30 Juli 2013

ANDUONOHU DI PAGI HARI

Kabut dan secercah cahaya mengiris langit. Matahari samar mengintip seakan malu untuk mengusir dingin. Ada sesuatu yang terasa namun asing. Kehidupan menyimpan banyak teka-teki. Dan sering kita memasukinya dengan tanpa memahami apa dan mengapa. Pengalaman keseharian lewat dan lewat begitu saja. Dan kita terhimpit senyap, mengalirkan hidup ini, kemana waktu membawa. Ada ketak-sadaran. Kenyataan melintas bagai mimpi. Dan kita tenggelam dalamnya. Lelap dalamnya.

Hidup terasa memanjang. Tak berujung. Dan kita mulai enggan untuk bertanya. Kita enggan untuk mencari. Kita enggan untuk memahami. Kita mengambang tak tentu arah. Bagaikan embun yang sebentar hinggap untuk hilang menguap begitu saja. Langkah-langkah kita bersuara sendirian dalam hening. Namun hidup bagaikan nasib tetesan embun yang berusia singkat. Sangat singkat. Saat sang surya terbit, menguaplah dia, melebur dalam udara yang tak nampak. Tetapi ada. Ada.

Sesungguhnya kesadaran kita menyembunyikan banyak hal yang terkadang tak kita harapkan. Menyimpan banyak teka-teki yang terkadang tak kita pahami. Sebuah hidup. Sebuah misteri. Tetapi juga sebuah kenyataan. Walau sering tersimpan dalam kabut tebal. Kita menyimpan segala ketak-pahaman kita, segala ketak-berdayaan kita, segala rahasia kita, dalam sukma yang tak terjangkau dunia, bahkan tak terjangkau oleh diri kita sendiri.

Tetapi begitulah hidup. Dia ada. Dia dijalani. Dia kelak akan ditinggalkan. Dalam hening, kita semua seperti embun yang mengendap, lemah tak berdaya namun indah. Menunggu sang surya terbit. Menunggu saatnya kembali menyatu ke udara lepas. Semesta yang luas ini. Betapa tak terpermaikan. Betapa tak terucapkan. Elusan angin yang lembut mengelus pipimu. Suara air yang sayup mengalir. Udara dingin yang menyentuh kulitmu. Lembut. Indah. Nyaman. Dan itulah hidup. Inilah hidup.


Tonny Sutedja

ZONA

Terkadang aku merenung, adakah zona tanpa waktu? Zona tanpa perubahan? Zona dimana segala sesuatu tetap dan kekal dalam kemurnian dan kedamaian yang tak pernah bergejolak? Mungkin ada. Dalam kekudusan setelah hidup ini usai. Tetapi adalah mustahil untuk menemukannya di dunia yang nyata ini. Sebab hidup tidaklah sempurna. Seberapa kuat pun kita menghasratkan itu. Manusia bukanlah mahluk yang sempurna. Setiap pengalaman selalu akan membawa kita ke perenungan betapa sering hidup ini ternyata mengecewakan, penuh kepahitan dan ketidak-adilan. Bahkan kita pun pernah melakukan ketidak-jujuran bahkan terhadap diri sendiri sekali pun.

Maka mereka yang memaksakan kondisi yang tanpa cacat adalah mereka yang tidak memahami hidup. Dan bukan hanya tidak memahami hidup tetapi juga dapat berbuat tindakan yang tidak adil walau seakan-akan dirinya merasa itulah kebenaran yang utama. Kita hadir bersama kekuatan untuk mengubah diri kita, tidak hanya mengubah orang lain saja. Justru kekuatan untuk merubah diri sendirilah yang akan mengubah orang lain, bukannya dengan kekuatan mengubah orang lain sementara kita sendiri menolak untuk berubah. Teladan kebenaran seharusnya berawal dari hidup kita. Bukan dari sikap orang lain.

Apa gunanya hidup yang tanpa tantangan? Apa artinya hidup yang tanpa hambatan? Tidakkah justru dalam perjuangan, baik dalam hati, sikap dan hidup inilah yang akan menentukan pemenuhan makna keberadaan kita? Betapa membosankannya hidup jika semua seakan-akan sudah ada, sudah baku dan sudah berjalan sebagaimana mestinya. Tidak. Hidup indah justru karena kita sadar bahwa ada hambatan yang mesti kita hadapi. Ada kekecewaan yang mesti kita jalani. Ada penyakit yang mesti kita derita. Tanpa itu semua, hidup menjadi monoton dan penuh kepastian yang sama sekali tidak membuat kita bergulat dengan diri sendiri.

Manusia berkembang dengan dan dalam dirinya sendiri. Manusia menghadapi hidup dan penjelajahan pengalamannya sendiri. Kita tidak perlu bersedih karena orang lain ternyata berbeda dari diri kita. Kita justru harus bersyukur atas perbedaan itu. Karena pada akhirnya, semua perbedaan itu akan memunculkan diri kita sebagaimana adanya. Kita bukan robot yang seragam. Kita bukan manusia mesin dengan satu program tunggal yang menjalankan pergerakannya secara serentak dan baku. Bukan. Kita masing-masing hidup bersama pikiran yang unik dan khas milik kita. Dan kita tak bisa dan tak mungkin memaksakan pikiran kita kepada yang lain. Apalagi dengan kekerasan atau malah dengan mematikan. Jika demikian, kita menjadi sosok yang hanya hidup untuk diri kita saja. Jika demikian,sia-sia saja segala pemujaan kita kepada Sang Pencipta. Sungguh sia-sia dan tak berguna.

