30 Oktober 2013

SUSAN

Walau langit masih sama, tetapi udara di era tahun 80-an telah berbeda dengan udara era tahun 2013 ini. Paling tidak, saat itu, kita masih dapat menghirup hawa yang segar tanpa polusi. Tanpa sekat-sekat antara siapa kita dan siapa mereka. Persahabatan terjadi antar pribadi tanpa dibebani masalah apa jenis kelaminmu, apa keyakinanmu, apa partaimu, apa sukumu dan segala macam perbedaan yang melekat pada diri kita masing-masing. Hidup berlangsung lebih sederhana, tanpa dibuat rumit dengan segala keingin-tahuan tentang apa dan bagaimana kita menjalani hidup kita masing-masing. Tanpa dibebani dengan penolakan pada siapa dia dan siapa aku. Sebab kita semua adalah sesama yang punya kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri.

Entah mengapa, makin terbuka dunia yang luas ini, makin terkunci pula kita dalam sekat-sekat yang sempit dimana kita memilih untuk hidup dan bahkan bersikap menentang segala yang berbeda dari siapa kita. Atau apakah karena setiap rahasia dapat demikian mudahnya terbuka dan tersebar maka kita berupaya memasang topeng untuk melindungi diri dan kepentingan kita masing-masing? Ataukah karena semakin banyak manusia maka semakin sempit pula ruang pergerakan kita yang membuat kita berupaya dengan cara apa saja untuk mempertahankan diri dan kepentingan diri dan kelompok kita? Karena itu, di setiap kesempatan yang terbuka, kita pun menyobek bahkan tega untuk menghabisi mereka yang tidak sejalan dengan kepentingan kita.

Tetapi bukankah hidup tetap harus dijalani sesuai dengan kodrat kita. Kodrat yang lebih sering bukan ditentukan oleh keinginan kita tetapi sesuai dengan anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada kita masing-masing. Dan ketika kita menentang kodrat yang telah dianugerahkan kepada kita, sesuai dengan talenta yang unik dan khas, tidakkah kita merasa bahwa dengan demikian kita telah melawan Sang Pencipta kita? Pernahkah kita berhenti sejenak dan merenung setiap kali kita ingin melakukan hal yang mencederai sesama kita yang berbeda dan mencoba memahami apa dan mengapa mereka berbeda dari kita? Ataukah hanya karena kepentingan sesaat sehingga kita melupakan ketak-berdayaan kita sendiri untuk memilih dimana kita hidup kini? Untuk itukah semua kita lakukan? Untuk itukah?

Maka sering aku merasa betapa piciknya kita, saat kita melakukan penolakan terhadap kodrat dan keyakinan seseorang atas nama keinginan atau bahkan perintah Sang Pencipta, sementara kita tidak mempertanyakan mengapa Sang Pencipta telah membuat kita masing-masing berbeda. Kita menghasratkan hidup yang tunggal, satu jalur, satu warna, satu keyakinan tanpa pernah mau menyadari bahwa sesungguhnya Sang Pencipta membuat perbedaan itu agar hidup kita berjalan dengan lebih indah dan penuh warna-warni sehingga bagi-Nya menjadi jauh lebih indah dan bermakna. Juga bagi kita sendiri. Apa artinya hidup di tengah kesatuan yang dipaksakan? Apa nikmatnya hidup di tengah kebersamaan tetapi menjadi beban dalam hati? Apa indahnya hidup yang tanpa cobaan karena segala sesuatu telah ada dan tersedia karena semuanya toh sama saja? Apa?
Setiap penolakan kepada seseorang bukan karena kemampuannya, tetapi karena perbedaan jenis kelamin, perbedaan keyakinan, perbedaan warna kulit, perbedaan aliran politik, perbedaan pandangan dan perbedaan lainnya yang melekat padanya karena kodrat yang diperolehnya dari Sang Pencipta sesungguhnya telah mengingkari tujuan penciptaan kita sendiri. Siapakah kita sehingga menganggap diri kita demikian sempurnanya sampai mengira bahwa keinginan kita adalah juga keinginan dari Sang Pencipta? Siapakah kita yang dengan sikap angkuh dan tidak peduli melawan sesama kita yang telah diberikan kodrat berbeda dari kita? Siapakah kita sebenarnya? Siapa?

Kepada Susan Jasmine Zulkifli (alumni 89 SMAKARA)


Tonny Sutedja

28 Oktober 2013

DUNIA IMAJINASI

Bola diberikan kepada Abdi Tunggal yang berdiri bebas di kanan. Masih, berputar-putar dia. Memasuki daerah penalti. Ah, berbahaya! Beberapa pemain lawan mencoba menghalangi. Lepaskan tembakan. Gooooolllllll!”. Lalu terdengar suara sorak sorai yang membahana....

Mereka yang hidup di era 1990-an ke bawah dan menggemari sepakbola tentu tidak asing dengan suara yang keluar dari sebuah radio transistor, sebuah siaran pandangan mata yang dipancarkan langsung dari stadion oleh RRI. Saat itu, TV belum atau masih jarang dan termasuk barang mewah dan langka. Tetapi walau kita sendiri tidak menyaksikan, hanya mendengarkan, imajinasi kita lewat suara sang penyiar membuat kita merasa seakan-akan berada langsung di tengah lapangan. Sesekali merasa berdebar-debar tegang. Sesekali dengan perasaan kesal. Sesekali dengan perasaan gembira yang sulit digambarkan. Sambil ikut berseru, bahkan ikut melompat: “Gooooolllllllll”. Padahal kita tidak menyaksikan pertandingan tersebut. Kita hanya mendengarkan. Sambil membiarkan imajinasi kita berjalan.

Anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun itu mengintai dari kaca jendela dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot saking marah dan sedihnya menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah gedung ayahnya. Ruangan itu luas dan terang-benderang, suara tetabuhan musik terdengar riuh di samping gelak tawa tujuh orang pembesar Mancu yang sedang dijamu oleh ayahnya.” Demikian awal jilid pertama dari cerita silat karangan Kho Ping Hoo yang berjudul “Pendekar Super Sakti”.

