kita membagikan cahaya harapan dari pada membuat orang-orang ikut menjadi muram? Apalagi belum tentu mereka mampu membuat kesulitan kita terjawab. Atau bahkan, jangan-jangan mereka bahkan hanya mentertawakan kelemahan kita.

Demikianlah, sebagian besar dari kita setiap saat sering menyembunyikan fakta kehidupan. Dan tentu saja, kita merasa itu adalah hal yang biasa dan umum. Dan tidak ada yang salah dengan situasi demikian. Kesedihan dan kesusahan kita cukuplah untuk diri sendiri. Cukuplah untuk kita saja. Selebihnya biarlah dunia terasa tetap bersinar dengan cahaya harapan dan kegembiraan. Dengan begitu, kita mampu untuk tetap tersenyum. Kita tetap mampu untuk menerima hidup ini apa adanya. Apa adanya. Bukankah itu lebih indah dan bermanfaat, walau mungkin bukan buat kita? Tetapi percayalah, bahwa dengan semangat yang kita berikan, pada akhirnya akan kembali kepada diri kita. Hidup ternyata tidak sesedih dan sesulit gambaran kita. Sebab, syukurlah semua berjalan sebagaimana mestinya. Sebagaimana adanya. Susah dan senang punya saatnya sendiri. Punya saatnya sendiri.

Tonny Sutedja

HASIL


Kita harus belajar berpisah dengan kebahagiaan untuk bisa mencapai yang lebih tinggi dan lebih jauh. Kita harus berani mempertaruhkan kebahagiaan kita, supaya bisa mendapatkan kebahagiaan yang lebih tinggi dan lebih besar. ” (Renungan dan PerjuanganSutan Sjahrir)

Tak seorang pun yang dapat meraih kebahagiaan tanpa sebelumnya melalui pengurbanan. Tak seorang pun yang dapat menghasilkan buah keberhasilan tanpa melewati penderitaan dan upaya menyangkal dirinya sendiri. Tak ada keberhasilan yang serba cepat dan mendadak ada begitu saja. Mereka yang mengharapkan hasil tanpa susah payah dengan menghalalkan segala cara hanya akan membuahkan kegagalan dalam menjalani hidupnya sendiri. Paling tidak, usikan dalam kalbunya. Tetapi entah mengapa, saat ini, semuanya ingin dijalani dengan serba cepat dan serba mudah. Mungkin akibat terlalu banyaknya godaan dari dunia yang lebih memanjakan materi daripada ketentraman hati. Dunia yang lebih mengutamakan penampakan diri daripada kedamaian hati. Tetapi patutkah itu kita jalani?

Demikianlah aku berpikir saat membaca renungan indah dari Sutan Syahrir (5 Maret 1909 – 9 April 1966) yang dibukukan. Jaman telah berubah tetapi pemikiran seseorang akan abadi selama kita mampu untuk meresapkannya dalam hati. Dan ketika aku merenungkan situasi dan kondisi saat ini, sungguh pemikiran itu tetap relevan untuk kita sadari. Di saat korupsi merajalela, di saat seakan semua ingin mengambil jalan pintas untuk berbahagia tanpa mau berusaha tahap demi tahap meraihnya. Padahal, kebahagiaan yang lebih mulia harus diraih dengan mengurbankan kebahagian kecil diri kita saat ini. Dan hidup memang tidak semudah memencet remote control dan semuanya terjadi menurut keinginan kita. Tidak, tidak semudah itu.

Kebahagiaan adalah sebuah proses panjang. Sungguh butuh proses panjang, terkadang bahkan tak berujung. Sebab kita semua harus menyadari bahwa kita ada sekarang dan saat ini tidak mendadak begitu saja. Dari saat kelahiran kita, menjadi bayi yang mungil, masa kanak-kanak, masa remaja dan dewasa yang mampu menikmati segala kesenangan dunia, tidaklah serentak terjadi begitu saja. Panjang waktu yang telah kita lalui seharusnya menyadarkan kita betapa tak mudahnya hari-hari yang telah kita lalui. Tetapi bukankah, walau tidak mudah, setiap tahap mengandung kegembiraannya sendiri? Dan walau setiap proses seakan berjalan lamban tetapi toh pasti. Dan kelak, sebagaimana kelahiran, hidup ini pun pasti akan berakhir di ujung yang sama. Yang akan dialami setiap kehidupan? Jadi mengapa kita harus mempercepat proses itu seakan semuanya serba ada dan serba langsung? Mengapa?

Percayalah, hidup tidak ringkas. Pun tidak dapat diringkaskan. Maka siapa pun yang ingin mencapai keberhasilan dan kebahagiaan dengan serba cepat, langsung dan sekejap pada akhirnya akan menuai kegagalan. Paling tidak, kegagalan dalam menemukan ketentraman dan kedamaian dalam jiwanya sendiri. Mereka yang mengharapkan kebahagiaan dalam waktu secepat-cepatnya sesungguhnya telah gagal membangun hidupnya sendiri. Telah gagal berguna bagi sesama dan dunia ini. Sebab ada kebahagiaan yang jauh lebih besar daripada hanya kebahagiaan sesaat sekarang ini. Maka tidak bisa tidak, memang, kita harus belajar meninggalkan kebahagiaan sesaat dan mempertaruhkan semua kebahagiaan kita sekarang demi menuai hasil yang jauh lebih bermakna bagi sesama. Bagi dunia. Bukan hanya demi kepentingan kita saja. Dan di ujungnya, percayalah, kita sendiri secara pribadi yang kelak akan menerima hasilnya dalam kebahagiaan Ilahi. Bersama Sang Pencipta. Tidak bisakah kita berlaku demikian?

Tonny Sutedja

ANGGAPAN


Aku mengakui kelemahanku dalam menghadapi nasib dan perjalanan hidupku. Tetapi aku sudah tidak akan tahan bila ada orang mau menambah beban kepadaku dengan marah dan memaki-maki. Lupakan aku, hinalah aku sesuka hatimu, tapi biarkan aku bebas....” (Lorong Midaq – Naguib Mahfouz)

Ya, siapakah kita yang kadang berbuat menjadi penuntut sekaligus hakim kepada mereka yang kita anggap bersalah? Seberapa bersihkah kita sehingga kita senang mempermalukan kekotoran orang lain yang kita sangka sangat menjijikkan bagi kita? Seberapa jujurkah kita terhadap diri sendiri saat kita menghina mereka yang berbeda dari diri kita? Seberapa dalamkah kita mengenal kehidupan orang-orang yang kita permalukan, bahkan ingin kita hukum mati karena sesuatu yang dilakukan atau dipikirkannya? Sadarkah kita sendiri saat kita merasa benar dan yakin pada kebenaran kita?