Tonny Sutedja

HAKIM

"All that is very well," answered Candide, "but let us cultivate our garden." (CandideVoltaire)

Di suatu pagi yang berkabut, aku berjumpa dengan seorang teman lama di sebuah kafe, dalam suatu pertemuan yang telah kami rencanakan sebelumnya. Dan sebagaimana sebuah reuni dengan sahabat lama, kami duduk bersama sambil mengobrol banyak hal. Bercerita tentang masa lalu, juga tentang sahabat-sahabat lama kami dengan situasi dan kondisi mereka masing-masing sekarang. Seakan hari kemarin baru saja lewat. Seakan tak ada yang berubah dalam perjalanan waktu.

Tetapi tentu saja tak ada yang sama lagi. Hari kemarin telah berlalu. Bagai sebuah mimpi indah. Dalam kenangan yang bersembunyi di balik kabut hari ini. Demikianlah, kami berkisah tentang seorang sahabat yang dulu kami kenal sebagai seorang yang baik, yang lembut dan penuh perhatian, saat ini ternyata sedang mengalami gejolak dalam rumah tangganya dan sedang diambang perceraian. Hidup yang dulu nampak lembut, ternyata menyimpan kekerasan yang tak terpikirkan sebelumnya.

Mengapa seseorang dapat berubah demikian drastis? Mengapa kita seolah-olah menjadi permainan nasib? Perasaan atau pemikiran kitakah yang menguasai hidup ini? Apa yang membuat kita menjadi lain, dan berbeda dari hari kemarin? Waktu memang berganti dan kita semua pun berubah. Tetapi barangkali soalnya tidaklah sesederhana itu. Situasi dan kondisi yang berbeda dengan kita turut mempengaruhi keputusan-keputusan setiap individu. Dan sering, kita yang tidak terlibat di dalamnya, terseret oleh perasaan kita untuk menjadi hakim yang seolah-olah adil dan benar. Sayangnya, kita ternyata mengukur sesama kita dengan ukuran diri kita. Ukuran yang jelas berbeda karena bukan kitalah yang menjalani hidup yang harus mereka hadapi setiap hari. Mereka, bukan kita yang setiap saat menjelajahi kesedihan dan kepahitan perasaannya.

Semuanya baik, tetapi mari kita mengolah kebun kita sendiri” kata Candide dalam novel satiris tulisan Voltaire, seorang sastrawan Perancis ternama (21 Nopember 1694 - 30 Mei 1778). Setiap orang menjalani hidupnya masing-masing. Setiap orang memiliki ukrannya masing-masing. Apa yang telah dan sedang kita hadapi, apa yang menjadi godaan dan hambatan dalam kehidupan ini, apa pun yang dialami setiap individu, adalah baik adanya. Namun, walau baik atau nampak baik, keputusan dan tindakan yang kita masing-masing jalani, tidaklah akan sama. Sebab itu, memang tidak layak kita menjadi hakim atas sesama kita. Mereka dan bukan kita yang terlibat secara langsung dalam pengalaman itu. Bukan kita.

Maka di pagi yang berkabut ini, kami bertutur dengan kesadaran bahwa pengalaman kami yang berbeda tidaklah layak membuat kami menjadi hakim atas orang lain. Bahkan dalam pengalaman yang sama pun, tidak pernah akan serupa dalam pemikiran dan perasaan kami. Tidak pernah akan sama. "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Mat 7: 1-2).