Mereka yang hidup di era tahun 70-80an dan menggemari cerita silat tentu dengan setia selalu menantikan terbitnya jilid demi jilid dan saat membaca, waktu seakan berhenti di atas lembaran demi lembaran buku kecil itu. Dibaca saat makan, saat ke kamar mandi bahkan saat seharusnya kita sudah tidur. Kita membaca sambil membayangkan. Kita membaca dan larut dalam peristiwa demi peristiwa yang dituturkan dengan memikat dan membuat kita seakan langsung berada di dalam cerita itu. Kita membaca sambil meenciptakan imajinasi kita sendiri. Sungguh mengasyikkan. Sungguh membuat kita lupa segalanya. Sungguh nikmat.

Tetapi kini, semua dapat kita saksikan secara langsung. Semua dapat kita lihat lewat layar TV, atau lewat monitor komputer atau bahkan lewat layar handphone pribadi kita. Ya, semua bisa kita saksikan secara langsung apa yang dulu hanya dapat kita bayangkan dan nikmati lewat pikiran kita. Namun, bagi kita yang tahu nikmatnya memakai imajinasi sendiri sambil mendengarkan atau membaca, tiba-tiba merasa ada yang hilang. Ada yang terasa mengganjal dalam hati. Dengan menyaksikan apa yang dulu hanya dapat kita dengar atau baca sambil membayangkan, tiba-tiba ada jurang lebar antara imajinasi pikiran dan kenyataan yang kini dapat kita lihat sendiri. Aku sering merasa bahwa imajinasiku saat membaca buku cerita silat yang dulu sangat memikat itu tiba-tiba menjadi hambar ketika kini secara langsung menonton film-nya. Sungguh, bagiku jauh lebih mengasyikkan membaca daripada menonton karena saat menonton aku hanya dapat menerima apa yang ditampilkan di layar tanpa dapat mengembangkan alam imajinasiku sendiri.

Dengan mendengarkan dan membaca, aku merasa tidak kehilangan diriku. Dengan menonton tiba-tiba aku merasa dipaksa menerima dunia pikiran orang lain, dipaksa untuk menerima imajinasi yang belum tentu sesuai dengan imajinasiku sendiri. Bagiku, sungguh jauh lebih mengasyikkan hanya dengan mendengar dan membaca daripada menonton. Sebab saat menonton, aku tenyata lebih sering tidak dapat membayangkan, hanya dapat menerima apa yang ditayangkan. Walau itu tidak sesuai dengan gambaranku tentang satu peristiwa, tentang satu cerita, apalagi cerita fiksi maupun non-fiksi yang dengan membaca dapat membuat aku merenung. Aku kehilangan dunia imajinasi. Aku kehilangan daya renungan. Akau bahkan sering merasa kehilangan diriku sendiri.

Betapa asyiknya mendengarkan. Betapa indahnya membaca. Kedua kegiatan itu dapat membuat kita bebas untuk membayangkan apa yang kita dengarkan atau kita baca sesuai dengan kemampuan daya khayal kita. Membuat pikiran kita berkelana jauh, berfungsi sesuai dengan kemampuan kita sendiri. Dunia tontonan visual yang merasuk di era kini, hanya dapat membuat kita menerima apa yang nampak, walau tentu ada juga tontonan yang bagus sehingga tetap mampu membuat kita untuk merenung, tetapi itu sangat jarang. Jauh lebih banyak kita hanya menerima tontonan yang hanya mempermainkan perasaan kita, marah-sedih-gembira, tanpa perlu dipikirkan dan direnungkan agar dapat membuat kita untuk lebih memahami hidup ini. Membuat kita lebih mengerti makna keberadaan hidup kita. Dengan menonton dan menyaksikan, kita tidak lagi memakai pikiran kita sendiri. Tidak lagi hidup bersama dunia imajinasi kita.

Maka tiba-tiba saya paham mengapa generasi sekarang mudah terpengaruh. Mengapa generasi sekarang mudah untuk menerima apa saja yang ditayangkan. Karena dunia imajinasi telah dipinggirkan. Karena yang ada hanya penampakan yang seringkali menggoda rasa tetapi tidak perlu perenungan mendalam. Dunia visual telah membuat kita semua malas untuk berpikir, malas untuk merenung, malas untuk ber-imajinasi, karena semua sudah terpampang dengan jelas di layar dan semua dapat kita saksikan secara langsung. Ah, mendadak aku kehingan dunia yang indah itu: mendengarkan dan membaca. Dunia yang membuat aku dapat membayangkan sesuatu sesuai dengan diriku sendiri tanpa perlu terpengaruh dengan bayangan orang lain. Dan berpikir tanpa harus dipaksa menerima begitu saja imajinasi orang lain. Dunia yang bagiku jauh lebih mengasyikkan dari pada hanya menonton dan menonton saja. Atau apakah aku salah?


Tonny Sutedja

JO

Tubuhnya yang kecil dan kurus hampir selalu terlihat dalam kegiatan apa saja yang diadakan di Paroki. Tetapi kadang dia menghilang, sehari dua hingga seminggu. Lalu hadir kembali, dengan senyum merekah, dengan tawa membahana seakan dia baru balik dari masa cuti yang menyenangkan. Mengisahkan cerita-cerita konyol yang mampu membuat pendengarnya tertawa lepas. Dan dia pun tersenyum ceria. Dengan mata yang berbinar. Seolah hatinya lepas dan tanpa beban sama sekali. Tanpa beban.

Tak banyak yang tahu, bahwa dia sedang menderita kanker ganas yang saat ini sedang menggerogoti tubuhnya.Tak banyak yang sadar betapa saat dia menghilang, itu berarti dia sedang mengalami saat-saat yang menyakitkan, penuh penderitaan dan seorang diri dalam menghadapi penyakit yang menguras seluruh tenaganya. Dia menjalani hidupnya apa adanya dengan tabah. Dengan sabar dan penuh keyakinan. Katanya suatu ketika: “Tubuh ini bisa sakit, tetapi jiwa jangan”.