Betapa dunia sering nampak demikian suram di mata mereka yang menganggap dirinya sempurna. Dunia sering hanya kelihatan hitam dan putih di mata mereka yang mengira bahwa hanya ada kebenaran dan kesalahan tanpa kemungkinan lain dalam setiap pengalaman hidup masing-masing. Dan walau menyedihkan, tetap banyak orang yang merasa dirinya putih bersih dan yang lain, yang berbeda dengannya, hitam kelam. Sosok-sosok yang bagaikan hanya daging yang hidup tanpa perasaan sama sekali. Tetapi, sungguh, itu tidaklah manusiawi adanya. Mereka yang mengakui memiliki kepastian dalam hidupnya tanpa kemungkinan lain sesungguhnya hidup dalam dunia mimpi. Sebab dunia nyata tidaklah demikian adanya. Tidak demikian.

Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” kata Yesus kepada para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang membawa seorang perempuan yang tertangkap basah berbuat zinah. Dan ternyata, tidak seorang pun yang merasa tanpa dosa. Tentu saja. Memang jauh lebih mudah melihat kesalahan orang lain daripada menyadari kelemahan diri sendiri. Dan dalam kejadian yang ditulis oleh Yohanes itu, mengapa hanya perempuan yang dibawa kepada Yesus? Mengapa hanya perempuan itu yang dikurbankan, sedangkan perbuatan zinah itu tak mungkin dilakukan tanpa kehadiran laki-laki? Siapakah laki-laki itu? Keadilan apakah yang akan ditegakkan oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi jika dalam kejadian itu pun mereka ternyata telah berlaku tidak adil? Telah berpihak? Dan apakah yang mereka ketahui tentang latar belakang perbuatan itu?

Terkadang sebuah kejadian terjadi bukan hanya kesalahan seseorang. Bisa saja kesalahan terpaksa dilakukan karena situasi dan kondisi yang justru dibuat oleh mereka yang merasa dirinya benar dan bersih. Jika demikian, siapakah yang patut dipersalahkan? Mengapa mansuia cenderung mengadili dan menghukum seseorang hanya dari penampakan luarnya saja? Hitam. Putih. Ah, dunia tidak sesederhana begitu. Sungguh ada banyak warna lain yang justru membuat hidup ini indah. Dan tanpa warna-warna itu, kita semua hanya menjadi kawan dan lawan. Tanpa sesama. Jika demikian, untuk apakah Tuhan menciptakan semua ini? Untuk apa?

Maka janganlah hidup hanya dengan anggapan kita saja. Janganlah mencela, menuduh bahkan sampai ingin mengadili dan menghukum seseorang hanya karena anggapan kita bahwa kebenaran hanya milik kita saja. Sesungguhnya tak seorang manusia pun yang dapat mengatakan dirinya sebagai pemilik tunggal kebenaran. Tidak. Kita semua hanya dapat hidup dengan dan bersama kebenaran kita masing-masing tanpa kekuasaan untuk memaksakan kebenaran kita kepada orang lain. Siapa pun mereka. Dan pada akhirnya, kita akan bertemu dengan kebenaran yang mutlak pada waktunya kelak. Di saat itulah, kita baru menyadari kebenaran dan kesalahan kita masing-masing. Di hadapan pemilik tunggal kebenaran sejati. Sang Pencipta kita.

Tonny Sutedja

22 Maret 2013

KELUH


Beratus-ratus dan beratus-ratus juta orang pengeluh telah meninggal.Siapa yang masih mengenal mereka? Dan berapa banyak lagikah yang akan meninggal setelah mereka?” (De Uitvreter – Nescio)


Menjelang senja. Jalanan mulai ramai. Mereka yang pulang setelah kegiatan sepanjang hari. Demi menghidupi diri. Demi menghidupi keluarga. Dan langit perlahan membawa warna jingga keemasan sebelum gelap tiba. Gelap yang tidak selalu kelam. Gelap yang mungkin bermakna istirahat dan kesempatan untuk memikirkan apa yang telah terjadi seharian. Dan harapan untuk hari esok yang akan datang. Mungkin ada rasa sesal atas kesempatan yang terlepas. Mungkin pula ada rasa gembira karena rencana yang telah terlaksana. Tetapi bagaimana pun, kesadaran atas hal itu membuat kita hidup. Membuat kita merasa ada. Dan menikmati keadaan saat ini. Sekarang.

Demikianlah kita sering merenungi kehidupan ini. Kita sering menyesali atau mensyukuri atas apa yang telah terjadi. Sesuatu yang tidak sesuai atau sesuai dengan harapan kita. Tetapi waktu berlanjut terus. Dan kita tak mungkin menghentikannya. Kita mustahil untuk mengatakan, cukuplah sudah semua ini lalu menghentikan langkah kehidupan kita. Tidak, tentu saja. Apa yang telah terjadi tetaplah terjadi. Dan apa yang akan terjadi, biarlah berjalan demikian. Setiap perencanaan kita pada akhirnya kita serahkan pada kemungkinan-kemungkinan yang sering tak mudah kita perkirakan. Dan hidup memang demikian adanya.

Maka siapa pun yang selalu mengeluh tentang kehidupan ini, selayaknya menyadari bahwa memang selalu ada harapan yang tak bisa diwujudkan. Selalu ada rencana yang gagal dijalankan. Tetapi walau demikian, hidup semestinya tetap mengandung keindahan bahkan dalam situasi apapun yang sedang kita alami. Gelap tidak selalu kelam. Bahkan jauh lebih sering gelap tiba bersama harapan bahwa kita dapat berhenti sejenak dari segala kesibukan diri dan mengistirahatkan tubuh yang penat setelah perjuangan mencari hidup. Setelah kerja keras memperpanjang usia. Dan seperti itulah kita adanya. Selalu. Hingga akhir tiba.