Tonny Sutedja

26 Juli 2013

RAKSASA DAN ANAK-ANAK

Di suatu waktu. Di suatu tempat. Ada sebuah kebun yang amat indah. Setiap sore, saat pulang dari sekolah, anak-anak selalu ke sana untuk bermain. Kebun itu amat luas dan teduh. Rumput menghampar hijau dan lembut. Bebungaan cantik menawan serta menebarkan aroma yang harum ke udara. Pepohonan teduh dan rindang senantiasa dipenuhi nyanyian burung yang mengalun indah. Buah-buahan bergelantungan ranum mengundang selera. Anak-anak senang sekali bermain, bergulingan di atas rumput maupun bergelantungan pada dahan-dahan. Telah lama pemilik kebun itu, seorang raksasa, pergi. Maka anak-anak menganggap bahwa kebun itu adalah milik mereka semua. Menyenangkan.
Tetapi suatu hari raksasa pemilik kebun itu pulang. Ketika dia melihat anak-anak memenuhi kebunnya, marahlah dia. “Sedang apa kalian di sini?" Bentaknya kasar. Anak-anak ketakutan lalu lari. “Kebunku hanya untukku” seru raksasa itu lagi, “Setiap orang harus tahu itu. Takkan kuperbolehkan siapa pun masuk kecuali aku.” Lalu dia membangun tembok tebal di sekeliling kebun itu serta menancapkan papan: “Dilarang Masuk!” Dia raksasa egois, memang.
Kini anak-anak malang itu kehilangan tempat bermain. Mereka mulai berlarian di jalan yang kasar berbatu serta dipenuhi debu. Banyak kendaraan lalu-lalang. Sesekali seorang dari mereka luka tertabrak kendaraan yang meluncur cepat. Mereka amat merindukan kebun itu. Tetapi kini mereka hanya dapat memandangnya dari balik pagar.
Musim bunga tiba. Di seluruh negeri bertaburan bunga yang indah, warna warni serta harum mewangi. Tetapi di kebun raksasa hal itu tidak nampak. Tak sekuntum bunga pun mekar. Burung yang dulu rajin berkicauan di ranting pepohonan kini telah menghilang. Segala sesuatunya membisu.Gersang. Mati.
Aku heran mengapa musim bunga belum tiba” kata raksasa itu. “Padahal di tempat lain bunga-bunga telah bermekaran” Dia hanya duduk sedih memandang ke kebunnya yang tandus. Dia merasa amat kesepian. Tak ada cicit burung. Tak ada desir angin.
Suatu pagi raksasa itu terbangun karena mendengar suara yang amat merdu. Dia pikir itu adalah paduan suara kerajaan yang lewat untuk menghadiri penobatan raja baru. Tetapi ternyata suara itu hanyalah kicauan burung parkit di dekat jendela kamarnya. Tetapi karena telah sekian lama dia tidak mendengar suara burung maka baginya suara itu amat merdu menawan. Dia melompat dan berlari ke kebunnya. Tahukah kalian apa yang dilihatnya?
Suatu panorama yang menakjubkan. Kebunnya hidup kembali. Bunga-bunga bermekaran. Rumput tumbuh menghijau. Burung-burung berkicauan. Tetapi yang lebih menyentuh jiwanya adalah puluhan anak-anak yang sedang bermain-main. Mereka masuk lewat sebuah lubang yang menganga pada temboknya. Hanya di suatu sudut dia melihat segalanya masih gersang. Seorang anak kecil nampak berupaya untuk meraih dahan pohon yang kurus tetapi dia tidak mampu. Anak itu memang terlalu kecil.
Raksasa itu pun terharu. “Aku sungguh egois” bisiknya. “Sekarang aku tahu mengapa musim bunga tidak memasuki kebunku” Dia lalu menghampiri anak kecil itu. Tetapi ketika anak-anak yang lain melihatnya, mereka pun kabur ketakutan. Dan kebun itu menjadi gersang kembali. Tetapi anak kecil itu, yang penglihatannya tertutup air mata karena kecewa tidak mampu menggapai dahan yang diinginkannya, tidak melihat kedatangan raksasa itu. Dia dengan lembut mengangkat anak kecil itu lalu meletakkannya pada dahan yang diinginkannya. Pohon itu langsung berbunga. Dan berbuah. Harum, harum sekali.
Ketika anak-anak lain melihat bahwa raksasa itu tidak jahat lagi, mulai memasuki kebun itu kembali. Di sana mereka bermain seharian karena musim liburan telah tiba. “Kebun ini sekarang milik kalian” kata raksasa itu. Diapun merobohkan tembok tebal yang mengelilingi kebunnya. Kini setiap hari orang-orang melihatnya bermain-main dengan anak-anak di kebun yang indah itu.
Tetapi dimana anak kecil yang telah menarik hatinya itu? Tak seorang pun dari anak-anak itu yang mengenalnya. “Mungkin dia pendatang” kata mereka. Raksasa itu merasa sedih. Dia amat merindukannya. “Bagaimana aku bisa menemukan anak kecil itu?” gumamnya. Tetapi anak kecil itu telah menghilang.
Tahun demi tahun lewat. Raksasa itu kian menua dan lemah. Dia tidak mampu lagi bermain. Dia hanya dapat duduk di kursinya yang besar sambil memandangi anak-anak bermain di kebunnya. “Bunga-bungaku indah sekali” katanya, “Tetapi anak-anak adalah bunga yang terindah di dunia…”
Suatu pagi dia terbangun karena mendengar suara yang amat indah. Dia keluar dan memandang ke sudut dimana dulu seorang anak kecil, yang kini amat dirindukannya, menggapai-gapai berusaha menyentuh dahan pohon. Dan lihatlah, anak kecil kesayangannya sedang berdiri di bawah pohon yang sama itu. Dengan gembira, dia berlari mendekati anak kecil itu. Tetapi setelah dekat, terkejutlah dia, lalu berseru gusar: “Siapa yang berani melukaimu?” Raksasa itu melihat kedua telapak tangan dan kaki anak itu ada luka menganga bekas tusukan paku. Dan pada lambungnya bertetesan darah segar dari bekas tusukan tombak.
Siapa yang berani melukaimu” teriak raksasa itu lagi, “Katakan padaku, akan kubunuh dia dengan pedangku
Jangan” jawab anak kecil itu, “Inilah luka-luka cinta
Siapakah kau sebenarnya?” tanya raksasa itu perlahan. Mendadak dia terpesona lalu berlutut di depan anak kecil itu yang kini tersenyum lembut padanya. Anak kecil itupun berkata: “Kau pernah membiarkan Aku bermain-main di kebunmu. Kini kau harus ikut Aku ke kebun-Ku yang abadi di Surga
Sore harinya, ketika anak-anak sahabat raksasa itu kembali berlarian memasuki kebunnya yang indah, mereka melihat raksasa itu terbaring di bawah pohon. Seluruh tubuhnya ditutupi kuntum bunga berwarna putih. Dan seulas senyum bahagia tersungging di bibirnya. Dia telah mati. Dalam kebahagiaan.
Disadur dengan bebas dari dongeng karangan Oscar Wilde