Suatu ketika aku bertanya padanya, mengapa dia tidak mengunjungi dokter ahli yang kebetulan sahabatku, yang kusarankan padanya. “Belum punya dana” katanya. Dengan nada yang tenang. Dan dengan kesadaran akan keterbatasannya. Tanpa rasa sesal ataupun kekhawatiran sedikitpun. Baginya, penyakit seakan menjadi hal yang lumrah untuk dijalani, sama seperti kita menjalani hidup sehari-hari. Hidup, dengan atau tanpa penyakit, tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Sebagaimana adanya.

Tiba-tiba aku teringat pada kalimat tua ini: “orandum est ut sit mens sana in corpore sana” (hendaknya engkau berdoa agar ada hidup yang sehat dalam tubuh yang sehat). Tetapi jika tubuh kita sakit, memang tidak seharusnya jiwa kita ikut sakit. Jiwa kita berada di dalam dan bersama tubuh yang rapuh ini, tetapi jika tubuh tidak kekal, tidak demikian dengan jiwa. Dan ketidak-kekalan takkan pernah mengalahkan kekekalan. Penyakit yang dialami oleh tubuh, adalah bagian dari kehidupan yang tidak kekal, dan ada saatnya kelak, kita akan meninggalkan semua itu dan memasuki kekekalan sehingga tidaklah pantas tubuh kita yang rapuh membuat jiwa kita pun ikut rapuh pula.

Demikianlah, dia menjalani hidupnya dengan keyakinan bahwa penderitaan adalah bagian dari hidupnya, dan tidak perlu dibagikan kepada orang lain. Hidup orang lain tidak usah disusahkan karena masing-masing manusia punya persoalannya sendiri. Yang dapat dilakukan adalah, bagaimana membuat orang lain, sebagai sesama kita, tetap dapat bergembira menikmati hidup di dunia yang tidak kekal ini. Maka setiap kehadirannya selalu menimbulkan aura kegembiraan. Selalu memacu semangat dan membuat kami pantang menyerah pada tantangan dan halangan yang ada.

Maka di saat-saat begitu banyak tembok tebal menghadang kita, di saat-saat dimana seakan begitu mustahilnya memecahkan persoalan yang sedang kita hadapi, dimana rasa sakit, pedih dan sepi menjadi penghalang dalam menjalani hidup kita di dunia ini, percayalah bahwa kekekalan jiwa kita tak pernah dapat dikalahkan oleh ketidak-kekalan dunia. Jiwa kita sungguh jauh lebih kuat dari semua halangan dan tantangan itu. Karena dia kekal. Dan selama kita teguh dalam menjalani semua gelombang kesulitan dan tantangan dalam hidup yang sementara, kelak kita akan menemui keabadian yang membahagiakan.

Tubuhnya yang kecil dan kurus seakan lemah dan tak berdaya tetapi sungguh menyimpan kekuatan dan daya yang tak habis-habisnya untuk membangkitkan semangat kami. Membuat kami bisa ikut berkata dalam hati: “derita, siapa takut.....”.


Tonny Sutedja

25 Oktober 2013

LUBANG

Siang teramat terik ketika aku melihat seorang pengendara motor meluncur dengan kecepatan sedang di jalan yang rusak dan berlubang-lubang tidak jauh dari pasar Anduonohu. Mendadak, tepat depan sebuah lubang yang cukup dalam menganga, kulihat pengendara itu berupaya untuk menghindarinya tetapi kemudian dia terpelanting dan jatuh tepat di depan sebuah spanduk kecil yang bertuliskan dengan spidol hitam: “DIMANAKAH PEMERINTAH?”. Beberapa orang kemudian berdatangan untuk menolongnya. Aku melihat luka akibat seretan di batu kerikil terbuka berdarah di tangan dan wajahnya. Dengan tertatih-tatih dia menghampiri motornya yang tergeletak tak jauh darinya. Dengan kaca spion yang patah. Dengan lecet lebar pada sisi kendaraannya itu...

Melihat peristiwa yang terjadi di depan mataku, aku teringat kata seorang kepadaku: “Entah mengapa, kadang aku merasa bahwa pemerintah itu hanya terasa kehadirannya saat aku membayar pajak atau mengurus administrasi kependudukan. Selain dari itu, aku tidak tahu dia berada dimana.... Jalanan rusak dan berdebu hanya dibiarkan begitu saja hingga memakan korban. Kekurangan gizi akibat mahalnya bahan makanan pokok hanya dibiarkan begitu saja sehingga bisa melemahkan satu generasi. Anak-anak jalanan yang berkeliaran karena tak mampu untuk bersekolah hanya karena mahalnya biaya pendidikan. Orang sakit yang seharusnya dapat terobati tetapi kemudian meninggal hanya karena tak punya dana akibat mahalnya kesehatan. Hanya.....” katanya saat itu dengan mata yang menerawang. Hanya. Betapa sederhana kata itu tetapi penuh dengan kekuatan yang menggambarkan ketidak-mampuan seseorang menjalani hidup ini. Dan ketidak-pedulian mereka yang seharusnya berkewajiban dan mampu untuk mengatasi hal itu.

Lubang. Hanya. Ketidak-pedulian. Barangkali satu kesalahan terbesar kita adalah ketidak-pedulian, bukan kejahatan atau kekerasan. Justru karena ketidak-pedulian kitalah yang sering menimbulkan kejahatan. Kita melihat jalanan berlubang, mungkin mengeluh karenanya, tetapi kita tidak menutupinya tetapi lebih sering tetap melewatinya dengan kendaraan berat kita walau korban telah berjatuhan. Kita melihat mereka yang kelaparan, mungkin turut merasa prihatin, tetapi kita berjalan terus menikmati hidup yang penuh kemewahan. Kita melihat anak-anak yang berkeliaran tanpa mampu menikmati pendidikan, mungkin sedikit merasa sesal, tetapi terus menghamburkan materi untuk sesuatu yang tak bermanfaat. Dari semua segi kehidupan sungguh terasa betapa kita lebih sering tidak peduli dan tidak berbuat apa-apa selain dari hanya berharap agar ada orang lain yang lebih layak untuk bekerja dan memberikan bantuan. Bukan kita. Bukan kita.