Maka setiap senja tiba, sama dengan setiap pagi datang, orang-orang bergerak tetapi seringkali dengan arah yang berlawanan. Pergi dan pulang. Berkarya dan beristirahat. Dan mendadak aku menyadari bahwa, walau setiap hari nampak seakan sama saja, nampak seakan tidak ada yang berubah, bahkan mungkin sering terasa membosankan, ternyata semuanya tetap kita jalani karena kita tidak hanya terpaku di tempat yang sama. Tidak, kita semua bergerak dan dalam pergerakan itulah kita hidup dan menikmati kehidupan ini. Maka sungguh bukan tujuan yang utama, walau tetap penting, tetapi justru dalam perjalanan menuju tujuan itulah, proses mengarah pergi dan balik, kita semua menikmati hidup ini. Karena menyadari bahwa di satu ketika nanti, kita dapat menemukan istirahat kita yang abadi. Dan selama kita ada disini, proses pengalaman kita dapat mengajarkan kita banyak hal yang tak terduga. Dan tak terhindari.

Sungguh, sesal dan syukur adalah dua hal yang tak mungkin kita elakkan. Tetapi kita tak perlu mengeluh karenanya. Kita nikmati saja apa adanya setiap lintasan waktu yang kita miliki. Dan ketika malam tiba, kita tak perlu menangisi kekelamannya, tetapi mensyukuri bahwa besok hari baru akan datang. Dan matahari akan bersinar kembali. Setiap momen kehidupan, baik atau buruk, adalah bagaikan proses kita datang dan pergi dengan saat-saat dimana malam menjadi satu saat untuk merenungi segala yang telah terjadi demi perubahan dan perbaikan di hari esok. Dan di ujung perjalanan itu, di ujung saat hari-hari kita akan lenyap, kita sanggup untuk secara pantas berbisik: “Aku sungguh telah menikmati hidupku secara layak dan tidak menyia-nyiakannya dengan mengeluh dan mengeluh saja.....”.

Tonny Sutedja

DIRIKU


Nobody knows the trouble I’ve seen
Nobody knows my sorrow
(Nobody knows – Brothers Four)

Pernah ada masanya dulu, aku bertanya-tanya, mengapa seakan tak seorang pun dapat mengenal diri ini. Mengapa seakan tak seorang pun mampu memahami apa yang sedang kupikirkan. Ya, pernah dulu aku sering merasa sedih bahkan kadang putus asa saat merasa sendirian, tak dipahami bahkan disepelekan karena sesuatu yang aku pikirkan. Tetapi sekarang, aku berpikir, dapatkah seseorang dipahami? Bisakah seseorang dikenal hingga tuntas? Bukankah kita semua sungguh memiliki sesuatu yang tersembunyi di dalam diri dan pikiran kita masing-masing? Siapakah yang mampu untuk memahami kita sepenuh-penuhnya saat kita sendiri sering tidak bisa mengerti mengapa kita begini? Atau begitu? Siapakah?

Pada hakekatnya memang, tak seorang pun yang dapat memahami hingga sedalam-dalamnya satu sama lain. Seberapa dekatnya pun mereka itu. Tak seorang, bahkan kita sendiri pun kadang tak mampu untuk memahami diri kita. Jadi bagaimana bisa mereka yang diluar kita memahami kita jika kita sendiri tak mengenal siapa diri kita? Setiap orang memiliki kesedihan dan kesusahannya masing-masing. Dan beban itu, bagaimana miripnya pun, tak akan sama dalam pandangan masing-masing kita. Dan sungguh, sekarang aku berpikir, bahwa itulah anugerah terbesar yang kita miliki. Anugerah sekaligus tantangan bagi kita dalam menghadapi hidup ini. Hidup yang, sekaligus mengandung cobaan dan godaan, sebagai satu sarana untuk menikmati dan bersyukur karena kita ternyata ada dan sungguh nyata.

Tanpa tantangan dan cobaan hidup akan membosankan. Tanpa penderitaan kita tak mungkin mengenal kebahagiaan. Tanpa tangis, kita mustahil tahu artinya tertawa riang. Ya, jika hidup berupa terang terus menerus tanpa kegelapan, apalagikah artinya terang itu bagi kita? Maka bukankah dengan mengalami derita dan kesulitan, kita semua mampu mengetahui potensi diri dan talenta kita masing-masing? Bukankah dalam segala cobaan dan tantangan itulah hidup menjadi berarti bagi kita? Mereka yang tak pernah menderita sesungguhnya tak akan merasakan kebahagiaan. Dan itu berarti bahwa hidup baginya adalah satu kegagalan. Satu kehampaan.

Di dalam kesusahan inilah terletak harapan. Dan di dalam harapan inilah hidup akan berbuah perjuangan untuk melaluinya dengan sepenuh pengalaman diri. Maka siapapun kita, bagaimanapun kondisi kita dan apapun yang kita alami, percayalah, bahwa justru masa-masa kesedihan dan kesengsaraan itulah yang kelak dapat membimbing kita semua untuk menyadari makna hidup ini. Menyadari bahwa kita sungguh ada dan nyata ada. Percayalah, kesenangan yang tanpa akhir hanya hanya membuat kita lupa bahwa kita sesungguhnya hanya seorang manusia yang tidak kekal. Tidak akan kekal.

Maka kini, aku sadar bahwa memang tak seorang pun yang mampu untuk mengenal diri ini sepenuh-penuhnya. Tak seorang pun yang dapat mengetahui kegelapan kita. Tak seorang pun yang sanggup untuk memahami kita. Sebab memang demikianlah adanya agar kita sendiri mampu untuk memahami diri kita sendiri. Aku sendirian. Aku mutlak sendirian dengan pengalaman yang mungkin sama dengan kalian, tetapi pasti punya cara pandang yang berbeda. Di titik inilah aku berusaha untuk sadar bahwa memang tak seorang pun yang dapat mengenal aku sehingga aku tak mungkin memaksakan orang lain berbuat yang sama dengan apa yang aku pikirkan. Sebab apa aku merasa sungguh tahu mengapa aku memikirkan hal itu? Apa sungguh aku sadar mengapa aku mengalami hal itu? Jika tidak, mengapa orang lain harus mengenal kita? Mengapa harus memaksa orang lain memahami kita? Mengapa kita harus berkeras hati?