Tonny Sutedja

25 Juli 2013

BANJIR

Selasa 16 Juli 2013 dinihari. Hujan deras mengguyur bumi. Aku memandang ke genangan air yang terus merayap menuju teras rumahku. Banjir merendam separuh kota. Dan dengan penuh kekhawatiran, namun tak mampu berbuat apa-apa, aku hanya dapat menunggu walau tetap berharap agar ketinggian air tak mencapai dan memasuki rumah. Sementara itu, sekelompok orang telah mulai mengungsi dari lorong-lorong di jalan seputaranku karena air telah mencapai ketinggian dada orang dewasa. Sambil membawa buntalan-buntalan barang yang dapat mereka angkat. Udara masih gelap. Dan hujan terus menderas.

Perlahan, ketika cuaca mulai terang. Dan pagi tiba. Bergeraklah belasan orang untuk membantu mereka yang masih terperangkap banjir. Dengan satu perahu karet dan satu biduk kecil, mereka mengungsikan wanita, bayi dan orang-orang tua yang tak berdaya menerobos arus air yang deras. Serta hembusan angin yang cukup kencang. Bencana selalu memunculkan wajah-wajah yang tak bernama namun berparas malaikat. Mereka yang melupakan kepentingan sendiri demi untuk menyelamatkan sesama. Mereka yang bergerak secara spontan dan tanpa pamrih. Mereka yang terpanggil untuk hidup dalam kebersamaan dan kekompakan.

Dan tiba-tiba, dalam kesesakan dan kesendirian, kita tersadarkan bahwa walau kita mungkin kesepian tetapi kita tak pernah sendirian. Bahwa dalam kesusahan dan kesulitan bagaimana pun, selalu ada ruang untuk memaknai sebuah bencana. Harapan takkan pernah hilang. Harapan selalu ada. Kita hanya perlu untuk menyadari betapa kemanusiaan kita adalah sama. Dan sebagai manusia, sadar atau tidak, kita memiliki kemampuan untuk saling berbagi. Saling membantu. Saling memperhatikan. Sehingga kita tidak pernah kehilangan diri kita sendiri dalam dunia yang seakan-akan tanpa kepedulian ini. Banjir saat ini adalah musibah tetapi sekaligus adalah mujizat yang membuat hidup menjadi nyata.

Genangan air yang mengelilingi lingkungan ini membuat kami terpencil tetapi tidak sendirian. Membuat kami merasa sedih tetapi tidak kehilangan gelak tawa. Membuat kami merasa tak berdaya tetapi bukannya tidak mampu. Dan lihatlah, saat kelompok orang-orang dewasa saling bertukar kisah, kelompok bocah-bocah kecil nampak riang gembira bermain dalam air yang coklat dan di bawah tetesan air hujan. Tertawa riang. Maka siapa yang dapat mengatakan bahwa sebuah musibah adalah akhir dari segala-galanya, perlu merenung kembali. Kita memang sering merasa sendirian tetapi tak pernah sendiri. Tidak seorang diri.


Tonny Sutedja

BERUBAH

Dapatkah orang diubah?
Dapatkah dunia diperbaharui?

Demikian sebuah cuplikan tanya dari drama karya Bertolt Brecht (10 januari 189814 agustus 1956) seorang penulis Jerman. Drama indah itu bertutur tentang seorang yang awalnya sangat baik hati, jujur dan pemurah yang dikaruniai berkat melimpah oleh para dewa dengan kekayaan tetapi kemudian menghilang dan kembali menjadi sosok yang culas, pelit dan egois. Perubahan terjadi karena sebagai seorang yang baik, Shen Te, kebaikannya ternyata dimanfaatkan secara sangat berlebihan sehingga terkadang dia berubah menjadi kurban yang mesti dibantu, bukannya yang membantu. Karena tidak tahan lagi terhadap perbuatan dan kelakuan orang-orang yang dibantunya, suatu hari dia menghilang dan kembali menjadi sosok lain, Shui Ta yang kali ini bersifat sangat bertentangan dengan Shen Te. Culas, pelit dan penuh perhitungan.

Dapatkah orang diubah? Dapatkah dunia diperbaharui?” demikian tanya sang tokoh dalam drama yang menakjubkan itu. Mengapakah kebaikan seringkali harus mengalami hasil yang pahit? Mengapakah kejujuran seringkali membuat hidup menjadi tersisih, dan kemurahan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak layak sehingga sering merugikan mereka yang baik hati? Apakah hidup ini memang harus culas, pelit dan tak berbelas kasih terhadap sesama untuk dapat tetap eksis? Dan setiap kebaikan dan ketulusan hanya akan mendatangkan kekecewaan dan sakit hati? Dalam kenyataan, inilah yang sering kita jumpai saat ini. Ketika kejahatan menjadi pahlawan. Ketika kekerasan menjadi kebenaran. Hidup seakan-akan dipenuhi dengan pemaksaan kehendak, pengingkaran diri dan kehausan ambisi. Dapatkah orang diubah? Dapatkah dunia ini diperbaharui?