Maka tidakkah lubang di jalan itu melambangkan sesuatu yang lebih besar: dia ada karena dibiarkan dan setiap saat makin besar karena tidak dipedulikan. Demikian pula hati nurani kita, setiap saat dibiarkan menerima perasaan sesal sehingga akhirnya menjadi tumpul dan kita semakin merasa tidak bersalah jika kita tidak peduli. Hidup kita jalani hanya tertuju demi kepentingan pribadi kita walau mungkin sesekali muncul perasaan sedih dan marah pada situasi lingkungan yang berlubang, tetapi kita tidak berbuat apa-apa, bukan karena kita tidak bisa tetapi lebih sering kita tidak mau mengurbankan kepentingan diri dengan pemikiran bahwa seharusnya ada orang lain yang lebih bertanggung-jawab. Bukan kita. Bukan kita.

Lubang di jalan itu membuatku merenungi banyak lubang lain dalam kehidupan ini. Pengusaha yang hidupnya bermewah-mewah walau sering mengeluh jika keuntungannya berkurang tanpa pernah memikirkan nasib buruhnya sendiri yang hidup hanya cukup untuk makan sehari demi sehari. Penguasa yang sering mengeluh karena dikritik tetapi tak pernah turut merasakan hidup rakyatnya jauh di pedalaman yang sering hidup apa adanya. Bahkan kita, ya kita semua, yang mungkin merasa kesal karena situasi sekeliling kita yang demikian penuh kepalsuan, keculasan, korupsi dan kejahatan, pernahkah kita berusaha untuk mengubah segala situasi itu? Atau kita hanya berdiam diri, tidak peduli, sebab merasa itu bukan tugas dan kewajiban kita atau bahkan malah turut terlibat secara aktip demi untuk hidup kita yang lebih enak, aman dan nyaman?

Siang teramat terik. Jalan berdebu dan berlubang. Pengendara motor yang terjatuh dan meringis kesakitan. Orang-orang yang berdiri menyaksikan di samping hamburan sampah yang bertebaran diluar kontainer yang sudah disiapkan. Dan di tepi jalan, tanah becek dengan kubangan air berbau amis dari selokan yang buntu karena tertimbun sampah dan bahan bangunan. Mendadak aku merasa kesepian. Sepi dan hampa. Karena ternyata aku juga tidak berbuat apa-apa walau hanya sekedar membantu pengendara itu menarik motornya yang rusak keluar dari lubang yang menganga. Angin berhembus kencang. Sangat kencang.....


Tonny Sutedja 

DOSA PEMBIARAN

Mereka yang mengetahui suatu kejahatan, walau tidak membantu tetapi juga tidak berbuat sesuatu untuk mencegahnya, tetaplah bersalah. Itu karena mereka membiarkan terjadinya kejahatan tersebut. Bahkan sikap tersebut lebih berbahaya karena membuat mereka yang berbuat terlena dan menganggap dirinya tidak bersalah. Karena dibiarkan dan tidak pernah dipersalahkan. Maka mereka yang membiarkan justru menjadikan sikapnya itu sebagai pupuk bagi kejahatan tersebut. Jangan-jangan justru lebih bersalah daripada sang pelaku itu sendiri.

Maka sikap lepas tangan, pembiaran dan ketidak-pedulian, walau dirinya merasa tidak bersalah karena bukan pelaku, tidak dapat membenarkan dirinya. Sebab hidup ini saling terkait, saling mempengaruhi, saling berbaur satu sama lain. Memang, kita hidup di dunia yang tidak sempurna. Namun ketidak-sempurnaan itu tidak bisa dijadikan alasan pembenaran atas ketidak-beranian, apalagi jika hanya keengganan kita, untuk menolak sesuatu hal yang salah. Terlebih jika kita justru hanya selalu mempersalahkan orang lain, mempersalahkan sang pelaku, sementara titik persoalan justru terletak pada sikap kita sendiri yang membiarkan sang pelaku melakukan perbuatannya dengan bebas.

Tidak mudah memang menentang kebiasaan salah yang sudah terbiasa dilakukan. Tidak mudah memang melawan sesuatu perbuatan yang justru dapat melukai diri kita sendiri. Dengan kata lain, tidak mudah untuk mengurbankan diri kita demi kebaikan apalagi jika hal itu dapat merugikan kenikmatan hidup kita sendiri sehingga jauh lebih sering kita bersikap membiarkan kesalahan itu sambil berkata dalam hati bahwa karena kita tidak terlibat maka kita tidak bersalah. Tetapi bukankah sikap kita tersebut bahkan lebih menyuburkan kejahatan tersebut? Tidakkah sikap pembiaran itu menjadi semacam pupuk karena sang pelaku dapat membenarkan diri karena tidak pernah dipersalahkan?

Jadi dosa terbesar kita bukanlah karena kita telah melakukan suatu perbuatan yang jahat. Dosa terbesar kita adalah karena sikap kita sendiri yang membiarkan perbuatan itu terjadi, masa bodoh dan lepas tangan, apalagi jika hal itu tidak merugikan kita atau bahkan mungkin justru menguntungkan kita sehingga kita enggan mempersalahkan. Maka ketika sang pelaku kebetulan tertangkap tangan, dan kita ramai-ramai mempersalahkan dia, mungkin sudah saatnya kita mengambil cermin dan berkaca diri. Darimanakah asal mula kejahatan yang dilakukan sang pelaku? Mengapa dia melakukan kejahatan itu? Jangan-jangan justru karena kita tidak pernah mencegah dia melakukan perbuatan itu sebab kita berharap bahwa apa yang dilakukannya tidak akan terungkap. Karena sudah kebiasaan. Karena sudah lumrah. Karena begitulah adanya. Begitulah semestinya.....