Tak seorang pun tahu kesulitanku. Tak seorang pun memahami kesusahanku” Sungguh benarlah lagu itu.....

Tonny Sutedja

14 Maret 2013

TEKA - TEKI


Kisah hidup sebuah teka-teki. Selalu sebuah teka-teki. Dengan jawaban yang sering tak terduga. Jawaban yang sering tidak rasionil dan bahkan sering tidak masuk akal. Tetapi itulah yang sering terjadi. Seperti saat suatu hari, istri seorang temanku datang bersama anaknya lalu mencurahkan isi hatinya, bahwa sudah sejak setahun lalu dia berpisah dengan temanku itu. Bahwa teman itu telah memiliki wanita lain dan telah hidup bersama wanita itu. Sebuah kejutan karena sebelumnya saya bertemu dengan teman itu, dan sama sekali tidak ada tanda-tanda sedikit pun tentang kemelut dalam rumah tangganya. Seakan-akan semuanya masih berjalan normal dan biasa-biasa saja.

Maka sungguh tepat bahwa kita sering tak mampu melihat manusia apa adanya. Kita tak bisa menebak apa yang tersembunyi di balik senyum dan tawa di wajah seseorang. Dengan apa yang dimilikinya, atau kita anggap dia miliki, dan hidupnya berjalan seakan-akan tanpa masalah dan tanpa cobaan. Hidup selalu mengandung rahasia yang sulit untuk ditebak. Sebuah teka-teki dengan jawaban yang, menurut kita, tidak masuk akal namun itulah yang terjadi. Di balik wajah seseorang, nahkan yang paling akrab sekali pun, selalu tersembunyi gejolak jiwa yang tidak dapat kita selami. Tak dapat kita pahami. Tetapi bukankah kita pun sering mengalami hal yang sama?

Wajah kita memang sering mengenakan topeng yang menyembunyikan perasaan kita yang sebenarnya. Dan memang, itulah kita, manusia-manusia yang sering merasa bahwa apa yang kita lakukan bukanlah sebuah kesalahan walau, sadar atau tidak, kita telah meremukkan semua harapan yang kita miliki. Dan juga harapan keluarga dan mereka yang dekat dengan kita. Sering ada tembok tebal kita bangun hanya untuk hasrat semu kita akan kebahagiaan diri sendiri. Tetapi salahkah kita? Dimanakah letak kesalahan jika kita sendiri beranggapan bahwa apa yang kita lakukan demi kebahagiaan diri kita? Diri kita sendiri.

Tetapi kita sungguh hidup tidak sendirian. Kita tidak pernah sendirian. Sesungguhnya setiap orang saling berkaitan, walau sering tidak kita sadari atau bahkan sering kita merasa sendirian saja. Padahal tidak demikian adanya. Sadar atau tidak, selalu saja ada sesuatu yang terkait dengan keberadaan kita. Dan kenyataan inilah yang perlu kita pahami. Sering atau bahkan selalu, kita harus mengurbankan kesenangan diri demi untuk mereka. Sebab memang, hidup selalu bermakna bahwa kebahagiaan kita hanya bisa ditemukan dalam apa yang telah kita berikan. Apa yang telah kita kurbankan demi orang lain. Bukan hanya pada apa yang akan kita terima saja.

Hidup memang telah menjadi hak kita saat kita lahir. Tetapi hidup pun selalu mengandung kewajiban bagi kita untuk bertanggung-jawab atas segala keputusan yang telah kita ambil. Atas segala perbuatan yang telah kita lakukan. Dan tanggung-jawab bukan hanya demi diri kita namun juga demi orang-orang yang kita sayangi. Atau pernah kita sayangi. Setiap keputusan selalu haruslah selalu kita pertanggung-jawabkan secara pribadi. Kita tidak dapat menghindar atau malah melarikan diri darinya. Sebab kita telah diberi anugerah, maka kita pun harus menjaga segala berkat anugerah itu dengan penuh rasa syukur. Bukan hanya kesal atau sesal. Maka menjalani hidup tidak pernah mudah. Tidak pernah mudah jika kita hanya ingin melakukan hal-hal yang menyenangkan diri sendiri saja.

Hidup memang penuh dengan teka-teki. Dan jawaban yang kita temui kadang sangat mengejutkan. Dan juga sekaligus menyedihkan. Tetapi siapa yang mampu menjawab teka-teki itu dengan penuh tanggung-jawab dan jika perlu, rela untuk mengurbankan dirinya sendiri demi orang lain, tidak hanya untuk diri sendiri, akan dapat bersyukur pada anugerah yang diterimanya. Kita ini hanya sekejap berada di dunia. Beberapa saat lagi, kita kan usai dan akan tiba waktunya kita harus mempertanggung-jawabkan segala apa yang telah kita lakukan kepada Sang Pencipta. Pada saat itu, dapatkah kita dengan bangga hati berkata bahwa, dalam hidup yang telah kita jalani, kita telah memberi jauh lebih banyak daripada yang kita terima? Ah, tetapi manusia memang sebuah teka-teki.

Tonny Sutedja

09 Maret 2013

BENIH


Apa sesungguhnya yang ingin kita cari dan ingin kita dapatkan di dalam hidup kita? Mengapa kadang terasa bahwa kita salah dan merasa tidak layak berada dalam situasi dan kondisi kita sekarang? Mengapa kadang kita merasa sangat kecewa karena tidak mampu untuk mengembangkan dan tidak berdaya untuk melakukan hal-hal yang berguna sesuai dengan kemampuan diri kita? Apa sesungguhnya yang kita harapkan dalam hidup ini?

Memang, kadang ada banyak pertanyaan yang sangat mengusik jiwa kita. Saat keadaan yang kita hadapi sama sekali tak mampu kita terima. Tetapi juga tak mampu kita tolak. Dan, walau akal kita dapat memahami mengapa ini semua terjadi, perasaan kita tetap menolaknya. Inilah penderitaan yang sesungguhnya. Tidak, bukan kelemahan fisik atau pun derita yang menerpa tubuh kita, melainkan lintasan dalam perasaan dan hati kita sendiri.