Tetapi barangkali soalnya bukanlah pada dapatkah merubah orang. Bukan pula pada apakah dunia ini bisa diperbaharui. Tetapi patutlah kita bertanya pada diri kita masing-masing: “Maukah kita berubah?” Niat kita sendirilah yang dapat membuat dunia menjadi baru. Niat untuk percaya pada kebaikan. Percaya pada kejujuran. Percaya bahwa ketulusan, bagaimana pun hasil yang akan kita peroleh, selalu punya makna dalam hidup ini. Sebab nampaknya, kebaikan, kejujuran dan ketulusan selalu berarti pengurbanan diri. Selalu berarti bahwa hasil tidaklah menjadi yang paling utama, namun proses yang kita lalui menuju apa yang kita harapkan itulah yang membuat hidup menjadi berguna. Menjadi bermakna.

Setiap kebaikan memang pada akhirnya selalu mengandung pengurbanan. Pengurbanan yang terkadang bukan hanya kedudukan, materi atau kekuasaan tetapi juga hidup kita sendiri. Sama seperti yang telah dijalani oleh Yesus. Walau kadang kita tenggelam dalam perasaan putus asa dan kekecewaan yang dalam akibat dari apa yang kita alami, kita harus selalu yakin bahwa hidup sungguh tidak hanya bergantung pada saat sekarang tetapi akan ada harinya dimana segala penderitaan kita akan usai dan kelak kita akan menemukan kegembiraan yang sungguh tak terbayangkan. Setiap niat baik pasti tidak akan kehilangan makna. Tidak akan.

Dapatkah orang diubah? Dapatkah dunia diperbaharui?” Dapat, tentu saja. Jika kita mau mengubah diri kita, dunia pun akan menjadi baru. Sebab sesungguhnya dunia adalah keberadaan kita sendiri dalam hidup yang sedang kita jalani. Sebab sepercik cahaya yang paling kecil pun yang kita berikan kepada dunia akan selalu bercahaya di malam yang pekat. Tanpa keberadaan kita, dunia tidak akan ada. Tidak akan ada. Demikianlah...


Tonny Sutedja

PILIHAN

Setiap hari, bahkan setiap saat, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus kita tempuh. Saat terbangun, kita dapat memilih untuk kemudian melanjutkan tidur atau bangkit dan memulai kegiatan kita. Saat bekerja, kita dapat memilih untuk melakukannya secara biasa ataukah melakukannya dengan sepenuh diri. Dan apa dan bagaimana pun keadaan dan situasi kita saat ini, selalu bersumber dari pilihan yang telah kita putuskan lalu kita laksanakan. Hidup, sesungguhnya, hanya sesederhana itu....

Tetapi apa yang kita alami saat ini akan menentukan apakah pilihan yang telah kita buat sebagai sesuatu yang benar atau malah suatu kesalahan. Atau mungkin tidak kedua-duanya. Maka sampai di titik tertentu, kita dapat mulai merenungkan, apakah setelah pilihan itu kita jalani maka hidup kita menjadi lebih baik? Atau lebih buruk? Atau sama saja? Apakah perubahan yang kita inginkan membuat kita lebih berbahagia? Atau mungkin malah makin menyulitkan kita? Atau sama saja seperti saat kita belum mengambil pilihan itu.

Hidup adalah pilihan. Setiap saat. Setiap kesempatan yang tiba, dalam keterbatasan manusiawi kita, selalu ada kemungkinan dimana kita harus memilih dengan sadar. Maka apapun hasil yang akan kita raih setelah pilihan tersebut kita laksanakan, harus diikuti dengan tanggung jawab pula. Dan tak seorang pun bisa mengelak atau mengabaikan akibat dari pilihan hidupnya. Mereka yang mencoba mengelak tanggung-jawabnya sesungguhnya tidak layak untuk berbangga hati. Tidak pantas untuk mengatakan bahwa dia berhasil menjalani kehidupannya.

Manusia lahir dengan jiwa yang bebas. Tetapi kebebasan itu dibatasi oleh tanggung-jawab pribadi dimana dia sendiri yang akan menentukan apa yang akan dialaminya. Bukan orang lain. Sebab, nilai derita dan nilai bahagia tidak mungkin dapat dirasakan persis sama antara satu individu dengan individu lainnya. Perasaan demikian kompleks dan subyektip sehingga nyaris mustahil untuk dapat menjadi hakim atas perasaan dan pemikiran orang lain. Sedekat apapun kita. Pemaksaan hanya berarti bahwa kita membuat orang lain menderita tanpa membuat kita sendiri berbahagia. Pilihan. Setiap orang harus dapat memilih hidupnya sendiri. Masing-masing.

Maka apapun yang telah, sedang dan akan kita alami, semuanya berawal dari pilihan atas kesempatan yang ada, yang telah kita renungkan, rencanakan dan lakukan. Dan apapun hasilnya kelak, entah kita berbahagia entah tidak, kita harus memenuhi tanggung-jawab kita pada kenyataan yang telah terjadi. Sebab di ujung tiap kehidupan, akan selalu menunggu Sang Kebenaran Abadi yang kelak akan menjadi berkat atau musibah abadi bagi jiwa kita. Masukilah hidup ini dengan pilihan yang sesungguhnya: menuju kepada-NYA atau meninggalkan DIA. Kitalah sang penentunya. Kita masing-masing. Orang per orang. Dan tak perlu dipaksakan.