Jika sudah demikian, siapakah yang salah? Siapa?


Tonny Sutedja

24 Oktober 2013

PERCAYA, USAHA, TEMUKAN

Mereka yang percaya akan tahu. Sebaliknya, mereka yang tidak percaya tidak akan pernah tahu. Begitulah pengetahuan hidup ini. Sesederhana itu. Mereka yang percaya pada keberadaan sesuatu, akan berusaha untuk mencari dan kelak akan menemukannya. Tetapi mereka yang tidak percaya, tidak akan berusaha mencari, sebab itu juga tak pernah dapat menemukan. Kepercayaan adalah awal mula usaha seseorang untuk mulai mencari agar kelak menemukan yang dipercayainya. Demikianlah, pada awalnya adalah percaya.....

Maka hidup semua berawal dari kepercayaan. Percaya kepada harapan masa depan yang lebih baik. Percaya kepada Sang Pencipta yang telah memberikan kepada kita kesempatan untuk menikmati semesta yang menakjubkan ini. Kepada bahwa kita semua berada disini memiliki kesempatan untuk melakukan yang terbaik agar kelak dapat menemukan-Nya. Hidup yang tidak berlandasan pada kepercayaan adalah hidup yang sia-sia. Mustahil kita menemukan sesuatu tanpa dasar kepercayaan, tanpa usaha karena kepercayaan itu.

Renungan ini saya tulis untuk seseorang yang berkata bahwa dirinya tidak percaya kepada Sang Pencipta karena dia tidak pernah menemukan-Nya. Tidakkah seseorang harus percaya kepada sesuatu sebelum mampu untuk menemukannya? Thomas Alfa Edison percaya pada lampu pijar sehingga dia berusaha dan akhirnya dapat menemukannya (1879). Wilbur dan Orville Wright percaya pada pesawat udara sehingga mereka berusaha dan akhirnya dapat membuatnya (1903). Para penemu hebat, selalu percaya akan temuannya, bahkan jauh sebelum dia berhasil mewujudkannya. Demikianlah, semuanya selalu diawali dengan kepercayaan penuh sehingga kita dapat pula berusaha penuh dengan hasil yang penuh pula.

Jadi bagaimana kita dapat menemukan Sang Pencipta jika kita sendiri tak percaya akan Dia? Mengapa kita selalu menginginkan suatu mujizat, suatu penampakan tiba-tiba, suatu yang mendadak dapat kita lihat, rasa dan percayai tanpa kita sendiri mau untuk berusaha mencarinya? Mengapa kita begitu enggan untuk berusaha, menyukai sesuatu yang instan, yang serba langsung ada tanpa perlu bersusah payah bergulat untuk meraihnya? Bukankah kita semua harus meminta, mengetuk dan mencari agar semua yang kita percayai dapat terwujud?

Tetapi, jika pun kita tetap mau menemukan bukti keberadaan-Nya, sesungguhnya sederhana saja. Lihatlah pada diri sendiri. Rasakanlah hidupmu. Pandanglah ke alam sekelilingmu. Dan pikirkanlah ini. Mengapa semua itu ada jika Dia tidak ada? Mengapa semua itu dapat kita lihat, dapat kita dengar, dapat kita rasakan, dapat kita nikmati dalam hidup yang nyata ini? Tak pernahkah kita memikirkan semua itu dengan dalam untuk menemukan satu pemahaman tentang mengapa dan bagaimana kita ada sekarang?

Pada mulanya adalah kepercayaan. Kepercayaan hadir bersama hidup kita dan dengannya kita berusaha untuk mencari agar kelak dapat menemukan Dia yang telah menciptakan kita semua. Hidup kita sendiri merupakan tanda keberadaan-Nya dan karena keberadaan kita, keberadaan-Nya takkan bisa diragukan lagi. Sesederhana itu. Maka percaya, cari dan temukanlah Dia untuk membuat hidupmu bermakna. Sekarang. Selamanya.


Tonny Sutedja

21 Oktober 2013

HATI NURANI

Kita mungkin pernah mengalami situasi dimana ketika kita akan melakukan sesuatu yang tidak pantas, kita akan dihinggapi perasaan ragu, khawatir bahkan mungkin juga rasa takut. Setelah itu muncullah rasa sesal dan sedih atas apa yang telah kita lakukan. Semuanya itu merupakan bisikan hati nurani kita yang mengusik saat kita mau dan telah melakukan sesuatu yang tidak layak dan tidak pantas.

Tetapi ketika sesuatu yang tidak pantas itu kita lakukan kembali, sekali dua kali dan akhirnya berulang kali, bisikan itu akan melemah dan bahkan mungkin akan menghilang sama sekali. Sesuatu yang semula terasa tidak pantas akan menjadi lumrah. Dan perasaan sesal dan takut akan menghilang, bahkan bisa berganti menjadi rasa bangga dan penuh kepercayaan diri. Demikianlah hati nurani yang mengawal kita dari kesalahan akhirnya akan mati dan menghilang dari perasaan kita.

Maka di saat kebebalan menguasai kebajikan, di saat kebencian mengalahkan kepercayaan, di saat kekerasan menghancurkan kedamaian, kita akan menuju kegagalan untuk saling memahami. Kita hidup hanya demi dan bersama kepentingan diri dan kelompok kita saja. Diluar dari kita adalah musuh harus dilawan. Bahkan harus dihancurkan dan dimusnahkan. Dengan intimidasi. Dengan kekerasan.