Bagaimana kita dapat hidup dengan situasi ini? Bagaimana kita dapat menghadapi gejolak perasaan kita saat akal pun tak mampu untuk mengolahnya? Sebab sesungguhnya, ada banyak anugerah yang telah kita terima tetapi semua itu masih tak bisa kita pahami. Sebab hidup tidak semata hanya menikmati apa yang ada, tetapi memikirkan apa yang gagal kita capai. Harapan-harapan yang tak terlaksana. Kemampuan yang tak bisa kita luapkan. Dan kita hanya dapat menunggu bersama jalannya waktu. Kita menua dengan cepat. Dengan sangat cepat.

Seandainya kita hidup hanya berdasarkan naluri. Seandainya kita hidup hanya dengan kekuatan fisik saja. Tetapi tidak, kita hidup dengan dan bersama perasaan-perasaan kita yang sering demikian dominan menguasai kita. Bahkan sering mengalahkan akal dan pikiran kita. Dan itulah yang membuat seorang manusia menjadi pusat dunianya sendiri. Itulah yang membuat seorang manusia mampu untuk membuat terobosan dalam ketidak-mungkinan. Membuat cahaya dalam kegelapan yang pekat.

Maka kita berpikir. Kita terus berpikir. Bagaimana kita harus menghadapi dan menerima kehidupan ini. Kehidupan yang kadang seakan tanpa harapan. Kehidupan yang kadang seakan tanpa kebahagiaan. Kehidupan yang seakan sia-sia dan tak bermakna. Namun terus berproses. Terus berjalan, waktu demi waktu. Maka barangkali kita akan gagal meraih harapan itu. Maka barangkali kita akan tercampak dalam kegagalan yang pahit. Tetapi, siapa yang tahu masa depan? Siapa yang dapat memastikan hari esok?

Sebab itu, walau kita merasa kecewa dalam menghadapi hidup ini, toh, selama kita masih bersamanya, kita tetap punya kemampuan untuk menerobos kebuntuan yang sedang kita hadapi. Dan walau kelak kita menyadari ketidak-mungkinan keberhasilan, kita toh tetap dapat menikmati upaya kita untuk menguasainya. Upaya yang mungkin sia-sia, tetapi siapa tahu apa yang akan kita temukan di ujung jalan itu? Sebab selalu ada kemungkinan yang lain. Dan selalu ada kejutan dalam setiap hari yang kita lewati ini. Selalu ada kemungkinan yang lain selain dari hanya kegagalan.

Itulah sebabnya, sejarah tidak hanya berisikan kegagalan tetapi juga kesuksesan. Itulah sebabnya hidup ini menjadi punya arti bukan hanya karena ketidak-mungkinan tetapi justru karena kemungkinan yang tak terduga. Sebuah keajaiban kecil yang berdampak besar bagi manusia. Apa yang kita cari dalam hidup ini mungkin kita sendiri tak mengetahuinya. Tetapi mari memastikan bahwa kita akan mendapatkan harapan-harapan yang mengejutkan kita. Kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam setiap langkah kita yang terseok-seok saat menjalani hidup.

Kita tahu bahwa kita mungkin tidak layak berada di sini. Kita mungkin merasa tidak mampu untuk berguna menjalani keadaan kita sekarang. Tetapi kita masih hidup. Kita masih ada. Dan selama kita ada dan kita hidup, kita masih dapat dan masih punya waktu untuk berbuat sesuatu. Kita masih sanggup untuk membuat perubahan. Dan walau kita kelak gagal, dampak upaya kita masih bisa punya arti bagi kehidupan sesama kita. Bukankah itu tetap sebuah kebahagiaan juga? Walau kita sendiri mungkin tidak menikmatinya.

Marilah hidup tidak hanya dengan harapan dan kekecewaan tetapi juga bersama semangat dan upaya. Bahwa kita ini adalah benih yang berproses, hidup dan mati demi untuk kehidupan lain yang lebih berarti. Dengan perbuatan-perbuatan yang berguna dan dapat menjadi teladan bagi sesama kita. Bahwa ada yang lebih berguna selain dari keberhasilan saja. Ada yang jauh lebih bermakna selain dari kebahagiaan dan kesenangan kita di dunia ini. Semangat kita untuk menerima sekaligus mengubah kehidupan ini. Perjuangan kita untuk menghadapi hidup yang seakan tanpa harapan. Untuk itulah kita ada. Untuk itulah kita disini. Sekarang dan saat ini.

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. (Yoh. 12:24)

Tonny Sutedja

05 Maret 2013

WHITNEY


Aku bukan aku yang nyata
(Country Strong)

I wonder if I could be your miracle
I wonder if I could spare you pain
( MiracleWhitney Houston)


Aku yang kalian lihat bukanlah aku yang sebenarnya. Aku yang kalian lihat hanyalah aku yang telah dipoles dengan citra yang kalian kehendaki. Aku yang selalu ingin tampil dengan indah, anggun, tanpa masalah dan jika mungkin dapat memberikan kenyamanan dan kegembiraan bagi kalian. Tetapi siapa yang tahu apa yang tersembunyi di balik wajah yang menebarkan senyum ini? Siapa yang paham apa yang ada di balik rupa yang seakan-akan tanpa masalah, wajah yang rupawan, cantik atau tampan, yang setiap saat menebarkan kebahagiaan bagi kalian? Hanya kesadaran akan diri sendiri yang dapat memahami apa yang ada di balik topeng yang aku pakai saat-saat menghadapi kalian. Bahwa tak seorang pun hidup hanya dalam kesenangan, keindahan dan kebahagiaan. Selalu ada sisi gelap di balik wajah yang aku tampilkan bagi orang lain. Selalu ada rahasia yang tersembunyi dalam jiwa kita semua. Dan bagaimanapun, itulah hidup yang sesungguhnya. Itulah hidup yang nyata.