Tonny Sutedja

MIMPI SANG BAYI

Tidur yang melintas di mata bayi, adakah orang tahu dari mana asalnya?
(R. Tagore)

Apakah yang ada dalam tidur seorang bayi? Adakah mimpi yang dibawa oleh malaikat pelindungnya akan mengantarnya terbang ke bintang di langit yang kelam? Ataukah tak ada suara tak ada kata selain hanya kesenyapan abadi? Siapakah yang dapat menebak apa yang sedang mengalun dalam jiwa seorang bayi? Kepolosan wajah, kedamaian hati, kesunyian hidup. Ah, sungguh aku rindu berada dalam dunia tidur bayi kecilku ini.

Demikianlah, setiap saat aku memandang wajah kecil yang polos ini, setiap kali pula aku merenung tentang kehidupan. Keberadaan seseorang, masa depan, segala kemungkinan yang akan dihadapi, pilihan-pilihan atas kemungkinan itu, dan segala resiko serta tanggung-jawab yang harus dipikul. Sungguh! Hidup ini bisa membahagiakan tetapi juga penuh misteri karena pilihan kita atas kemungkinan yang akan kita temui. Memang, bukan pilihan kita untuk ada, namun sekali kita ada, kita harus menjalaninya hingga tuntas.

Apakah yang ada dalam tidur seorang bayi? Mata yang terpejam. Mulut yang sesekali menyunggingkan senyuman. Perut yang turun naik dengan lembut. Semuanya menandakan kehidupan yang nyata. Dan kita tak tahu, apa yang bakal dihadapinya kelak. Sama seperti kita tak tahu apa yang akan kita jelang sesaat di depan. Tetapi kini dan saat ini, kita adalah apa yang kita pikirkan. Kita terbatas dalam waktu yang seakan tak terbatas. Kita hanya secuil noktah kecil di samudra keluasan semesta. Tetapi sesungguhnya kita juga adalah pusat dunia ini. Pusat kehidupan ini. Sebab tanpa kita, ada atau tak ada alam semesta ini, tidak punya arti apa-apa bagi kita.

Wajah bayi yang sedang lelap selalu membuatku takjub. Wajah kehidupan yang sedang mekar dan menyimpan masa depan yang penuh misteri. Tetapi dibalik dari ketak-tahuan kita akan apa yang akan kita hadapi, kita selalu dapat berharap. Kita selalu harus berharap. Bahwa ada malaikat pelindung yang datang memberi mimpi-mimpi indah bagi kita. Kemudian pergi membawa harapan-harapan kita kepada Sang Pencipta. Sementara kita terus berjuang di kehidupan ini untuk mewujudkannya. Tanpa putus asa. Tanpa kehilangan semangat. Dan tanpa kehilangan keraguan bahwa harapan kita telah berada di dalam tangan-NYA. Hari esok adalah milikmu.

Ditulis di bulan ke XIX kelahiran Deo
Anduonohu, 25 Juli 2013


Tonny Sutedja

08 Juli 2013

SERBA SALAH

Setiap manusia pasti pernah mengalami perasaan serba salah. Atau bahkan mungkin sedang mengalami hal itu. Memang, sebagai manusia, kita tidak akan pernah luput dari pengharapan dan keinginan kita sendiri tetapi kepentingan itu pasti selalu berkaitan dengan kepentingan dan pengharapan orang lain. Dan di suatu titik ketika kepentingan kita dan kepentingan selain kita bertentangan, terjadilah konflik. Dan hal itu tak terhindarkan. Hanya bagaimana agar konflik itu tidak menjadi sumber kekerasan, semua tergantung pada bagaimana kita menerimanya. Kadang dibutuhkan pengurbanan untuk menghindari percekcokan yang keras atau mungkin malah mematikan.

Sesungguhnya ada banyak pertanyaan yang perlu kita renungkan manakala kita menghadapi perbedaan kepentingan dan tujuan hidup ini. Apalagi tentang kebenaran yang kita pikirkan. Apakah kebenaran itu? Sungguhkah kebenaran itu sesuatu yang bertautan dengan kepentingan seluruh manusia atau hanya bertautan dengan diri atau kelompok kita saja? Seberapa yakinkah kita bahwa kebenaran kita tidak disisipi dengan kepentingan diri kita sendiri? Bagaimanakah kepercayaan kita kepada Sang Pencipta dalam memandang, menerima dan menjalani hidup ini? Sebab bukankah kita sering, walau mengakui Sang Pencipta yang tunggal, tetap beranggapan bahwa manusia yang berbeda dengan kita, baik keyakinan, ras, pola pikir maupun adat kebiasaan, adalah seakan bukan ciptaan yang sama? Siapakah kita ini sesungguhnya?