Demikianlah kita membunuh hati nurani kita sendiri. Kebiasaan-kebiasaan yang dipupuk-kembangkan sambil meninggalkan kekhawatiran, ketakutan bahkan melepaskan rasa sesal kita atas para korban yang berjatuhan, bahkan dengan bangga kita berdiri sambil berseru lantang, “semua ini demi untuk membela dan diinginkan oleh Yang Maha Kuasa...” Entah atas pemikiran bagaimana, kita, yang mengakui kemaha-kuasaan dari Sang Pencipta, bisa merasa jauh lebih kuat dan lebih kuasa dari Sang Pencipta itu sendiri.

Tetapi tidakkah kita diciptakan oleh kesempurnaan sebagai yang tidak sempurna? Dan karena kelemahan itulah maka kita diberikan perasaan, bisikan hati nurani, yang seharusnya kita ikuti tetapi ternyata kita tinggalkan dan kita lupakan begitu saja? Maka dengan penuh kegundahan, setiap hari aku membaca, mendengar dan menonton berita-berita yang bermunculan sambil memikirkan betapa hati nurani telah hilang dan dilupakan begitu saja. Dan Sang Pencipta yang setiap saat kita sembah dan kita puja, mendadak menjadi manusia biasa sama seperti kita dalam ketidak-sempurnaan-nya karena harus dibela dan diwujudkan keinginannya oleh kita. Yang tidak sempurna telah menguasai kesempurnaan. Dan hati nurani pun lenyap. Mati. Haruskah demikian?


Tonny Sutedja

CERMIN

Itu wajah
Mengapa diam?
Kusut tak berseri
Hilang senyum
Hilang seri
Kemana perginya?

Itu wajah
Menanti detik jatuh
Menetes-netes
Dalam kamar
Sunyi
Berdebu


Tonny Sutedja

METEOR

Melintas
Dari gelap
Ke gelap

Bagai percik
Sesaat
Di keabadian

Ada
Dan tiada
Berbatas waktu

Namun sepi
Dan hening
Sepanjang waktu


Tonny Sutedja

19 Oktober 2013

KEABADIAN

Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. (Yoh 10:28)


Malam ini langit nampak jernih. Purnama indah mengambang bersama titik-titik cahaya bintang dan planet yang bertebaran mengagumkan. Tak ada awan. Hanya keheningan dan sesekali desah angin yang menggerakkan tirai jendela kamarku. Aku menatap keindahan alam itu dengan sedikit tergetar, merasakan betapa kecilnya diri ini. Betapa kecilnya. Sebagai debu yang berada di alas alam semesta yang seakan tak berbatas.

Setiap hari, setiap saat kita menjalani hidup ini dengan kebiasaan-kebiasaan yang terasa lumrah dan seakan sudah seharusnya demikian adanya. Namun, pernahkah terpikir oleh kita, bagaimana jika kita melihat diri ini dari sisi yang lain, diluar dari apa yang kita jalani sekarang? Betapa kita menjadi asing, jauh dan penuh dengan tanda tanya, saat kita melihat sendiri apa yang kita perbuat setiap hari dari luar diri kita ini. Bagaimana pun, seseorang yang mau memandang dirinya bukan sebagai dirinya sering menemukan suatu kejutan yang mungkin sulit dipahaminya.

Maka selalu ada getaran saat kita menyaksikan betapa kecilnya kita di semesta luas ini. Melihat bulan yang bersinar indah jauh disana. Melihat titik-titik cahaya bintang yang berkedap-kedip dengan kesadaran bahwa apa yang kita saksikan hanya sebuah masa lampau dari bintang itu sendiri. Sungguh, kita akan merasakan ketakjuban sekaligus merenungkan betapa terpencilnya keberadaan kita di sudut bumi kecil ini. Sesuatu yang tak mudah untuk dipahami. Sesuatu yang dapat mengguncang perasaan kita tetapi sekaligus menghormati kemaha-luasan semesta.

Malam ini langit memberikan sebuah panorama menakjubkan dari semesta yang seakan tak berujung. Malam ini aku merasakan batas-batas diriku sendiri. Batas yang membuatku berpikir bahwa hidup ini sesungguhnya berjalan sebagaimana dia ada. Dalam waktu. Dalam peristiwa. Dalam keabadian yang selalu berubah. Tetapi toh tetap. Kesadaran betapa diriku hanya noktah kecil yang tak bisa mengatakan kebenaran tunggal sebagaimana alam semesta yang selalu berubah. Walau asing namun indah. Dan angin yang memasuki jendela kamarku menyapaku sambil berbisik: “kebenaranku adalah keberadaanku, walau tak terlihat tidaklah samar-samar”.


Tonny Sutedja

16 Oktober 2013

LONGSOR

Siang yang terik. Dalam perjalanan dari Baito menuju Kendari, di suatu persimpangan, mendadak kami berhadapan dengan jalan yang terpotong oleh longsor. Sisa aspal hanya sepenggal, selebihnya lenyap tergerus entah kemana. Kami berhenti sejenak memandang sisa aspal yang ada. Sementara di sisi yang lenyap, hanya ada guguran tanah tebing menuju ke sebuah sungai dengan aliran air yang cukup deras. Udara terasa sejuk dengan pepohonan hijau bertebaran di tepi jalan yang masih tersisa.

Kami berdiam diri menatap ke panorama yang mengejutkan itu. Tetapi sekaligus menikmati derasnya aliran sungai yang bening, keheningan alam, hembusan angin dan rimbunan pepohonan hijau yang mengitari tebing itu. Longsor yang memotong tanpa tanda dan memaksa kami untuk berhenti sejenak ternyata telah membuat kami dapat menikmati alam yang permai, hal yang mungkin hanya akan terlewatkan saja dalam keadaan biasa. Sebuah perhentian tanpa terencana menguak sebuah keindahan yang tersembunyi.