Sebab itu, janganlah bersedih ketika melihat mereka yang nampak seakan-akan hidup tanpa beban. Janganlah merasa iri menyaksikan betapa mereka yang setiap saat kita temui kelihatan seakan-akan hidup berkelimpahan, penuh tawa ria dan selalu menebarkan senyum kepada siapa saja yang mereka temui. Kita tak tahu dan tak mungkin tahu apa yang ada di balik wajah-wajah itu. Tetapi jelas bahwa sebagian besar dari kita, atau bahkan mungkin kita semua, hidup dengan topeng yang menyembunyikan kepahitan, kesedihan dan ketidak-berdayaan kita. Kita mungkin mengalami sesuatu yang amat memilukan hati kita, tetapi tidakkah kita semua ingin menyembunyikannya dari orang lain? Bahkan dari mereka yang paling dekat dan paling akrab dengan kita sekali pun? Bukankah itu adalah kebenaran yang, jika kita mau jujur terhadap diri sendiri, adalah sesuatu yang setiap saat kita jalani?

Sebab, jika kita mengalami sesuatu yang menyedihkan, sesuatu yang sangat mengusik perasaan kita, kita tak ingin orang lain ikut terbebani. Atau kita tak mau peristiwa atau situasi tersebut mengganggu citra kita dalam pandangan orang lain. Dengan demikian, kita memoles wajah kita setiap hari. Setiap saat. Dan jika kita menjalani hidup yang demikian, mengapa kita berpikir bahwa orang lain tidak menjalani hidup yang sama? Setiap manusia punya masalahnya sendiri. Setiap manusia punya kegelapannya sendiri. Sesuatu yang ditabirinya dengan topeng agar tak seorang pun mengetahui hingga ikut larut dalam kesulitan kita. Maka inilah kita, hidup dengan wajah-wajah yang dipoles, dengan memakai topeng kebahagiaan, dengan mencoba menyembunyikan segala keresahan dan kesepian kita. Ada apa dibalik tawa seseorang? Ada apa di balik senyum lebar seseorang? Ada apa di balik wajah kita yang seakan tanpa beban hidup sama sekali? Siapa tahu?

Memang, seringkali kenyataan hidup itu sangat pahit. Memang, seringkali pilihan kita salah. Memang, seringkali kita tak mampu untuk memahami dan mengubah kehidupan kita sendiri. Tetapi percayalah, kalian tidak sendiri. Aku tidak. Kau tidak. Mereka tidak. Kita semua sering harus dan terpaksa harus memoles wajah-wajah kita agar nampak indah. Menebar senyum dan tawa kemana-mana agar dapat menyenangkan orang lain. Agar dapat membahagiakan orang lain. Sementara kita sendiri remuk. Remuk. Tanpa keajaiban yang selalu kuharapkan. Tanpa keajaiban sama sekali.

Tetapi setiap kehidupan, baik yang ada maupun yang pernah ada, merupakan sebuah pelajaran bagi stiap orang. Maka aku ingin kalian belajar dariku. Aku ingin kalian memahami setiap masalah yang sedang kalian hadapi. Bahwa apa yang nampak selalu bukan kenyataan yang sesungguhnya. Bahwa pasti ada rahasia tersembunyi di balik apa yang nampak indah, bahagia dan seakan-akan tanpa beban. Kita selalu memiliki wajah-wajah yang dipoles. Kita selalu memakai topeng untuk menjaga perasaan orang lain. Kita selalu tak ingin orang lain terbebani dengan kesengsaraan kita. Tetapi sebab itu, kita belajar menghadapinya. Dengan penuh ketabahan. Dengan penuh semangat. Dengan berjuang menghadapinya. Belajarlah dari pengalaman. Maka engkau akan memahami hidupmu sendiri. Tak sesuatu yang indah bermakna indah. Memang demikian adanya. Memang demikianlah kebenarannya hidup. Memang demikianlah.

Tonny Sutedja

04 Maret 2013

SI DOGGIE


Suatu ketika, ada seekor anjing jantan yang hadir di kompleks kami. Entah dari mana asalnya. Entah apa namanya. Tetapi kami semua nampaknya sepakat untuk menamakannya Doggie. Warnanya hitam sedikit berbelang putih. Dan hanya dalam tempo beberapa waktu, beberapa dari antara kami yang tinggal di kompleks kami pun menyayanginya. Setiap hari, beberapa rumah menyiapkan tempat makanan di depan pintu mereka untuk anjing itu. Dan dalam beberapa kejadian, saat larut malam, Si Doggie itu menggonggong saat ada tamu yang tak diundang datang berkunjung. Memang, setiap malam Si Doggie senang berkeliling kompleks kami dan jika pagi tiba, dia tidur dengan tubuh menggulung di samping sebuah rumah di sudut paling ujung kompleks ini. Dan jika siang tiba, dia mulai berkeliling lagi sambil melihat-lihat siapa yang hari itu menyediakan makanan baginya.

Anjing itu nampaknya bekas peliharaan seseorang. Dia tidak galak kepada kami, bahkan kepada anak-anak pun dia sering bermain dan menggosok-gosokkan kepalanya ke kaki-kaki mereka. Banyak di antara kami, para penghuni kompleks ini, menyayangi Si Doggie itu. Dengan setiap hari menyediakan makanan baginya. Dengan membiarkan dia berkeliaran bahkan masuk ke dalam rumah. Setiap orang mulai terbiasa dengan kehadirannya. Bahkan mungkin, ada orang-orang yang menunggu kehadirannya di rumah mereka. Tentu, termasuk saya juga. Begitulah, selama beberapa bulan Si Doggie menemani keseharian kami bahkan terkadang ada yang berpikir, Si Doggie ikut menjaga keamanan kami yang tinggal di kompleks itu. Jika ada orang-orang asing yang datang, apalagi di tengah larut malam, dia selalu menggonggong seakan mengabarkan kepada kami bahwa ada tamu asing yang sedang berkunjung.

Pada beberapa kesempatan, ketika kami sedang mengobrol bersama, ada yang berkata bahwa dia berpikir untuk menyediakan tempat tinggal khusus bagi SI Doggie. Tetapi ide itu tak pernah terlaksana. Hingga suatu hari Si Doggie mendadak lenyap. Sama seperti kehadirannya yang tiba-tiba, kepergiannya juga tak pernah diketahui. Ada yang berpikir bahwa mungkin Si Doggie ini ditangkap oleh para penculik anjing untuk dikemplang dan disantap. Ada pula yang berkata bahwa mungkin Si Doggie telah menemukan pasangannya dan mengikuti anjing betina itu. Apa pun juga, Si Doggie telah lenyap dan hingga hari ini tak pernah muncul kembali.