Maka memang sulit untuk memaknai keberadaan kita dalam hidup jika kita tak mampu atau tak mau untuk memahami dan menerima perbedaan-perbedaan itu. Hidup ini memang sering terasa serba salah tetapi bagaimana pun juga, keberadaan yang lain dari kita adalah sesuatu yang nyata. Yang pasti. Dan tak dapat kita abaikan atau bahkan menihilkannya sama sekali. Kita harus menerimanya. Jika tidak, kita hanya akan menciptakan satu keyakinan bahwa kita percaya pada kebenaran yang tidak kita percayai. Kita tidak mungkin percaya pada satu Pencipta jika kita bersikap bahwa ciptaan lain yang berbeda mempunyai Penciptanya sendiri. Sebab jika demikian, itu berarti bahwa Pencipta yang kita junjung ternyata bukanlah Pencipta yang tunggal.

Asal mula dari semua konflik, kekerasan bahkan pembantaian sesungguhnya berawal dari perbedaan. Dan karena perbedaan itu adalah bagian dari kehidupan ini, dapatkah kita mengharapkan satu kesatuan tanpa bersikap seakan-akan kita sendirilah Sang Pencipta? Seakan-akan kita sendirilah yang menentukan benar atau salah, baik atau buruk sesuai dengan pemikiran dan kepentingan kita walau selalu atas nama Sang Pencipta kita? Tidak. Kita bukanlah Sang Pencipta dan jika kita sungguh percaya kepada-Nya, kita seharusnya percaya pula bahwa jika Dia mau, Dia dapat menyatukan seluruh ciptaan-Nya tanpa membuat perbedaan-perbedaan yang nyata ini. Tetapi Sang Pencipta kita seakan mencintai perbedaan yang telah diciptakan-Nya sendiri. Karena sungguh indah jika sebuah simfoni terdiri dari beraneka-ragam alat musik, apalagi dengan manusia yang hidup ini. Perbedaan itu indah. Walau kita selalu harus merasa serba salah dalam menjalani kepentingan hidup kita, kita pun selalu harus menerima atau bahkan harus mengurbankan kepentingan diri kita sendiri demi untuk keindahan itu. Sama seperti sebuah lagu beralun berdasarkan batasan pada notasi yang pasti, hidup kita pun harus beralun sesuai dengan batasan kepentingan diri orang lain. Mereka. Sesama kita.


Tonny Sutedja

SENDIRI MENATAP LANGIT

Sendirian menatap langit
Hitam. Hanya hitam
Tak ada cahaya setitik pun

Tak ada suara
Hanya kesunyian
Dan sepi

Sendirian menatap langit
Hidup. Hanya hidup
Ada namun tak ada


Tonny Sutedja

PENGAKUAN SEORANG KORUPTOR

Sebuah kisah karangan Anton Chekov yang diterjemahkan secara amat bebas.

Aku orang biasa. Telah diangkat menjadi bendahara. Aku senang, bukan karena boleh korupsi. Kala itu aku belum menjadi korup. Dan aku akan membenci orang-orang yang mengatakan bahwa kelak aku akan menilap juga. Tidak! Aku senang karena soal lain. Kenaikan uang dinas dan sedikit tambahan pada upah. Hanya itu.

Namun, jujur saja, aku senang karena situasi yang lain. Setelah diangkat menjadi bendahara, saat itu aku merasa memakai kacamata pink. Tiba-tiba saja orang-orang di sekitarku berubah. Benar! Semuanya seakan jadi lebih ramah. Yang jelek menjadi tampan, yang jahat menjadi baik hati, yang sombong menjadi hormat, yang membenci aku menjadi pencinta yang kelihatan tulus. Mendadak aku merasa dicerahkan. Sekarang aku rasakan sifat-sifat manusia yang unggul, yang tidak pernah kusangka. “Busyeet” batinku, “Adakah sesuatu yang terjadi dengan mereka? Atau karena dulu aku bodoh dan naif hingga tidak melihat sifat-sifat baik mereka? Sungguh baik mereka sekarang”.

Pada hari pelantikanku, Z.N. Kazusov pun berubah. Dia salah seorang pimpinan kami, seorang yang sombong, angkuh dan selalu menganggap enteng pegawai kecil. Dia mendekatiku dan.. (ada apa dengan dia?) sambil tersenyum, menepuk bahuku. “Benar sombong anda ini” katanya, “Tidak baik itu. Kenapa tak pernah mampir di rumah kami? Dosa itu, nak! Anak-anak biasa kumpul dan bersuka ria di tempatku. Anak-anak gadisku terus menanyakan, ‘Kenapa ayah tak pernah mengundang Gregory? Dia amat baik!’ “Memangnya mudah mengundang dia”, kataku kepada mereka. “Ayolah, jangan jual mahal, nak. Mampir saja ya...”

Ajaib. Apa yang telah terjadi dengannya? Apa dia tidak aneh? Tadinya dia suka menendang orang, tetapi mendadak....!

Setibaku di rumah, aku kaget. Untuk santap siang, ibu tidak menyiapkan dua macam lauk seperti biasa, tetapi empat macam. Di malam hari, sebagai teman minum teh, ibu menyediakan snack dan roti daging. Demikian pula hari-hari selanjutnya. Tamu-tamu yang datang dihidangkan coklat susu dan berbagai jenis biskuit manis.

Ibu” seruku, “ada apa dengan ibu? Mengapa ibu demikian boros? Upahku tidak naik dua kali lipat. Kenaikannya tidak ada artinya sama sekali” Ibu menoleh padaku, “Hendak kau kemanakan semua uang itu?” tanyanya. “Apa mau kau simpan?”