Peristiwa sesaat itu membuat saya terkenang pada beberapa peristiwa yang tak diinginkan dan tak terencanakan yang mungkin merupakan sebuah kegagalan jika saya hanya memandang sebuah rencana sebagai garis lurus. Ternyata kemudian kejadian itu membuat saya menyadari adanya banyak kemungkinan lain yang sering tidak terpikirkan sebelum saya mengalaminya. Mungkin jalan yang longsor di depan kami ini telah membuat perjalanan kita terhambat sejenak, membuat kami yang sedang terburu-buru dikejar waktu akibat keinginan kami untuk mencapai sesuatu yang sangat kita inginkan dapat gagal dicapai, tetapi ketika kami dapat melihat sisi lain dari kejadian yang tak terduga itu maka kami terkejut dan menikmati sesuatu yang sama sekali tak pernah kami bayangkan jika kami hanya melaju dengan lancar dan tanpa hambatan.

Dan saya kira demikianlah makna sebuah musibah atau bencana yang menghadang di depan kita. Kita dapat menyesalinya berkepanjangan, kita dapat merasa kecewa tanpa akhir jika kita enggan untuk menerimanya. Tetapi kita juga dapat menikmati musibah dan bencana itu apa adanya dan bahkan dapat menemukan sebuah kejutan dalam pengalaman yang pahit itu. Maka pemandangan longsor di depanku yang telah membuat kami berhenti sejenak tiba-tiba mengajarkan kepada kami bahwa tidak ada yang sia-sia bahkan sebuah peristiwa terburuk sekalipun. Kita dapat belajar darinya. Kita tetap bisa menikmatinya. Jika kita mau. Jika kita tetap sadar pada keterbatasan dan kelemahan kita sendiri.

Sebab bagaimana pun kehebatan kekuatan-kekayaan-kekuatan kita, kita hanya manusia yang terbatas. Dan sungguh selalu banyak hal yang takkan mampu kita ramalkan, sehebat apapun perencanaan kita. Alam seringkali membuat kita terpesona, seringkali membuat kita harus mengakui kelemahan kita sekaligus membuat kita merasa kecil dan tak berdaya. Namun, di sisi lain, alam selalu memberikan dirinya secara bebas dan terbuka untuk dinikmati. Bahkan untuk dihayati sebagai sebuah bahan perenungan bagi kita tentang betapa kuatnya daya kemungkinan yang dapat terjadi. Sebab itu, setiap kegagalan selalu berarti bahwa selalu ada kemungkinan lain yang tak terpikirkan. Setiap musibah atau bencana selalu berarti bahwa ada harapan tersembunyi yang mungkin saja sebelumnya tidak kita pikirkan.

Siang yang terik. Jalan aspal yang longsor. Perhentian yang mendadak. Semuanya ternyata membuat kami menemukan kesejukan udara di tengah keindahan alam yang terbuka tiba-tiba di depan mata kami. Sebuah kemungkinan baru yang tak pernah kami pikirkan dan rencanakan sebelumnya. Piknik mendadak! Menakjubkan!


Tonny Sutedja

WAJAH-WAJAH

Setiap wajah menyimpan kegembiraan dan kegundahannya sendiri. Setiap wajah selalu menyembunyikan rahasia yang tak mungkin diungkapkan, seberapa dalam pun pengetahuan kita tentangnya. Sebab setiap wajah adalah unik dan tak mungkin disamakan satu dengan yang lain. Siapa yang merasa dapat menebak apa yang ada di balik sebuah wajah selalu harus siap dengan kekecewaan karena ternyata dia sama sekali tak mampu memahami dan bahkan mungkin tak dapat menerima kenyataan yang sesungguhnya.

Hidup seseorang adalah sebuah pengalaman yang hanya bisa diungkapkan oleh yang mengalami. Sementara manusia menciptakan pengetahuan untuk mencoba memahami apa dan mengapa, ternyata sering dia terkecoh bahkan oleh dirinya sendiri. Siapakah yang dapat mengatakan dengan pasti bahwa dia tahu siapa dirinya? Siapakah yang mampu dengan yakin mengatakan bahwa dia memahami cara berpikirnya sendiri? Siapakah yang bisa dengan kepercayaan penuh berteriak bahwa dia sadar akan kesadarannya sendiri?

Hidup adalah sebuah rahasia yang coba kita ungkapkan tetapi ternyata kita sering gagal mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Karena setiap wajah, yang setiap saat menyapa kita – bahkan wajah kita sendiri yang terpampang dalam cermin – ternyata adalah topeng yang selalu menyembunyikan rahasia terdalam hati kita. Rahasia yang bahkan sering kita sendiri tak menyadarinya. Maka cobalah untuk jujur pada apa yang ada, pada apa yang kita pikir dan rasakan, pada apa yang kita inginkan dan kita alami sendiri. Cobalah untuk jujur pada diri sendiri dan menanggalkan segala kemunafikan teori dan kalimat-kalimat indah yang kadang hanya indah dalam kata tetapi sesungguhnya tak bermakna apa-apa.

Setiap wajah menyimpan banyak kemungkinan yang tak dapat disatu-maknakan. Tak dapat diseragamkan. Bahkan tak tak mungkin disimpulkan dalam satu teori, sepelik apapun teori yang dapat kita ciptakan. Di balik tiap wajah yang ada hanyalah rahasia, sebuah selubung kabut tak tembus pandang, tentang keragu-raguan dan kekhawatiran, tentang kesepian dan ketakutan, tentang sesuatu yang seakan ingin digenggam terus namun ternyata lepas. Wajah-wajah kita semua sungguh adalah sebuah topeng yang tak terselami. Tak terselami....


Tonny Sutedja

TEMBOK

Walau secara keseluruhan sering kita merasa betapa waktu melintas hampir tak terasa, dan betapa seminggu, sebulan dan setahun berlalu seakan mimpi saja. Namun, di momen-momen saat ini, sering pula kita merasa betapa lambatnya waktu, merambat detik ke detik seakan tak kunjung usai. Dan dalam kehidupan yang bergerak dengan monoton, kita merasa hampa, tak berdaya bahkan membosankan sehingga kadang kita berpikir betapa sia-sianya segala yang sedang kita jalani sekarang.