Dengan kehadirannya yang entah dari mana, dan kepergiannya yang demikian tiba-tiba, kami semua mendadak merasa kehilangan anjing jantan yang lucu dan ramah itu. Ada yang sangat menyesal karena tidak menjaganya dan membiarkannya berkeliaran begitu saja sehingga dengan mudah diculik oleh para pelaku yang tak bertanggung-jawab. Tetapi barangkali memang, kita sering gagal dalam menghargai dan menjaga apa yang kita punyai sampai saat dia lepas dari tangan kita. Kita hanya senang menikmati tetapi enggan untuk menjaga dan merawat milik kita itu. Namun, saya pikir, milik kita itu juga tentu memiliki kebebasan untuk dirinya, dia akan menjalani kebebasan itu sebagaimana kita menikmati kebebasan kita. Jadi jika dia menemukan sesuatu yang lebih menyenangkan dalam hidupnya, bukankah dia pun punya hak untuk mengikuti kebahagiaannya? Mana dari dua hal itu yang benar, tentu tergantung pada peristiwa apa yang dialami oleh Si Doggie itu sendiri. Dan pada akhirnya, kita tak akan pernah tahu kenyataan yang sebenarnya. Kita hanya mampu menduga-duga. Kita hanya bisa menebak kemungkinan yang telah terjadi. Tentu, karena kita bukanlah Si Doggie itu sendiri. Dialah yang menjalani hidupnya.

Demikianlah, peristiwa itu menggambarkan betapa seringkali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak mudah. Atau kita dihadapkan kepada situasi yang tidak memungkinkan kita untuk memilih. Kecuali menjalani hidup ini apa adanya. Barangkali kita sesali ketidak-pedulian kita dalam memelihara Si Doggie, tetapi bagaimana dengan kebebasannya? Atau kita bersyukur karena kemungkinan yang terbaik baginya, tetapi bagaimana jika situasi sesungguhnya terbalik bagi Si Doggie? Kita tidak tahu kebenarannya. Dan mungkin kita tidak pernah akan tahu. Begitulah hidup ini. Jalani saja apa yang ada. Hadapi saja apa yang terjadi. Selanjutnya terserah pada jalannya waktu. Dan tentu saja, kita tetap bisa bersyukur. Bahwa dia pernah ada dalam hidup kita. Dia pernah hadir dalam pengalaman kita. Dan itu sudah cukup. Sudah cukup.

Tonny Sutedja

J

Memang, selalu saja ada orang-orang yang menjengkelkan kita. Selalu saja kita menemukan orang-orang yang hanya dapat memerintah dan ketika perintah itu tidak kita jalankan, atau kita jalankan namun tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, kitalah yang dipersalahkan. Sementara sesungguhnya ternyata, mereka bahkan tidak mampu berbuat apa-apa selain dari hanya memerintah agar keinginannya dapat tercapai. Dan kita juga sering berjumpa dengan mereka yang, walau tak mengetahui masalah tetapi kemudian bersikap seakan-akan paham semuanya. Dan lalu mempersalahkan kita yang tak mampu menangani soal itu. Sulitnya, sering kita tak dapat berbuat apa-apa jika mereka mempunyai kekuasaan, kekuatan atau kekayaan yang jauh melebihi kita. Atau mungkin bahkan atasan kita sendiri. Maka kita sering merasa dikurbankan. Kita tidak berdaya apa-apa.

Atau bisa saja karena mereka adalah orang-orang dekat kita. Dan kita enggan untuk menimbulkan percekcokan hanya karena masalah tersebut, kita hanya bisa berdiam diri. Tidak setuju tetapi tidak menolak. Dan menerima semua kesalahan yang ditimpakan kepada kita dengan pasrah. Tetapi hidup memang sering demikian, temanku.Hidup memang sering demikian. Kita harus berjuang melawan diri kita sendiri saat menghadapi mereka yang bersikap demikian menjengkelkan itu. Kita harus berkurban dan merelakan kesalahan yang terjadi menjadi beban kita. Kadang-kadang ada peristiwa yang berada di luar kemampuan kita untuk menanganinya. Kadang-kadang kita harus mengakui bahwa tidak semua hal bisa kita hadapi, bisa kita lawan atau mendapatkan solusinya.

Bagaimana pun juga, kita sering merasakan bahwa dalam hidup ini, banyak hal yang terjadi bukan untuk dipahami atau untuk dimengerti. Tetapi dijalani saja apa adanya. Dan pertanyaan-pertanyaan ada yang tak perlu dicarikan jawaban tetapi untuk didengarkan saja. Kita takkan mampu untuk merengkuh semua hal. Kita bahkan tak perlu untuk mencoba menyelesaikan semua soal. Kita memang bukan manusia yang sempurna. Dan takkan pernah sempurna. Kita harus menerima kenyataan itu. Tetapi paling tidak, kita dapat bertahan dengan menerima, menjalani sambil tetap tersenyum pada dunia ini. Kita tidak perlu patah hati dan putus asa menghadapi kenyataan yang ada. Kita justru harus menikmati segala kondisi kita. Sebagai satu kenyataan yang membuat kita belajar untuk tetap menikmati hidup ini. Sepahit apa pun. Sepilu apa pun.

Kenyataan selalu berarti kenyataan. Apa yang terjadi tak mungkin kita hindari. Tak mungkin pula kita melarikan diri dari kenyataan itu. Sebab itu telah menjadi bagian hidup kita sendiri. Dan selama kita masih hidup, selama kita masih mampu berpikir dan merasakan, selama itu pula kita harus memahami bahwa setiap manusia memang mempunyai ciri khas tersendiri. Mempunyai sifat-sifat tersendiri. Yang unik. Yang khas. Memang tidak mudah tetapi pun sering tidak sesulit dengan gambaran kita sendiri tentang apa yang kita ingini terhadap mereka. Dan selama keinginan kita tidak menguasai hasrat kita untuk mengubah mereka, kita sanggup dan harus dapat menerima mereka sebagaimana adanya. Mungkin dan pasti bahwa kita tidak dapat mengubah sifat dan perilaku mereka, tetapi bagaimana pun, kita dapat dan harus mengubah pandangan kita terhadapnya. Sebab sesungguhnya, kita sendirilah yang bisa menentukan kebahagiaan atau kesedihan hidup ini. Bukan mereka. Bukan orang lain. Maka menerima hidup ini apa adanya, sungguh memampukan kita untuk tetap tersenyum kepada dunia. Memampukan kita untuk tetap dapat bersyukur kepada Sang Pencipta. Karena kita masih hidup. Karena kita telah hidup. Kini. Dan sekarang. Saat ini.