Apa-apan ini? Ayah memesan mantel bulu, membeli topi baru dan mulai minum wine. Lima hari kemudian, kakak laki-lakiku mengirim surat kepadaku. Sebelumnya, kakakku ini amat membenci aku. Kami bentrok karena alasan ide, dia menganggap saya egois, serta tidak mau membantu keluarga. Dalam suratnya, dia menulis, “Adikku yang baik (hmm), aku sayang padamu. Sungguh tersiksa jiwaku setelah pertengkaran kita dulu. Sekarang marilah berdamai. Kuulurkan tanganku dan mohon maaf atas segala kesalahanku dulu. Balas ya. Dari kakakmu yang selalu sayang padamu” Oh, kakakku yang baik, suratnya segera saya jawab sambil mengirmkan cium jauh dengan perasaan amat bahagia. Seminggu kemudian, datang telegram dari dia, “Terima kasih. Aku senang kau tidak membenciku. Kirimkan seratus rubel. Aku amat memerlukannya. Pelukku selalu”. Maka saya kirimkan padanya seratus rubel.

Bahkan gadisku pun berubah. Sebelumnya dia tidak mencintai aku. Saat aku mengatakan bahwa aku menyukainya, dia menyebut aku kurang ajar lalu memalingkan wajahnya dariku. Tetapi saat aku bertemu dia, beberapa hari setelah pelantikanku, dia TERSENYUM, membuat aku salah tingkah. “Ada apa denganmu?” tanyanya sambil menatapku. “Kamu tambah gagah saja. Kapan kau mengajakku berdansa...?”

Oh, nasib! Sebulan kemudian, ibunya menjadi mertuaku. Yah, kini karena aku bertambah tampan. Untuk pernikahan perlu dana, maka aku pun mengambil 3000 rubel dari kas. Mengapa tidak? Aku akan mengembalikannya saat gajian nanti. Sekalian kuambil 1000 rubel untuk Z.N. Kazusov. Dia minta kredit. Bagaimana bisa menolaknya? Dia kan kepala? Salah-salah aku dipecatnya.

Demikianlah, hari demi hari lewat. Dan dari kas yang kupegang, uang mengalir deras, bukan hanya untuk kepentinganku, tetapi jauh lebih banyak untuk kepentingan mereka-mereka yang tak bisa kutolak.

Seminggu sebelum penangkapanku, aku mengadakan acara atas permintaan mereka. Peduli setan. Biar mereka makan dan meledak, kalau itu memang harus terjadi. Banyak orang yang datang ke pestaku. Aku tidak tahu berapa banyak, namun ruangan rumahku penuh dengan para sahabat, kerabat dan orang-orang yang menganggapku demikian. Bahkan ada juga atasan dari atasanku, Z.N. Kazusov. Mereka semua mengenakan busana yang indah dan mahal. Lebih dari 1000 rubel kukeluarkan untuk acara itu. Musik mendengung. Anggur dan Sampanye mengalir. Makanan memenuhi meja panjang. Lalu, ada pidato-pidato dan kata-kata sambutan yang panjang, ajakan untuk toast, lalu doa-doa dialirkan dengan beribu harapan. Seorang wartawan menyanyikan sebuah lagu indah tentang kebaikan hati, seorang pengusaha bertutur tentang lancarnya dana untuk proyek yang sedang dikerjakannya. “Di negara ini, tak ada orang yang bisa menghargai orang lain seperti Gregory....” Aku disanjung. Aku tersanjung.

Namun, semua yang ikut berseru-seru, bernyanyi dan membawa persembahan untukku, kemudian berbisik-bisik dan menyalahkan aku di belakang, saat tim audit datang dari pusat dan menuduhku melakukan korupsi. “Koruptor, Bangsat tengik...!” seru mereka sambil menyeringai ketus. Bahkan istriku pun, yang senang mengenakan pakaian indah berkilauan berharga mahal itu, berkata kepadaku, “Orang-orang pada berkata bahwa kamu korup. Awas, kalau itu benar. Aku tak sudi hidup bersama seorang koruptor...” Kakak tercintaku, pun mulai mengancam aku, “Awas ya, aku tak mau menjadi kakak seorang koruptor!” Dan bahkan Z.N. Kazusov, pimpinanku yang baik hati itu, kini memandangku sinis sambil berkata bahwa aku sungguh seorang yang tak tahu diri. Aku.

Bapak dan ibu yang baik. Aku telah jatuh. Telah jatuh lebur. Dengan kata lain, “kemarin aku orang baik-baik, jujur, terhormat di mata orang banyak, tetapi kini aku menjadi pencuri, pembohong, penipu..... Ayo, berteriaklah sekarang. Maki-makilah aku. Desas-desuskanlah aku. Kecamlah aku. Buanglah aku. Tulislah tajuk rencana tentang kebobrokanku. Lemparkanlah batu kepada diriku. Hanya satu yang kuminta, ya hanya satu saja yang kuminta, jangan semua orang. Jangan semua orang.......


02 Juli 2013

JULI 2013

Engkaukah itu
Yang datang saat hujan
Kala sepi menikam diri?

Engkaukah itu
Yang membeku saat dingin
Dan padam dalam jiwa?

Engkaukah itu
Yang mencoba untuk hidup
Dari puing terserak?

Engkaukah itu
Atau aku
Atau hanya sekedar waktu?


Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...