Kita yang hidup dalam kungkungan tembok tak tembus pandang, kita merasa seakan terjaring dengan jiwa yang penuh luka tetapi tak berdarah, perih tetapi tak mematikan, pilu tetapi tak nyata. Kita merasa ada sesuatu yang salah namun tak tahu apa dan mengapa salah. Hidup tetap berjalan sebagaimana mestinya. Normal walau menyakitkan. Kadang penuh tawa walau hampa. Dan kita toh masih dapat bertutur dengan penuh semangat namun kosong. Kita kehilangan diri kita disaat kita sadar bahwa kita sungguh nyata ada. Mengapa? Ada apa? Dan untuk apa ini semua kita jalani?

Tembok tebal mengelilingi kita. Bukan hanya sekedar tembok beton empat dinding tetapi lebih dari itu. Dia tak nyata namun terasa. Dia tak berwujud namun ada. Kita pun hidup dan bergerak sebagai alat mekanis tanpa jiwa, sering hanya bertindak sebagai gema yang menirukan segala apa yang dianggap biasa dan normal oleh sekeliling kita sehingga sering kita terperosok dalam jurang kesepian, kesendirian, tak dipahami sekaligus tak memahami hingga tersudut di sisi paling kelam dan gelap dimana kita ingin menyembunyikan diri kita seluruhnya.

Tetapi siapakah kita? Sungguhkah kita ini nyata? Dan jika kita memang nyata, untuk apa kita disini? Apapun yang kita lakukan sering hanya sebatas apa yang diinginkan oleh lingkungan kita untuk lakukan. Dan kita kehilangan kendali atas pikiran dan perasaan kita. Buntu. Tembok-tembok tebal ini sungguh mengungkung kita dalam ketidak-berdayaan yang harus kita terima dan jalani setiap saat. Setiap hari. Tanpa pilihan lain. Tanpa kemungkinan lain. Kita ada tetapi dengan tanda tanya besar. Kita nyata tetapi sesungguhnya itu bukan kita. Bukan kita.

Adakah pilihan lain yang dapat kita lakukan tanpa merusak diri kita dan lingkungan kita? Adakah pilihan lain dari terbenam dan mati tetapi aman atau bangkit dan hidup tetapi melawan semua hal yang terasa menghimpit jiwa kita? Sungguh, hidup sering terasa membosankan, menyakitkan dan bahkan menjadi tanpa harapan. Pahit. Kelam. Waktu berjalan seakan merayap, lamban teramat lamban seakan tak berakhir. Seakan tak berujung. Hingga suatu saat, jauh kemudian, selewat waktu dan kita tetap disini, kita dapat tiba-tiba sadar betapa ternyata sebulan telah hilang. Setahun berlalu. Sepuluh tahun. Dan apa yang telah silam tak mungkin lagi kembali. Tak bakal terulang lagi. Lenyaplah dia. Lenyap...


Tonny Sutedja

SUAP

Kita tahu bahwa hanya bayi dan orang-orang yang sakit dan tak lagi mampu bergerak yang disuap. Dengan kata lain, hanya mereka yang tidak berdaya harus disuap agar dapat tetap bertahan untuk hidup. Maka mereka yang disuapi sesungguhnya adalah orang-orang yang tak berdaya, sakit dan sama sekali tak mempunyai kemampuan untuk berbuat apa-apa selain dari hanya ingin menerima dan menerima. Bahkan walaupun ternyata dia pun dapat bermurah hati memberi, tetapi pemberian itu bersumber dari ketidak-mampuan untuk menghasilkan sesuatu dari akal budi dan pekerjaannya secara mandiri.

Suap adalah tanda ketidak-berdayaan seorang manusia untuk berupaya dengan tenaganya sendiri. Mereka yang lumpuh, tidak berdaya, malas dan hanya ingin mencari kemudahan tanpa perlu berpikir dan berbuat sesuatu. Maka jelas bahwa, mereka yang disuap adalah mereka yang telah lumpuh dalam segala aspek, tak berdaya atau sekedar malas, dan enggan untuk mempergunakan kemampuannya sebagai manusia untuk berkarya dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia. Bagi sesama.

Maka ketika suap marak di negeri ini, tiba-tiba kita dihadapkan pada suatu kesimpulan yang pahit: ketidak-berdayaan dan kemalasan kita untuk berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi tugas kita. Suap mematikan keadilan. Suap meninggalkan kebenaran. Suap menciptakan khaos yang sangat merusak. Dan saat hanya suap dapat memecahkan sebuah persoalan, saat itu pula yang ada hanya ketidak-adilan, dimana hanya kekuasaan-kekayaan-kekuatan yang menjadi satu-satunya kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya salah dan tidak adil. Dan sangat merusak. Tetapi mengapa kita tidak menyadarinya?

Tetapi sesungguhnya kita semua menyadari hal itu. Hanya sering kita tak berdaya untuk menghindarinya. Karena itu dapat merusak kepentingan kita. Itu dapat membuat hidup kita yang terasa nyaman terusik. Dan kita enggan untuk meninggalkan zona aman keseharian kita. Kita hanya mau menikmati dan selalu ingin memudahkan hidup kita. Maka kita pun disuap dan menyuap. Kita pun berkompromi dengan kenyataan yang ada, walau salah tetapi karena terasa jamak, lalu perlahan terasa menjadi kebenaran bagi kita.

Demikianlah, kita semua berubah bukan menjadi bayi yang polos dan tak berdaya, tetapi menjadi manusia-manusia sakit tanpa menyadari akan penyakit kita. Menjadi manusia lemah tanpa menyadari kelemahan kita. Menjadi manusia yang lumpuh tetapi mampu untuk bergerak. Menjadi robot, bergerak secara mekanis, tanpa perlu berpikir dan tanpa hati nurani yang kian dilupakan jauh di dalam kegelapan kenikmatan badaniah kita. Kita adalah manusia-manusia malang tanpa menyadari kemalangan kita sendiri. Menyedihkan.....


Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...