Tonny Sutedja

INILAH TUBUHKU. INILAH DARAHKU.


Haruslah kita akui, betapa hidup terkadang terasa demikian menakutkan. Masa depan terasa begitu mengkhawatirkan. Dan harapan seakan telah sirna. Pada saat itu, segala kata-kata penghiburan, nasehat dan pendapat dari siapa saja terdengar demikian tak berarti. Sebab, kita berpikir, bahwa bukan mereka, tetapi kitalah yang menjalani dan mengalami hidup ini. Kita sendirian. Semua rasa ngeri, nyeri dan kepahitan ini adalah milik kita semata. Bukan mereka. Kita adalah pusat segala-galanya. Kita dan hanya kita saja.

Bagaimana orang lain dapat memahami apa yang kita pahami? Bagaimana orang lain menyentuh apa yang kita alami? Bagaimana orang lain tahu apa yang menjadi beban pikiran kita? Bahkan, jika pun mereka tahu, toh hanya sebatas itulah yang dapat mereka sadari. Tanpa mengalami langsung. Tanpa merasakan langsung. Mereka bisa prihatin. Atau bahkan mungkin mencemooh ketidak-mampuan kita. Tetapi siapakah mereka? Bukankah mereka, sedemikian dekat pun dengan kita, bukanlah kita sendiri?

Demikianlah adanya kita, sebagaimana manusia, ketika merenungkan sengsara Yesus dalam malam-malam yang demikian muram menjelang penyiksaan dan penyaliban dan kematian-Nya. Setiap peristiwa duka selalu menyimpan rahasia yang hanya dapat diketahui dan dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri. Dan kita yang menyaksikan hanya dapat merasa sedih, prihatin dan mungkin sedikit gusar tetapi toh tetap ada jarak antara melihat dan mengalami. Selalu ada jarak terentang yang tidak bisa kita lewati. Sebuah tembok tebal dengan jendela kecil dimana kita menengok keluar dan hanya mampu merasa tanpa bisa berbuat apa-apa. Atau bahkan tanpa ingin berbuat apa-apa.

“Inilah tubuh-Ku, makanlah. Inilah darah-Ku, minumlah. Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku” tetapi barangkali disitulah soalnya. Bahkan ketika kita makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya, kita tetap bukanlah Dia yang secara langsung mengalami peristiwa itu. Ada jarak. Ada batas antara kata-kata dan kenyataan. Ada perbedaan antara sekedar tahu dan mengalami. Maka seringkali kita hanya mampu untuk merasa marah karena sebuah peristiwa tetapi ternyata gagal untuk memahami mengapa peristiwa itu terjadi. Serta untuk apa penderitaan itu harus terlaksana. Padahal itulah inti dari kehidupan Yesus. Itulah tujuan dari segala derita sengsara dan kematian-Nya di kayu salib.

Maka sama seperti derita yang dialami Yesus, kita pun sering mengalami situasi dan kondisi yang demikian menakutkan. Demikian menyakitkan. Demikian tak berpengharapan. Demikian sepi sendirian dan tak berdaya. Sebuah kenyataan yang sesungguhnya pasti pernah dialami oleh seorang manusia yang hidup di dunia ini. Tak seorang pun dapat luput dari kesakitan, kepahitan dan kesendiriannya. Tak seorang pun. Tetapi, nyata juga bahwa bagaimana sikap kita dalam menghadapi dan menerima sengsara itulah yang akan menentukan kualitas kemanusiaan kita. Sikap kita dalam menjalani hidup yang penuh suka duka inilah yang dapat membuat kita bermakna. Dan sesungguhnya, kemampuan untuk menempuh duka dan sengsara hingga tuntas itulah yang kelak akan menghasilkan buah-buah kemuliaan dengan kebangkitan. Itulah yang diberikan Kristus kepada kita semua. Itulah teladan yang paling utama yang telah dijalani-Nya sebagai jalan bagi kita yang mencintai-Nya.

Penderitaan yang kita alami, sengsara yang kita jalani, kesepian karena ditinggalkan yang kita rasakan, jangan membuat kita putus asa. Dan jangan pula membuat kita mempersalahkan dunia. Tidak! Tidak ada yang salah dengan ciptaan Tuhan. Sebab percayalah, hidup akan berjalan dengan menakjubkan jika kita mampu untuk bertahan dan berani untuk berkurban demi dunia ini. Sebab itulah yang telah diberikan-Nya kepada kita semua. “Inilah tubuh-Ku, makanlah. Inilah darah-Ku, minumlah.” Bukankah kita kini menyatu-diri dengan Tuhan sendiri? Jadi mengapa kita khawatir dan takut menghadapi hidup kita? Mengapa kita harus merasa sedih dan putus asa menerima kenyataan pahit dalam hidup kita? Mengapa?

Percayalah dan jangan takut. Karena keyakinan dan keberanian menghadapi dan menerima hidup inilah yang kelak akan membangkitkan kita dalam kemuliaan bersama-Nya. Karena kebaikan dan kebenaran yang kita jalani dengan tabah dan penuh semangat inilah yang kelak akan membuahkan hasil yang manis dan penuh berkat. Bersyukurlah pada penderitaan, bukan hanya pada kesenangan. Sebab kesenangan hasilnya telah kita terima saat ini saja, tetapi derita akan kita terima hasilnya pada saat kita bangkit mulia bersama-Nya kelak. Dan itulah buah yang termanis dalam kehidupan kita. Itulah buah yang paling murni dari kebahagiaan kita semua. Kita semua.

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...